PEMBINGKAIAN BERITA MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-32 DI MAKASAR (Studi Analisis Framing Berita Muktamar NU ke-32 di Makasar pada Koran Jawa Pos dan Kompas).

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk persyaratan memperoleh gelar Sarjana pada FISIP UPN “VETERAN” Jawa Timur

Oleh :

EKO FARID MAHARI P.

NPM : 0443310593

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010


(2)

PEMBINGKAIAN BERITA

MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-32 DI MAKASSAR (Studi Analisis Framing Berita Muktamar NU ke-32 di Makassar pada Koran

Jawa Pos dan Kompas) Disusun Oleh : EKO FARID MAHARI P.

0443310593

Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 12 November 2010

Menyetujui,

Pembimbing Utama Tim Penguji

Juwito SSos., MSi. Juwito Ssos., MSi

NPT. 367049500361 NPT. 367049500361

Drs. Saifudin Zuhri, MSi. NPT. 370069400351

Dra. Diana Amelia, MSi NIP. 19630907 1991 03 2001

Mengetahui DEKAN

Drs. Hj. Suparwati, MSi. NPT. 19550718 198302001


(3)

Pada Koran Jawa Pos dan Kompas)

Disusun oleh : EKO FARID MAHARI P.

NPM. 0443310593

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, Pembimbing Utama

Juwito SSos., MSi. NPT. 367049500361

Mengetahui, DEKAN

Drs. Hj. Suparwati, MSi. NIP. 19550718 198302001


(4)

ii

ABSTRAKSI

EKO FARID MAHARI P., PEMBINGKAIAN BERITA MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-32 DI MAKASSAR (Studi Analisis Framing Berita Muktamar NU ke-32 di Makassar pada Koran Jawa Pos dan Kompas). SKRIPSI. Peran media massa dalam kehidupan sosial berbeda-beda, namun perannya signifikan dalam masyarakat modern. Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar, dimana kebenaran ini ditentukan oleh kepentingan survival media itu sendiri. Atas kebenaran milik perusahaan itulah realitas yang ditampilkan oleh media bukan sekedar realitas tertunda, namun juga realitas tersunting. Pemberitaan mengenai Muktamar NU ke-32 di Makassar menarik untuk dikaji karena baik sebelum Muktamar tersebut berlangsung dan pada saat berlangsung hingga selesai mendapatkan porsi yang besar selama berhari-hari, bahkan terdapat halaman khusus. Alasan memilih surat kabar Jawa Pos dan Kompas dikarenakan media tersebut memiliki versi pemberitaan yang berbeda

Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Sedangkan untuk perangkat dalam framingyang peneliti gunakan memakai perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, karena terdapat empat perangkat framing. Yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris (Eriyanto, 2001:254-256).

Hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa Surat kabar Jawa Pos memframe berita Proses pemilihan Rais Am dan Ketua Tanfidziyah periode 2010-2015 yang berlangsung dengan drama, penuh rivalitas dan ketegangan. lebih menunjukkan proses pemilihan ketua umum yang lebih intens dibandingkan dengan pemilihan Rais Am. Kompas memframe berita Proses pemilihan Rais Am dan Ketua Tanfidziyah periode 2010-2015 yang mencerminkan sebuah tradisi yang telah mengakar sejak berdirinya Nahdlatul Ulama. Sebuah cerminan dari demokrasi ahlussunnah wal jamaah. menekankan kepada masih kuatnya tradisi demokrasi Nahdlatul Ulama.


(5)

iii

Roles of mass media in social life different each other, but its roles are significant in modern society. Theoretically, mass media aim to submit the information truly, where this truth is determined by importance of survival of itself media. For truth of company property of that's reality presented by media of non simply reality delayed, but also reality edited. News of 32ndMuktamar NU in Makassar draw to be studied by, because goodness of before the Muktamar take place and at the time of taking place till have got the big portion news during days, even there are special page. Reason chosen the newspaper of JAWAPOS and KOMPAS because of the media own the different news version.

Framing is approach to know how in perpective or way of approach used by journalist of when select the issue and write the news. While for the model in framing which researcher use hence model of framing Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki, because there are four peripheral framing. That is syntax, skrip, tematik and retoris. (Eriyanto, 2001:254-256).

Result of research conducted can be taken by conclusion that Newspaper of JAWAPOS of framing news process the general election Rais Am and Chief of Tanfidziyah period 2010-2015 that goes on with the drama, full of rivalities and stress. More showing of process of more compared to intensive public chief election of Rais Am. KOMPAS of framing news process the general election Rais Am and Chief of Tanfidziyah period 2010-2015 mirroring a tradition grown on since standing Nahdlatul Ulama scholar. A reflection from democracy of Ahlussunnah Wal Jamaah. emphasizing to its strength tradition still democratize the Nahdlatul Ulama scholar.


(6)

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil Alamin, Puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT. Karena atas barokah, rahmat dan hidayah-Nya, skripsi dengan Judul “Pembingkaian Berita Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 di Makassar (Studi Analisis Framing Berita Muktamar NU ke-32 di Makassar pada Koran Jawa Pos dan Kompas)” akhirnya dapat terselesaikan. Tak lupa sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membimbing kita menuju jalan yang penuh cahaya. Skripsi ini merupakan prasyarat utama untuk dapat meraih gelar sarjana bidang Ilmu Sosial di FISIP Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran” Jawa Timur.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memang masih banyak kekurangan, sebab tak terlepas dari faktor manusia itu sendiri. Namun dengan bantuan dari semua pihak yang ada juga setiap doa-doa kehidupan, penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Rasa terima kasih pun penulis hantarkan pada dosen pembimbing utama yang juga Kepala Program Studi Komunikasi Bapak Juwito S.Sos., M.Si. yang telah membantu banyak dalam membentuk pengertian kepada penulis tentang pemikiran framing dalam model Pan dan Kosicki, dan juga membantu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada pada penulisan skripsi ini dengan sabar dan bijaksana.

Dalam kesempatan ini pula penulis tak lupa mengucapkan rasa terima kasih pada setiap orang yang telah banyak membantu dalam menyusun penulisan skripsi ini dengan sangat tak terkira adanya, adalah :


(7)

v

3. Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Bapak Juwito S.Sos., M.Si. 4. Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Bapak Drs. Saifudin Zuhri,

M.Si.

5. Para Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jawa Timur. 6. Bapak dan Ibu tercinta yang telah dengan ikhlas, tulus dan penuh perhatian

selalu berdoa, dan membantu segala keperluan yang penulis inginkan baik secara moril dan materiil.

7. Pada “DIRI SENDIRI” atas semangat dan perjuangannya dalam kemampuan bertahan dan menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa yang beragam.

8. Rekan-rekan mahasiswa Ilmu Komunikasi atas segala kerjasama, canda tawa, dan doa-doanya.


(8)

vi

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Abstraksi ... ii

Kata Pengantar... iv

Daftar Isi... vi

Daftar Tabel... ix

Daftar Lampiran ... xi

Bab I Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Kegunaan Penelitian ... 13

Bab II Kajian Pustaka... 15

2.1 Landasan Teori ... 15

2.1.1 Media Massa, Interprestasi dan Konstruksi Realitas ... 15

2.1.2 Ideologi Media... 17

2.1.3 Berita Sebagai Hasil Konstruksi Realitas... 20

2.1.4 Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Realitas . 22 2.1.5 Teori Penjagaan Gerbang (Gate Keeper) ... 26


(9)

vii

2.1.9 Proses Framing ... 32

2.1.10 Perangkat Framing Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki... 33

2.2 Kerangka Berpikir... 40

Bab III Metode Penelitian ... 44

3.1 Metode Penelitian ... 44

3.2 Subyek dan Obyek Penelitian... 45

3.3 Unit Analisis ... 45

3.4 Korpus Penelitian... 46

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 49

3.6 Teknik Analisis Data... 50

3.7 Langkah-Langkah Analisis Framing... 50

Bab IV Hasil dan Pembahasan ... 53

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 53

4.1.1 Gambaran Umum Jawa Pos... 53

4.1.2 Gambaran Umum Kompas ... 57

4.2 Analisis Data ... 63

4.2.1 Analisis Framing Berita Jawa Pos dan Kompas... 63


(10)

viii

4.2.2 Frame Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas... 65

4.2.3 Berita Surat Kabar Jawa Pos ... 65

4.2.3.1 Berita Tanggal 23 Maret 2010 ... 65

4.2.3.2 Berita Tanggal 24 Maret 2010 ... 69

4.2.3.3 Berita Tanggal 25 Maret 2010 ... 75

4.2.3.4 Berita Tanggal 27 Maret 2010 ... 79

4.2.3.5 Berita Tanggal 28 Maret 2010 ... 82

4.2.4 Berita Surat Kabar Kompas... 88

4.2.4.1 Berita Tanggal 22 Maret 2010 ... 88

4.2.3.2 Berita Tanggal 24 Maret 2010 ... 91

4.2.3.3 Berita Tanggal 27 Maret 2010 ... 96

4.2.3.4 Berita Tanggal 28 Maret 2010 ... 98

4.3 Perbandingan Jawa Pos dan Kompas dalam Model Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki... 101

Bab V Kesimpulan dan Saran ... 109

5.1 Kesimpulan... 109

5.2 Saran... 110

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

ix

Tabel 2.2 Kerangka Berpikir... 43

Tabel 4.1 Judul Berita : Muktamar Bahas Hukum Penyadapan ... 66

Tabel 4.2 Elemen dan Strategi Penulisan Framing ... 69

Tabel 4.3 Judul Berita : SBY Minta NU Kembali ke Khitah ... 70

Tabel 4.4 Elemen dan Strategi Penulisan Framing ... 75

Tabel 4.5 Judul Berita :LPj Hasyim Muzadi Diterima Aklamasi ... 76

Tabel 4.6 Elemen dan Strategi Penulisan Framing ... 79

Tabel 4.7 Judul Berita : Mengerucut pada Said Aqil dan Salahudin Wahid ... 80

Tabel 4.8 Elemen dan Strategi Penulisan Framing ... 82

Tabel 4.9 Judul Berita : Kiai Sahal-Said Aqil Pimpin NU... 83

Tabel 4.10 Elemen dan Strategi Penulisan Framing ... 88

Tabel 4.11 Judul Berita : Para Calon Ketua Umum Saling Klaim Dukungan ... 89

Tabel 4.12 Elemen dan Strategi Penulisan Framing ... 91

Tabel 4.13 Judul Berita : NU Pelopor Pembangunan Peradaban ... 93

Tabel 4.14 Elemen dan Strategi Penulisan Framing ... 96

Tabel 4.15 Judul Berita : Molor, Pemilihan Hari Sabtu Ini... 97

Tabel 4.16 Elemen dan Strategi Penulisan Framing ... 98


(12)

x

Tabel 4.18 Elemen dan Strategi Penulisan Framing ... 101

Tabel 4.19 Elemen dan Strategi Penulisan Framing Jawa Pos ... 102

Tabel 4.20 Elemen dan Strategi Penulisan Framing Kompas ... 105


(13)

xi

Berita Jawa Pos

23 Maret 2010 Muktamar Bahas hukum Penyadapan... 111

24 Maret 2010 SBY Minta NU Kembali ke Khitah... 112

25 Maret 2010 LPj Hasyim Muzadi Diterima Aklamasi... 114

27 Maret 2010 Mengerucut ke Said Aqil dan Salahuddin Wahid ... 115

28 Maret 2010 Kiai Sahal – Said Aqil Pimpin NU ... 117

Berita Kompas

22 Maret 2010 Para Calon Ketua Umum Saling Klaim Dukungan ... 120

24 Maret 2010 NU Pelopor Pembangunan Peradaban ... 122

27 Maret 2010 Molor, Pemilihan Hari Sabtu ini... 125


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peran media massa dalam kehidupan sosial kerap dipandang secara berbeda-beda, namun tidak ada yang menyangkal atas perannya yang signifikan dalam masyarakat modern. Menurut McQuail, dalam bukunya Mass Communication Theoris (2000:6), menyebutkan bahwa peran media massa sebagai Window on event and experience, media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak “melihat” apa yang terjadi diluar sana. Selain itu, media massa sebagai filter atau gate keeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media massa senantiasa memilih issue, informasi atau bentuk content lain berdasarkan standar para pengelolanya. Khalayak “dipilihkan” oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui dan mendapat perhatian. Disini, pentingnya peran media massa sebagai realitas simbolik yang dianggap mempresentasikan realitas objektif sosial dan berpengaruh pada realitas sosial dan berpengaruh pada realitas subjektif yang ada pada perilaku interaksi sosial.

Media sebagai sebuah sistem komunikasi manusia telah kian penting di dunia, dimana meminjam istilah C. Wright Mills pengalaman primer telah digantikan oleh komunikasi sekunder, seperti media cetak, radio, televisi dan film, media telah memainkan peran penting dalam merombak tatanan sosial menjadi masyarakat serba misal (Rivers, 2003:323). Sekarang ini kita tidak bisa lagi menyamakan “komunikasi massa” atau “Media massa” dengan “Jurnalisme”


(15)

dalam menyebut media lain selain koran dan majalah. Tentu saja setiap komunikasi membutuhkan medium atau sarana pengiriman pesan yang melibatkan media. Komunikasi massa merupakan salah satu proses komunikasi yang berlangsung pada peringkat masyarakat luas merujuk ke keseluruhan institusinya yang merupakan pembawa peran koran dan majalah.

Oleh sebab itu komunikasi massa dapat diartikan dalam dua cara, yakni, pertama komunikasi massa oleh media, dan kedua, komunikasi untuk massa. Namun ini tidak berarti komunikasi massa adalah komunikasi untuk setiap orang. Media tetap cenderung memilih khalayak, dan demikian pula sebaliknya khalayakpun memilih-milih media (Rivers, 2003 :18).

Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Pada praktiknya apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan survival media itu sendiri, baik dalam pengertian bisnis maupun politis. Dalam kaitan ini kerap terjadi bahwa meminjam ungkapan Budi Susanto (1992:62) “Kebenaran milik perusahaan” menjadi penentu atau acuan untuk kebenaran-kebenaran lainnya. Atas kebenaran milik perusahaan itulah realitas yang ditampilkan oleh media bukan sekedar realitas tertunda, namun juga realitas tersunting. Dibelakang realitas tersunting ini terdapat pemilihan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebarluaskan.

Media bukan cuma menentukan realitas macam apa yang akan mengemuka, namun juga siapa yang layak dan tidak layak masuk dalam realitas


(16)

3

itu. Dalam hal ini, media menjadi sebuah kontrol yang bukan lagi semata-mata sebagaimana dicita-citakan, yaitu “... kontrol, kritik dalam koreksi pada setiap bentuk kekuasaan agar kekuasaan selalu bermanfaat ...” (Leksono, 1998:24) tetapi kontrol yang mampu mempengaruhi bahkan mengatur isi pikiran dan keyakinan-keyakinan masyarakat itu sendiri (Sobur, 2003:114).

Ketika kebebasan pers marak sepeti sekarang ini, banyak media cetak lebih mengutamakan berita yang cenderung berbau sensasional. Masalah objektifitas pemberitaan pun menjadi perdebatan klasik dalam studi media. Salah satu perdebatan yang mewakili dua pandangan pro dan kontra objektif adalah John C. Merril dan Everette E. Dennis. Merril berpendapat jurnalisme objektif adalah mustahil. Semua karya jurnalistik pada dasarnya subjektif, mulai dari pencarian berita, peliputan, penulisan sampai penyuntingan berita. Nilai-nilai subjektif wartawan ikut mempengaruhi semua proses kerja jurnalistik. Sebaliknya, Dennis mengatakan, jurnalisme objektif bukan sesuatu yang mustahil, karena semua proses kerja jurnalistik pada dasarnya dapat diukur dengan nilai-nilai objektif, misalnya memisahkan fakta dan opini, menghindari pandangan emosional dalam melihat peritiwa dan memberikan prinsip keseimbangan dan keadilan, serta melihat dari dua sisi. Dennis percaya, jurnalisme objektif mungkin jika mengadopsi metode dan prosedur yang dapat membatasi subjektivitas wartawan maupun redaktur (Siahaan, 2001:60-61).

Untuk membuat informasi menjadi lebih bermakna biasanya sebuah media cetak melakukan penonjolan-penonjolan terhadap suatu berita. Dalam pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan


(17)

nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi sebuah berita (Sobur, 2001:163). Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai peluang besar untuk diperhatikan dan mempunyai khalayak dalam memahami realitas karena dalam prakteknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain, serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana (Sobur, 2001:164).

Untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita peneliti memilih analisis framingsebagai metode penelitian. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagaimana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut (Eriyanto, 2005:224).

Dalam membingkai atau mengkonstruksi suatu realitas, antara media cetak satu dengan yang lain terdapat perbedaan. Seperti halnya pada harian Jawa Pos dan Kompas, dimana kedua harian ini memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyeleksi suatu isu dan menulis berita mengenai Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makassar yang berlangsung tanggal 23 – 28 Maret 2010.

Seperti halnya berita tentang Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama yang berlangsung di Makassar pada tanggal 23 – 28 Maret 2010. Peristiwa ini merupakan suatu kejadian yang luas dan erat kaitannya dalam seluruh aspek


(18)

5

kehidupan masyarakat.

Nahdlatul Ulama, atau yang biasa disingkat NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia merupakan sebuah organisasi yang berdampak politik tanpa harus menjadi partai politik. Meskipun dalam sejarahnya, NU pernah menjadi partai politik yang besar pada periode 1952 – 1973.

Tetapi pada saat ini, hakekat keberadaan NU di kancah perpolitikan dinilai akan lebih berdampak jika NU tetap konsisten mengambil jarak dengan kekuasaan dan politik kepartaian. Politik NU tidak partikularistik, tidak mengambil keputusan untuk kepentingan pragmatis-jangka pendek, melainkan untuk kepentingan bangsa Indonesia.

Dalam muktamar sebelumnya, yaitu muktamar ke-31 yang diselenggarakan di Solo pada 2004, NU meneguhkan kembali jati dirinya untuk keluar dari politik praktis dan kembali ke khitthah sebagaimana yang pernah diputuskan dalam muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984. Perjuangan NU lebih difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi dan dakwah. Sementara dalam politik praktis, NU menjaga jarak yang sama terhadap semua partai politik.

Dalam pelaksanaan Muktamar ke-32, diharapkan NU harus bisa kembali ke khitthah-nya. Adapun khitthah ialah landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi, serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. NU sebagai gerakan atau organisasi keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah Subhanahu


(19)

Wa Ta’ala, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tentram, adil dan sejahtera yang dipimpin oleh dewan Syuriah dan Tanfidziyah yang terpilih dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah serta untuk mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia.

Muktamar merupakan forum tertinggi dalam jam’iyah NU yang diselenggarakan oleh PBNU tiap lima tahun sekali. Muktamar membicarakan dan memutuskan masail diniyah (permasalahan yang sedang berkembang untuk dicarikan solusi jawaban dari sisi agama), pertanggungjawaban kepengurusan sebelumnya, masalah-masalah yang bertalian dengan agama, umat dan maslahatul ammah, menetapkan perubahan AD/ART serta memilih pengurus PBNU yang baru, baik Syuriah maupun Tanfidziyah. Diharapkan pula, Syuriah dan Tanfidziyah yang terpilih nantinya adalah sosok pemimpin yang mempunyai intelektualitas tinggi, dan sifat keulamaan yang punya kepedulian pada masyarakat secara riil.

Sebagai organisasi keagamaan terbesar yang bertujuan untuk Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, NU yang telah berusia 84 tahun, juga dilanda berbagai macam konflik dan polemik didalamnya, sehingga menyebabkan goncangan-goncangan, baik pada bidang keagamaan dan kebangsaan yang secara tidak disadari bahwa NU terlalu jauh


(20)

7

memasuki dunia politik praktis. Tidak hanya secara pribadi para pengurus dan anggota NU, tetapi juga secara ke-organisasi-an dengan sedikit melalaikan khitthah-nya.

Pemberitaan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 ini dipilih karena banyak diberitakan oleh media dan dalam membingkai atau mengkonstruksi realitas terdapat perbedaan pada Jawa Pos dan Kompas. Pada awal sebelum pembukaan Muktamar NU ke-32, isu yang dibangun koran Jawa Pos adalah tentang calon ketua umum NU yang akan menjabat dalam struktural keorganisasian NU itu untuk periode berikutnya, serta pemanggilan calon ketua umum tersebut oleh presiden. Sedangkan pada Kompas menampilkan saling klaim dukungan yang diberikan pada para calon ketua umum tersebut. Dan dari segi material isi pemberitaan dapat dikelompokkan dalam berita-berita sosial-politik, selain itu berita ini mempunyai nilai berita (newsvalue) yang cukup tinggi, bersikap aktual, menarik perhatian, serta dianggap penting oleh sebagian besar khalayak pembaca (Sumaridia, 2005:67).

Peneliti menggunakan analisis Framing sebagai metode penelitian. Sebagai analisis teks media, framing merupakan salah satu alternatif model analisis yang dapat mengungkapkan semua perbedaan media dalam mengungkapkan sebuah fakta. Selain itu dengan melalui metode analisis framing akan dapat diketahui siapa mengendalikan siapa, siapa lawan siapa, mana kawan mana lawan, mana patreon mana klien, siapa diuntungkan siapa dirugikan, siapa menindas siapa tertindas, dan seterusnya (Eriyanto, 2004:bab VI). Jadi jelas dengan menggunakan metode framing sebuah realitas diharapkan akan dapat


(21)

terbongkar. Hal yang lain adalah mengetahui bagaimana pembingkaian sebuah berita oleh sebuah media ke dalam bentuk frame sehingga menghasilkan konstruksi makna berita yang spesifik.

Jadi dalam kaitannya dengan redaksional, khususnya dalam hubungan dengan penulisan berita, framing dapat menyebabkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila masing-masing wartawan memiliki frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam bentuk berita. Hal ini dapat menyebabkan dua buah realitas, yakni realitas sosial atau realitas sesungguhnya dan realitas media yang terbentuk setelah melalui beritanya seringkali merupakan hasil pandangan mereka (predisposisi perseptuail) wartawan ketika melihat dan meliput peristiwa. Analisis framing dapat membantu kita untuk mengetahui bagaimana realitas peristiwa yang sama dikemas secara berbeda oleh wartawan sehingga menghasilkan berita yang berbeda (Nugroho dkk, 1999).

Sedangkan untuk perangkat dalam framing yang peneliti gunakan dalam memframingkan berita Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 di Makassar, peneliti memilih memakai perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, karena pada perangkat Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki menyebutkan bahwa framing sebagai cara mengetahui bagaimana suatu media mengemas berita dan mengkonstruksi realitas melalui pemakaian kata, kalimat, lead, hubungan antar kalimat, foto, grafik, dan perangkat lain untuk membantu dirinya mengungkapkan pemaknaan mereka sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Karena berita dilihat terdiri dari berbagai simbol yang disusun lewat perangkat


(22)

9

simbolik yang dipakai, yang akan dikonstruksi dalam memori khalayak. Dengan kata lain tak ada pesan atau stimuli yang bersifat objektif, sebaliknya berita dilihat sebagai seperangkat kode yang membutuhkan interpretasi makna. Teks berita tidak hadir begitu saja sebaliknya teks berita dilihat sebagai teks yang dibentuk lewat struktur dan formasi tertentu, melibatkan proses produksi dan konsumsi dari suatu teks (Eriyanto, 2002:251).

Serta terdapat empat perangkat framing. Pertama, struktur sintaksis yaitu bagaimana wartawan menyusun peristiwa, opini kedalam bentuk susunan berita. Kedua, struktur skrip yaitu berhubungan dengan bagaimana wartawan menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Ketiga, struktur tematik yaitu bagaimana wartawan mengungkapkan pandangan atas peristiwa ke dalam proposisi dan kalimat. Keempat, struktur retoris yaitu bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita (Eriyanto, 2001:254-256).

Alasan peneliti menggunakan perangkat framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, sebab model ini memuat bagaimana wartawan mengkonstruksi dan memproses peristiwa Muktamar NU ke-32 ini baik dari nilai-nilai sosial maupun dari segi pemakaian kalimat, lead maupun perangkat lain untuk mengungkapkan fakta serta pemaknaan sehingga dapat di mengerti oleh pembaca. Sehingga dengan jelas dapat terlihat maksud-maksud yang tersembunyi dalam pembingkaian berita yang dilakukan surat kabar Jawa Pos dan Kompas dalam memberitakan Muktamar NU ke-32 di Makassar. Selain itu model Pan – Kosicki memiliki seluruh elemen framing yaitu makrostruktural, mikrostruktural


(23)

dan retoris dan tidak memakai pembanding berita sebagaimana model William Gamson.

Menurut pengamatan peneliti, pemberitaan mengenai Muktamar NU ke-32 di Makassar menarik untuk dikaji karena baik sebelum Muktamar tersebut berlangsung dan pada saat berlangsung hingga selesai mendapatkan porsi yang besar selama berhari-hari, bahkan terdapat halaman khusus untuk peristiwa Muktamar NU ke-32 ini di media cetak. Dari berbagai fenomena diatas maka sangatlah menarik bagi sebuah institusi media khususnya pemberitaan Muktamar NU ke-32 sebagai berita yang layak dikonsumsi oleh masyarakat karena dari pemberitaan Muktamar NU ke-32 ini akan menambah khasanah media dalam mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi dilapangan.

Hal ini membuat media berlomba-lomba untuk menyajikan berita yang aktual dan menarik pembaca, sehingga wacana yang ditimbulkan penuh sensasi dan kontradiksi. Untuk itulah peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana surat kabar Jawa Pos dan Kompas dalam membingkai berita terutama dalam menyusun, mengisahkan, menulis dan menekankan fakta-fakta mengenai Muktamar NU ke-32 di Makassar.

Alasan peneliti memilih surat kabar Jawa Pos dan Kompas dikarenakan media tersebut memiliki versi pemberitaan yang berbeda. Sehingga isu yang ditampilkan juga berbeda. Alasan lain memilih surat kabar Jawa Pos, karena dalam Jawa Pos pemberitaan tersebut menjadi salah satu headline, adanya unsur kedekatan jarak dengan Jawa Pos yang berasal dari tempat kelahiran NU di Jawa Timur dan peneliti, yang merupakan surat kabar lokal dimana dalam kebijakan


(24)

11

redaksionalnya, surat kabar ini mampu mengadakan kebebasan pers dan tidak hanya mengungkap berita-berita bersifat umum, melainkan juga berita yang bersifat politik. Oleh karena itu dalam penyampaian berita menghendaki dan mengarahkan pada sesuatu yang lain daripada yang lain, dengan menampilkan rubrik tertentu sebagai nominasi unggulan, berita-berita, reportase, gambar kartun, hiburan yang bersifat kreatif, juga tidak ketinggalan berita yang bersifat kesenangan.

Sedangkan untuk perbandingan alasan lain memilih surat kabar Kompas yang mana berita tersebut masuk pada halaman khusus dan merupakan harian yang memiliki gaya penulisan cenderung “tertutup” dan bersahaja dalam menggambarkan realitas yang terjadi di masyarakat, dan Kompas juga memiliki reputasi kedalam analitis dan gaya penulisan yang rapi. Harian Kompas sangat diakui keberadaannya di Indonesia dan tegas dalam menulis realitas. Kompas termasuk media yang menganut system both side covermenyajikan dua sisi yang berbeda (Oetama, 2001:111).

Perbedaan Kompas dan Jawa Pos dalam mengkonstruksi atau membingkai berita dikarenakan adanya perbedaan cara pandang wartawan dari masing-masing media dalam mempersepsikan peristiwa tersebut. Perbedaan dari cara kedua harian tersebut dalam mengemas berita disebabkan adanya perbedaan kebijakan redaksi dan juga perbedaan kebijakan visi dan misi dari masing-masing media tersebut. Dimana visi dan misi Jawa Pos adalah menyajikan surat kabar yang menginformasikan berita kepada khalayak paling baru. Selain itu pemilihan berita harian Jawa Pos dalam penelitian ini, karena Jawa Pos merupakan perusahaan


(25)

pers terbesar kedua dan merupakan koran terbesar ketiga di Indonesia yang berskala nasional, dengan sirkulasi 350.000 eksemplar setiap harinya dan Jawa Pos adalah surat kabar pertama dan sampai sekarang satu-satunya yang berkembang menjadi konglomerat pers melalui konsentrasi secara eksekutif di pasar propinsi (Send and Hill, 2001:69-70). Harian Jawa Pos ini memiliki misi idiil dan misi bisnis sebagai pilar utama untuk kelangsungan hidup perusahaan. Oleh karena itu dalam penyampaian berita menghendaki dan diarahkan pada sesuatu yang lain dari pada yang lain dengan menampilkan rubrik-rubrik tertentu sebagai nominasi unggulan, berita-berita yang paling aktual, reportase, gambar kartun, hiburan-hiburan yang bersifat kreatif, juga tidak ketinggalan berita yang bersifat kesenangan (human interest) (Eduardus, 2001:33).

Sedangkan Kompas merupakan pers nasional yang mempunyai visi dalam keredaksionalnya yaitu manusia dan kemanusiaan, sehingga harian ini berusaha untuk senantiasa peka akan nasib manusia dan mengingatkan yang mapan (Oetama, 2001:147). Dipilihnya harian Kompas merupakan harian yang paling prestisius dan paling laku di Indonesia (lebih setengah juta copy terjual setiap harinya) dan merupakan surat kabar berkualitas terbesar di Asia Tenggara, selain itu Kompas memiliki reputasi kedalam analitis dan gaya penulisan yang rapi. Kompas juga memiliki kerajaan bisnis yang terdiri dari 38 perusahaan yang dikenal sebagai Kompas-Gramedia Group. Melalui berbagai buku, majalah dan surat kabar, Kompas-Gramedia Group mendominasi industri penerbitan (Send and Hill, 2001:68-69). Periode yang dipilih dalam penelitian ini adalah 22 – 28 Maret


(26)

13

2010, karena pada periode tersebut harian Jawa Pos dan Kompas memuat berita-berita mengenai Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 di Makassar.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas didapatkan perumusan masalah sebagai berikut :

“Bagaimana surat kabar Jawa Pos dan Kompas membingkai berita-berita Muktamar NU ke-32 di Makassar berdasarkan perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki?”

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu pada latar belakang masalah serta perumusan masalah yang telah diajukan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah surat kabar Jawa Pos dan Kompas membingkai berita-berita Muktamar NU ke-32 di Makassar berdasarkan perangkat framingZhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan teoritis, yaitu :

a. Memberi ciri ilmiah pada ilmu komunikasi khususnya komunikasi massa, karena salah satu ciri keilmiahan suatu pengetahuan adalah penelitian.

b. Lebih memahami teori-teori komunikasi massa dan memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu komunikasi.


(27)

a. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian dan sumber informasi bagi pihak lain untuk melakukan penelitian.


(28)

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Media Massa, Interpretasi dan Konstruksi Realitas

Istilah interpretasi menunjuk bagaimana gagasan dan pendapatan tertentu dari seseorang atau sekelompok orang ditampilkan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2001:113), sehingga realitas yang terjadi tidaklah digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi digambarkan secara lain. Bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk. Penggambaran yang buruk, cenderung memarjinalkan seseorang atau sekelompok tertentu.

Media dalam memaknai realitas melakukan dua proses. Pertama, pemilihan fakta berdasarkan pada asumsi bahwa jurnalis tidak mungkin tidak melihat tanpa perspektif. Kedua, bagaimana suatu fakta terpilih tersebut disajikan kepada khalayak (Eriyanto, 2001:116). Hal ini tentunya tidak dapat dilepaskan bagaimana fakta dapat diinterpretasikan dan dipahami oleh media.

Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subyek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Media bukan hanya memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa, lewat bahasa, lewat pemberitaan pula, media dapat membingkai dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak


(29)

harus melihat dan memahami peristiwa dalam kacamata tertentu (Eriyanto, 2004:24).

Isi media merupakan hasil para pekerja dalam mengkontruksi berbagai realitas yang dipilihnya untuk dijadikan sebagai sebuah berita, diantaranya realitas politik. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerja media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat diakatakan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang dikonstruksi (Constructed Reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Tuchman dalam Sobur, 2001:83).

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan menggunakan bahwa sebagai perangkatnya. Sedangkan bahasa bukan hanya sebagai alat realitas, namun juga menentukan relief seperti apa yang diciptakan oleh bahasa asing tentang realitas. Akibatnya media massa memiliki peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi gambar yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya (Sobur, 2001:88).

Setiap upaya “menceritakan sebuah peristiwa, keadaan, benda atau apapun, pada hakikatnya adalah usaha mengkonstruksikan realitas, begitu pula dengan profesi wartawan. Pekerjaan utamam wartawan adalah mengisahkan hasil reportasenya kepada khalayak. Dengan demikian mereka selalu terlibat dengan usaha-usaha mengkonstruksi realitas, yakni menyusun fakta yang dikumpulkannya ke dalam suatu bentuk laporan jurnalistik berupa berita (News), karangan khas (Feature), atau gabungan keduanya (News Feature). Dengan


(30)

17

demikian berita pada dasarnya adalah realitas yang telah dikonstruksikan (Constructed Reality) (Sobur, 2001:88).

Penggunaan bahwa tertentu jelas berimplikasi terhadap kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad dalam Sobur (2001:90) bahwa bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas.

Dalam rekonstruksi realitas, bahasa dapat dikatakan sebagai unsur utama. Ia merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi media (Sobur, 2001:91).

2.1.2. Ideologi Media

Konsep ideologi dalam sebuah institusi media massa ikut berpengaruh dalam menentukan arah pemberitaan yang akan disampaikan kepada pembaca. Hal ini disebabkan karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktek ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu (Eriyanto, 2004:13).

Dalam pembuatan berita selalu melibatkan pandangan dan ideologi wartawan atau bahkan media yang bersangkutan. Ideologi ini menentukan aspek fakta dipilih dan membuang apa yang ingin dibuang. Artinya jika seorang wartawan menulis berita dari salah satu sisi, menampilkan sumber dari satu pihak dan memasukkan opininya pada berita semua itu dilakukan dalam rangka pembenaran tertentu. Dapat dikatakan media bukanlah saran yang netral dalam


(31)

menampilkan kekuatan dan kelompok dalam masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan dalam media itulah yang akan ditampilkan dalam berita-beritanya (Eriyanto, 2004:90).

Pada kenyataannya berita dimedia massa tidak pernah netral dan obyektif. Jika kita ihat bahasa jurnalistik yang digunakan media pun selalu dapat ditemukan adanya pemilihan fakta tertentu dan membuang aspek fakta yang lain yang mencerminkan pemihakan media massa pada salah satu kelompok atau ideologi tertentu. Bahasa ternyata tidak pernah lepas dari subyektivitas sang wartawan dalam mengkonstruksi realitas dengan mengetahui bahasa yang digunakan dalam berita, pada saat itu juga kita menemukan ideologi yang dianut oleh wartawan dan media yang bersangkutan.

Konsep ideologi bisa membantu menjelaskan mengapa wartawan memilih fakta tertentu untuk ditonjolkan dari pada fakta yang lain, walaupun hal itu merugikan pihak lain, menempatkan sumber berita yang satu lebih menonjol dari pada sumber yang lain, ataupun secara nyata atau tidak melakukan pemihakan kepada pihak tertentu. Artinya ideologi wartawan dan media yang bersangkutanlah yang secara strategis menghasilkan berita-berita seperti itu. Disini dapat dikatakan media merupakan inti instrumen ideologi yan tidak dipandang sebagai zona netral yaitu sebagai kelompok dan kepentingan ditampung, tetapi media lebih sebagai subyek yang mengkonsumsi realitas atas penafsiran wartawan atau media sendiri untuk disebarkan kepada khalayak (Eriyanto, 2004:92).


(32)

19

Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau pemaknaan. Bagaimana kita melihat peristiwa dengan kacamata dan pandangan tertentu, dalam arti luas adalah sebuah ideologi. Sebab dalam proses melihat dan menandakan peristiwa tersebut, kita menggunakan titik melihat tertentu. Titik atau posisi melihat ini menggambarkan bagaimana dijelaskan dalam kerangka berpikir tertentu (Eriyanto, 2002:130).

Kecenderungan atau perbedaan setiap media dalam memproduksi informasi kepada khalayak dapat diketahui dari pelapisan-pelapisan yang melingkupi institusi media. Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese, seperti dikutip Susilo (2000:19) membuat model “Hierarchy of Influence” yang menjelaskan hal ini :

1. Pengaruh individu-individu pekerja media. Diantaranya adalah karakteristik pekerja komunikasi, latar belakang personal dan profesional.

2. Pengaruh rutinitas media. Apa yang dihasilkan oleh media massa dipengaruhi oleh kegiatan seleksi-seleksi yang dilakukan oleh komunikator, termasuk tenggat (deadline) dan rintangan waktu yang lain, keterbatasan tempat (space), struktur piramida terbalik dalam penulisan berita dan kepercayaan reporter pada sumber-sumber resmi dalam berita yang dihasilkan.

3. Pengaruh organisasional. Salah satu tujuan yang penting dari media adalah mencari keuntungan materiil. Tujuan-tujuan dari media akan berpengaruh pada sisi yang dihasilkan.


(33)

4. Pengaruh dari luar organisasi media. Pengaruh ini meliputi lobi dari kelompok kepentingan terhadap isi media, pseudoeventdari praktisi public relationsdan pemerintah yang membuat peraturan-peraturan di bidang pers.

5. Pengaruh ideologi. Ideologi merupakan sebuah pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh. Ideologi disini diartikan sebagai mekanisme simbolik yang menyediakan kekuatan koherensif yang mempersatukan di dalam masyarakat (Shoemaker, Rees, 1991 dalam Susilo, 2000:19-20).

Bagi Hartley, memandang narasi berita semacam ini, mangadaikan dua belah pihak yang ditampilkan oleh media. Media selalu mempunyai kecenderungan untuk menampilkan tokoh dua sisi, untuk dipertentangkan diantara kedua teks berita, kalau dibedah dari sudut narasinya terdapat dua sisi yang saling bertolak belakang (oposisi). Dalam liputan selalu ditekankan bahwa liputan yang baik adalah liputan dua sisi. Ketika ada peristiwa dicari komentar dari dua orang yang kontras, yang saling bertolak belakang. Ini bukan untuk menunjukkan bahwa dua pendapat tersebut sama-sama benarnya, tetapi untuk menekankan liputan yang bersifat dua sisi tersebut (Eriyanto, 2002:131).

2.1.3. Berita Sebagai Hasil Konstruksi Realitas

Pada dasarnya berita merupakan laporan dari peristiwa. Peristiwa disini adalah realitas atau fakta yang meliputi oleh wartawan dan pada gilirannya akan dilaporkan secara terbuka melalui massa (Birowo, 2004:168).


(34)

21

Peristiwa-peristiwa yang dijadikan berita oleh media massa tertentu melalui proses penyeleksian terlebih dahulu, hanya peristiwa yang memenuhi kriteria kelayakan informasi yang akan diangkut oleh media massa kemudian ditampilkan kepada khalayak (Eriyanto, 2004:26).

Setelah proses penyeleksian tersebut, maka peristiwa itu akan dibingkai sedemikain rupa oleh wartawan. Pembingkaian yang dilakukan oleh wartawan tentunya melalui proses konstruksi. Proses konstruksi atau suatu realitas ini dapat berupa penonjolan dan penekanan pada aspek tertentu atau dapat juga berita tersebut ada bagian yang dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2004:3).

Berita merupakan hasil konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan ataupun dari institusi media, tempat dimana wartawan itu bekerja. Bagaimana realitas tersebut dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami (Birowo, 2004:176).

Peristiwa atau realitas yang sama dapat dibingkai secara berbeda oleh masing-masing media (Sobur, 2001:...). Hal ini terkait dengan visi, misi dan ideologi yang dipakai oleh masing-masing media. Sehigga kandangkala dari hasil pembingkaian tersebut dapat diketahui bahwa media lebih berpihak kepada siapa (jika yang diberitakan adalah seorang tokoh, golongan atau kelompok tertentu). Keberpihakan pemberitaan terhadap salah satu kelompok atau golongan dalam masyarakat, dalam banyak hal tergantung etika, moral dan nilai-nilai. Aspek-aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media. Hal ini merupakan bagian integral dan tida terpisahkan dalam


(35)

membentuk dan mengkonstruksi suatu realitas. Media menjadi tempat pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.

2.1.4. Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Realitas

Wartawan adalah profesi yang dituntut untuk mengungkap kebenaran dan menginformasikan kepada publik seluas mungkin tentang temuan dari fakta-fakta yang berhasil digalinya, apa adanya, tanpa rekayasa, dan tanpa tujuan subyektif tertentu, semata-mata demi pembangunan kehidupan dan peradaban kemanusian yang lebih baik (Djatmika, 2004:25). Sedangkan Walter Litman, menganggap bahwa kerja jurnalistik (tugas wartawan) hanyalah mengumpulkan fakta yang tampak dipermukaan, yang konkrit (Panuju, 2005:27).

Sebagai seorang agen, wartawan telah menjalin transaksi dan hubungan dengan obyek yang diliputnya, sehingga berita merupakan produk dari transaksi antara wartawan dengan fakta yang diliputnya (Eriyanto, 2002:31). Menurut filsafat Common Sense Realism, adanya suatu obyek tidak tergantung pada diri kita dan menempati posisi tertentu dalam ruang. Suatu obyek mencirikan sebagaimana orang mempersepsikannya. Sesungguhnya, relasi antara realitas empiris dengan fakta yang dibangun oleh seorang jurnalis, sangat tergantung pada kemampuan mengorganisasikan elemen-elemen realitas menjadi sederajat makna. Dengan demikian, fakta dalam jurnalis menjadi sangat dinamis, tergantung pada persepsi yang dimiliki dan perspektif (sudut pandang) yang dihadirkan, dan satu lagi tergantung pada pencarian atau penemuan fakta (Panuju, 2005:27).


(36)

23

Setelah proses penyeleksian tersebut, maka peristiwa itu akan dibingkai sedemikian rupa oleh wartawan. Pembingkaian yang dilakukan oleh wartawan tentunya melalui konstruksi. Proses konstruksi atas suatu realitas ini dapat berupa penonjolan dan penekanan pada aspek tertentu atau dapat juga berita tersebut ada bagian yang dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2002:VI). Kata penonjolan (Salience) didefinisikan sebagai alat untuk membuat informasi agar lebih diperhatikan, bermakna dan berkesan (Siahaan, Purnomo, Imawan, Jacky, 2001:78).

Wartawan sebagai individu, memiliki cara berfikir (Frame of Thingking) yang khas atau spesifik dan sangat dipengaruhi oleh acuan yang dipakai dan pengalaman yang dimiliki. Selain itu, juga sangat ditentukan oleh kebiasaan menggunakan sudut pandang. Setiap individu juga memiliki konteks dalam “membingkai” sesuatu sehingga menghasilkan makna yang unik. Konteks yang dimaksud, misalnya senang – tidak senang, menganggap bagian tertentu penting dari bagian lain, dapat juga konsteks sesuai bidang (sosial, ekonomi, keamanan, agama dan lain-lain), juga konteks masa lalu atau masa depan dan seterusnya (Panuju, 2005:3).

Jadi meskipun wartawan punya ukuran tentang “nilai sebuah berita” (News Value), tetapi wartawan juga punya keterbatasan visi, kepentingan ideologis, dan sudut pandang yang berbeda dan bahkan latar belakang budaya dan etnis. Peristiwa itu baru disebut mempunyai nilai berita, dan karenanya layak diberitakan kalau peristiwa tersebut berhubungan dengan elie atau orang yang terkenal, mempunyai nilai dramatis, terdapat unsur humor, human interest, dapat


(37)

memancing kesedihan, keharuan, dan sebagainya. Secara sederhana, semakin besar peristiwa, maka semakin besar pula dampak yang ditimbulkannya, lebih memungkinkan dihitung sebagai berita (Eriyanto, 2005:104).

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan informasi, maka semakin meningkat pula tingkat harga berita. Hipotesis inilah yang telah melahirkan paradigma 5 W + H (What, Who, When, Where, Why, How) bahwa berita tidak sekedar apa, siapa, kapan melainkan juga mengapa dan bagaimana. “Mengapa” adalah diskripsi tentang jalannya peristiwa. Jadi, semakin mendalam penjelasan atas Why dan How, maka semakin tinggi nilai suatu berita, dan tentu saja semakin mahal harga berita tersebut (Pareno, 2005:3).

Oleh karena itu, untuk mengetahui mengapa suatu berita cenderung seperti itu, atau mengapa peristiwa tertentu dimaknai dari dipahami dalam pengertian tertentu, dibutuhkan analisis kognisi sosial untuk menemukan struktur mental wartawan ketika memahami suatu peristiwa. Menurut Van Dijk, analisa kognisi sosial yang memusatkan perhatian pada struktur mental, proses produksi berita. Analisis kognisi sosial menekankan bagaimana peristiwa dipahami, didefinisikan, dianalisis dan ditafsirkan, ditampilkan dalam suatu model dalam memori.

Menurut Berger dan Luckman, realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konseo, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil konstruksi sosial. Realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckman, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarar dengan kepentingan-kepentingan.


(38)

25

Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger dan Luckman ini terdiri dari realitas obyektif, realitas simbolik dan realitas subyektif. Realitas obyektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia obyektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas obyektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subyektif adalah realitas yang berbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke dalam individu, melalui proses internasionalisasi (Bungin, 2001:13).

Wartawan menggunakan model atau skema pemahaman atas suatu peristiwa. Pertama, model ini menentukan bagaimana peristiwa tersebut dilihat. Model ini dlam taraf tertentu menggambarkan posisi wartawan. Wartawan yang berada dalam posisi mahasiswa mempunyai pemahaman dan pandangan yang berbeda dengan wartawan yang telah mempunyai pengalaman. Kedua, model ini secara spesifik menunjukkan opini personal dan emosi yang dibawa tentang mahasiswa, polisi, atau obyek lain. Hasil dari penafsiran dan persepsi ini kemudian dipakai oleh wartawan ketika melihat suatu peristiwa. Tentu saja wartawan yang berbeda dalam hal fokus, titik perhatian dan kemenarikan dibandingkan dengan wartawan lain yang ditentukan diantaranya untuk perbedaan modal yang dimiliki. Disini model adalah prinsip yang dapat digunakan sebagai dasar dalam memproduksi berita (Eriyanto, 2002:268).


(39)

2.1.5. Teori Penjagaan Gerbang (Gate Keeper)

Pandangan seleksi berita (selectivity of news) seringkali melahirkan teori seperti gatekeeper. Intinya, proses produksi berita adalah proses seleksi. Seleksi ini dari wartawan di lapangan yang akan memilih mana yang penting dan mana yang tidak, mana peristiwa yang bisa diberitakan dan mana yang tidak. Setelah itu berita masuk ke tangan redaktur, akan diseleksi lagi dan disunting dengan menekankan bagian mana yang perlu dikurangi dan bagian mana yang perlu ditambah. Pandangan ini mengandaikan seoah-olah ada realitas yang benar-benar riil yang ada di luar diri wartawan. Realitas yang riil itulah yang akan diseleksi oleh wartawan untuk kemudian dibentuk dalam sebuah berita (Eriyanto, 2002:100).

Semua saluran media massa mempunyai sejumlah gatekeeper. Mereka memainkan peranan dalam beberapa fungsi, mereka ini dapat menghapus pesan atau mereka bahkan bisa memodifikasi pesan yang akan disebarkan, merekapun bisa menghentikan sebuah sumber informasi dan tidak membuka “pintu gerbang” (gate) bagi keluarnya informai lain. Bagi Ray Eldon Hiebert, Donald F. Ungurai dan Thomas W. Bohn, gatekeeper bukan bersifat pasif-negatif, tetapi mereka merupakan suatu kekuatan yang kreatif, seperti seorang editor dapat menambahkan pesan dengan mengkombinasikan pesan dari berbagai sumber. Seorang layouter juga bisa menambahkan sesuatu pada gambar atau setting pada media cetak agar kelihatan bagus. Secara umum peran gatekeeeper seiring dihubungkan dengan berita khususnya surat kabar. Editor sering melaksanakan fungsi sebagai gatekeeper ini mereka menentukan apa yang khalayak butuhkan


(40)

27

atau sedikitnya menyediakan bahan bacaan untuk pembacanya. Seolah editor menjadi mata audience sebagaimana mereka menyortir melalui peristiwa sehari-hari sebelum dibaca pembacanya.

Ketika seorang editor menekankan berita secara sensasional dan spektakuler dan juga masalah kriminal ia sedang melaksanakan fungsi

gatekeeping (pentapisan informasi) atau dengan kata lain tugas gatekeeperadalah bagaimana dengan seleksi berita yang dilakukannya pembaca menjadi tertarik untuk membacanya. Oleh karena itu editor diharapkan bisa memilih mana berita yang benar-benar dibutuhkan pembaca dan mana yang tidak, sebab dengan batasan ruangan yang disediakan tidak mungkin semua berita disiarkan. Salah satu alasannya ia harus bersaing dengan iklan-iklan yang masuk yang biasanya tidak lebih dari 40%. Jadi bagaimana membuat berita secara singkat, padat dan jelas sehingga memudahkan pembaca memahaminya. Seorang editor bisa menyuruh reporter untuk melengkapi fakta-fakta dalam beritanya misalnya dengan mengadakan wawancara lagi termasuk jika tulisan yang telah disajikan tidak mencerminkan cover both side. Dengan demikian paling tidak gatekeeper

mempunyai fungsi sebagai berikut : 1) Menyiarkan informasi pada kita; 2) Untuk membatasi informasi yang kita terima dengan mengedit informasi ini sebelum disebarkan ada fakta; 3) Untuk memperluas informasi dengan menambahkan fakta (Nurudin, 2003:111-113).


(41)

2.1.6. Framingdan Proses Produksi Berita

Framing berhubungan dengan proses produksi berita, yang meliputi kerangka kerja dan rutinitas organisasi media. Suatu peristiwa yang dibingkai daam kerangka tertentu dan bukan bingkai yang lain, bukan hanya disebabkan oleh struktur skema wartawan, tetapi juga rutinitas kerja dan institusi media, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemaknaan terhadap suatu peristiwa. Intitusi media dapat mengontrol pola kerja tertentu yang mengharuskan wartawan melihat peristiwa ke dalam kemasan tertentu, atau bisa juga wartawan menjadi bagian dari anggota komunitasnya. Jadi, wartawan hidup dan bekerja dalam suatu instusi yang mempunya pola kerja, kebiasaan, aturan, norma, etika dan rutinitas tersendiri. Dimana semua elemen proses produksi berita tersebut mempengaruhi cara pandang wartawan dalam memaknai peristiwa (Eriyanto, 2005:99-100).

Wartawan adalah profesi yang dituntut untuk mengungkap kebernaran dan menginformasikan ke publik seluas mungkin temuan-temuan dari fakta-fakta yang berhasil digalinya, apa adanya, tanpa rekayasa, dan tanpa tujuan subyektif tertentu. Selain semata-mata demi pembangunan kehidupan dan peradaban manusia yang lebih baik. Sekalipun dampak dari pelaksanaan profesinya itu akan memakan korban seperti pejabat yang korupsi, dokter yang melanggar etika profesi dan sebagainya. Peranan itu harus dilakukannya, karena pers bukanlah petugas hubungan masyarakat (humas) sebuah apartemen, yang hanya berbicara pada sisi-sisi positif dan keberhasilan dari apartemennya serta menyimpan dalam-dalam keburukan dan kebobrokan lembaganya (Djatmika, 2004:25).


(42)

29

Framing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bagaimana awak media mengkonstruksi realitas. Framing berhubungan erat dengan proses editing

(penyuntingan) yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian. Reporter di lapangan menentukan siapa yang akan diwawancarainya, serta pertanyaan apa yang akan diajukan. Redaktur yang bertugas di desk yang bersangkutan, dengan maupun tanpa berkonsultasi dengan redaktur pelaksana atau redaktur umum, menentukan judul apa yang akan diberikan. Petugas tatap mata dengan atau tanpa berkonsultasi dengan para redaktur-redaktur apakah teks berita itu perlu diberi eksentuasi foto, karikatur, atau bahkan ilustrasi mana yang akan dipilih (Eriyanto, 2006:165).

2.1.7. Analisis Framing Termasuk Paradigma Konstruktifis

Analisis framing termasuk kedalam paradigma konstruktivis. Dimana paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan. Paradigma ini juga memandang bahwa realitas kehidupan sosial bukanlah realias yang natural, melainkan hasil dari konstruksi. Sehingga konsentrasi analisisnya adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma ini sering disebut sebagai paradigma produksi dan penukaran makna (Eriyanto, 2002:37).

Konsep framing dari para konstruksionis dalam literatur sosiologi memperkuat asumsi mengenai proses kognitif individuall – perstrukturan kognitif dan teori proses pengendalian informasi dalam psikologi. Framing dalam konsep


(43)

psikologi dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif inidividu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu atau penarikan kesimpulan (Siahaan, Purnomo, Imawan, Jacky, 2001:77).

Yang menjadi titik perhatian pada paradigma konstruktivis adalah bagaimana masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi, saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Pesan yang dibentuk secara bersama-sama antara pengiriman dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana mereka berada. Intinya adalah bagaimana pesai itu dibuat atau diciptakan oleh komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif, ditafsirkan oleh individu sebagai penerima pesan (Eriyanto, 2003:4).

2.1.8. Analisis Framing

Gagasan ide mengenai framing pertamakali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sudibyo dalam Sobur, 2001:161). Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Guffman (1974) yang mengendalikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca realitas (Sobur, 2001:162). Realitas itu sendiri tercipta dalam konsepsi wartawan sehingga


(44)

31

berbagai hal yang terjadi seperti faktor dan orang, didistribusikan menjadi peristiwa yang kemudian disajikan khalayak.

G.J. Aditjondro mendefinisikan framingsebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan menggunakan istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi (Sudibyo dalam Sobur, 2001:165).

Pada analisis framing yang kita lihat adalah bagaimana cara media memakai, memahami dan membingkai sebuah kasus atau peristiwa yang ada dalam berita. Maka jelas adanya framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai suatu analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok atau apa sajalah) dibingkai oleh media (Eriyanto, 2004:3).

Dalam ranah studi komunikasi analisis framing mewakili tradisi yang mengdepankan pendekatan multidisipliner untuk menganalisa fenomena untuk membeda-bedakan cara atau ideologi media saat mengkonstruksikan fakta. Karena konsep framing selalu berkaitan erat dengan proses seleksi isu dan bagaimana menonjolkan aspek dari isu atau realitas tersebut dalam berita. Disini

framing dipandang sebagai penempatan informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu tersebut mendapatkan alokasi yang besar daripada isu-isu yang lain.

Sehingga jelas berdasarkan Gitlin dalam Eriyanto, dengan framingjurnalis memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemaskan


(45)

sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disamping pada khalayak (Eriyanto, 2004:69).

Analisa framing dipakai untuk mengetahui bagaimana realisasi dibingkai oleh media. Dengan demikian realisasi sosial dipahami, dimaknai dan dikonstruksi dengan bentukan dan makna tertentu. Inilah sesunggunya sebuah realitas. Bagaimana media membangun, menyuguhkan, mempertahankan suatu peristiwa kepada pembacanya (Eriyanto, 2004:VI).

2.1.9. Proses Framing

Proses framingsangat berkaitan erat dengan persoalan bagaimana sebuah realitas dikemas dan disajikan dalam perspektif sebuah media. Kemasan (package) disini adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah berita, serta untuk menafsirkan pesan-pesan yang diterima khalayak. Kemasan ini diibaratkan sebagai wadah atau struktur data yang menorganisir sejumlah informasi yang dapat menunjukkan posisi atau kecenderungan posisi atau kecenderungan politik seorang wartawan dalam penyusunan berita, selain itu proses framing juga dapat membantu untuk menjelaskan makna dibalik suatu isu atau peristiwa yang dibingkai oleh sebuah berita. Proses framing juga berkaitan dengan strategi pengolahan dan penyajian informasi dalam hubungannya dengan rutinitas dan konvensi profesional jurnalistik. Dominasi sebuah framedalam suatu wawancara berita bagaimanapun dipengaruhi oleh proses produksi berita dimana terlibat unsur-unsur redaksional, reporter, redaktur dan lainnya. Dengan kata lain


(46)

33

proses framing merupakan bagian integral dari proses redaksional media massa dan menempatkan awak media (wartawan) pada posisi strategis (Sudibyo, 2001:187).

Untuk menekankan pengaruh wartawan dalam proses framing realitas media, Dorothy Nelkin dalam buku Sudibyo (2001:188) menyatakan :

1) By their selection of newsworthy event, journalist identify pressing issues, 2) By their focus controversial issues, they stimulate demands for accountability, 3) By their issues image (“frontiers”, “struggles”), they help to create the judgemental biases that underline public policy.

Analisis framing dipakai untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Dengan demikian realitas sosial difahami, dimaknai dan dikonstruksi dengan bentukan dan makna tertentu. Elemen tersebut manandakan bagaimana peristiwa ditampilkan. Inilah sesungguhnya sebuah realitas, bagaimana media membangun, menyuguhkan dan memproduksi suatu peristiwa kepada pembacanya (Eriyanto, 2004:VI).

perangkat dalam framing yang peneliti gunakan dalam memframingkan berita Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 di Makassar, peneliti memilih memakai perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, terdapat empat perangkat framing. Pertama, struktur sintaksis yaitu bagaimana wartawan menyusun peristiwa, opini kedalam bentuk susunan berita. Kedua, struktur skrip yaitu berhubungan dengan bagaimana wartawan menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Ketiga, struktur tematik yaitu bagaimana wartawan mengungkapkan pandangan atas peristiwa ke dalam proposisi dan kalimat. Keempat, struktur retoris yaitu bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita (Eriyanto, 2001:254-256).


(47)

Alasan peneliti menggunakan perangkat framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, mengutip Jisuk Woo, paling tidak ada tiga kategori besar elemen framing, yaitu :

1. Level Makrostruktural, dimana pada level ini dapat kita lihat sebagai pembingkaian dalam tingkat wacana.

2. Level Mikrostruktural, dimana pada level ini elemen ini memusatkan perhatian pada bagian atau sisi mana dari peristiwa tersebut yang ditonjolkan dan bagian atau sisi mana yang dilupakan/dikecilkan.

3. Elemen Retoris, dimana elemen ini memusatkan perhatian pada bagaimana fakta ditekankan.

Berdasarkan ketiga kategori tersebut maka model-model framing yang ada dapat digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel 2.1 Kategori model framing

Model Makrostruktural Mikrostruktural Retoris

Murray Edelman V V

Robert N. Entman V V

William Gamson V V V

Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

V V V

Sumber : Eriyanto, 2002, “Analisis Framing”, LKIS, Yogyakarta hal :288

Berdasarkan tabel tersebut model framing William Gamson dan Zhongdan Pan – Gerald M. Kosicki memiliki ketiga kategori framing. Tetapi model William Gamson memerlukan pembanding berita yang sama. Sedangkan model Zhongdan Pan – Gerald M. Kosicki tidak memerlukan pembanding berita yang sama.


(48)

35

Berdasarkan berita-berita obyek penelitian lebih tepat menggunakan perangkat framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, sebab tidak semua berita memiliki pembanding

2.1.10. Perangkat FramingZhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki

Analisis dalam penelitian menggunakan model Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki, analisis framing ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam menganalisis teks media disamping analisis isi kuaitatif. Analisis framingdilihat sebagaimana wacana publik tentang suatu isu atau kebijakan dikonstruksikan dan dinegosiasikan (Eriyanto, 2002:251).

Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih dari pada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut. Menurut Pan dan Kosicki, ada dua konsepsi dari

framingyang saling berkaitan. Pertama, dalam konsepsi psikologi, framingdalam konsepsi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya. Framing berkaitan dengan struktur dan proses kognitif, bagaimana seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditunjukkan dalam skema tertentu.

Framing disini dilihat sebagai suatu penempatan informasi dalam suatu konteks yang unik atau khusus dan menempatkan elemen tertentu dari suatu isu dengan penempatan lebih menonjol dalam kognisis seseorang. Elemen-elemen yang diseleksi dari suatu isu atau peristiwa tersebut menjadi lebih penting dalam mempengaruhi pertimbangan dalam membuat keputusan tentang realitas, kedua, konsepsi sosiologis, pandangan sosiologis lebih melihat pada bagaimana


(49)

konstruksi sosial atas realitas. Frame disini dipahami sebagai proses bagaimana seseorang mengklarifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas diluar dirinya. Frame disini berfungsi membuat suatu realitas menjadi teridentifikasi, dipahami dan dapat dimengerti karena sudah dilabeli dengan label tertentu (Eriyanto, 2002:252).

Dalam pendekatan ini perangkat framing dibagi menjadi empat struktur besar yaitu struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik dan struktur retoris. Penjelasan lebih lanjut tentang keempat struktur tersebut sebagai berikut :

A. Sintaksis

Struktur sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa – pertanyaan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa – kedalam bentuk susunan kisah berita. Dengan demikian, struktur sintaksis ini bisa diamati dari bagan berita (headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, sumber yang dikutip, dan sebagainya). Bentuk sintaksis yang paling populer adalah struktur Piramida Terbalik, dimana bagian yang diatas lebih penting dibandingkan bagian yang dibawahnya. Unit yang diamati dalam struktur sintaksis, antara lain :

a) Headline/Judul Berita

Headline merupakan aspek sintaksis dari wacana berita dengan tingkat kemenonjolan yang tinggi yang menunjukkan kecenderungan berita. Pembaca cenderung lebih mengingat headline yang dipakai dari pada bagian berita. Headline mempunyai framing yang kuat. Headline


(50)

37

pengertian isu dan peristiwa sebagaimana mereka beberkan. Selain

headline, lead adalah perangkat sintaksis lain yang sering digunakan. Lead

yang baik umumnya memberikan sudut pandang dari berita, menunjukkan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan.

Berkenaan dengan judul berita, biasanya judul dibuat semenarik mungkin, to attack the reader. Didalam pers atau media cetak, hal itu lebih jelas lagi, karena judul dicetak bervariasi. Dengan teknik grafika yaitu tipe-tipe huruf, judul menonjolkan suatu berita, sehingga dapat lebih menarik orang yang membacanya.

Posisi judul dianggap penting karena sekilas kalau pembaca atau melihat media massa, maka yang terbaca judulnya dahulu. Judul berita (headline) pada dasarnya mempunyai 3 fungsi (Sobur, 2002:76), yaitu mengiklankan cerita atau berita, meringkaskan atau mengikhtisarkan cerita dan memperbagus halaman. Dalam judul berita tidak diizinkan mencantumkan sesuatu yang bersifat pendapatan atau opini (Sobur, 2002) b) Lead/Teras Berita

Lead yang baik umumnya memberikan sudut pandang dari berita, menunjukkan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan (Eriyanto, 2002:258). Para wartawan sering berseloroh mengemukakan bahwa menulis lead, katanya, sama dengan mencium seorang gadis. Dengan ungkapana ini wartawan ingin menunjukkan bahwa jika lead sudah didapat, maka bagian-bagian yang lainnya akan mudah dituliskan. Lead


(51)

rumus 5W+H (who, what, when, where, why, how), (2) menekankan news feature of the story dengan menempatkan pada posisi awal, dan (3) memberikan identifikasi cepat tentang orang, tempat dan kejadian yang dibutuhkan bagi pemahaman cepat berita itu (Sobur, 2002:77).

c) Informasi

Ketika menulis berita biasanya dikemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Ini merupakan cerminan ideologis, dimana komunikator dapat menyajikan latar belakang dapat juga tidak, bergantung pada kepentingan mereka (Sobur, 2002:79). Latar umumnya ditampilkan di awal sebelum pendapat wartawan yang sebenarnya muncul dengan maksud mempengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapat wartawan sangat beralasan. Karena itu latar membantu menyelidiki bagaimana seseorang memberi pemaknaan atas suatu peristiwa (Eriyanto, 2002:258).

d) Kutipan Sumber

Pengutipan sumbe berita dalam penelitian berita dimaksudkan untuk membangun obyektivitas-prinsip keseimbagan dan tidak memihak. Ini juga merupakan bagian berita yang menekankan bahwa apa yang ditulis oleh wartawan bukan pendapat wartawan semata, melainkan pendapat orang dari orang yang mempunyai otoritas tertentu. Pengutipan sumber menjadi perangkat framingtas tiga hal. Pertama, mengklaim validitas atau keberadaan dari pernyataan yang dibuat dengan


(52)

39

mendasarkan diri pada klaim otoritas akademik. Wartawan bisa jadi mempunyai pendapat tersendiri atas suatu peristiwa, pengutipan itu digunakan hanya untuk memberi bobot atas pendapata yang dibuat bahwa pendapat itu tidak omong kosong, tetapi didukung oleh ahli yang berkompeten. Kedua, menghubungkan poin tertentu dari pemandangannya kepada pejabat yang berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau pandangan tertentu yang dihubungkan dengan kutipan atau pandangan mayoritas sehingga pandangan tesebut tampak sebagai menyimpan (Eriyanto, 2002:259).

B. Skrip

Laporan berita sering disusun sebagai suatu cerita. Hal ini dikarenakan dua hal. Pertama, banyak laporan berita yang berusaha menunjukkan hubungan, peristiwa yang ditulis merupakan kelanjutan dari peristiwa sebelumnya. Kedua, berita umumnya mempunyai orientasi menghubungkan teks yang ditulis dengan lingkungan komunal pembaca. (Eriyanto, 2006:260). Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah 5W + H (who, what, when, where, why dan how). Meskipun pola ini tidak selalu dapat dijumpai dalam setiap berita yang ditampilkan, kategori informasi ini yang diharapkan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi penanda framingyang penting. (Eriyanto, 2006:260-261).

C. Tematik

Bagi Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian hipotesis: peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip, dan pernyataan yang diungkapkan


(53)

– semua perangkat itu digunakan untuk membuat dukungan yang logis bagi hipotesis yang dibuat. Tema yang dihadirkan atau dinyatakan secara tidak langsung atau kutipan sumber dihadirkan untuk mendukung hipotesis. Pengujian hipotesis ini kita gunakan untuk menyebut struktur tematik dari berita. Struktur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa itu diungkap atau dibuat oleh wartawan. Struktur tematik berhubungan dengan fakta itu ditulis, bagaimana kalimat yang dipakai, bagaimana menempatkan dan menulis sumber ke dalam teks berita secara keseluruhan.

Dalam menulis berita, seorang wartawan mempunyai tema tertentu atas suatu peristiwa. Ada beberapa elemen yang diamati dari perangkat tematik ini. Diantaranya adalah koherensi: pertalian atau jalinan antar kata, proposisi atau kalimat. Ada beberapa macam koherensi. Pertama, koherensi sebab-akibat, proposisi atau kalimat satu dipandang akibat atau sebab dari proposisi atau kalimat lain. Kedua, koherensi penjelas, proposisi atau kalimat satu dilihat sebagai penjelas proposisi atau kalimat lain (Eriyanto, 2006:262-264).

D. Retoris

Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris dari wacana berita menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran.


(54)

41

Selain lewat kata, penekanan pesan dalam berita itu juga dapat dilakukan dengan menggunakan unsur grafis. Dalam wacana berita, grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Elemen grafis juga muncul dalam bentuk foto, gambar dan tabel untuk mendukung gagasan atau bagian lain yang tidak ingin ditonjolkan (Eriyanto, 2006:264-266).

2.2. Kerangka Berpikir

Pekerjaan sebuah media pada dasarnya adalah sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan pembentukan realitas. Pada dasarnya realitas bukan sesuatu yang telah tersedia, yang tinggal ambil wartawan. Sebaliknya semua pekerja jurnalis pada dasarnya adalah agen: bagaimana peristiwa yang acak, kompleks disusun sedemikian rupa sehingga membentuk suatu berita. Wartawanlah yang mengurutkan, membuat teratur, menjadi mudah dipahami, dengan memilih aktor-aktor yang diwawancarai, sehigga membentuk suatu kisah yang dibaca oleh khalayak. Dalam hal ini surat kabar harian Jawa Pos berusaha mengemas berita-berita mengenai Mukatamar NU ke-32 di Makassar pada edisi 22 – 28 Maret 2010.

Berita yang merupakan hasil konstruksi realitas dari sebuah proses manajamen radaksiona ternyata tidak selalu menghasilkan makna yang sama seperti yang diharapkan wartawan dalam diri khalayak pembacanya. Berita tidaklah mencerminkan realitas sosial yang direkamnya. Berita yang ada di media dapat memberikan realitas yang sama sekali berbeda dengan realitas sosialnya.


(55)

Demikian halnya dengan berita Muktamar NU ke-32 di Makassar, surat kabar Jawa Pos dan Kompas akan memiliki sudut pandang yang berbeda dalam pemberitaanya masing-masing mengenai realitas yang sama. Khususnya pemberitaan mengenai Muktamar NU ke-32 di Makassar.

Pemberitaan pada dua media tersebut cenderung berbeda. Kecenderungan atau perbedaan setiap media dalam memproduksi berita pada khalayak dapat diketahui dari pelapisan yang melingkupi instusi media. Yang mana dari redaksional itu dipengaruhi oleh konsep penjagaan gerbang seperti apa nantinya yang akan ditampilkan oleh khalayak.

Berita-berita seputar Muktamar NU ke-32 di Makassar yang muncul di harian Jawa Pos dan Kompas tersebut akan dianalisis menggunakan analisis

framingmodel Pan dan Kosicki, karena model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide. Frame ini adalah suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita (seperti kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu) kedalam teks secara keseluruhan. Model analisis framing ini terbagi menjadi empat struktur yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris.

Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam satu koherensi global. Keempat struktur ini merupakan suatu rangkaian yang dapat mewujudkan


(56)

43

Tabel 2.2 Kerangka Berpikir

Berita Muktamar

Nahdlatul Ulama Ke

-32 di Makassar STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK Cara wartawan menulis

fakta

RETORIS Cara wartawan menekankan fakta

PERANGKAT FRAMING

1. Skema berita

2. Kelengkapan berita

3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti 7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora

UNIT YANG DIAMATI

Headline, lead, latar informasi, kutipan, sumber pernyataan,

penutup

Paragraf, proposisi


(57)

44 3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis framing. Analisis framing digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok dan lain sebagainya) di konstruksi oleh media dengan cara dan teknik apa peristiwa ditekankan dan ditonjolkan. Apakah dalam berita itu ada bagian yang dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan semua elemen tersebut tidak hanya bagian dari teknis jurnalistik, menandakan bagaimana peristiwa dimaknai dan ditampilkan (Eriyanto, 2004:3).

Dalam analisis framing terdapat instrumen metodologis atau perangkat framing yang dipakai untuk mengkonstruksi sebuah wacana berita dengan melakukan penonjolan-penonjolan tertentu, metode analisis framing sangat tepat digunakan untuk menangkap kecenderungan sikap dan perspektif media dalam pemberitaannya.

perangkat dalam framing yang peneliti gunakan dalam memframingkan berita Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 di Makassar, peneliti memilih memakai perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, terdapat empat perangkat framing. Pertama, struktur sintaksis yaitu bagaimana wartawan menyusun peristiwa, opini kedalam bentuk susunan berita. Kedua, struktur skrip yaitu berhubungan dengan bagaimana wartawan menceritakan peristiwa ke dalam


(58)

45

bentuk berita. Ketiga, struktur tematik yaitu bagaimana wartawan mengungkapkan pandangan atas peristiwa ke dalam proposisi dan kalimat. Keempat, struktur retoris yaitu bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita (Eriyanto, 2001:254-256).

Alasan peneliti menggunakan perangkat framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, sebab model ini memuat bagaimana wartawan mengkonstruksi dan memproses peristiwa Muktamar NU ke-32 ini baik dari nilai-nilai sosial maupun dari segi pemakaian kalimat, lead maupun perangkat lain untuk mengungkapkan fakta serta pemaknaan sehingga dapat di mengerti oleh pembaca. Sehingga dengan jelas dapat terlihat maksud-maksud yang tersembunyi dalam pembingkaian berita yang dilakukan surat kabar Jawa Pos dan Kompas dalam memberitakan Muktamar NU ke-32 di Makassar.

3.2. Subyek dan Obyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah surat kabar Jawa Pos dan Kompas. Sedangkan obyek dari penelitian ini adalah berita-berita tentang Muktamar NU ke-32 di Makassar tanggal 22 – 28 Maret 2010 yang dimuat oleh kedua surat kabar pada halaman pertama.

3.3. Unit Analisis

Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah unit reference, yaitu unit yang digunakan untuk menganalisis kalimat dan kata yang dimuat


(1)

109

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Surat kabar Jawa Pos memframe berita Proses pemilihan Rais Am dan Ketua Tanfidziyah periode 2010-2015 yang berlangsung dengan drama, penuh rivalitas dan ketegangan. lebih menunjukkan proses pemilihan ketua umum yang lebih intens dibandingkan dengan pemilihan Rais Am, hal ini ditunjukkan dengan foto yang menggambarkan ketua umum terpilih Said Aqil Siradj dengan rivalnya dalam pemilihan ketua umum, Slamet Effendy Yusuf. Tetapi tetap menunjukkan foto pemilihan rais am yang dramatis dengan mundurnya Hasyim Muzadi yang tergambar dengan jelas dikelilingi oleh pendukungnya. Penggunaan kata “legawa” digunakan untuk memperjelas, bahkan sedikit memaksa untuk menerima keadaan. 2. Proses pemilihan Rais Am dan Ketua Tanfidziyah periode 2010-2015

yang mencerminkan sebuah tradisi yang telah mengakar sejak berdirinya Nahdlatul Ulama. Sebuah cerminan dari demokrasi ahlussunnah wal jamaah. menekankan kepada masih kuatnya tradisi demokrasi Nahdlatul Ulama dalam proses muktamar NU ke 32 di Makassar. Khususnya tradisi dalam pemilihan Rais Am dan ketua umum PBNU. Dan penonjolan kuatnya tradisi demokrasi Nahdlatul Ulama itu dirunutkan prosesnya


(2)

110

dalam pemberitaan, serta komentar yang mendukung. menonjolkan beberapa kata-kata yang dianggap buruk seperti “intrik”, “ kampanye hitam” dan “propaganda” sebagai kata yang benar-benar sangat terlihat tabu/dilarang dan tidak sepantasnya ada dalam proses muktamar. Hal ini kemudian diperjelas dengan kalimat “tidak mampu mengalahkan penghormatan dan penghargaan”.

5.2. Saran

Analisa framing cocok digunakan untuk melihat masalah sosial budaya suatu wacana, khususnya hubungan antar berita ideologi, yakni proses mengenai berita membangun, mempertahankan dan mengubah suatu ideologi. Karena itulah sang wartawan harus berhati-hati untuk mengantisipasi setiap resiko yang timbul sebagai akibat dari pemberitaan yang mereka lakukan karena tugas seorang wartawan sebenarnya bukan mengungkap suatu kebenaran.

Frame yang dilakukan oleh masing-masing institusi pers terhadap suatu realitas tertentu dapat menunjukkan keberpihakan atau dukungan maupun sikap menentang terhadap realitas tersebut. Seperti halnya pada surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas, apabila Jawa Pos lebih memfokuskan atau memframe bahwa adanya proses rivalitas dan ketegangan antar kubu pendukung yang pada akhirnya menghasilkan drama yang menarik untuk dikaji. Sedangkan Kompas lebih memperlihatkan bahwa apa yang terjadi merupakan landasan budaya / tradisi yang masih melekat erat sejak dilahirkan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Birowo, M. Antonius, 2004, “Metode Penelitian Komunikasi”, Yogyakarta, Gitanyali.

Bungin, Burhan, 2001, “Imaji Media Massa”, Yogyakarta, Jendela. Eriyanto, 2001, “Analisis Wacana”, Yogyakarta, LKIS.

_______, 2002, “Analisis Framing”, Yogyakarta, LKIS.

_______, 2004, “Analisis Framing Konstruksi, Ideologi dan Politik Media” Yogyakarta, LKIS.

_______, 2005, “Analisis Framing Konstruksi, Ideologi dan Politik Media” Yogyakarta, LKIS.

Mc. Quail, Dennis, 2000, “Teori Komunikasi Massa”, Suatu Pengantar, Jakarta. PT. Erlangga.

Nugroho, dkk, 1999, “Politik Media Mengemas Berita”, Jakarta, ISAI. Nurudin, 2003, “Komunikai Massa” Malang, Cespur.

Panuju, Redi, 2005, “Nalar Jurnalistik : Dasarnya Dasar-Dasar Jurnalistik”, Malang, Bayumedia.

Pareno, H. Sam Abede, 2005, “Manajemen Berita Antara Idealisme dan Realita”, Surabaya, Papyrus.

Rivers, William L; Wjensen Theodore Peterson, 2003, “Media Massa dan Masyarakat Modern”, Jakarta, Kencana.

Siahaan, Hotman M., 2001, “Pers yang Gamang” Jakarta, LSPS – ISAI.

Sobur, Alex, 2001, “Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing”, Bandung Remaja Rosdakarya.

_______, 2002, “Analisis Teks Media”, Bandung, Remaja Rosdakarya. _______, 2003, “Semiotik Komunikasi”, Bandung, Remaja Rosdakarya.


(4)

_______, 2006, “Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing”, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Sudibyo, Agus, 2001, “Politik Media dan Pertarungan Wacana”, Yogyakarta, LKIS.

Sumadiria, Haris, 2005, “Jurnalistik Indonesia”, Bandung, Simbiosa Rekatama Media.

Non Buku :

Jawa Pos, Edisi 22 – 28 Maret 2010. Kompas, Edisi 22 – 28 Maret 2010.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Birowo, M. Antonius, 2004, “Metode Penelitian Komunikasi”, Yogyakarta, Gitanyali.

Bungin, Burhan, 2001, “Imaji Media Massa”, Yogyakarta, Jendela. Eriyanto, 2001, “Analisis Wacana”, Yogyakarta, LKIS.

_______, 2002, “Analisis Framing”, Yogyakarta, LKIS.

_______, 2004, “Analisis Framing Konstruksi, Ideologi dan Politik Media” Yogyakarta, LKIS.

_______, 2005, “Analisis Framing Konstruksi, Ideologi dan Politik Media” Yogyakarta, LKIS.

Mc. Quail, Dennis, 2000, “Teori Komunikasi Massa”, Suatu Pengantar, Jakarta. PT. Erlangga.

Nugroho, dkk, 1999, “Politik Media Mengemas Berita”, Jakarta, ISAI. Nurudin, 2003, “Komunikai Massa” Malang, Cespur.

Panuju, Redi, 2005, “Nalar Jurnalistik : Dasarnya Dasar-Dasar Jurnalistik”, Malang, Bayumedia.

Pareno, H. Sam Abede, 2005, “Manajemen Berita Antara Idealisme dan Realita”, Surabaya, Papyrus.

Rivers, William L; Wjensen Theodore Peterson, 2003, “Media Massa dan Masyarakat Modern”, Jakarta, Kencana.

Siahaan, Hotman M., 2001, “Pers yang Gamang” Jakarta, LSPS – ISAI.

Sobur, Alex, 2001, “Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing”, Bandung Remaja Rosdakarya.

_______, 2002, “Analisis Teks Media”, Bandung, Remaja Rosdakarya. _______, 2003, “Semiotik Komunikasi”, Bandung, Remaja Rosdakarya.


(6)

_______, 2006, “Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing”, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Sudibyo, Agus, 2001, “Politik Media dan Pertarungan Wacana”, Yogyakarta, LKIS.

Sumadiria, Haris, 2005, “Jurnalistik Indonesia”, Bandung, Simbiosa Rekatama Media.

Non Buku :

Jawa Pos, Edisi 22 – 28 Maret 2010. Kompas, Edisi 22 – 28 Maret 2010.