Beberapa Kasus Pertarungan Wacana di Media Massa

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id massa sebagai kelompok pengaruh yang berkekuatan besar dalam membentuk kesadaran publik. 27 Dalam penelitian ini, paradigma media-marxist yang paling tepat untuk digunakan pada analisis wacana mengenai Muktamar NU dengan Muktamar Muhammadiyah yang merupakan dikotomi antara ideologi islam tradisional dengan islam moderat adalah paradigma strukturalis. Hal ini didasarkan atas alasan, pertama, bahwa pertarungan wacana mengenai tradisional dengan moderat dalam panggung media tidak didasarkan atas determinisme terhadap kepentingan ekonomi. Kedua, meski memiliki kemiripan dengan paradigma kulturalis tetapi kulturalis lebih menekankan pada pengalaman nyata dari sub-kelompok dalam masyarakat dan mengkontekstualisasikan media dalam masyarakat yang dilihat sebagai ekspresi totalitas yang kompleks ─dimana hal ini tidak terdapat dalam fenomena pertarungan wacana Muktamar NU dengan Muktamar Muhammadiyah yang hanya terjadi di panggung media─. Setidaknya ada dua ilmuwan yang dapat merepresentasikan paradigma strukturalis-marxist, yakni Antonio Gramsci dengan konsep hegemoninya dan Michel Foucault dengan konsep kekuasaannya. Keduanya memandang wacana yang disampaikan oleh media senantiasa menghegemoni dan menguasai khalayak dan membentuk suatu kebenaran atas pengetahuan khalayak. Berikut pandangan dua ilmuwan tersebut: 27 Daniel Chandler, “Marxist Media Theory”, dalam http:cym.ie digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1. Antonio Gramsci dan Hegemoni

Hegemoni dalam pengertian tradisional, memiliki arti sebagai sistem kekuasaan, atau dominasi politik. Hegemoni menurut Gramsci bukanlah hubungan dominasi menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. 28 Istilah tersebut dalam tradisi Marxisme diperluas ke arah pengertian hubungan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial, khususnya kelas berkuasa ruling class. Pemahaman dan penerapan konsep hegemoni tampak jelas bahwa, ―baik dalam Marxisme maupun tradisi sebelumnya― istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan fenomena kekuasaan politik. 29 Antonio Gramsci ―seorang pemikir Italia― mengembangkan pengertian hegemoni secara lebih luas dan mendalam. Kata hegemoni dalam perspektif Gramsci tidak hanya digunakan untuk menjelaskan relasi antar kelas politik ruling class, tetapi juga mengungkapkan relasi sosial yang lebih luas, termasuk relasi komunikasi dan media. Konsep hegemoni di samping menjelaskan dominasi politik lewat kekuatan, tetapi yang lebih penting melalui kepemimpinan intelektual dan moral. 30 Bagi Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah arbitrary systems yang dikemukakan oleh intelektual dan filsuf tertentu, dan ideologi organik yang bersifat historis historically organic 28 Roger Simon, Gagasan Gagasan Politik Gramsci Yogyakarta: Insist, 1999, 19. 29 John C. Raines, Marx tentang Agama Jakarta: Teraju, 2003, xxvii-xxviii. 30 Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, 205-206. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ideologies, yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu. 31 Ideologi bukan fantasi perseorangan, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masayarakat. Gramsci berpendapat bahwa dominasi kekuasaan diperjuangkan di samping dengan kekuatan senjata, juga melalui penerimaan publik. Penerimaan publik yang dimaksud Gramsci, yaitu diterimanya ide kelas berkuasa oleh masyarakat luas, yang diekspresikan melalui apa yang disebut sebagai mekanisme opini publik―khususnya lewat media massa koran, televisi dan sebagainya. 32 Pembentukan opini publik, oleh sebab itu merupakan hal yang sangat sentral dalam prinsip hegemoni, yang memerlukan mediasi berupa ruang publik. Dalam kaitannya dengan penciptaan ruang publik ini, Gramsci menganggap penting adanya institusi, yang berperan dalam mengembangkan dan menyebarluaskan hegemoni ideologi. Gramsci menyebut institusi dan strukturnya sebagai alat hegemoni, seperti sekolah, masjid, gereja, media massa. Sesuai dengan namanya, alat hegemoni ini dapat digunakan untuk mensosialisasikan dan mempertahankan ide-ide, atau ideologi hegemonik. 33 Media massa ―sebagai sebuah bagian dari ruang publik, yang di dalamnya bahasa dan simbol-simbol diproduksi dan disebarluaskan― tidak dilihat oleh Gramsci sebagai sebuah alat hegemoni yang bersifat pasif semata. Media massa membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya perang bahasa, atau perang 31 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, 65. 32 Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, 207. 33 Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika Yogyakarta: Jalasutra, 2004, 136.