HUBUNGAN KADAR HEMATOKRIT DENGAN DERAJAT PREEKLAMSIA

(1)

commit to user

HUBUNGAN KADAR HEMATOKRIT DENGAN DERAJAT PREEKLAMSIA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

VENNY YULIANTI GANA G 0007024

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

commit to user

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul :

Hubungan Kadar Hematokrit dengan Derajat Preeklamsia

Venny Yulianti Gana, NIM/Semester : G0007024, Tahun : 2010

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Kamis, Tanggal 21 Oktober 2010

Pembimbing Utama

Nama : Dr. Supriyadi Hari R, dr., Sp.OG

NIP : 196103091988021001 ...

Pembimbing Pendamping

Nama : Heru Priyanto, dr., Sp.OG (K)

NIP : 140350794 ...

Penguji Utama

Nama : Dr. H. Soetrisno, dr., Sp.OG (K)

NIP : 195303311982021003 ...

Anggota Penguji

Nama : Isdaryanto, dr., MARS

NIP : 195003121976101001 ...

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., MKes Prof. Dr. H. A. A. Subijanto, dr., MS


(3)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 2010

Venny Yulianti Gana G0007024


(4)

commit to user

iv

ABSTRAK

Venny Yulianti Gana, 2010. Hubungan Kadar Hematokrit dengan Derajat Preeklamsia. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia, dan untuk mengetahui prediktor perubahan derajat preeklamsia berdasarkan kadar hematokrit.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan Juni 2010 di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr Moewardi Surakarta. Pengambilan sampel dilaksanakan secara fixed exposure sampling, yaitu penyakit preeklamsia/eklamsia. Data yang dapat dianalisis sebanyak 90 sampel, diperoleh dari rekam medis pasien preeklamsia/eklamsia di RSUD Dr Moewardi. Data kemudian dianalisis antar kelompok, kelompok preeklamsia ringan dengan preeklamsia berat, dan kelompok preeklamsia berat dengan eklamsia, menggunakan uji t Independent, dan prosedur Receiver Operating Characteristic.

Hasil Penelitian: Dari penelitian ini, uji t Independent kelompok preeklamsia ringan dan preeklamsia berat menunjukkan p = 0,01, dan untuk kelompok preeklamsia berat dan eklamsia p = 0,10 ; nilai ambang kadar hematokrit perubahan preeklamsia ringan ke preeklamsia berat adalah kadar 36,15%, dengan hasil uji Tabulasi Silang menunjukkan p = 0,03 dan OR = 3, dan nilai ambang untuk perubahan preeklamsia berat ke eklamsia adalah kadar 38,30%, dengan hasil uji Tabulasi Silang menunjukkan p = 0,60 dan OR = 1,3.

Simpulan Penelitian: Ada hubungan yang bermakna secara statistik antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat, dan tidak ada hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan preeklamsia berat menjadi eklamsia ; nilai ambang kadar hematokrit perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat adalah 36,15%, dan nilai ambang kadar hematokrit perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia adalah 38,30%.


(5)

commit to user

v

ABSTRACT

Venny Yulianti Gana, 2010. The Relationship Between Hematocrit Level and Preeclampsia Severity. Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective of research: This research aims to find out whether or not there is a relationship between the increase in hematocrit level and the increase in preeclampsia severity, and predictor of preeclampsia severity changing based on the hematocrit level.

Research Method: This study belongs to an observational analytical research with cross-sectional approach taken palace in June 2010 in Obstetric and Gynecology Department of Surakarta Dr. Moewardi Local Public Hospital. The sample was taken using fixed exposure sampling technique, namely preeclampsia/eclampsia disease. The data that could be analyzed consisted of 90 samples, obtained from the medical record of preeclampsia/eclampsia patients in Dr. Moewardi Local Public Hospital. The data was then analyzed between groups, mild preeclampsia and severe preeclampsia groups, severe preeclampsia and eclampsia groups, using t Independent test and Receiver Operating Characteristic procedure.

Result of Research: From the research, the result of t Independent test on mild preeclampsia and severe preeclampsia groups shows p = 0,01, and for severe preeclampsia and eclampsia groups p = 0,10 ; the hematocrit level threshold for the change from mild preeclampsia to severe preeclampsia is 36,15%, with the cross-tabulation test result showing p = 0,03 and OR = 3, while the threshold for the change from severe preeclampsia and eclampsia is 38,30%, with the cross-tabulation test result showing p = 0,60 and OR = 1,3.

Conclusion: There is a statistically significant relationship between the increase in hematocrit level and the increase of mild preeclampsia to severe preeclampsia, and there is no relationship between the increase in hematocrit level and the increase of severe preeclampsia to eclampsia ; the hematocrit level threshold for the change from mild preeclampsia to severe preeclampsia is 36,15% and the threshold for the change from severe preeclampsia and eclampsia is 38,30%.


(6)

commit to user

vi

PRAKATA

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Hubungan Kadar Hematokrit dengan Derajat Preeklamsia.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Supriyadi Hari R, dr., Sp.OG selaku Pembimbing Utama yang telah memberi bimbingan, saran, dan petunjuk guna penyusunan skripsi ini.

2. Heru Priyanto, dr., Sp.OG (K) selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberi bimbingan dan saran.

3. Dr. H. Soetrisno, dr., Sp.OG (K) selaku Penguji Utama yang telah memberi saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Isdaryanto, dr., MARS selaku Anggota Penguji yang telah memberi masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Drg. R. Basoeki Soetardjo, MMR selaku Direktur RSUD Dr Moewardi Surakarta.

6. Prof. Dr. A.A. Subijanto, MS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Muthmainah, dr., MKes. selaku Ketua Tim Skripsi FK-UNS beserta Staf yang telah memberi pengarahan.

8. Papa Ayi Gana, mama Jaswati Rahmat, babang Edvan Gana Senjaya, dan adik Fauzan Hafizh, yang telah memberikan semangat hingga selesainya skripsi ini. 9. Tofan Rakayudha, Intan Rengganis, Adhitya Indra, Samuel H. R. Sinaga, Nurul Ramadhian, Afifah Nur R., Aldila Ayudia A., Tiur E. Situmorang, Sanny Kusuma Sari, Tarida D. Simanjuntak., Monika Sitio, dan teman-teman angkatan 2007.

10. Pihak Rekam Medik dan Bagian Obstetrik Ginekologi RSUD Dr Moewardi, yang telah memberi bantuan dalam penelitian ini.

Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, 2010


(7)

commit to user

vii

DAFTAR ISI

halaman

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II LANDASAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

1. Preeklamsia... 5

2. Eklamsia ... 17

3. Hematokrit ... 20

4. Hubungan Preeklamsia/ Eklamsia dengan Hematokrit ... 21

B. Kerangka Berpikir ... 22

C. Hipotesis ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25


(8)

commit to user

viii

B. Lokasi Penelitian ... 25

C. Subyek Penelitian ... 25

D. Teknik Sampling ... 26

E. Rancangan Penelitian ... 27

F. Identifikasi Variabel ... 27

G. Definisi Operasional Variabel ... 27

H. Instrumen Penelitian ... 31

I. Analisis Data ... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 32

A. Karakteristik Sampel Penelitian ... 32

B. Uji Normalitas Data ... 33

C. Uji Beda Rerata Sampel Penelitian ... 35

D. Hasil Analisis Kadar Hematokrit ... 37

E. Nilai Ambang (Cut-Off Point) ... 40

BAB V PEMBAHASAN ... 44

A. Karakteristik Sampel Penelitian ... 44

B. Hubungan Kadar Hematokrit dengan Derajat Preeklamsia ... 46

C. Nilai Ambang Hematokrit untuk Perubahan Derajat Preeklamsia ... 47

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 51

A. Simpulan ... 51

B. Saran... 52 DAFTAR PUSTAKA


(9)

commit to user

ix

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1 Variasi Kadar Normal Hematokrit ... 20

Tabel 2 Sebaran dan Keragaman Data Sampel Penelitian ... 32

Tabel 3 Hasil Uji Normalitas Data ... 34

Tabel 4 Hasil Uji Beda Rerata Kelompok PER dan PEB ... 35

Tabel 5 Hasil Uji Beda Rerata Kelompok PEB dan Eklamsia ... 36

Tabel 6 Distribusi Rerata Kadar Hematokrit pada PER, PEB, dan Eklamsia ... 37

Tabel 7 Hasil Uji Normalitas Kadar Hematokrit... 39

Tabel 8 Tabulasi Silang Nilai Ambang Kadar Hematokrit untuk Perubahan PER menjadi PEB ... 42

Tabel 9 Tabulasi Silang Nilai Ambang Kadar Hematokrit untuk Perubahan PEB menjadi Eklamsia ... 43


(10)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1 Distribusi Rerata Kadar Hematokrit (%) Pada Preeklamsia

Ringan dan Preeklamsia Berat ... 38

Gambar 2 Distribusi Rerata Kadar Hematokrit (%) Pada Preeklamsia

Berat dan Eklamsia ... 38

Gambar 3 Hubungan Kadar Hematokrit dengan Nilai Sensitivitas dan

Spesifisitas untuk Perubahan PER menjadi PEB ... 41

Gambar 4 Hubungan Kadar Hematokrit dengan Nilai Sensitivitas dan


(11)

commit to user

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari FKUNS

Lampiran 2. Surat Pengantar Penelitian Bag. Pendidikan dan Penelitian RSUD Dr Moewardi

Lampiran 3. Hasil Analisis Sampel Penelitian

Lampiran 4. Hasil Analisis Kadar Hematokrit

Lampiran 5. Nilai Ambang Kadar Hematokrit

Lampiran 6. Lembar Pengumpulan Data


(12)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Preeklamsia dan eklamsia merupakan kesatuan penyakit, yang termasuk dalam penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan, walaupun belum jelas bagaimana hal itu terjadi. Istilah kesatuan penyakit harus diartikan bahwa kedua peristiwa dasarnya sama dan bahwa eklamsia merupakan peningkatan yang lebih berat dan berbahaya dari preeklamsia, dengan tambahan gejala-gejala tertentu (Prawirohardjo, 2007).

Frekuensi eklamsia bervariasi antara satu negara dan yang lain. Frekuensi rendah pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya pengawasan antenatal yang baik, dan penanganan preeklamsia yang sempurna. Di negara-negara yang sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3% - 0,7%, sedang di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaitu 0,05% - 0,1% (Prawirohardjo, 2007). Adapun di Indonesia eklamsia (24%) masih merupakan sebab utama kematian maternal dan perinatal dalam bidang obstetrik di samping perdarahan (28%) dan infeksi (11%) (Karkata, 2006).

Dari berbagai pengumuman, diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% - 25,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9% (Prawirohardjo, 2007). Menurut Dinas Kesehatan Kota Surakarta, berdasarkan persalinan dengan komplikasi tahun 2006, insiden preeklamsia sebesar 13,42% (Ryadi, 2008). Di Rumah Sakit Dr Moewardi, selama periode 1 Januari sampai


(13)

commit to user

31 Desember 2001 terdapat 162 kasus preeklamsia berat dan eklamsia dengan insidensi 4,4 % dari seluruh persalinan. Jumlah kematian maternal yaitu 16 kasus (9,8%) yang terdiri dari 5 kasus (31,25%) preeklamsia berat dan 11 kasus (56,25%) eklamsia (Sihwiyana, 2003). Oleh karena itu, diagnosis dini preeklamsia, yang merupakan tingkat pendahuluan eklamsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak (Prawirohardjo, 2007).

Preeklamsia ditandai dengan adanya hipertensi, edema, dan proteinuria. Sedangkan pada eklamsia, selain tanda tersebut terdapat tanda tambahan berupa serangan kejang dan koma. Tanda-tanda pada preeklamsia/eklamsia yang timbul disebabkan adanya disfungsi endotel yang menyeluruh pada tubuh penderita. Dalam perjalanan penyakitnya, penderita preeklamsia akan mengalami banyak perubahan, disfungsi, dan kegagalan pada sistem tubuhnya.

Salah satu perubahan yang terjadi pada preeklamsia/eklamsia adalah perubahan pada hematologi. Perubahan hematologi yang terjadi yaitu adanya penurunan volume plasma. Hipervolemia yang secara fisiologis terjadi saat kehamilan hampir tidak terjadi pada preeklamsia/eklamsia. Volume plasma pada preeklamsia akan menurun 30%-40% dibanding kehamilan normal. Penurunan volume plasma akan menyebabkan terjadinya hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah yang tampak pada kenaikan kadar hemoglobin dan hematokrit (Rambulangi, 2003).


(14)

commit to user

Oleh karena peningkatan kadar hematokrit merupakan salah satu tanda pada preeklamsia/eklamsia, maka peneliti tertarik untuk meneliti apakah kadar hematokrit yang meningkat mempunyai hubungan dengan derajat preeklamsia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Adakah hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat? 2. Adakah hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan

derajat preeklamsia dari preeklamsia berat menjadi eklamsia?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia.

2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui prediktor perubahan derajat preeklamsia berdasarkan kadar hematokrit.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris tentang hubungan peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia.


(15)

commit to user 2. Manfaat Terapan

a. Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai identifikasi ibu hamil dengan preeklamsia/eklamsia untuk mendapatkan perawatan selama kehamilan lebih dini dan lebih teratur.

b. Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai prognosis penyakit preeklamsia sehubungan dengan kadar hematokrit penderita.

c. Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai prediktor perubahan derajat preeklamsia berdasarkan kadar hematokrit.


(16)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Preeklamsia

a. Pengertian

Preeklamsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan (Prawirohardjo S, 2007). Penyakit ini umumnya terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu (Cunningham, 2006).

Hipertensi biasanya timbul terlebih dahulu daripada tanda-tanda lain (Prawirohardjo S, 2007). Hipertensi pada dewasa ditandai oleh tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Fox, 2002). Menurut WHO (2002), hipertensi adalah tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, atau suatu kenaikan tekanan sistolik sebesar 30 mmHg atau lebih (jika diketahui tingkat yang biasa), atau kenaikan tekanan darah diastolik sebesar 15 mmHg atau lebih (jika diketahui tingkat yang biasa) (Wijayarini, 2002).

Edema ialah penimbunan cairan secara berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan bagian tubuh (Prawirohardjo, 2007). Kenaikan berat badan mendadak (occult oedema atau edema samar) sebanyak 1 kg atau lebih dalam seminggu (atau 3 kg dalam sebulan) adalah indikasi


(17)

commit to user

preeklamsia (kenaikan berat badan normal sekitar ½ kg perminggu). Edema dapat terjadi di bagian : depan kaki (pretibial), tangan dan jari-jari tangan, wajah dan kelopak mata, dinding abdomen, daerah sakrum, dan vulva (Wijayarini, 2002).

Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/liter dalam air kencing 24 jam, atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1 atau +2, atau ≥ 1 g/liter dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream(Prawirohardjo, 2007).

b. Etiologi

Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari preeklamsia/eklamsia sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the

disease of theory (Sudhaberata, 2001). Adapun teori-teori tersebut antara

lain :

1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklamsia/eklamsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat. Aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis kemudian akan digantikan dengan trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.


(18)

commit to user 2) Peran Faktor Imunologis

Preeklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies

terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita preeklamsia/ eklamsia:

a) Beberapa wanita dengan preeklamsia/eklamsia mempunyai kompleks imun dalam serum.

b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada preeklamsia/eklamsia diikuti dengan proteinuria. 3) Peran faktor genetik/familial

Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklamsia/eklamsia antara lain :

a) Preeklamsia hanya terjadi pada manusia.

b) Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada anak dan cucu dari ibu hamil dengan riwayat preeklamsia/ eklamsia.


(19)

commit to user

c. Faktor Risiko

Secara umum faktor risiko preeklamsia meliputi (Cunningham, 2006 dan Brooks, 2005) :

1) Primigravida

2) Usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

3) Penyakit yang menyertai kehamilan (hipertensi kronik, ginjal, diabetes melitus)

4) Riwayat keluarga (ibu hamil lahir dari ibu yang mengalami preeklamsia)

5) Pendidikan rendah 6) Sosial ekonomi rendah

7) Kunjungan antenatal kurang dari 4 kali

d. Patogenesis

Pada preeklamsia ada dua tahap perubahan yang mendasari patogenesisnya, yaitu tahap pertama adalah hipoksia plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel trofoblas pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan. Arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruang intervilus di plasenta, sehingga terjadilah hipoksia plasenta (Roeshadi, 2006).

Hipoksia yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksik seperti sitokin, dan radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam


(20)

commit to user

sirkulasi darah ibu. Hal ini kemudian akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif, yaitu keadaan dimana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan (Roeshadi, 2006).

Stres oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksik yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi endothel, yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklamsia.

Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator, seperti Prostasiklin dan Nitrit Oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor, seperti Endothelium I, Tromboksan, dan Angiotensin II (Roeshadi, 2006). Penurunan Nitrit Oksida (NO) menyebabkan rusaknya fungsi vasodilator endothel. Kunci sistem regulator endothel yang normal adalah Nitric Oxide Syntase

(NOS) yang menghasilkan NO. NO berperan sebagai relaxing factor otot polos, sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. NO akan menginduksi vasodilatasi dan mengatur tahanan vaskuler. Terganggunya fungsi endothel sebagai vasodilator berperan dalam patofisiologi hipertensi yang merupakan salah satu dari gejala preeklamsia.

Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Vasospasme merupakan dasar dari proses penyakit ini. Setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita preeklamsia, jika


(21)

commit to user

prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ (Roeshadi, 2006).

Dengan demikian disfungsi endothel menonjol pada penderita preeklamsia dan merupakan patogenesis yang berperan penting pada preeklamsia (Mellembakken, 2001).


(22)

commit to user

Skema Patogenesis Preeklamsia

(Roeshadi, 2006)

Penyakit vaskuler Faktor imunogenetik ↑ Trigliserida & asam lemak bebas

Invasi trophoblast yang tidak adekuat pada arteria spiralis ibu

Penurunan perfusi plasenta

Sirkulasi faktor-faktor Sitokin (IL-16, TNF-α), dan Peroksidase lemak

Stres oksidatif

Disfungsi endothel Aktivasi keping

darah

Darah 1. Volume darah ↓ 2. Hematokrit ↑ 3. Viskositas darah ↑ 4. Trombositopenia 5. Koagulopati

Vasokonstriksi sistemik : Hipertensi

Perubahan permeabilitas vaskuler 1. Edema perifer 2. Edema paru

Ginjal 1. Hiperuricemia 2. Proteinuria 3. Gagal ginjal

Hati 1. Tes fungsi

abnormal 2. Perdarahan

Sistem saraf pusat-mata 1. Seizures

2. Cortical blindness

3. Pelepasan retina

Plasenta 1. Retardasi

pertumbuhan fetus


(23)

commit to user

e. Perubahan Anatomi dan Fisiologi Patologik

Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklamsia adalah spasmus pembuluh darah disertai retensi garam dan air. Bila dianggap bahwa spasmus arteriola juga ditemukan di seluruh tubuh, maka mudah dimengerti bahwa tekanan darah yang meningkat tampaknya merupakan usaha mengatasi kenaikan tekanan perifer, agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi (Prawirohardjo, 2007).

Kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial belum diketahui sebabnya. Telah diketahui bahwa pada preeklamsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah daripada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air dan natrium (Prawirohardjo, 2007).

Perubahan organ pada preeklampsia/eklampsia meliputi (Prawirohardjo, 2007) :

1) Plasenta

Pada preeklamsia terdapat spasmus arteriola spiralis desidua dengan akibat menurunnya aliran darah ke plasenta. Perubahan plasenta normal sebagai akibat tuanya kehamilan, seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding pembuluh darah dalam villi karena fibrosis, dan konversi mesoderm menjadi jaringan fibrotik, dipercepat prosesnya pada preeklamsia dan hipertensi. Pada preeklamsia yang jelas terjadi ialah atrofi sinsitium. Arteria spiralis mengalami


(24)

commit to user

konstriksi dan penyempitan, yang berakibat aterosis akut disertai

necrotizing arteriopathy.

Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak lama pertumbuhan janin terganggu; pada hipertensi yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin sampai kematiannya karena kekurangan oksigenasi.

2) Ginjal

Organ ini besarnya normal atau dapat membengkak. Pada simpai ginjal dan pada pemotongan mungkin ditemukan perdarahan-perdarahan kecil.

Penyelidikan biopsi pada ginjal oleh Altchek dan kawan-kawan (1968) menunjukkan pada preeklamsia terjadi kelainan berupa : a) kelainan glomerulus; b) hiperplasia sel-sel jukstaglomerulus; c) kelainan pada tubulus-tubulus Henle; d) spasmus pembuluh darah ke glomerulus.

Perubahan pada ginjal ini disebabkan oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun, sehingga menyebabkan filtrasi glomerulus mengurang. Kelainan pada ginjal yang penting ialah dalam hubungan dengan proteinuria dan mungkin sekali juga dengan retensi garam dan air. Karena terjadi proteinuria, protein serum total dan tekanan osmotik plasma menurun pada preeklamsia.

Mekanisme retensi garam dan air belum diketahui dengan benar, tetapi disangka akibat perubahan dalam perbandingan antara


(25)

commit to user

tingkat filtrasi glomerulus dan tingkat penyerapan kembali oleh tubulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriolus ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan dengan demikian juga retensi air.

Fungsi ginjal pada preeklamsia tampaknya agak menurun bila dilihat dari clearance asam urik. Filtrasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari normal, sehingga menyebabkan diuresis turun; pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria atau anuria.

3) Retina

Kelainan yang sering ditemukan adalah spasmus pada arteriola-arteriola, terutama yang dekat pada diskus optikus. Dapat terlihat edema pada diskus optikus dan retina. Ablasio retina juga dapat terjadi, tetapi komplikasi ini prognosisnya baik. Pelepasan retina disebabkan oleh edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan segera.

Skotoma, diplopia, dan ambliopia merupakan gejala yang menunjukkan akan terjadinya eklamsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.


(26)

commit to user 4) Paru-paru

Paru-paru menunjukkan adanya edema. Edema paru-paru merupakan sebab utama kematian, dimana komplikasi ini biasanya disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri.

5) Otak

Resistensi pembuluh darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi lagi pada preeklamsia. Pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri; pada keadaan lanjut dapat ditemukan perdarahan.

6) Hati

Organ ini besarnya normal, pada permukaan dan pembelahan tampak tempat-tempat perdarahan yang tidak teratur. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan perdarahan dan nekrosis pada tepi lobulus.

7) Jantung

Pada sebagian besar penderita yang mati karena eklamsia, jantung biasanya mengalami perubahan degeneratif pada miokardium. 8) Metabolisme air dan elektrolit

Hemokonsentrasi yang menyertai preeklamsia dan eklamsia tidak diketahui sebabnya. Terjadi di sini pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini, yang diikuti oleh kenaikan hematokrit, dan sering bertambahnya edema, menyebabkan volume darah mengurang, viskositet darah meningkat, waktu


(27)

commit to user

peredaran darah tepi lebih lama. Karena itu, aliran darah ke jaringan di berbagai bagian tubuh mengurang, yang berakibat hipoksia. Dengan perbaikan keadaan, hemokonsentrasi berkurang, sehingga turunnya hematokrit dapat dipakai sebagai ukuran tentang perbaikan keadaan penyakit dan tentang berhasilnya pengobatan.

Jumlah air dan natrium dalam badan lebih banyak pada penderita preeklamsia daripada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi menahun. Penderita preeeklamsia tidak dapat mnegeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak berubah.

f. Klasifikasi Preeklamsia

Preeklamsia digolongkan ke dalam preeklamsia ringan dan preeklamsia berat dengan gejala dan tanda sebagai berikut:

1) Preeklamsia Ringan (Wijayarini, 2002)

a) Tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg, atau kenaikan ≥ 30 mmHg (jika diketahui tingkat yang biasa).

b) Tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau kenaikan ≥ 15 mmHg (jika diketahui tingkat yang biasa).

c) Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.

d) Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitas +1 sampai +2 pada urin kateter atau urin aliran pertengahan.


(28)

commit to user 2) Preeklamsia Berat (Duff, 2004)

Bila salah satu di antara gejala atau tanda ditemukan pada ibu hamil, sudah dapat digolongkan preeklamsia berat :

a) Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg.

b) Oligouria, urin kurang dari 400cc/24 jam. c) Proteinuria lebih dari 3 gr/liter.

d) Keluhan subjektif :

(1) Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas (2) Mual atau muntah

(3) Gangguan penglihatan (4) Nyeri kepala daerah frontal (5) Edema paru dan sianosis (6) Gangguan kesadaran

(7) Hipereksibilitas sistem syaraf pusat, ditandai dengan demam dan peningkatan refleks tendon.

e) Pemeriksaan :

(1) Kadar enzim hati meningkat disertai ikterus (2) Perdarahan pada retina

(3) Trombosit kurang dari 100.000/mm.

Peningkatan gejala dan tanda preeklamsia berat memberikan petunjuk akan terjadi eklamsia.


(29)

commit to user

g. Diagnosis

Pada umumnya diagnosis preeklamsia didasarkan atas adanya 2 dari trias tanda utama : hipertensi, edema, dan proteinuria (Prawirohardjo, 2007).

2. Eklamsia a. Pengertian

Eklamsia pada umumnya timbul pada wanita hamil atau dalam masa nifas dengan tanda-tanda preeklamsia berat. Pada wanita yang menderita eklamsia timbul serangan kejang yang diikuti koma (Prawirohardjo, 2007). Berdasarkan waktu terjadinya, eklamsia dapat dibagi menjadi eklamsia gravidarum, eklamsia parturientum, dan eklamsia puerperium (Manuaba, 1998)

b. Gejala dan Tanda

Pada jaringan, adanya hemokonsentrasi akan menurunkan perfusi jaringan sehingga kepekaan otak akan meningkat dan mudah untuk terjadi kejang (Sulistyowati, 2001).

Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklamsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera diobati, akan timbul kejang; terutama pada persalinan, bahaya ini besar (Prawirohardjo, 2007).


(30)

commit to user

Konvulsi eklamsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni (Prawirohardjo, 2007) :

1) Tingkat awal atau aura

Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar, demikian pula tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.

2) Tingkat kejang tonik

Berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan kaku, tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.

3) Tingkat kejang klonik

Berlangsung antara 1-2 menit. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup, dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan sianosis. Penderita menjadi tidak sadar. Kejang klonik ini dapat demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Pada akhirnya, kejang terhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.

4) Tingkat koma

Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat pula terjadi


(31)

commit to user

bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan berulang, sehingga penderita tetap dalam koma.

Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai 40 derajat Celcius. Sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti : 1). Lidah tergigit; perlukaan dan fraktura; 2). Gangguan pernapasan; 3). Solusio plasenta; dan 4). Perdarahan otak (Prawirohardjo, 2007).

3. Hematokrit a. Pengertian

Kadar hematokrit (packed red cell volume) adalah konsentrasi (dinyatakan dalam persen) eritrosit dalam 100 ml (1 dL) darah lengkap (Gandasoebrata, 2004; Sutedjo, 2007). Biasanya kadar ini ditentukan dengan darah vena atau kapiler. Hematokrit ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam “tabung hematokrit” sampai sel-sel ini menjadi benar-benar mampat pada bagian bawah tabung. Adalah tidak mungkin untuk memampatkan semua eritrosit; karenanya, sekitar 3 sampai 4 persen plasma tetap terjebak di antara sel, dan hematokrit sebenarnya hanya sekitar 96 persen dari hematokrit yang terukur (Guyton, 1997).

Adapun variasi kadar normal hematokrit sepanjang kehidupan adalah sebagai berikut :


(32)

commit to user

Tabel 1 Variasi Kadar Normal Hematokrit

Kategori Kadar Hematokrit (%)

Bayi baru lahir cukup bulan (darah tali pusat) Bayi baru lahir cukup bulan (darah kapiler) Bayi (3 bulan)

Anak (10 tahun) Wanita hamil Wanita dewasa Pria dewasa

44-62 53-68 30-38 37-44 26-34 37-47 42-54 (Waterbury, 2001)

Kadar hematokrit adalah parameter hemokonsentrasi serta perubahannya. Kadar hematokrit akan meningkat saat terjadinya peningkatan hemokonsentrasi, baik oleh peningkatan kadar sel darah atau penurunan kadar plasma darah. Sebaliknya kadar hematokrit akan menurun ketika terjadi penurunan hemokonsentrasi atau disebut hemodilusi, karena penurunan kadar seluler darah atau peningkatan kadar plasma darah.

4. Hubungan Preeklamsia/Eklamsia dengan Hematokrit

Hipoksia plasenta yang terjadi pada preeklamsia/eklamsia akan membebaskan zat-zat toksik dan radikal bebas dalam sirkulasi darah ibu. Hal ini kemudian akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif, yaitu keadaan dimana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan. Stres oksidatif pada tahap berikutnya bersama zat toksik yang beredar akan merangsang terjadinya kerusakan sel endothel pembuluh darah penderita preeklamsia (Roeshadi, 2006).


(33)

commit to user

Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator, sehingga terjadi vasospasme (Roeshadi, 2006). Vasospasme yang berkelanjutan akan menyebabkan integritas endothel pembuluh darah rusak, sehingga plasma darah bergeser ke ruang interstitial. Akibatnya, volume plasma akan menurun dan terjadi hemokonsentrasi, yang dapat dinilai dari peningkatan kadar hematokrit. Hemokonsentrasi yang terus meningkat akan menyebabkan perfusi jaringan semakin berkurang pada seluruh organ, yang kemudian akan memperburuk preeklamsia itu sendiri (Prawirohardjo, 2007).

B. Kerangka Berpikir

Vasospasme pada preeklamsia akan merusak integritas endothel pembuluh darah, sehingga permeabilitas vaskuler meningkat. Permeabilitas vaskuler yang meningkat menyebabkan kebocoran interendothelial sehingga plasma darah keluar ke ruang interstitial. Pergeseran cairan ini menyebabkan volume plasma menurun dan terjadi hemokonsentrasi. Hemokonsentrasi menyebabkan kadar hematokrit meningkat, dimana peningkatan kadar ini selanjutnya akan memperburuk preeklamsia.


(34)

commit to user Preeklamsia

Hipertensi Vasospasme Proteinuria

Integritas endothel rusak

Peningkatan permeabilitas vaskuler

Kebocoran interendothelial

Hemokonsentrasi Penurunan volume plasma

Plasma keluar

Hematokrit meningkat


(35)

commit to user

C. Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat.

2. Terdapat hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia berat menjadi eklamsia.


(36)

commit to user

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Taufikqurrahman, 2004).

B. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr Moewardi Surakarta dan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

C. Subyek penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien preeklamsia/eklamsia yang mengunjungi RSUD Dr Moewardi Surakarta.

2. Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah subjek dalam populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan sudah disingkirkan dengan kriteria eksklusi sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi :

1) Ibu hamil dengan preeklamsia/eklamsia 2) Usia kehamilan ≥ 20 minggu

3) Usia 20 – 35 tahun


(37)

commit to user b. Kriteria eksklusi :

1) Ada riwayat anemia

2) Ada riwayat penyakit jantung

3) Ada riwayat penyakit hipertensi kronis 4) Ada riwayat penyakit ginjal

5) Ada riwayat penyakit diabetes mellitus

D. Teknik sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara fixed exposure sampling, yaitu skema pencuplikan yang dimulai dengan memilih sampel berdasarkan status paparan subjek, yaitu penyakit preeklamsia/eklamsia. Sampel dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok preeklamsia ringan, preeklamsia berat, dan kelompok eklamsia. Sampel pada masing-masing kelompok sebesar 30 pasien (Murti, 2006).


(38)

commit to user

E. Rancangan Penelitian

F. Identifikasi variabel

1. Variabel bebas : Derajat Preeklamsia 2. Variabel terikat : Kadar Hematokrit

G. Definisi operasional variabel

1. Preeklamsia/eklamsia

Preeklamsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Preeklamsia digolongkan ke dalam preeklamsia ringan dan preeklamsia berat (Prawirohardjo, 2007).

Populasi

Sampel

Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi

Eklamsia Preeklamsia

Berat

Hematokrit Hematokrit

Analisis Statistik Preeklamsia

Ringan


(39)

commit to user

Nilai preeklamsia ringan apabila terdapat hipertensi, edema, proteinuria akan tetapi tidak ada tanda dari preeklamsia berat. Nilai preeklamsia berat apabila terdapat satu atau lebih tanda berikut : 1) Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg; 2) Oligouria; 3) Proteinuria lebih dari 3 gr/liter; 4) Keluhan cerebral, gangguan penglihatan, mual muntah, atau nyeri di daerah epigastrium; 5) Edema paru atau sianosis; 6) Trombositopenia ≤ 100.000; 7) Peningkatan enzim hati (Duff, 2004).

Eklamsia timbul pada wanita hamil atau dalam masa nifas dengan tanda-tanda preeklamsia berat. Nilai eklamsia apabila terdapat tanda dan gejala preeklamsia berat, kemudian timbul serangan kejang yang diikuti dengan koma (Prawirohardjo, 2007). Skala : Ordinal

2. Kadar Hematokrit

Kadar hematokrit adalah angka yang menunjukkan konsentrasi eritrosit dalam 100 ml (1 dL) darah lengkap, dinyatakan dalam persen (Sutedjo, 2007). Kadar normal hematokrit pada wanita dewasa adalah 37%-47%, sedangkan pada wanita hamil adalah 26%-34% (Waterbury, 2001).

Skala : Rasio 3. Anemia

Anemia adalah keadaan dimana terjadi penurunan di bawah normal dalam jumlah eritrosit, banyaknya hemoglobin, atau volume


(40)

commit to user

sel darah merah (packed red cells) dalam darah (Dorland, 1998). Nilai ambang batas untuk menentukan status anemia ibu hamil berdasarkan pada criteria WHO, ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-11 g/dl), dan anemia berat (kurang dari 8 g/dl). Gejala-gejala anemia antara lain : cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang, dan keluhan mual muntah yang lebih hebat (Manuaba, 1998). Anemia pada pasien dapat diketahui dari rekam medis.

Skala : Kategorikal 4. Penyakit jantung

Penyakit jantung adalah keadaan dimana jantung abnormal dan tidak bekerja secara normal dengan berbagai penyebab. Gejala-gejala insufisiensi jantung antara lain merasa cepat lelah, jantung berdebar-debar (palpitasi cordis), sesak napas atau angina pektoris yang dapat disertai sianosis (Prawirohardjo, 2007). Penyakit jantung pada pasien dapat diketahui dari rekam medis.

Skala : Kategorikal

5. Hipertensi kronis dan penyakit ginjal

Hipertensi kronis adalah keadaan hipertensi yang menahun yang sudah ada sebelum wanita menjadi hamil. Penyebab utama hipertensi ini adalah hipertensi esensial dan penyakit ginjal (Manuaba, 1998).


(41)

commit to user

Wanita hamil dengan hipertensi esensial biasanya hanya menunjukkan gejala hipertensi tanpa gejala-gejala lain, di mana tekanan darah berkisar antara 140/90 mmHg dan 160/100 mmHg (Manuaba, 1998).

Penyakit ginjal yang menyebabkan tekanan darah meningkat di antaranya glomerulonefritis akut atau kronis dan pielonefritis akut atau kronis. Gejala penyakit ginjal pada kehamilan disertai hipertensi adalah suhu badan yang meningkat dan gangguan miksi (Manuaba, 1998). Hipertensi kronis dan penyakit ginjal pada pasien dapat diketahui dari rekam medis.

Skala : Kategorikal 6. Diabetes melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Gustaviani, 2006).

Keadaan hiperglikemia dapat dilihat dari pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl. Pada DM terdapat keluhan khas berupa poliuria, polidipsia, dan polifagia (Gustaviani, 2006). Diabetes mellitus pada pasien dapat diketahui dari rekam medis.


(42)

commit to user

H. Instrumen Penelitian

Data sampel diperoleh dari rekam medis pasien preeklamsia/eklamsia di RSUD Dr Moewardi, yang dicatat hasil pemeriksaan darah rutin berupa kadar hematokrit.

I. Analisis Data

1. Untuk mengetahui perbedaan kadar hematokrit antar derajat preeklamsia, data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji t Independent.

2. Untuk mengetahui prediktor perubahan derajat preeklamsia berdasarkan kadar hematokrit, data yang diperoleh dicari nilai ambang terbaiknya untuk tes diagnostik dengan melihat nilai sensitivitas dan spesifisitasnya, sesuai prosedur Receiver Operating Characteristic.


(43)

commit to user

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada penelitian, data sampel diperoleh dari catatan Rekam Medik pasien preeklamsia/eklamsia di RSUD Dr Moewardi Surakarta periode Januari 2009 sampai Mei 2010, dan dari 641 populasi pasien yang ada diambil data sebanyak 90 pasien.

Total sampel sebanyak 90 pasien, terdiri dari 30 pasien preeklamsia ringan, 30 pasien preeklamsia berat, dan 30 pasien eklamsia. Dari data Rekam Medik pasien dicatat hasil pemeriksaan darah rutin berupa kadar hematokrit.

Berikut merupakan hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

A.Karateristik Sampel Penelitian

Tabel 2 Sebaran dan Keragaman Data Sampel Penelitian

Variabel Jumlah (N) Minimal Maksimal Rerata SD Usia Ibu (tahun)

Usia Kehamilan (minggu) Sistole (mmHg) Diastole (mmHg) Hematokrit (%) Hemoglobin (gr/dL) GDS (mg/dL) 90 90 90 90 90 90 90 20 20 110 70 31,10 11,00 64,00 35 42 230 160 47,00 15,20 187,00 27 38 161 101 37,16 12,33 100,90 4.91 4.01 24,33 14.82 3,48 1,03 25,08 32


(44)

commit to user

Tabel 2 menunjukkan karakteristik sampel penelitian yang dilihat dari sebaran dan keragaman data sampel. Rerata usia sampel pasien preeklamsia/ eklamsia adalah 27 tahun, dengan usia minimal 20 tahun dan usia maksimal 35 tahun. Rerata usia kehamilan sampel pasien preeklamsia/eklamsia adalah 38 minggu, dengan usia minimal 20 minggu dan usia maksimal 42 minggu. Tekanan darah sistole memiliki rerata 161 mmHg, dengan tekanan minimal 110 mmHg dan tekanan maksimal 230 mmHg. Sedangkan tekanan darah diastole memiliki rerata 101 mmHg, dengan tekanan maksimal 70 mmHg dan tekanan minimal 160 mmHg. Rerata kadar hematokrit sampel pasien preeklamsia/eklamsia adalah 37,16%, dengan kadar minimal 31,10% dan kadar maksimal 47,00%. Rerata kadar hemoglobin adalah 12,33 gr/dL, dengan kadar minimal 11,00 gr/dL dan kadar maksimal 15,20 gr/dL. Dan rerata kadar gula darah sewaktu adalah 100,90 mg/dL, dengan kadar minimal 64,00 mg/dL dan kadar maksimal 187,00 mg/dL.

B.Uji Normalitas Data

Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data normal atau tidak. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov

Smirnov Test. Suatu data dikatakan mempunyai sebaran normal jika didapatkan


(45)

commit to user

Tabel 3 Hasil Uji Normalitas Data

Variabel Kelompok Kolmogorov

Smirnov Z Nilai p Keterangan

Usia Ibu Usia Kehamilan Sistole Diastole Hemoglobin GDS PER PEB Eklamsia PER PEB Eklamsia PER PEB Eklamsia PER PEB Eklamsia PER PEB Eklamsia PER PEB Eklamsia 0,72 0,97 1,19 1,06 1,31 1,61 1,29 1,19 0,97 1,38 1,58 0,96 0,86 0,89 0,92 1,24 0,57 1,14 0,67 0,29 0,11 0,20 0,62 1,01 0,07 0,11 0,31 0,04 0,01 0,30 0,44 0,40 0,36 0,09 0,89 0,14 Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Tidak Normal Distribusi Tidak Normal

Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal

Tabel 3 menunjukkan sebaran data hasil analisis Kolmogorov Smirnov Test dari berbagai variabel penelitian pada kelompok preeklamsia ringan, preeklamsia berat, dan eklamsia. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa hampir semua data dari berbagai variabel pada tiap kelompok terdistribusi normal


(46)

commit to user

ringan dan kelompok preeklamsia berat yang tidak terdistribusi normal

(p<0,05).

C. Uji Beda Rerata Sampel Penelitian

Tabel 4 Hasil Uji Beda Rerata Kelompok PER dan PEB

Variabel Kelompok Jumlah (N) Rerata SD Nilai p

Usia Ibu (tahun)

PER 30 27 4.74

0.85

PEB 30 27 5.01

Usia Kehamilan (minggu)

PER 30 39 3.24

0.13

PEB 30 38 2.84

Sistole (mmHg)

PER 30 143 13.47

0.00

PEB 30 172 16.89

Hemoglobin (g/dL)

PER 30 11.98 0.98

0.19

PEB 30 12.30 0.85

GDS (mg/dL)

PER 30 95.50 23.28

0.66

PEB 30 97.80 16.59

Tabel 4 menunjukkan hasil uji beda rerata kelompok preeklamsia ringan dan preeklamsia berat. Didapatkan hasil yaitu tidak ada perbedaan antara kedua kompok tersebut untuk variabel usia ibu, usia kehamilan, kadar hemoglobin dan kadar gula darah sewaktu (p > 0,05), dan terdapat perbedaan antara kedua kelompok tersebut untuk variabel tekanan darah sistole (p < 0,05). Digunakan uji t Independent dengan asumsi tidak ada perbedaan varian dalam kedua


(47)

commit to user

kelompok tersebut, karena hasil uji Levene menunjukkan bahwa data homogen

(p > 0,05).

Tabel 5 Hasil Uji Beda Rerata Kelompok PEB dan Eklamsia

Variabel Kelompok Jumlah (N) Rerata SD Nilai p

Usia Ibu (tahun)

PEB 30 27 5.01

0.13

Eklamsia 30 25 4.91

Usia Kehamilan (minggu)

PEB 30 38 2.84

0.18

Eklamsia 30 36 5.20

Sistole (mmHg)

PEB 30 172 16.89

0.89

Eklamsia 30 171 38.80

Hemoglobin (g/dL)

PEB 30 12.30 0.85

0.12

Eklamsia 30 12.70 1.14

GDS (mg/dL)

PEB 30 97.80 16.59

0.07

Eklamsia 30 110.20 33.68

Tabel 5 menunjukkan hasil uji beda rerata kelompok preeklamsia berat dan eklamsia. Didapatkan hasil yaitu tidak ada perbedaan antara kedua kelompok tersebut untuk semua variabel, baik variabel usia ibu, usia kehamilan, tekanan darah sistole, kadar hemoglobin maupun kadar gula darah sewaktu, karena didapatkan nilai p > 0,05. Digunakan uji t Independent dengan asumsi tidak ada perbedaan varian dalam kedua kelompok untuk variabel usia ibu, dan kadar hemoglobin, karena hasil uji Levene menunjukkan bahwa data homogen (p>0,05). Sedangkan untuk variabel usia kehamilan, tekanan darah


(48)

commit to user

sistole, dan kadar gula darah sewaktu digunakan uji t Independent dengan asumsi ada perbedaan varian dalam kedua kelompok, karena hasil uji Levene

menunjukkan bahwa data tidak homogen (p < 0,05).

D. Hasil Analisis Kadar Hematokrit

Dari penelitian ini diharapkan akan diketahui adakah hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia. Karena uji yang digunakan adalah uji t Independent, yang merupakan uji hipotesis komparatif skala pengukuran numerik, maka variabel bebas dari data yang dipakai adalah derajat preeklamsia, yaitu preeklamsia ringan, preeklamsia berat, dan eklamsia (skala ordinal), dengan variabel terikat adalah kadar hematokrit (skala rasio).

Tabel 6 Distribusi Rerata Kadar Hematokrit pada PER, PEB dan Eklamsia

Variabel Kelompok Jumlah (N) Distribusi Rerata

Hematokrit (%)

Preeklamsia Ringan Preeklamsia Berat Eklamsia

30 30 30

35,42 + 3,55 37,37 + 2,30 38,69 + 3,70

Dari tabel 6 dapat dilihat distribusi kadar hematokrit tampak lebih tinggi pada kelompok preeklamsia berat (37.37 + 2.306 %) dibandingkan dengan kelompok preeklamsia ringan (35.42 + 3.552 %). Hasil interpretasi grafik (gambar 1) menunjukkan bahwa kadar hematokrit pada kelompok preeklamsia berat mempunyai puncak lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok preeklamsia ringan.


(49)

commit to user

35.42

37.37

34 34.5 35 35.5 36 36.5 37 37.5

PER PEB

Rerata Hmt (%)

Gambar 1 Distribusi Rerata Kadar Hematokrit (%) Pada Preeklamsia Ringan dan Preeklamsia Berat

Sedangkan antara kelompok preeklamsia berat dan eklamsia, distribusi kadar hematokrit tampak lebih tinggi pada kelompok eklamsia (38.69 + 3.702 %) dibandingkan dengan kelompok preeklamsia berat (37.37 + 2.306 %). Hasil interpretasi grafik (gambar 2) menunjukkan bahwa kadar hematokrit pada kelompok eklamsia mempunyai puncak lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok preeklamsi berat.

37.37

38.69

36.5 37 37.5 38 38.5 39

PEB EKLAMSIA Rerata Hmt (%)

Gambar 2 Distribusi Rerata Kadar Hematokrit (%) Pada Preeklamsia Berat dan Eklamsia


(50)

commit to user

Tabel 7 Hasil Uji Normalitas Kadar Hematokrit

Variabel Kelompok Kolmogorov

Smirnov Z Nilai p Keterangan

Hematokrit

PER PEB Eklamsia

0,73 0,76 0,86

0,64 0,60 0,44

Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal

Tabel 7 menunjukkan sebaran data dari variabel kadar hematokrit tiap kelompok yang diuji normalitas datanya dengan Kolmogorov Smirnov Test. Karena nilai p untuk kadar hematokrit kelompok preeklamsia ringan adalah 0,65 (p > 0,05), kelompok preeklamsia berat adalah 0,60 (p > 0,05), dan kelompok eklamsia adalah 0.44 (p > 0.05), maka sebaran data pada ketiga kelompok tersebut adalah normal.

Setelah dilakukan uji normalitas pada masing-masing kelompok, uji t

Independent dapat dilakukan antara derajat preeklamsia, yaitu antara kelompok

preeklamsia ringan dan preeklamsia berat, dan antara preeklamsia berat dan eklamsia.

Dari uji t Independent kelompok preeklamsia ringan dan preeklamsia berat didapatkan hasil yaitu terdapat perbedaan rerata kadar hematokrit antara preeklamsia ringan dengan preeklamsia berat, dengan nilai p = 0,01 (p < 0,05). Uji t Independent ini digunakan dengan asumsi tidak ada perbedaan varian dalam kedua kelompok tersebut, karena hasil uji Levene menunjukkan bahwa data homogen dengan nilai p = 0,06 (p > 0,05).


(51)

commit to user

Sedangkan dari uji t Independent kelompok preeklamsia berat dan eklamsia didapatkan hasil yaitu tidak terdapat perbedaan rerata kadar hematokrit antara preeklamsia berat dengan eklamsia, dengan nilai p = 0,10 (p > 0,05). Uji t Independent digunakan dengan asumsi tidak ada perbedaan varian dalam kedua kelompok tersebut, karena hasil uji Levene menunjukkan bahwa data homogen dengan nilai p = 0,11 (p > 0,05).

E. Nilai Ambang (Cut-Off Point)

Nilai ambang (cut-off point) adalah nilai batas antara perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Di sini nilai tersebut digunakan untuk menyatakan bahwa sampel pasien mempunyai resiko besar mengalami perubahan derajat preeklamsia, yaitu dari preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat atau dari preeklamsia berat menjadi eklamsia. Nilai ambang ditetapkan dengan mempertimbangkan nilai spesifisitas yang tinggi dan nilai sensitivitas yang juga tinggi dengan mengevaluasi pada tiap nilai ambang. Nilai ambang didapat dari perpotongan grafik hubungan spesifisitas dan nilai sensitivitasnya tersebut. Untuk nilai ambang kadar hematokrit perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat dapat dilihat pada gambar 3. Di sini nilai ambang kadar hematokrit tersebut adalah kadar 36,15% dengan spesifisitas 61% dan sensitivitas 65%.


(52)

commit to user

Gambar 3 Hubungan Kadar Hematokrit dengan Nilai Sensitivitas dan Spesifisitas untuk Perubahan PER menjadi PEB

Untuk nilai ambang kadar hematokrit perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia dapat dilihat pada gambar 4. Adapun nilai ambang kadar hematokrit tersebut adalah kadar 38,30% dengan spesifisitas 53% dan sensitivitas 53%.

Gambar 4 Hubungan Kadar Hematokrit dengan Nilai Sensitivitas dan Spesifisitas untuk Perubahan PEB menjadi Eklamsia

36,15%


(53)

commit to user

Setelah didapatkan nilai ambang kadar hematokrit dari tiap perubahan derajat preeklamsia, tiap nilai tersebut kemudian diuji dengan uji Tabulasi Silang untuk melihat ada tidaknya hubungan yang bermakna secara statistik antara nilai ambang tersebut dengan kejadian perubahan preeklamsianya, baik dari preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat, maupun dari preeklamsia berat menjadi eklamsia.

Tabel 8 Tabulasi Silang Nilai Ambang Kadar Hematokrit untuk Perubahan PER menjadi PEB

Kelompok

Kadar Hmt

Total > 36,15% < 36,15%

Preeklamsia Berat Preeklamsia Ringan

19 12

10 19

29 31

Total 31 29 60

Hasil yang didapatkan dari uji Tabulasi Silang kadar hematokrit 36,15% adalah kadar hematokrit > 36,15% mempunyai hubungan terhadap kejadian perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat, hal ini disebabkan nilai p = 0,03 (p < 0,05), dengan Odds Ratio sebesar 3,00 dan 95% Confidence


(54)

commit to user

Tabel 9 Tabulasi Silang Nilai Ambang Kadar Hematokrit untuk Perubahan PEB ke Eklamsia

Kelompok

Kadar Hmt

Total > 38,30% < 38,30%

Eklamsia Preeklamsia Berat

16 14

14 16

30 30

Total 30 30 60

Sedangkan hasil yang didapatkan dari uji Tabulasi Silang kadar hematokrit 38,30% adalah kadar hematokrit > 38,30% tidak mempunyai hubungan terhadap kejadian perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia, hal ini disebabkan nilai p = 0,60 (p > 0,05), dengan Odds Ratio sebesar 1,30 dan 95%


(55)

commit to user

BAB V PEMBAHASAN

A.Karakteristik Sampel Penelitian

Jumlah kasus preeklamsia/eklamsia di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr Moewardi Surakarta periode bulan Januari 2009 sampai bulan Mei 2010 adalah sebesar 641 kasus, yang terdiri dari 201 kasus preeklamsia ringan atau sebesar 31,36%, 396 kasus preeklamsia berat atau sebesar 61,78%, dan 44 kasus eklamsia atau sebesar 6,86%. Angka ini lebih tinggi dari hasil yang didapatkan oleh Sari (2007) pada periode tahun 2005-2006 dan bulan April sampai bulan Juni 2007 yang mendapatkan 537 kasus preeklamsia/eklamsia, dan oleh Sari (2009) pada periode bulan Januari 2008 sampai bulan Januari 2009 yang mendapatkan 496 kasus preeklamsia/eklamsia, di rumah sakit yang sama.

Kasus preeklamsia/eklamsia sejumlah 641 kasus disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan dan dipilih secara acak pada tiap kelompok preeklamsia, baik preeklamsia ringan, preeklamsia berat, dan eklamsia, sehingga didapatkan data sampel sebesar 90 kasus. Dimana kasus tersebut terdiri dari 30 kasus preeklamsia ringan, 30 kasus preeklamsia berat, dan 30 kasus eklamsia.

Pada tabel 2 dapat dilihat rerata usia kehamilan sampel pasien preeklamsia/eklamsia adalah 38 minggu. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2009) di RSUD Dr Moewardi,


(56)

commit to user

dimana persentasi usia kehamilan pasien preeklamsia/eklamsia tertinggi didapatkan pada usia kehamilan 37-40 minggu yaitu sebesar 68,18%, dan oleh Hendaya dkk di Jakarta yang mendapatkan persentasi 75,20%.

Tabel 3 menunjukkan hasil uji normalitas data dengan Kolmogorov

Smirnov Test. Pada tabel ini dapat dilihat bahwa hampir semua variabel

penelitian pada kelompok preeklamsia ringan, preeklamsia berat, dan eklamsia terdistribusi normal, kecuali variabel tekanan darah diastole kelompok preeklamsia ringan dan preeklamsia berat yang tidak terdistribusi normal. Uji normalitas data ini diperlukan sebagai syarat penentu analisis selanjutnya, apakah data dapat dianalisis dengan uji parametrik atau dengan uji nonparametrik.

Uji selanjutnya yang dipilih untuk menganalisis variabel-variabel antar derajat preeklamsia, baik preeklamsia ringan dengan preeklamsia berat dan preeklamsia berat dengan eklamsia, adalah uji beda rerata atau disebut juga uji

t Independent. Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa hasil uji beda rerata kelompok

preeklamsia ringan dan preeklamsia berat yang menunjukkan adanya perbedaan yang secara statistik bermakna hanyalah variabel tekanan darah sistole (p < 0,05). Sedangkan hasil uji beda rerata kelompok preeklamsia berat dan eklamsia menunjukkan tidak ada perbedaan yang secara statistik bermakna untuk semua variabel (p > 0,05). Adapun variabel tekanan darah diastole tidak dapat diuji dengan uji beda rerata atau uji t Independent yang termasuk dalam uji parametrik. Hal ini disebabkan karena salah satu persyaratan uji


(57)

commit to user

parametriknya tidak terpenuhi, yaitu data tekanan darah diastole tidak terdistribusi normal.

B.Hubungan Kadar Hematokrit dengan Derajat Preeklamsia

Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa distribusi rerata kadar hematokrit semakin meningkat seiring dengan peningkatan derajat preeklamsia. Dimana rerata kadar hematokrit pada preeklamsia ringan sebesar 35,42%, pada preeklamsia berat sebesar 37,37%, dan pada eklamsia sebesar 38,69%.

Kadar hematokrit yang meningkat pada preeklamsia/eklamsia terjadi karena adanya hemokonsentrasi akibat volume plasma yang menurun yang disebabkan oleh vasospasme. Hemokonsentrasi yang juga menyebabkan viskositas darah meningkat akan menyababkan perfusi jaringan semakin berkurang pada seluruh organ, baik ke otak, jantung, paru, ginjal, maupun jaringan fetoplasenta (Prawirohardjo, 2007).

Kadar hematokrit dari tiap kelompok yang didapat pada penelitian ini kemudian dianalisis secara statistik menggunakan uji t Independent. Untuk uji t

Independent kelompok preeklamsia ringan dan preeklamsia berat didapatkan

hasil berupa terdapat perbedaan kadar hematokrit antara dua kelompok tersebut. Hasil ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat.

Pada peningkatan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat terjadi banyak perubahan patologis pada tubuh penderita, yang dilihat dari bertambah banyaknya manifestasi klinis yang muncul dibandingkan pada preeklamsia


(58)

commit to user

ringan (Duff, 2004). Salah satu perubahan tersebut terdapat pada kadar hematokrit, seperti pada penelitian ini, dimana terjadi peningkatan kadar hematokrit yang signifikan antara preeklamsia ringan dengan preeklamsia berat. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati (2001) yang menyatakan bahwa kadar hematokrit ≥ 40% meningkatkan atau merupakan faktor prognosis kematian maternal. Dimana peningkatan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat juga akan meningkatkan kematian maternal.

Adapun uji t Independent untuk kelompok preeklamsia berat dan eklamsia didapatkan hasil berupa tidak terdapat perbedaan kadar hematokrit antara dua kelompok tersebut. Hasil ini dapat diartikan bahwa tidak terdapat hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia berat menjadi eklamsia.

Preeklamsia berat dan eklamsia memiliki karakteristik gejala dan tanda yang serupa, yang membedakan keduanya adalah adanya kejang yang diikuti koma yang terjadi pada eklamsia (Prawirohardjo, 2007). Teori tersebut mendukung hasil penelitian ini, dimana meskipun kadar hematokrit kelompok eklamsia lebih tinggi dari pada kadar hematokrit preeklamsia berat, namun peningkatan tersebut secara statistik tidak bermakna.

C.Nilai Ambang Kadar Hematokrit untuk Perubahan Derajat Preeklamsia

Kadar hematokrit yang telah dianalisis dengan uji t Independent

kemudian ditentukan nilai ambangnya (cut-off point) untuk setiap perubahan derajat preeklamsia, baik dari preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat,


(59)

commit to user

maupun dari preeklamsia berat menjadi eklamsia. Nilai ambang ini ditetapkan dari perpotongan nilai spesifisitas dan nilai sensitivitas yang tertinggi dari tiap nilai ambang.

Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai ambang kadar hematokrit yang didapat untuk perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat adalah kadar 36,15% dengan spesifisitas 61% dan sensitivitas 65%.

Nilai spesifisitas 61% pada kadar hematokrit 36,15% ini dapat diartikan bahwa kadar hematokrit 36,15% mampu memberikan 61 simpulan yang benar dalam menentukan hasil negatif perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat pada 100 pasien yang tidak mengalami perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat.

Sedangkan nilai sensitifitas 65% pada kadar hematokrit 36,15% diartikan bahwa kadar hematokrit 36,15% mampu memberikan 65 simpulan yang benar dalam menentukan hasil positif perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat pada 100 pasien yang positif mengalami perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat.

Nilai ambang kadar hematokrit 36,15% ini kemudian diuji dengan uji Tabulasi Silang untuk melihat ada tidaknya hubungan antara nilai ambang tersebut dengan kejadian perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat.

Dari uji Tabulasi Silang kadar hematokrit 36,15% didapatkan hasil bahwa kadar hematokrit > 36,15% mempunyai hubungan terhadap kejadian perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat (p < 0,05). Hal ini


(60)

commit to user

menandakan bahwa pasien preeklamsia ringan yang memiliki kadar hematokrit

≥ 36,15% akan berisiko mengalami perubahan menjadi preeklamsia berat, dengan nilai kemungkinannya adalah 3 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien preeklamsia ringan yang kadar hematokritnya < 36,15% (OR = 3).

Sedangkan nilai ambang kadar hematokrit untuk perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia terdapat pada gambar 4, yaitu sebesar 38,30%, dengan nilai spesifisitas 53% dan nilai sensitivitas 53%.

Nilai spesifisitas 53% pada kadar hematokrit 38,30% ini dapat diartikan bahwa kadar hematokrit 38,30% mampu memberikan 53 simpulan yang benar dalam menentukan hasil negatif perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia pada 100 pasien yang tidak mengalami perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia.

Sedangkan nilai sensitifitas 53% pada kadar hematokrit 38,30% diartikan bahwa kadar hematokrit 38,30% mampu memberikan 53 simpulan yang benar dalam menentukan hasil positif perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia pada 100 pasien yang positif mengalami perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia.

Adapun nilai spesifisitas dan sensitivitas yang rendah pada penentuan nilai ambang ini, baik nilai ambang untuk preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat dan nilai ambang untuk preeklamsia berat menjadi eklamsia, kemungkinan dikarenakan jumlah sampel yang digunakan kurang banyak.

Setelah diuji dengan uji Tabulasi Silang untuk melihat ada tidaknya hubungan antara nilai ambang kadar hematokrit 38,30% dengan kejadian


(61)

commit to user

perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia, didapatkan hasil p = 0,6

(p > 0,05). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kadar hematokrit > 38,30%

tidak mempunyai hubungan terhadap kejadian perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia. Tidak terdapatnya hubungan yang bermakna secara statistik ini bisa dikarenakan jumlah sampel yang kurang banyak. Selain itu juga dapat dikarenakan hasil uji t Independent kelompok preeklamsia berat dan eklamsia yang telah dilakukan sebelumnya memberikan hasil yang juga tidak signifikan.

Dari seluruh pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat dan tidak terdapat hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia berat menjadi eklamsia.


(62)

commit to user

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Populasi di RSUD Dr Moewardi Surakarta dapat disimpulan bahwa:

1. Ada hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat, dan secara statistik bermakna.

2. Tidak ada hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia berat menjadi eklamsia. 3. Nilai ambang kadar hematokrit untuk terjadinya perubahan preeklamsia

ringan menjadi preeklamsia berat adalah 36,15%.

4. Nilai ambang kadar hematokrit untuk terjadinya perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia adalah 38,30%.

5. Kadar hematokrit ≥ 36,15% sangat mungkin merupakan faktor prediktor perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat, dengan nilai

kemungkinannya 3 kali lebih besar dibandingkan kadar hematokrit < 36,15%.

6. Kadar hematokrit ≥ 38,30% belum dapat dijadikan sebagai faktor prediktor perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia.


(63)

commit to user

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disarankan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan kadar hematokrit pada preeklamsia/eklamsia lebih dioptimalkan, agar kemungkinan peningkatan derajat preeklamsia yang lebih buruk dapat diidentifikasi lebih dini.

2. Perlu perhatian yang lebih cermat dalam penanganan kasus preeklamsia ringan dengan kadar hematokrit ≥ 36,15%, agar perubahan derajat menjadi preeklamsia berat dapat dihindari.

3. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan analisis multivariat yang mempertimbangkan faktor lain yang berhubungan dengan kadar hematokrit dan dengan jumlah sampel yang lebih banyak, untuk lebih mengetahui hubungan peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia.


(1)

commit to user

ringan (Duff, 2004). Salah satu perubahan tersebut terdapat pada kadar hematokrit, seperti pada penelitian ini, dimana terjadi peningkatan kadar hematokrit yang signifikan antara preeklamsia ringan dengan preeklamsia berat. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati (2001) yang menyatakan bahwa kadar hematokrit ≥ 40% meningkatkan atau merupakan faktor prognosis kematian maternal. Dimana peningkatan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat juga akan meningkatkan kematian maternal.

Adapun uji t Independent untuk kelompok preeklamsia berat dan eklamsia didapatkan hasil berupa tidak terdapat perbedaan kadar hematokrit antara dua kelompok tersebut. Hasil ini dapat diartikan bahwa tidak terdapat hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia berat menjadi eklamsia.

Preeklamsia berat dan eklamsia memiliki karakteristik gejala dan tanda yang serupa, yang membedakan keduanya adalah adanya kejang yang diikuti koma yang terjadi pada eklamsia (Prawirohardjo, 2007). Teori tersebut mendukung hasil penelitian ini, dimana meskipun kadar hematokrit kelompok eklamsia lebih tinggi dari pada kadar hematokrit preeklamsia berat, namun peningkatan tersebut secara statistik tidak bermakna.

C.Nilai Ambang Kadar Hematokrit untuk Perubahan Derajat Preeklamsia

Kadar hematokrit yang telah dianalisis dengan uji t Independent

kemudian ditentukan nilai ambangnya (cut-off point) untuk setiap perubahan derajat preeklamsia, baik dari preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat,


(2)

commit to user

maupun dari preeklamsia berat menjadi eklamsia. Nilai ambang ini ditetapkan dari perpotongan nilai spesifisitas dan nilai sensitivitas yang tertinggi dari tiap nilai ambang.

Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai ambang kadar hematokrit yang didapat untuk perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat adalah kadar 36,15% dengan spesifisitas 61% dan sensitivitas 65%.

Nilai spesifisitas 61% pada kadar hematokrit 36,15% ini dapat diartikan bahwa kadar hematokrit 36,15% mampu memberikan 61 simpulan yang benar dalam menentukan hasil negatif perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat pada 100 pasien yang tidak mengalami perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat.

Sedangkan nilai sensitifitas 65% pada kadar hematokrit 36,15% diartikan bahwa kadar hematokrit 36,15% mampu memberikan 65 simpulan yang benar dalam menentukan hasil positif perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat pada 100 pasien yang positif mengalami perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat.

Nilai ambang kadar hematokrit 36,15% ini kemudian diuji dengan uji Tabulasi Silang untuk melihat ada tidaknya hubungan antara nilai ambang tersebut dengan kejadian perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat.

Dari uji Tabulasi Silang kadar hematokrit 36,15% didapatkan hasil bahwa kadar hematokrit > 36,15% mempunyai hubungan terhadap kejadian perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat (p < 0,05). Hal ini


(3)

commit to user

menandakan bahwa pasien preeklamsia ringan yang memiliki kadar hematokrit ≥ 36,15% akan berisiko mengalami perubahan menjadi preeklamsia berat, dengan nilai kemungkinannya adalah 3 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien preeklamsia ringan yang kadar hematokritnya < 36,15% (OR = 3).

Sedangkan nilai ambang kadar hematokrit untuk perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia terdapat pada gambar 4, yaitu sebesar 38,30%, dengan nilai spesifisitas 53% dan nilai sensitivitas 53%.

Nilai spesifisitas 53% pada kadar hematokrit 38,30% ini dapat diartikan bahwa kadar hematokrit 38,30% mampu memberikan 53 simpulan yang benar dalam menentukan hasil negatif perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia pada 100 pasien yang tidak mengalami perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia.

Sedangkan nilai sensitifitas 53% pada kadar hematokrit 38,30% diartikan bahwa kadar hematokrit 38,30% mampu memberikan 53 simpulan yang benar dalam menentukan hasil positif perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia pada 100 pasien yang positif mengalami perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia.

Adapun nilai spesifisitas dan sensitivitas yang rendah pada penentuan nilai ambang ini, baik nilai ambang untuk preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat dan nilai ambang untuk preeklamsia berat menjadi eklamsia, kemungkinan dikarenakan jumlah sampel yang digunakan kurang banyak.

Setelah diuji dengan uji Tabulasi Silang untuk melihat ada tidaknya hubungan antara nilai ambang kadar hematokrit 38,30% dengan kejadian


(4)

commit to user

perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia, didapatkan hasil p = 0,6

(p > 0,05). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kadar hematokrit > 38,30%

tidak mempunyai hubungan terhadap kejadian perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia. Tidak terdapatnya hubungan yang bermakna secara statistik ini bisa dikarenakan jumlah sampel yang kurang banyak. Selain itu juga dapat dikarenakan hasil uji t Independent kelompok preeklamsia berat dan eklamsia yang telah dilakukan sebelumnya memberikan hasil yang juga tidak signifikan.

Dari seluruh pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat dan tidak terdapat hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia berat menjadi eklamsia.


(5)

commit to user

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Populasi di RSUD Dr Moewardi Surakarta dapat disimpulan bahwa:

1. Ada hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat, dan secara statistik bermakna.

2. Tidak ada hubungan antara peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia dari preeklamsia berat menjadi eklamsia. 3. Nilai ambang kadar hematokrit untuk terjadinya perubahan preeklamsia

ringan menjadi preeklamsia berat adalah 36,15%.

4. Nilai ambang kadar hematokrit untuk terjadinya perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia adalah 38,30%.

5. Kadar hematokrit ≥ 36,15% sangat mungkin merupakan faktor prediktor perubahan preeklamsia ringan menjadi preeklamsia berat, dengan nilai

kemungkinannya 3 kali lebih besar dibandingkan kadar hematokrit < 36,15%.

6. Kadar hematokrit ≥ 38,30% belum dapat dijadikan sebagai faktor prediktor perubahan preeklamsia berat menjadi eklamsia.


(6)

commit to user

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disarankan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan kadar hematokrit pada preeklamsia/eklamsia lebih dioptimalkan, agar kemungkinan peningkatan derajat preeklamsia yang lebih buruk dapat diidentifikasi lebih dini.

2. Perlu perhatian yang lebih cermat dalam penanganan kasus preeklamsia ringan dengan kadar hematokrit ≥ 36,15%, agar perubahan derajat menjadi preeklamsia berat dapat dihindari.

3. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan analisis multivariat yang mempertimbangkan faktor lain yang berhubungan dengan kadar hematokrit dan dengan jumlah sampel yang lebih banyak, untuk lebih mengetahui hubungan peningkatan kadar hematokrit dengan peningkatan derajat preeklamsia.