2.2 Sejarah Samurai
Samurai dikenal juga sebagai bushi adalah golongan bangsawan militer Jepang, dan mereka mengalami masa kejayaan pada zaman Pertempuran, atau periode Perang Antarnegeri
dalam bahasa Jepang disebut Sengoku Jidai. Periode ini, yang sering dikatakan berlangsung pada kurun waktu 1550 – 1600, berkisar antara runtuhnya keshogunan Tokugawa.
Sampai pertengahan zaman Sengoku, seseorang yang tak terlahir dalam golongan samurai masih berpeluang menjadi samurai. Itu dapat terjadi bila ia bergabung dalam bala tentara sebagai
prajurit infanteri, lalu memperoleh perhatian kepala marga atau para pembantunya, sehingga diberi tugas tetap. Marga yang dimaksud di sini adalah keluarga. Pada zaman sengoku tidak
semua keluarga menggunakan marga, hanya kaum samurai, bangsawan, pedagang, dan pekerja seni saja yang memiliki marga.
Namun bagi kebanyakan orang, golongan samurai hanya dapat dimasuki melalui kelahiran atau pengangkatan sebagai anak berdasarkan hukum. Meskipun samurai berstatus
sosial tinggi, secara internal golongan samurai terbagi lagi dalam berbagai jenjang. Jenjang teratas ditempati oleh para daimyo beserta keluarga mereka, yang menikmati semua hak
istimewa yang menyertai kedudukan itu. Pijakan paling bawah pada tangga yang panjang itu menjadi tempat orang – orang yang berhasrat menjadi samurai yaitu kaum ashigaru berikut
keluarga. Kaum
ashigaru adalah para serdadu pejalan kaki, laskar garda depan, barisan orang – orang tanpa nama yang menjadi bagian terbesar suatu pasukan. Walaupun tidak terlahir sebagai
samurai, mereka berkesempatan naik tingkat dan dianggap setara oleh orang – orang yang lebih
Universitas Sumatera Utara
tinggi kedudukannya. Banyak jenderal dan tokoh tersohor lain pada zaman Pertempuran berasal dari golongan ashigaru. Garis pembatasnya amat kabur sehingga para pakar berselisih paham
apakah golongan ashigaru dapat dianggap samurai.
Namun, bagi sebagian besar ashigaru, kenyataan hidup sebagai prajurit rendahan memastikan bahwa impian kejayaan tetap tinggal impian. Ironisnya, setelah Toyotomi
Hideyoshi, anak petani yang menanjak dari pembawa sandal sampai menjadi penguasa Jepang mengeluarkan titah yang membatasi status samurai hanya kepada mereka yang terlahir sebagai
samurai, membuat impian golongan ashigaru menjadi sulit terwujud. Ironi lain adalah bahwa pasukan yang terdiri atas anggota marga dan pengikut yang telah
turun – temurun mengabdi pada junjungan mereka, semuanya, lebih menjunjung tinggi kesetiaan dibandingkan para pembesar itu sendiri. Mengkhianati calon sekutu dan daimyo adalah hal yang
lumrah bagi seorang pembesar, dan itu membuktikan bahwa sementara kaum anak buah dituntut untuk setia, para komandan memberlakukan aturan yang berbeda untuk diri sendiri. Contoh
klasik adalah Akechi Mitsuhide, seorang jenderal dalam pasukan Oda Nobunaga, yang membunuh sang calon penakluk
Status samurai lebih banyak ditentukan oleh kasta daripada oleh jenis pekerjaan. Semua
bushi, baik laki – laki maupun perempuan dengan sendirinya termasuk golongan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat pedang atau tidak.
Namun peran samurai tidak terbatas pada bidang militer samata –mata. Beberapa samurai menjadi cendekiawan termahsyur. Ada yang berkiprah sebagai administrator sipil dan militer,
Universitas Sumatera Utara
seniman dan pakar estetika. Ada pula yang hanya menjadi anggota keluarga. Namun semuanya dituntut akrab dengan peran mereka dalam keadaan perang.
Orang – orang sangat takut kehilangan junjungan, sementara struktur masyarakat mendukung sifat saling tergantung antara hamba dan tuan. Ketika menjadi tak bertuan atau
ronin, seorang petarung kehilangan dukungan atau perlindungan marga. Jika seorang pembesar meninggal tanpa ahli waris, semua pengikutnya menjadi ronin. Seorang pengikut juga dapat
dibuang dari marganya karena melakukan kejahatan, misalnya berkelahi atau melanggar peraturan.
Para ronin adalah jago pedang bayaran yang berkelana, dan sering kali berpaling dalam
dunia hitam. Ada pula yang tetap menjunjung tinggi kehormatan dan menjadi biksu, atau mendapatkan pekerjaan baru pada junjungan lain dan bersumpah setia kepada marga yang baru.
Pada zaman pertempuran, para mantan samurai tak bertuan punya peluang meraih kembali kehormatan mereka.
Semua samurai punya tugas dan menerima upah, dan dari pendapat ini mereka harus
membiayai rumah tangga bagi yang memiliki dan membeli segala perlengkapan yang tidak disediakan. Dasar perekonomian adalah beras, dan ukuran kekayaan yang lazim adalah koku,
yaitu satuan jumlah beras yang cukup bagi seseorang untuk makan selama satu tahun. Semua tanah kekuasaan dijabarkan berdasarkan berapa koku beras yang dapat dihasilkan. Satu koku
setara 120 liter. Samurai paling rendah menerima sedikit kurang daripada satu koku dengan asumsi jatah makannya ditanggung junjungannya.
Universitas Sumatera Utara
Pembesar menengah dan komandan benteng dapat menerima upah sebesar beberapa ratus koku, yang harus cukup untuk membayar semua samurai bawahannya, menyediakan perbekalan,
membeli pakan kuda, mengupah para pelayan, dan lain – lain. Demi kemudahan, pembayaran dilakukan dengan uang, tapi pada dasarnya perekonomian ketika itu berlandaskan beras.
Beras demikian penting sehingga banyak petani tidak dapat menikmati hasil padi yang mereka tanam untuk para samurai, mereka terpaksa beralih ke biji – bijian lain yang lebih murah,
sementara padi dikirim ke benteng tuan mereka untuk dihitung, lalu disimpan atau dibagikan.
Urusan keuangan diserahkan kepada kaum istri karena dipandang rendah oleh para laki – laki samurai. Kaum laki – laki yang mengurus uang hanyalah mereka yang memang dituntut oleh
tugas, pengawas dapur benteng misalnya. Pada masa itupun, cuma kertas nota saja yang berpindah tangan untuk dibayarkan kemudian.
Tempat tinggal
samurai berupa bangunan serupa barak, namun ada pula yang memiliki rumah pribadi. Penetapan tempat tinggal mereka ditentukan oleh beragam faktor, antara lain
pangkat, tugas, dan status perkawinan. Sebagian besar samurai muda berpangkat rendah di suatu garnisun, misalnya, tinggal bersama di bangunan besar seperti barak di dalam pekarangan
benteng. Para samurai yang sudah menikah mungkin memiliki rumah petak sendiri dikawasan khusus pasangan suami – istri, sedangkan mereka yang lebih senior dapat menempati rumah
yang berdiri – sendiri. Bagi anak – anak samurai, pelatihan untuk hidup keprajuritan yang akan mereka jalani
dimulai sejak dini, bahkan sejak lahir. Apabila ada tanda – tanda bahwa bayi itu nantinya kidal, lengan kiri akan diikat, semua barang akan ditempatkan dalam jangkauan tangan kanan, segala
Universitas Sumatera Utara
sesuatu akan dilakukan untuk menghilangkan sifat kidal tersebut. Di Jepang, tidak boleh ada orang yang kidal. Kekidalan adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.
Terutama antara usia tujuh dan delapan tahun, anak – anak samurai didorong agar bersikap baik dan kooperatif terhadap rekan – rekan bermain mereka, dan diajarkan agar
menjauhi sikap suka berkelahi maupun terlalu memntingkan diri sendiri. Pada usia Sembilan dan sepuluh tahun, mereka lebih memusatkan perhatian kepada subjek – subjek akademis seperti
membaca dan menulis, meskipun sejak usia tujuh tahun mereka mungkin sudah belajar secara berkala di sekolah kuil. Ketika seorang anak laki – laki serusia tiga belas tahun, ia siap
bertempur. Pada kisaran usia belasan awal, seorang calon samurai menjalani upacara yang disebut
genpuku atau genbuku. Bagi para putra keluarga bangsawan, upacara ini sering kali mendahului pertempurannya yang pertama.
Genpuku adalah upacara akil-balig. Perayaan tersebut diadakan pada ulang tahun ketigabelas atau kelimabelas. Dalam genpuku, untuk anak laki – laki rambutnya untuk pertama
kalinya dipotong dengan gaya orang dewasa, yaitu rambut batok kepalanya dicukur habis dan sisa rambutnya dikuncir di atas kepala seperti orang dewasa. Ia juga diberi topi orang dewasa.
Dalam beberapa kasus, khususnya jika marganya sedang berperang, topi itu diganti dengan baju tempur.
Bagi kaum perempuan keluarga samurai, setidaknya yang berkedudukan senior, genpuku menandai kali pertama alis mereka dicukur dan gigi merek dihitamkan. Yang terakhir itu,
dilakukan dengan mengoleskan oksida besi, merupakan tradisi kraton kuno bagi kaum
Universitas Sumatera Utara
perempuan kelas atas. Itu juga berarti mereka siap menikah, sering kali demi merekatkan persekutuan antar keluarga.
“Jalan samurai dapat ditentukan dalam kematian”, demikian ditulis oleh Yamamoto
Tsunemoto, mantan pengikut marga Nabeshima. Pepatah sederhana ini yang sering dikutip atau diungkapkan dalam karya – karya mengenai Jepang, menekankan konsep kewajiban para
samurai. Kematian di medan laga adalah ambisi yang terhormat. Pada pertarung kadang – kadang terjun ke suatu pertempuran dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan.
Ada sejumlah hal yang lebih buruk dibandingkan kematian, misalnya gagal melayani tuannya dengan baik, atau membawa aib kepada diri sendiri. Jika terluka, seorang petarung pada
umumnya akan memilih bunuh diri daripada membiarkan dirinya ditawan atau dikalahkan oleh rasa sakit sehingga harus mendapat malu. Samurai yang melakukan bunuh diri setelah kalah
perang tidak perlu mengalami rasa malu karena ditawan. Mereka beranggapan bahwa mereka pastinya akan mati, jadi bunuh diri dipandang sebagai kematian dengan cara mereka sendiri,
dengan kehormatan yang tetap utuh.
Cara bunuh diri yang paling banyak dipilih ialah seppuku 切腹
. Ini adalah pelafalah 2 aksara yang, jika dibalik, dibaca hara-kiri
腹切 . Kanji seppuku terdiri dari kanji kiru
切 dan
hara 腹,
dan kanji hara-kiri sebaliknya. Bagi sementara orang Jepang, istilah seppuku lebih halus jika dibandingkan dengan hara-kiri.
Ada bentuk bunuh diri lain, yang dikecam banyak kalangan sebagai kematian sia – sia, adalah jushi. Apabila seorang junjungan meninggal atau tewas di medan tempur, beberapa
pengikutnya mungkin memilih bunuh diri daripada harus mengabdi kepada orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Latarbelakang pemikiran mereka adalah bahwa mereka tidak mungkin melayani orang lain sebaik mereka melayani almarhum junjungan mereka, dan bunuh diri dipandang sebagai wujud
pengabdian tertinggi.
Tetapi dengan bunuh diri, para pewaris menjadi kehilangan sejumlah pengikut berharga yang terpercaya. Sehingga sejak Tokugawa Ieyasu mengeluarkan undang – undang yang
melarang para pengikut untuk bunuh diri, jumlah pelaku bunuh diri mulai berkurang. Karena apabila dia sudah berkeluarga dan dia mengikuti junjungannya untuk bunuh diri, maka ancaman
aib dan kematian bagi seluruh keluarga. Kaum perempuan melakukan bunuh diri dengan cara sendiri, yang dinamakan ojigi.
Mereka harus mengambil belati dan menusukkan ke dalam tergorokan, meskipun ada pula catatan mengenai perempuan yang menghujamkan belati ke dada sendiri.
Perlu ditekankan bahwa kesetiaan yang fanatik seperti ini lazim bagi samurai yang lahir dalam satu marga, atau yang keluarganya secara turun – temurun menjadi pengikut marga
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB III KAUM SAMURAI DI JEPANG