Kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia (1942-1945)

(1)

KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP PENDIDIKAN KAUM MUSLIMIN DI INDONESIA (1942-1945)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

AMANAH (1111022000055)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i ABSTRAK

Judul: Kebijakan Jepang Terhadap Pendidikan Kaum Muslimin Di Indonesia (1942-1945)

Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan mengenai apa saja kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum Muslimin di Indonesia (1942-1945). Dan bagaimana kondisi pendidikan kaum muslimin pada masa penjajahan Jepang. Karena pada masa, itu Jepang sangat mengawasi pendidikan kaum muslimin.

Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yaitu; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Penulis melakukan pengumpulan data melalui metode kepustakaan. Selain itu, untuk menguatkan analisa dalam skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan sosial dan politik.

Dalam penelitian ini penulis menemukan fakta-fakta terkait kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia (1942-1945) diantaranya; pertama pelatihan alim ulama/guru untuk mendidik dan mempropagandakan kaum muslimin, dan kedua pendidikan santri baik formal (pendidikan di sekolah) maupun non formal (pendidikan militer dan pelatihan), yang diadakan untuk membantu Jepang dalam perang dunia II.


(6)

ii

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan petunjuk dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya yang selalu bersyukur. Shalawat beriring salam selalu terlimpah curahkan kepada baginda alam yakni Nabi besar kita Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Syukur Alhamdulillah dengan do’a dan usaha akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, walaupun tentunya banyak hambatan dan rintangan yang senantiasa silih berganti.

Penulis menyadari skripsi yang berjudul “Kebijakan Jepang Terhadap Pendidikan Kaum Muslimin di Indonesia (1942-1945)”, ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari semua pihak, baik dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd, selaku sekeretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang dengan sabar memberikan pelayanan terkait administrasi yang penulis butuhkan.

5. Dr. Parlindungan Siregar, M. Ag, selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar memberikan arahan, kritik dan saran, terutama kesediaan


(7)

iii

waktunya dalam membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

6. Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan.

7. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA, selaku dosen penguji I, terima kasih atas masukan dan arahannya.

8. Imas Emalia, M. Hum, selaku dosen penguji II terima kasih telah memberikan arahan dan masukannya kepada penulis hingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

9. Bapak dan Ibu Dosen, yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama perkuliahan.

10.Karyawan/Karyawati Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas dalam penulisan skrispi ini.

11.Orang tua tercinta, ayahanda Alm. Dasean dan ibunda Rusmiyati yang tiada hentinya memberikan do’a, nasehat, dan kasih sayangnya. Penulis mengucapkan terimakasih yang tulus. Semoga Allah selalu memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amin.

12.Kakak tercinta Suhardi, Anita, Sum Maryanah dan adik tersayang Nur Atini, yang selalu memberikan do’a dan dukungan kepada penulis agar terus melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Serta kepada keluarga dari Kakak Ipar Lukman dan Dadang Mutohar, terima kasih atas do’anya dan keponakan tersayang Muhammad Alu Fajri


(8)

iv

dukungan kepada penulis untuk tetap melanjutkan ke bangku perkuliahan hingga sampai ke Almamater tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 14.Kepada Orang Tua Asuh Ibu Lusi Indriani, Ibu Hj. Nurhayati, Ibu Hj.

Murtiningsih, Ibu Hj. Siti beserta Keluarga yang telah memberikan bantuan materi maupun ilmu serta motivasi kepada penulis.

15.Kepada Aa Nandang, yang selalu menemani, membantu dan memberikan semangat serta dukungan kepada penulis. Terimakasih juga kepada Sahabat-sahabatku Adelia Permata Sari, dan Khairunnisa yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

16.Sahabat-sahabat SKI seperjuangan angkatan 2011 terima kasih atas kerjasamanya selama perkuliahan. Semoga kita dipertemukan dalam keadaan sukses.

17.Dirga Fawakih, Yanti Susilawati, Silpia Ulhaq, Masitah, dan Siti Rahmawati penulis hanturkan terima kasih yang mendalam telah menjadi sahabat yang selalu menemani serta menghibur saat penulis mulai merasa jenuh, dan tak henti-hentinya memberikan semangat dan motivasi baik dalam pencarian sumber maupun dalam penulisan skripsi.

18.Sahabat-Sahabat BLU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2011 yang selalu berjuang demi tercapainya cita-cita.


(9)

v

Semoga Allah SWT selalu membalas segala amal baik kepada pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Jakarta, 26 Agustus 2015


(10)

vi

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan dan Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Manfaat Penelitian ... 9

F. Tinjauan Pustaka ... 9

G. Teori dan Konsep ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG A. Kedatangan Jepang ke Indonesia ... 16

B. Kebijakan-kebijakan Pemerintah Jepang ... 22

BAB III KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP PENDIDIKAN KAUM MUSLIMIN A. Pelatihan-Pelatihan Ulama dan Guru ... 38

B. Pendidikan Formal Kaum Santri ... 50


(11)

vii

BAB IV DAMPAK KEBIJAKAN PENDIDIKAN TERHADAP KAUM MUSLIMIN

A. Respon Masyarakat Muslim Indonesia Terhadap Kebijakan Jepang ... 68

B. Kemajuan terhadap Pendidikan Muslim di Indonesia ... 72

C. Kemunduran terhadap Pendidikan Muslim di Indonesia ... 74

D. Terbentuknya Organisasi Militer ... 76

BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu pondasi berbagai sistem yang berlaku di Indonesia untuk membangun negara dan meningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan di Indonesia diawasi secara ketat oleh pemerintah. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan gerakan-gerakan perlawanan terhadap keberadaan Belanda di Indonesia dapat muncul dan menyulitkan Belanda. Terutama pada pendidikan Islam di Indonesia, karena umat Islam sangat membenci orang Barat termasuk Belanda. Belanda menerapkan sistem barat1 pada pendidikan di Indonesia untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah. Begitu pula pada masa penjajahan Jepang, melalui beberapa kebijakan, salah satunya melalui pendidikan, Jepang berusaha mengambil hati masyarakat muslim di Indonesia, agar mau membantu Jepang. Akan tetapi berbeda dengan Belanda yang membuat sekolah berdasarkan kelas sosial2 Jepang malah menghapuskan sistem tersebut dan menggantikannya dengan sistem yang baru yaitu sistem integrasi pendidikan.

Keberadaan Jepang ke Indonesia dimulai pada tahun 1938 saat terjadi perang Pasifik. Jerman, Itali, dan Jepang3 berhadapan dengan sekutu yang terdiri

1

Harry J. Benda, Bulan Sabit Dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (trjmh), (Jakarta: Pt. Dunia Pustaka Jaya, 1980), h. 59.

2

Sistem pendidikan ini mengakibatkan semakin melebarnya jurang pemisah antara yang memerintah dengan yang diperintah. Ibid, h. 61.

3

Jepang adalah satu dari 3 negara terkaya di dunia, selain Amerika Serikat dan Jerman. Wilayahnya yang kecil menyimpan jumlah penduduk yang sangat banyak, menempati urutan


(13)

2

dari Inggris, Perancis, Rusia, dan Amerika.4 Pada tanggal 7 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbour (pangkalan militer Amerika) di Hawaii. Dengan serangan ini, perang Pasifik pun meletus. Dalam waktu kurang dari 5 bulan sejak Pearl Harbour jatuh, Jepang menguasai hampir seluruh Asia Tenggara, kecuali Thailand. Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi wilayah jajahan Jepang.

Jepang telah mengincar Indonesia karena kaya akan sumber daya alamnya yang sangat dibutuhkan oleh Jepang. Sebelum perang beberapa misi diplomatik dan dagang Jepang telah beberapa kali berusaha membujuk pemerintah kolonial Belanda untuk mengizinkan mereka mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Namun permintaan mereka ditolak. Kini keikutsertaan Belanda dalam Perang Pasifik memberikan kesempatan emas bagi Jepang untuk menguasai Kepulauan Nusantara.5

Jepang menyerang Indonesia pada tanggal 10 Januari 1942 dan mengarahkan serangan awalnya ke berbagai daerah pertambangan minyak di Tarakan dan Balikpapan di Kalimantan serta Palembang di Sumatra. Pada akhir Februari 1942, armada Laut Jepang berhasil melumpuhkan armada gabungan Sekutu dalam pertempuran di laut Jawa. Hal tersebut dilakukan Jepang agar lebih

ketujuh dunia. Negara yang miskin lahan pertanian ini menyokongnya dengan aneka ragam industry ,efisiensi dan teknologi Skill, Jepang melesat jauh dengan peradaban yang mengagumkan. Tercatat sebagai nomor satu dalam industri dan usaha perikanan laut, Jepang adalah penangkap ikan terbanyak dengan 15% tangkapan dunia. Tidak terbilang betapa luasnya kemajuan yang telah dicapai setelah Perang Dunia II dan pemboman Hirosima dan Nagasaki, Jepang dapat bangkit sebagai negara yang berkemampuan teknologi yang dikenal di seluruh dunia. Atlas Global Indonesia-Dunia:34 Provinsi Di Indonesia Dilengkapi Provinsi Kalimntan Utara untuk SD, SMP, SMA,& UMUM, (Surabaya: PT. Mitra Agung), h. 99.

4

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2012), h. 34.

5

Nino Oktorino, Konflik Bersejarah: Ensiklopedi Pendudukan Jepang Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2013), h. IX.


(14)

mudah dalam menguasai Indonesia. Pada tanggal 8 Maret 1942 Indonesiapun jatuh ketangan Jepang.6

Guna mendukung kepentingan perangnya, pemerintah Jepang di Indonesia di masa pendudukannya berkeinginan untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki Indonesia, baik sumber daya ekonomi, sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya.7 Jepang memahami Indonesia dengan mayoritas umat Islam. Jepang jelas menyadari pentingnya Islam sebagai suatu unsur kekuasaan di desa Indonesia.8 Karena Jepang menganggap Islam sebagai sebuah idiologi yang bertentangan dengan kebudayaan barat, yaitu dengan perang suci melawan Kristen.9 Oleh karena itu, Jepang berusaha untuk memanfaatkan umat Islam dalam melawan sekutu.

Berbeda dengan sikap yang ditunjukkan Belanda, pemerintah militer Jepang menunjukkan sikap yang bersahabat terhadap alim ulama dan berusaha menggalang kerja sama dengan mereka.10 Jepang berharap guru-guru agama dapat membantu Jepang dalam memobilisasi masyarakat Indonesia melalui pendidikan. Karena guru merupakan inti dari suksesnya suatu pendidikan, maka gurulah yang harus dididik terlebih dahulu. Oleh karena itu Jepang pun mengadakan kursus baik kursus untuk alim ulama maupun guru-guru. Kursus-kursus tersebut mulai dilakukan pada bulan Juni 1942 di Jakarta, yang diikuti oleh 122 orang guru dari berbagai daerah di Jawa dan Madura. Kursus ini dilakukan untuk mengindoktrinasi para guru dengan semangat Jepang dan tujuan Perang Pasifik

6

Oktorino, Konflik Bersejarah, h. X. 7

A.B Lapian (penyunting), Di bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalami, (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988) h. 85.

8

Benda, Bulan Sabit Dan Matahari Terbit, h. 139. 9

Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945,

(Depok: Komunitas Bambu, 2015) h. 304. 10


(15)

4

serta Hakko Iciu (delapan Benang dibawah satu atap) yang intinya adalah pembentukan lingkungan yang meliputi bagian besar dunia dibawah dominasi Jepang.11

Jepang menyadari pentingnya pendidikan, karena melalui pendidikan mentalitas dan cara berfikir masyarakat Indonesia dapat diubah dari mentalitas Eropa kepada alam pikiran Jepang. Melalui pendidikan, tercipta kader-kader khusus para pemuda sebagaimana yang diharapkan Jepang.12

Oleh karena itu Jepang membuat Shumubu yang merupakan kantor urusan Agama, yang salah satu tugasnya yaitu mengawasi pendidikan masyarakat Indonesia, melakukan kursus-kursus atau pelatihan ulama, dan lain-lain. Pihak Jepang membentuk Bagian Pengajaran dan Agama di bawah pimpinan Kolonel Horie, ia meminta agar umat Islam tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat politik.13 Oleh karena itu kegiatan umat Islam hanya sebatas masalah agama, sosial, dan pendidikan.

Pendidikan sekolah, terutama sekolah dasar, merupakan salah satu aspek yang banyak dimanfaatkan oleh pemerintah militer Jepang sebagai sarana untuk mengindoktrinisasi massa. Ketika pendudukan dimulai, sebagian besar sekolah yang ada ditutup, dan baru pada akhir april 1942 diputuskan untuk membuka kembali sekolah dasar pribumi dengan kurikulum baru.14 Tidak hanya berlangsung pembukaan kembali bekas-bekas sekolah-sekolah pemerintahan Belanda, sekolah-sekolah swasta pun diizinkan dibuka kembali, misalkan sekolah

11

Imran, Amrin, Di bawah Pendudukan Jepang 1942-1945, dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ad), Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang Dan Revolusi Jilid 6, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012. h. 75.

12

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI :Zaman Jepang dan Republik Indonsia (1942-1998) edisi pemutakhiran, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2011) h. 95.

13

Ibid, h. 38. 14


(16)

Agama Islam, sekolah Taman Siswa, dan sekolah Muhammadiyah.15 Sekolah-sekolah Islam dan taman siswa diberikan kemudahan oleh pemerintah Jepang sedangkan sekolah-sekolah swasta Kristen mendapatkan kesulitan memperoleh izin dari pemerintah Jepang.16 Meskipun sekolah-sekolah Islam diberikan kebebasan (tidak begitu dibatasi), namun harus memasukkan bahasa Jepang, olahraga, kerja bakti dalam kurikulumnya.17

Golongan pemuda sangat mendapat perhatian dari pemerintah Jepang. Perhatian Jepang dicurahkan kepada kaum muda ini karena mereka pada umumnya memiliki sifat yang giat, penuh semangat, dan biasanya masih diliputi idealisme. Mereka dianggap belum sempat dipengaruhi alam pikiran Barat. Oleh karena memiliki sifat-sifat yang demikian, segala propaganda dari pihak Jepang diduga akan mudah ditanamkan kepada mereka. Salah satu yang dipakai untuk mempengaruhi kaum muda ialah sarana pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan khusus seperti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh Jepang.18

Jepang mengubah sistem pendidikan yang berdasarkan kelas sosial buatan Belanda dengan sistem integrasi pendidikan buatan Jepang.19 Pada zaman Belanda hanya anak-anak pejabat desa dan keluarga kaya yang mampu bersekolah, tetapi pada zaman Jepang, setiap orang bisa bersekolah karena tidak dipungut biaya.20 Dalam pengajaran di sekolah-sekolah dilarang menggunakan bahasa Belanda maupun bahasa Inggris, dan Jepang pun berusaha mempromosikan bahasa

15

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia h. 95. 16

Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa, h. 402. 17

A.B. Lapian, (penyunting), Di bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang Yang Mengalami, h. 92.

18

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 42-43. 19

Oktorino, Konflik Bersejarah, h. X. 20


(17)

6

Jepang21 dan budaya Jepang melalui pendidikan. Sistem pendidikan yang diterapkan Jepang tidak terlepas dari maksud dan tujuan pendidikan untuk kepentingan militernya. Jepang mengawasi kurikulum sekolah secara ketat demi menegakkan perjuangannya. Peraturan sekolah pada masa pemerintahan Jepang sangat keras.22 Karena menggunakan sistem militer pada kegiatan-kegiatan di sekolah.

Jepang memperkenalkan kebijakan pendidikan yang demokratis, egaliter (sederajat), dan adil. Kebijakan Belanda yang diskriminatif dalam bidang pendidikan telah diubah oleh Jepang. Undang-undang yang membatasi gerak-gerik para guru agama dan da’i Islam dihapuskan oleh Jepang, sehingga para guru dan da’i dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh leluasa.23

Jepang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan bahasa Belanda. Tetapi para tokoh Islam tidak begitu saja menerima kebijakan-kebijakan yang dibuat Jepang, mereka mempunyai senjata moral, dan dengan itu, para tokoh Islam bisa mengemukakan prasyarat kerjasama dengan Jepang, asalkan agama Islam tidak diganggu.24

Meski demikian, keadaan tersebut hanya sebuah taktik belaka untuk mendapatkan hati rakyat Indonesia. Jepang mulai menunjukkan sifat penjajahnya dan fasisnya kepada bangsa Indonesia, saat kekalahan yang terus-menerus dalam peperangan dengan Tentara Sekutu. Jepang melakukan hal tersebut karena Jepang amat membutuhkan dukungan sumber daya manusia dan logistik untuk keperluan

21

Oktorino, Konflik Bersejarah, h. X. 22

Ahmad Yusuf, Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 buku 1, (Pekanbaru: Badan Kesejahteraan Sosial Provinsi Riau, 2004) h. 63.

23

Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Kencana Prenadamedia Group, 2014) h. 305.

24


(18)

perangnya.25 Kebijakan terhadap pendidikan muslim di Indonesia yang dibuat Jepang semata-mata hanya untuk kepentingan Jepang saja, yaitu untuk memobilisasi umat Islam terutama yang ada di desa-desa untuk membantu Jepang mencapai cita-citanya memenangkan perang dunia II. Kebijakan tersebut bukan untuk membantu Indonesia dalam mencapai kemerdekaan.

B.Identifikasi Masalah

Sejak Awal kedatangan Jepang ke Indonesia, Jepang memang sudah menaruh perhatian yang besar terhadap kaum muslimin di Indonesia. Ketika Belanda menjajah Indonesia, kaum musliminlah yang sangat menentang kebijakan yang dibuat Belanda, karena Belanda berusaha untuk menghilangkan pengaruh Islam di Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, setelah Jepang berhasil merebut Indonesia dari Belanda, Jepang berusaha agar dapat bekerja sama dengan kaum muslimin, agar dapat memenangkan perang Pasifik. Yaitu dengan cara membuat kebijakan baru mengenai pendidikan. Terdapat beberapa permasalahan yang penulis berhasil identifikasi dan berpotensi untuk dijadikan kajian terkait kondisi kaum muslimin Indonesia di bawah penjajahan Jepang, yaitu,

1. Jepang memiliki kebijakan khusus terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia.

2. Jepang menerapkan kebijakan politik terhadap organisasi Islam, yakni, dengan didirikannya Masyumi sebagai sebuah organisasi fusi dari beberapa ormas Islam lainnya.

25


(19)

8

C.Batasan dan Rumusan Masalah

Dari permasalahan yang berhasil penulis identifikasi, akhirnya penulis membatasi permasalahan dalam skripsi ini pada permasalahan seputar kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia (1942-1945), di mana kaum muslimin di jadikan objek dalam pembuatan kebijakan. Penulis juga akan menelusuri lebih jauh mengenai dampak dari kebijakan yang dibuat Jepang. Batas tahun yang digunakan ialah tahun 1942-1945. Dan batasan wilayah yang penulis gunakan yakni Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan pemaparan permasalahan tersebut, maka rumusan pertanyaan dalam penelitian ini di antaranya:

1. Bagaimana keadaan Indonesia pada masa penjajahan Jepang?

2. Bagaimana kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslim di Indonesia?

3. Bagaimana dampak kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia?

D.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui keadaan Indonesia pada masa penjajahan Jepang

2. Mengetahui kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia

3. Mengetahui dampak kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia


(20)

E.Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran mengenai keadaan Indonesia pada masa penjajahan Jepang, kebijakan Jepang terhadap pendidikan muslim di Indonesia, dampak dari kebijakan tersebut dan respon masyarakat muslim Indonesia terhadap kebijakan yang dibuat oleh Jepang.

2. Menambah pengetahuan tentang kebijakan Jepang terhadap pendidikan muslim di Indonesia oleh mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Tinjauan Pustaka

Penulis mencari sumber yang berkaitan dengan kebijakan Jepang terhadap pendidikan muslim di Indonesia. Buku-buku tentang masa penjajahan Jepang memang sudah cukup banyak, namun sepengetahuan penulis belum banyak yang membahas mengenai kebijakan Jepang terhadap Muslim di Indonesia terutama kebijakan dalam pendidikan. Dalam skripsi-skripsi yang telah ada, baik di Perpustakaan Adab maupun Perpustakaan Utama, penulis belum menemukan satupun judul yang membahas mengenai kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia, walaupun ada skripsi mengenai penjajahan Jepang di beberapa daerah di Indonesia yang tercantum dalam katalog perpustakaan Utama UIN, tetapi dalam bentuk bukunya tidak ada atau belum penulis temukan di Perpustakaan Utama maupun di Perpustakaan Adab.


(21)

10

Banyak karya ilmiah yang sudah ditulis terkait dengan Jepang di Indonesia, antara lain;

Skripsi tentang “Kebijakan Jepang Dalam Bidang Pendidikan Terhadap

Orang Indonesia Tahun 1930—1945”26, yang ditulis oleh Dimas Suryo Subidyo,

tetapi skripsi ini berbeda dengan penulis “Kebijakan Jepang Terhadap Pendidikan

Kaum Muslimin Di Indonesia (1942-1945)” dari judul maupun dari isi skripsi

tersebut sangat berbeda, dalam skripsi tersebut lebih menekankan kepada kebijakan Jepang bagi warga Indonesia yang belajar di Jepang, sedangkan penulis lebih menekankan kepada kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia pada masa penjajahan Jepang.

Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan

Jepang.27 Buku ini membahas tentang Sejarah politik Islam Indonesia, terutama

masa pendudukan Jepang. Dalam buku ini menjelaskan bahwa apapun politik terhadap Islam yang dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam, hasilnya akan berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaan tersebut. Seperti Jepang yang ingin memanfaatkan umat Islam di Indonesia dalam memenangkan Perang Dunia II, tetapi pada gilirannya Jepanglah yang dimanfaatkan oleh politisi Islam untuk mencapai tujuan yang sangat berbeda dengan tujuan Jepang.

Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945.28 Buku

ini menelusuri perubahan-perubahan sosial ekonomi serta dampak psikologis yang terjadi dalam masyarakat di wilayah pedesaan Jawa selama masa pendudukan

26

Dimas Suryo Sudibyo, “Kebijakan Jepang dalam Bidang Pendidikan Terhadap Orang

Indonesia Tahun 1930-1945”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 2009).

27

Harry J Benda. Bulan Sabit Dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (trjmh), (Jakarta: Pt. Dunia Pustaka Jaya, 1980)

28

Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945,


(22)

Jepang. Buku ini membahas tentang kebijakan-kebijakan Jepang terhadap masyarakat pribumi yang bertujuan untuk memperoleh sumber daya ekonomi dan manusia guna mendukung operasi militer militer Jepang. Oleh karena itu, Jepang bekerja sama dengan seluruh rakyat Indonesia, dengan cara membuat berbagai program untuk menarik dukungan rakyat, sekaligus membentuk pemikiran dan tingkah laku mereka. Semua kebiajakan Jepang itu merupakan strategi politik Jepang untuk menghasilkan nilai budaya dan kepercayaan yang baru. Namun, mengakibatkan masyarakat mengalami keguncangan yang tidak pernah dialami sebelumnya.

Sejarah Peradaban Islam Indonesia.29 Buku ini memang tidak secara

khusus membahas mengenai Kebijakan Jepang Terhadap Pendidikan Muslim di Indonesia, tetapi hanya memberikan informasi mengenai keadaan rakyat Indonesia terutama muslim Indonesia pada masa penjajahan Jepang, pemberontakan-pemberontakan rakyat Indonesia dalam melawan Jepang, dan dampak positif dari penjajahan Jepang bagi orang-orang muslim Indonesia.

Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang Dan Revolusi Jilid 6.30 Dalam buku

ini dijelaskan tentang Indonesia di bawah pendudukan Jepang yang terdapat pada bab II yang terbagi dalam 7 pembahasan. Pembahasan pertama yaitu terbentuknya rezim militer Jepang, pembahasan kedua tentang mobilisasi politik, pembahasan ketiga tentang ekonomi perang, pembahasan keempat tentang program militer jepang, pembahasan kelima tentang politik Islam Jepang, pembahasan yang keenam tentang pengendalian politik dan budaya, dan yang ketujuh membahas

29

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2012).

30

Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ad), Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang Dan Revolusi Jilid 6, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012.


(23)

12

tentang gerakan bawah tanah sebuah istilah yang lazim digunakan untuk mereka yang tidak bersedia bekerja sama dengan rezim berkuasa dan sebaliknya menyusun perlawanan dengan jalan sembunyi-sembunyi. Tokoh gerakan bawah tanah yaitu, Tan Malaka, dan Amir Sjarifuddin. Dan Dalam Bab III juga membahas tentang penjajahan Jepang, menjelang kemerdekaan Indonesia.

Sejarah Nasional Indonesia VI :Zaman Jepang dan Republik Indonsia

(1942-1998).31 Dalam buku ini dijelaskan tentang Pendududkan Jepang di

Indonesia pada bab I zaman Jepang yang terbagi kedalam 8 pembahasan, pertama mengenai susunan dan perkembangan pemerintahan pendudukan Jepang, kedua mengenai pergerakan Indonesia dan Jepang, ketiga mengenai mobilisasi rakyat,

keempat mengenai ekonomi perang yang diterapkan Jepang di Indonesia, kelima

mengenai pendidikan, komunikasi Sosial dan Budaya di Indonesia, keenam mengenai perlawanan rakyat terhadap Jepang, ketujuh mengenai janji mengenai status Indonesia di kemudian hari, dan yang terakhir mengenai situasi Indonesia menjelang kemerdekaan.

G.Teori dan Konsep

Dalam penulisan skripsi ini, saya menggunakan dan mengambil konsep dari Buku Hary J. Benda yang berjudul Bulan Sabit Dan Matahari Terbit: Islam

Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang 32, tentang politik terhadap Islam

bahwa apapun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaan

31

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI :Zaman Jepang dan Republik Indonesia (1942-1998) edisi pemutakhiran, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2011).

32

Harry J Benda. Bulan Sabit Dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (trjmh), (Jakarta: Pt. Dunia Pustaka Jaya, 1980).


(24)

tersebut.33 Sama seperti penjajahan Jepang, Jepang berusaha membuat kebijakan-kebijakn baru yang tujuannya untuk memanfaatkan rakyat Indonesia agar mau membantu Jepang dalam perang dunia melalui pendidikan, namun malah sebaliknya, kebijakan yang dibuat Jepang tersebut dimanfaatkan oleh kaum muslimin untuk mempersiapkan diri, merebut kemerdekaan Indonesia dari Jepang.

H.Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang dalam hal ini penulis ingin mendiskripsikan atau menjelaskan tentang kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslim di Indonesia. Dalam hal ini metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya yaitu, heuristik atau pengumpulan data, kritik sumber baik intern maupun ektern, interprestasi atau penafsiran, dan tahap terakhir adalah historiografi atau penulisan sejarah.34

Pada tahap heuristik atau pengumpulan sumber-sumber (data-data), di mana sumber-sumber mengenai kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia, penulis temukan di Perpustakaan Fakultas Adab, Perpustakaan Utama, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan UI, Arsip Nasional Republik Indonesia, dan di toko-toko buku. Penulis juga menggunakan sumber sezaman berupa majalah dan surat kabar yang diterbitkan pada tahun 1942-1945, seperti;

Soeara Muslimin Indonesia, Soeara Madjelis Islam A’lla Indonesia, Djawa

Baroe, Pandji Poestaka, Kan Po (Berita Pemerintah) dan surat kabar Asia Raya.

33

Harry J Benda. Bulan Sabit Dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (trjmh), (Jakarta: Pt. Dunia Pustaka Jaya, 1980). h. 10

34

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), hlm. 89.


(25)

14

Sedangkan untuk sumber sekunder, penulis mendapatkan sumber-sumber tertulis berupa buku, artikel dan lain-lain.

Tahap berikutnya adalah kritik sumber atau verifikasi, agar diperoleh data yang absah, setelah melalui fase kritik, di mana penulis sudah menemukan korelasi dan pemahaman yang baru mengenai tema yang akan dibahas. Setelah itu penulis melakukan interpretasi, di mana penulis melakukan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah diseleksi untuk kemudian dilakukan tahap selanjutnya yaitu historiografi. Penulis menguraikan fakta-fakta yang sudah didapat ke dalam penulisan sejarah, dan kemudian menarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan pokok yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini.

I. Sistematika Penulisan

Bab I menjelaskan tentang pendahuluan yang di dalamnya berisi tentang latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, teori dan konsep, tujuan penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan

Bab II menjelaskan tentang gambaran Indonesia pada masa penjajahan Jepang meliputi; kedatangan Jepang ke Indonesia, dan kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang

Bab III menjelaskan tentang kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia meliputi; pelatihan-pelatihan ulama dan guru, pendidikan formal kaum santri ,dan pelatihan-pelatihan kaum santri

Bab IV menjelaskan dampak kebijakan pendidikan terhadap kaum muslimin meliputi; respon masyarakat muslim indonesia terhadap kebijakan Jepang,


(26)

kemajuan terhadap pendidikan muslim di Indonesia, kemunduran terhadap pendidikan muslim di Indonesia, dan terbentuknya organisasi militer


(27)

16

BAB II

INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG

A.Kedatangan Jepang ke Indonesia

Pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia, Belanda semakin ketat mengawasi kegiatan radikalisme, dan Belandapun berhasil menahan kegiatan politik kaum nasionalis. Akhirnya kaum nasionalisme tersebut tidak lagi mengarahkan dukungan massa secara terbuka, tetapi sebagian di antaranya menyalurkan kegiatan politik mereka melalui dunia pendidikan atau bergerak di bidang sosial-budaya.1 Hal tersebut dilakukan agar mereka tetap dapat menanamkan jiwa nasionalisme terhadap rakyat Indonesia, agar mau berjuang dan menuntut hak-hak mereka yang telah hilang selama penjajahan, terutama hak untuk merdeka.

Saat negeri Belanda telah diduduki oleh Jerman pada bulan September 1939, pemerintah Belanda berusaha menutupi berita tersebut di Hindia Belanda. Dalam suasana yang terjepit semacam itu, Pemerintah Belanda berusaha untuk bekerja sama dengan rakyat Indonesia. Penguasa kolonial mulai sedikit mengurangi sikap keras mereka terhadap kaum pergerakan dan mengambil jalan kompromi. Kesediaan untuk menerima sikap bekerjasama dengan kaum pergerakan yang moderat telah memungkinkan diizinkannya kembali partai-partai politik. Kerajaan Belanda sejak diduduki Jerman terpaksa menjalankan pemerintahan dalam pengasingan.2 Walaupun di kalangan orang-orang Belanda

1

Mukhlis Paeni dan Mestika Zed, Perang Pasifik dan Jatuhnya Rezim Kolonial Belanda,

dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ad), Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang Dan Revolusi Jilid 6, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012. h. 5.

2


(28)

terdapat juga kelompok yang bersimpati terhadap pergerakan nasional Indonesia, tetapi sikap pemerintah Hindia Belanda sampai saat-saat terakhir menjelang keruntuhannya tetap tidak berubah,3tetap acuh dan tidak menghiraukan tuntutan-tuntutan dari rakyat Indonesia.

Selain menghadapi tuntutan-tuntutan dari rakyat Indonesia untuk melakukan perubahan ketatanegaraan sesuai dengan keinginannya rakyat Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda juga menghadapi masalah pelik mengenai hubungan dagang Hindia Belanda dengan Jepang. Organisasi bisnis Jepang di Asia Tenggara, terutama di Hindia Belanda, sudah berlangsung sebelum perang Perang Dunia II, terutama sejak dibukanya konsultan Jepang di Batavia sejak 1909. Pada 1940, konsultan Jepang di Batavia mengajukan tuntutan agar Hindia Belanda bersedia memperbesar kuota ekspor minyak buminya. Tuntutan ini tidak mungkin dipenuhi oleh pemerintah Hindia Belanda. Salah satu alasan resmi penolakan itu ialah karena neraca nilai impor Jepang tidak seimbang dengan nilai ekspor Jepang ke Indonesia. Penguasa di Batavia hanya menyanggupi dalam jumlah yang sangat jauh dibawah kuota yang diminta Jepang. Selain itu Jepang juga menuntut ekspor bahan-bahan lain, seperti karet, timah putih biji besi dan biji mangan dengan jumlah yang juga cukup banyak. Sudah pasti permintaan ini ditolak oleh pemerintah Belanda.

Pada bulan Januari 1941, Jepang mencoba kembali mengirim delegasi di bawah pimpinan Yoshizawa Kenkichi. Kali ini Jepang menuntut konsesi ladang minyak seluas 1,7 juta hektar. Pemerintah Belanda akhirnya hanya bersedia memberi 0,3 hektar juta sebagai langkah awal. Selain itu Jepang juga menuntut

3

Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995) h. 174.


(29)

18

agar orang Jepang diizinkan memasuki Indonesia sabagai dokter, pedagang perantara, atau profesi lainnya. Namun perundingan tersebut mengalami jalan buntu. Dan akhirnya pada 27 Juni 1941 delegasi Jepang kembali kenegerinya. Yoshizawa tidak menerima pernyataan Belanda bahwa Hindia Belanda sewaktu-waktu dapat membatasi kuota ekspor.

Sementara itu, pada 27 Juli 1941 Amerika Serikat memutuskan hubungan ekonomi dengan Jepang setelah sebelumnya membatasi ekspor minyaknya. Pemutusan hubungan ekonomi itu dilakukan sebagai reaksi Amerika Serikat terhadap pendudukan Jepang atas Indocina. Tindakan Amerika Serikat itu diikuti oleh Inggris dan kemudian oleh Hindia Belanda. Hubungan Internasional yang memburuk yang menimpa Jepang, terutama dengan saingannya di Timur ini, merupakan penyebab Jepang melakukan manuver politik4 eskpansionis ke selatan saat meletusnya Perang Pasifik pada awal Desember 1941. Kelompok bisnis yang terkait dengan semangat Nashinron berperan besar dalam membantu invansi Jepang di Hindia Belanda.5

Sebelum masuk ke Indonesia, propaganda Jepang telah digiatkan keseluruh pelosok bahwa Jepang sebagai penyelamat Asia dari penjajahan asing, Jepang akan datang mengusir Belanda dan membela kepentingan rakyat Indonesia.6 Untuk mewujudkan impiannya menyatukan Asia Timur di bawah kekuasaanya, Jepang terlebih dahulu harus menghancurkan kekuatan armada Amerika di Pasifik yang berpangkalan di Pearl Harbour, Hawaii, sebelum menyerang Hindia Belanda. Oleh karena itu untuk menghancurkan Armada Amerika, disusun

4

Gerakan yang cepat dalam bidang politik. www.kamusbesar.com (akses: Rabu, 12 Agustus 2015)

5

Paeni dan Zed, Perang Pasifik dan Jatuhnya Rezim Kolonial Belanda, h. 13. 6

Ahmad Yusuf, Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 buku 1, (Pekanbaru: Badan Kesejahteraan Sosial Provinsi Riau, 2004) h. 44.


(30)

rencana serangan rahasia oleh Isoroku Yamamoto pada bulan September 1941. Pada bulan berikutnya, tanggal 26 November 1941, Armada Laksamana Noichi

Nagumo yang diangkat sebagai panglima perang bergerak dari pulau Kuril.

Pada tanggal 2 Desember 1941, ketika masih dalam pelayaran, laksamana Nagumo menerima telegram sandi dari Yamamoto agar ia melaksanakan serangan. Hari H ditetapkan tanggal 7 Desember 1941.7 Serangan udara Jepang dilancarkan dalam dua gelombang. Gelombang pertama dimulai pukul 07.30 pagi. Sebanyak 183 pesawat pembom diterbangkan dari kapal induk.Sasarannya adalah kapal-kapal perang Amerika yang berlabuh disekitar Pulau Ford. Satu jam kemudian Jepang melancarkan serangan gelombang kedua dengan 170 pesawat pembom dan penempur. Selain melakukan pengeboman pesawat pesawat tersebut juga melakukan Straffing dari udara. Kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat terbang Amerika Serikat kembali menjadi sasaran disamping instalasi-instalasi militer lainnya, seperti gudang pembekalan dan bahan bakar. Serangan Jepang terhadap Pearl Harbour berakhir kira-kira pukul 10.00 pagi. Dalam waktu dua setengah jam, Jepang telah menimbulkan kerugian yang cukup besar pada pihak Amerika Serikat.8

Serangan Jepang tersebut membuat presiden Amerika marah, dan pada sore harinya presiden Roosevelt menandangani pernyataan perang terhadap Jepang.9 Dengan pengumuman itu pemerintah Hindia Belanda telah menyatakan perang terhadap Jepang. Dengan pernyataan perang terhadap Jepang, baik yang dinyatakan oleh pemerintah Hindia Belanda maupun kerajaan Belanda, secara

7

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI :Zaman Jepang dan Republik Indonsia (1942-1998) edisi pemutakhiran, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2011) h. 1.

8

Paeni dan Zed, Perang Pasifik dan Jatuhnya Rezim Kolonial Belanda, h. 13-14. 9


(31)

20

resmi Indonesia sudah diseret ke dalam perang, walaupun tanpa pernyataan itu Indonesia juga tidak akan luput dari serbuan Jepang.

Invasi Jepang ke Indonesia diawali dengan serangan udara. sesudah itu diikuti oleh pendaratan pasukan. Kekuatan udara Jepang lebih hebat dibandingkan dengan kekuatan udara Hindia Belanda. Serangan pertama dilancarkan dari Davao pada 10 Januari 1942,10 sehari setelah Jepang menyatakan perang terhadap Belanda. Sasarannya adalah Tarakan untuk menguasai instalasi minyak kota itu. Dalam melancarkan serangan ini, Jepang berusaha untuk tidak menjatuhkan bom di instalasi tersebut. Karena instalasi minyak tersebut sangat berguna bagi Jepang. Selain melakukan serangan terhadap Tarakan, Jepang juga menyerang Manado. Dan pada tanggal 11 Januari 1942 pasukan Jepang melakukan pendaratan11di Indonesia.

Setelah Jepang berhasil menguasai Indonesia dengan serangan-serangan udaranya, pada tanggal 7 Maret 1942 pada petang harinya pasukan-pasukan Belanda di sekitar Bandung meminta penyerahan lokal. Kolonel Shoji menyampaikan usul penyerahan lokal dari pihak Belanda ini kepada Jenderal Imamura, tetapi tuntutan Imamura adalah penyerahan total semua pasukan sekutu ke Jawa. Jika pihak Belanda tidak mengindahkan ultimatum Jepang itu, kota Bandung akan dibom dari udara. Jenderal Imamura pun mengajukan tuntutan lainnya, yakni gubernur Jenderal Belanda harus turut dalam perundingan di Kalijati yang diadakan selambat-lambatnya pada hari berikutnya. Akhirnya pihak Belanda memenuhi tuntutan Jepang. Dalam perundingan Kalijati , yang dimulai

10

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI,h. 3. 11


(32)

pukul 17.00 tanggal 8 Maret 1942.12 Berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia ditandai dengan ditanda tanganinya kapitulasi Kalijati oleh Ter Poorten yang menyatakan bahwa Belanda menyerah tanpa syarat.

Orang Indonesia umumnya menyambut kedatangan Jepang dengan perasaan gembira, karena Jepang dianggap sebagai pembebas mereka dari penjajahan Belanda. Serdadu-serdadu Jepang itu menimbulkan rasa kagum penduduk ketika mereka memasuki kota-kota tanpa mendapat perlawanan dari Belanda. Mobil-mobil truk perang diiringi pasukan Jepang berkendara sepeda. Bendera Merah Putih dikibarkan, adakalanya berdampingan dengan “Bendera Hinoo Maru” di berbagai tempat. Kata “Banzai” terucap berulang-ulang dan keras dari mulut mulut penduduk yang terbius yang berarti “selamat datang”.

Serdadu Jepang mendapat sambutan meriah dari rakyat Indonesia, orang-orang Belanda yang muncul di jalan-jalan mendapat hadiah berupa ejekan dan caci maki. Faktor utama yang menimbulkan simpatik rakyat terhadap Jepang tentu saja kebencian mereka terhadap Belanda, baik akibat penderitaan yang langsung mereka rasakan maupun akibat perasaan kebangsaan.

Penduduk Jawa meyakini kebenaran dari Ramalan Joyo Boyo yang berisi bahwa suatu ketika Jawa akan diperintah oleh orang-orang berkulit kuning. Namun pemerintahan mereka tidak lama, dan mereka akan kembali kenegara asalnya. Dan Jawa akan diperintah oleh bangsa sendiri. Dalam pandangan rakyat, orang berkulit kuning tidak lain adalah Jepang.13 Banyak penduduk Jawa yang senang dengan kedatangan Jepang di Indonesia, karena mereka yakin setelah kedatangan Jepang, Indonesia akan segera merdeka.

12

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 9. 13


(33)

22

B.Kebijakan-kebijakan Pemerintah Jepang

Untuk melancarkan aksinya dalam memperoleh cita-citanya yaitu memenangkan Perang pasifik, Jepang membuat berbagai macam kebijakan, yaitu:

1. Bekerjasama dengan Bangsa Indonesia

Untuk dapat bekerja sama dengan rakyat Indonesia, maka terlebih dahulu Jepang berusaha untuk dapat bekerja sama dengan toko-tokoh terkemuka di Indonesia. Tokoh-tokoh nasionalisme Indonesia seperti Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad hatta bersedia melakukan kerja sama dengan pihak pemerintah Jepang, padahal sebelumnya pada masa pemerintah Hindia Belanda mereka bersikap nonkooperatif.14 Berbeda dengan keadaan pada zaman Hindia Belanda dimana pemerintah kolonial menekan kaum nasionalis Indonesia, pada masa pemerintahan Jepang kaum nasionalis diajak bekerja sama oleh penguasa.15 Selain melakukan kerja sama dengan kaum nasionalis, Jepang juga melakukan kerja sama dengan tokoh-toko muslim. Tokoh-tokoh muslim memperoleh perhatian khusus dari pemerintah Jepang. Golongan ini memperoleh banyak kelonggaran dibandingkan dengan nasionalis sekuler.16 Karena ingin menggalang semua kekuatan besar anti-Belanda ke pihaknya, maka Jepang lebih mementingkan kepentingan golongan Islam dari pada memenuhi keinginan para elit nasionalis.17 Jika Jepang berhasil bekerja sama dengan tokoh-tokoh muslim maka secara otomatis rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam juga akan membantu Jepang.

14

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 27. 15

Ibid, h. 29. 16

Ibid, hal, 37 17

Harry J Benda. Bulan Sabit Dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang,(trjmh), (Jakarta: Pt. Dunia Pustaka Jaya, 1980) h. 141.


(34)

Dalam rangka memberikan kelonggaran kepada golongan Islam pulau Jawa, pemerintah militer Jepang masih mengizinkan tetap berdirinya organisasi Islam dari zaman Hindia Belanda yaitu Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937 oleh K.H. Mas Mansur dan kawan-kawan. Jepang memilih MIAI sebagai wadah golongan Islam yang merupakan satu-satunya organisasi gabungan, yang dimiliki umat Islam, tetapi MIAI baru diakui oleh Pemerintah Militer Jepang sesudah mengubah anggaran dasar (asas dan tujuannya). Pada asas dan tujuan MIAI ditambahkan “turut bekerja dengan sekuat tenaga dalam pekerjaan membangunkan masyarakat baru, untuk mencapai kemakmuran bersama di lingkungan Asia raya di bawah pimpinan Dai Nippon”.18 Setelah merubah asas dan tujuannya, maka MIAI baru diakui oleh Jepang dan dapat melakukan kegiatannya seperti biasa, tetapi masih dalam pengawasan Jepang.

Walaupun kaum muslimin berbeda keyakinan dengan Jepang, tokoh-tokoh muslim tetap mau bekerja sama dengan Jepang karena tujuan Jepang sama dengan tujuan rakyat Indonesia yaitu membela tanah Air dan menjaganya agar tidak direbut lagi oleh pihak sekutu, oleh karena itu, tokoh-tokoh muslim berusaha untuk mengajak rakyat Indonesia untuk membantu Jepang seperti yang disampaikan K. H. M. Mansoer dalam surat kabar Soeara Muslimin Indonesia yaitu:

“Kita Ma’loem Soedah bahwa peperangan sekarang ini sedang memuncak peristiwa ini menghendaki poesat perhatian serta pembelaan jang koeat-tegak; karena mengenai djoega Tanah Air kita Indonesia jang termasuk dalam lingkungan Asia Timoer Raya. Mungkin benar bahwa didjita-djita oleh Seokoetoe hendak mereboet kembali tanah djadjahannja, tanah tempat mereka mentjari oentoeng, menumpang hidup di tanah jang elok permai,

18


(35)

24

yaitu tanah kita Indonesia oemoemnya. Mereka beroesaha sekoeat-koeatnya kembali kemari dengan maksoed mendjadjah lagi, sedang kita haroes soedah siap sedia bersama Dai Nippon menantang maksoed itoe oentoek meloempoehkan kekoeasaan mereka. Dan lagi mereka telah beberapa kali mengintai poelau Djawa. Mereka hendak mendarat menjerboe. Maka oleh karena itoe, seloeroeh pendoedoek Djawa seharoesjalah bersatoe-padoe hati dan bekerdja bersama-sama mempertahankan serangan dan serboean itoe karena kita semata-mata membela hak Tanah Air kita. Demikianlah oentoek kemakmoeran bersama dan keselamatan bersama dalam menghindarkan bala bencana itoe, haroeslah lebih-lebih dipererat tali persatoean segenap tenaga dan pendoedoekan Djawa seloeroehnja. Pada waktoe peperangan jang hebat-dasyat ini, memang boekan mandjadi soal tentang faham keyakinan dalam agama. Melainkan pertahanan negeri itoelah jang menjadi pangkalnya. Allah Soebhanahoe wa Ta’ala telah memperingatkan kita seperti jang tersoeboet dalam kitab Soetji Al-Qoer’an, Soerat Al-Baqarah, ayat 145 jang artinja “meskipoen engkau Moehammad soenggoeh akan memberikan dengan segenap boekti kepada mereka itoe tentoe mereka itoe tidak akan mengikoeti kiblat mereka itoe; dan setengah golongan poen tidak

akan mengikoetikiblat golongan lain”. Djadi njatalah, bahwa manoesia

kalaoe soedah mempunyai kejakinan, maka ia kokoh dan koeat poela menepati kejakinan masing-masing. Maka tepatlah bahwa pada saat ini, dasar kejakianan tidak perloe didalam-dalam atau diperselisihkan. Akan tetapi djoeroesan kebaktian dalam satoe toejoean itoelah oetamanya dipersoenggoeh memboelatkannjaoentoek pembelaan Tanah Air dan keselamatan Bangsa karena kita bertahan air satoe dan berbangsa satoe poela. Kemoedian dari pada itoe Toehan berfirman selanjoetnya djoega dalam soerat Al-Baqarah ayat 148jang artinja “Bagi masing-masing mereka itoe soedah mempoenyai hadapan sendiri-sendiri, maka karena itoe

soepaya keyakinan hendaknya serentak berlomba-lomba akan

mengerdjakan kebaikan”. Demikianlah, mengerjakan kebaikan baik digaris

depan atau digaris belakang peperangan , haroeslah mendjadi dasar kita teristimewa dalam masa jang amat genting seperti sekarang ini. Kerdja bersama-sama dengan seboelat hati serta seia sekata insya Allah akan meoedjoedkan hasil jang manfa’at.”19

Selain disampaikan pidato oleh K. H. M. Mansoer untuk mengajak kaum muslimin untuk membantu Jepang, dijelaskan pula mengenai dasar perjuangan kaum muslimin oleh Ahmad Yusuf, bahwa perjuangan yang didasarkan atas dasar keyakinan tak akan sia-sia, dengan cara menguatkan batin dengan pendidikan agama dan menebalkan keyakinan dengan iman dan tauhid;

19“Tjara Kerdja Bersama

-sama jang Oetama K. H. M, Mansoer”, Soeara Muslimin Indonesia, (16 Moeharram 1364/1 Djanoeari 2605, No. 1 Th. III).


(36)

“... Kalimat : La ilaha illallah Moehammadoer Rasoeloellah yang berarti Tidak ada Toehan selain Allah, Moehammad itoe OetoesanNja. Inilah dasar Islam itoe agamanja, dengan bersoempah dihadapan Allah, manoesia dan dirinja sendiri.... djentera zaman berpoetar, seloeroeh doenia oemoemnja, diIndonesia khususnja, dasar hidoep kaum muslimin hantjoer dibawa masa. Namoen begitoe dasar itoe mesti tetap tegoeh didjiwa tiap-tiap Moeslim, selama Qoer’am masih dibatja, selagi matahari masih terbit di Timoer, dasar itoe pada soeatoe masa akan memberi tjorak dan bentoek pada tiap-tiap moeslim....kita kembali kesedjarah perdjoeangan pahlawan-pahlawan dan pradjoerid-pradjoerid dari zaman Rasulullah, sahabat-sahabat dan pahlawan-pahlawan sesoedahnja. Itoelah perdjoeangan jang bersendikan Taoehid dan kejakinan, bersemboyan dari Allah, karena Allah dan oentoek Allah: memandang ringan kepada mati kalaoe mereka madjoe ke medan perdjoeangan bagaikan air bah jang tertahan-tahan , terbelintang poetoes, terbeloedjoer patah. Dengan semangat inilah Islam dapat menjerboe ke Eropa, Afrika hingga ke India. Sebagaimana bangsa Nippon meyakinkan berkoempoelnja roeh-roeh soetji pahlawan-pahlawan tanah asir di Jasoe-koeni Djindja, adalah kaoem moeslimin jang berjoeang kepada djalan Allah, akan kembali kepadanja dengan kesoetjian, karena Allahlah kembali segala sesoeatoe. Kejakinan inilah jang mendjelmakan sedjarah jang bilang-gemilang dalam perjoeangan kaum Moeslimin: sebagaimana gilang-gemilangnja perjoeangan Dai Nippon sekarang ini. Tjita-tjita Hakko Itjioe jang akan diciptakan oleh Dai Nippn itoe, bagi kaoem moeslimin ta’ragoe lagi, jang mereka mempoenjai tjita-tjita seperti itoe poela, selama darah Islam mengalir di toeboehnja. Persemaian boeah dan kesan dasar hidoep, keyakinan dan perdjoangan bangsa Nippon dan kaoem Moeslim inilah jang haroes diselidiki oleh tiap-tipa moeslim dan pemimpin Indonesia jang ikoet dan sedang mmbentoek dasar pembangoenan Indonesia dalam lingkoengan Asia Raja sekarang ini. Dalam gelanggang perjoengan jang menentoekan nasib Indonesia sekarang, dan masa jang akan datang, kaoem Moeslimin di Indonesia soedah mempoenjai pendirian jang tentoe, keyakinan jang tegoeh dan dasar perjoeangan yang soedah tetap, hingga dalam perjoeangan di moeka sekalipoen. Karena mereka yakin, bangoen dan roeboehnja Indonesia, lenjap atau teroelangnja pendjadjahan kembali, menetoekan nasib agama, bangsa dan tanah airnja. Maka oentoek mengobar-ngobarkan semangat perjoeangan poetera Indonesia sekarang ini, siapkanlah batin dengan didikan agama, perkoeatlah dasar jang tegoeh dan tentoe, tebalkanlah kejakinan dengan iman dan tauhid baik pemimpin ataoe jang dipimpin nistjaja ta’ akan sia-sia perjoeangan jang dihadapi dan koerban jang diberikan. Karena gerakan jang berdiri diatas dasar jang tegoehlah jang menimboelkan perjoeangan jang dahsjat dan ta’ tertahan-tahan....”20

20Dasar Perdjoeangan Moeslimin Oleh; Ahmad Joesoef”,

Pandji Poestaka, (Weltevreden: Balai Pustaka,1943).


(37)

26

Selain tetap memperbolehkan berdirinya MIAI, pemerintah Jepang juga mendirikan Kantor Urusan Agama yang pada zaman Belanda disebut kantor Voor Islamistische Saken yang dipimpin oleh orientalis Belanda diubah menjadi

Sumubu yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri, yaitu K.H. Hasyim Asyari dari

Jombang, dan di daerah-daerah disebut Sumuka.21

Secara umum pemerintahan Jepang menaruh perhatian cukup besar atas Islam di Indonesia. Oleh karena itu ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, Jepang berharap dapat bekerja sama dengan kaum muslimin di Indonesia, dengan cara memberikan peran sosial dan politik yang penting kepada para pemimpin Islam. Mereka memandang agama sebagai sebuah alat yang penting untuk memanipulasi pikiran rakyat, dan mereka menaruh perhatian khusus terhadap peran para pemimpin Islam atau alim ulama.22 Karena melalui para pemimpin Islam, Jepang berharap rakyat Indonesia mau bekerja sama dengan Jepang.

2. Mobilisasi Rakyat Indonesia

Jepang memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka Indonesia untuk memobilisasi rakyat Indonesia baik dari kalangan nasionalis sekuler maupun alim ulama, dengan cara memanfaakan sentimen politik anti Barat. Jepang juga mendirikan berbagai organisasi propaganda, dengan berbagai nama dan slogan. Mula-mula diperkenalkan “Gerakan Tiga A”23 yang didirikan pada awal

21

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2012) h. 124.

22

Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945,

(Depok: Komunitas Bambu, 2015) H. 303-304. 23

Organisasi ini disponsori oleh Jawatan Propaganda Sendenbu yang dipimpin oleh Shimizu Hitoshi dan Ichiki Tatsuo, dua orang Jepang yang mahir berbahasa Indonesia. Ketua


(38)

pendudukan sekitar april 1942. “Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia,

Nippon Cahaya Asia”.24 Para pemimpin Gerakan Tiga A adalah seorang ahli

propaganda Jepang yaitu Shimizu Hitoshi dan Ichiki Tatsuo. Shimizu dan Samsuddin merupakan pemimpin muda Parindo, mereka mempergunakan gerakan tersebut untuk mengorganisir kaum intelektual kelompok-kelompok agama, Islam dan Kristen, pejabat-pejabat pemerintahan dan priyayi di beberapa pertemuan. Sedangkan melalui siaran-siaran radio dan surat kabar Jepang menyerukan dukungan rakyat.25 Salah satu subseksi dari gerakan propaganda Jepang (Gerakan Tiga A) yaitu Shumubu (Kantor Urusan Agama).26

Jepang berusaha agar dapat memobilisasi rakyat Indonesia untuk membantu Jepang dalam memenangkan perang dunia ke-II. Kaum pemuda mendapat perhatian kusus dari pemerintah Jepang karena kaum pemuda mudah untuk dipengaruhi. Salah satu sarana yang dipakai untuk mempengaruhi kaum pemuda ialah sarana pendidikan, baik pendidikan umum (pendidikan disekolah) maupun pendidikan khusus (pelatihan-pelatihan yang diadakan Jepang). Pelatihan yang diadakan Jepang bertujuan untuk menanamkan semangat pro Jepang di kalangan kaum pemuda seperti Barisan Pemuda Asia Raya (BPAR). Yang diresmikan pada tanggal 11 Juni 1942 dengan dipimpin oleh Dr. Slamet Sudibyo dan S.A. Saleh.27

umumnya adalah Mr. R. Samsoedin. Organisasi ini terkenal dengan slogan Cahaya Asia Nippon, Pelindung Asia Nippon, pemimpin Asia Nippon. Namun usianya singkat karena tidak didukung oleh para tokoh nasionalis Indonesia maupun pemerintah militer Jepang sendiri. Akhirnya organisasi ini dibubarkan pada bulan September 1942. Nino Oktorino, Konflik Bersejarah: Ensiklopedi Pendudukan Jepang Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2013) h. 33.

24

Imran, Di bawah Pendudukan Jepang 1942-1945, h. 51. 25

Benda. Bulan Sabit Dan Matahari Terbit, h. 143. 26

Imran, Di bawah Pendudukan Jepang 1942-1945. h. 66. 27


(39)

28

Selain BPRA, Jepang juga membuat organisasi semi militer yang terdiri dari

Seinendan dan Keibodan, yang dipimpin oleh Gunseikan.28 Pemuda-pemuda

Indonesia yang ikut menjadi nggota Seinendan diberikan pelatihan-pelatihan militer baik untuk mempertahankan diri maupun untuk menyerang. Mereka adalah pemuda-pemuda yang berusia sekitar 15-25 tahun.29 Sedangkan Keibodan adalah pembantu polisi dengan tugas-tugas kepolisisan seperti penjaga lalu lintas dan pengaman desa. Keibodan terdiri dari pemuda-pemuda yang berusia berkisar 20-35 tahun. Jepang berusaha agar badan ini tidak dipengaruhi oleh kaum nasionalis.30 Selain Keibodan dan Senendan, untuk mengerahkan tenaga kaum perempuan dibentuklah Fujinkai (Himpunan Perempuan) yang dibentuk pada bulan Agustus 1943. Kemudian pada tanggal 15 Desember 1944 diresmikan pembentukan badan resmi semi militer lainnya, yakni Hizbulloh (tentara Alloh) yang berada di bawah naungan Masyumi, yang didirikan pada tanggal 8 Desember 1944.31 Dalam bulan April 1943 dikeluarkan pengumunan yang isinya memberi kesempatan kepada Pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu Prajurit Jepang (Heiho), yang terhimpun dalam Peta (Pembela Tanah Air).32

Selain memobilisasi masyarakat Indonesia dalam bidang militer, Jepang juga mengerahkan rakyat Indonesia untuk menjadi buruh sukarela (Romusa). Pengerahan romusa merupakan eksploitasi pekerja kasar, terutama pemuda. Hal ini dilakukan Jepang untuk menunjang perangnya melawan sekutu.33 Jepang menyebut mereka prajurit pekerja. Pengerahan Romusa dimaksud untuk

28

Gunseikan merupakan kepala pemerintahan militer di bawah Seiko Sukikan, Panglima Tentara. Dipimpin oleh kepala staf dari satuan darat yang bersangkutan. Oktorino, Konflik Bersejarah, h. 35.

29

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 45. 30

Ibid, h. 46. 31

Amrin, Di bawah Pendudukan Jepang 1942-1945 h. 54 32

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 50. 33


(40)

membangun prasarana perang (kubu-kubu pertahanan, jalan raya dan lapangan udara) maupun untuk pekerjaan di pabrik dan pelabuhan.34

Selain mengerahkan laki-laki yang potensial yang berusia antara 16 sampai 40 tahun sebagai pekerja paksa (romusa), pemerintah pendudukan Jepang mengerahkan pula tenaga perempuan tidak saja untuk kepentingan formal seperti

Fujinkai, tetapi juga untuk kepentingan pemuas nafsu. Mereka itu disebut

perempuan penghibur atau Jugun Ianfu.35 Mereka adalah wanita desa yang masih lugu, tidak berpendidikan dan berasal dari keluarga yang secara ekonomi sangat kurang. Namun, ada pula yang berasal dari keluarga terhormat yang terbujuk untuk disekolahkan atau dipekerjakan diluar Indonesia.36 Tetapi pada kenyataannya mereka hanya dijadikan sebagai wanita penghibur. Ini dilakukan Jepang agar tentara Jepang bersemangat dalam bekerja meskipun jauh dari negaranya, dan mencegah terjadinya pemerkosaan oleh tentara Jepang terhadap masyarakat lokal, sehingga nama baik pemerintahan Jepang tetap terjaga. Pengerahan perempuan kebangsaan Indonesia maupun Belanda yang dipaksa menjadi Jugun Ianfu telah mengalami penderitaan lahir batin. Hal ini merupakan salah satu bukti kekejaman Jepang yang memaksa kaum perempuan memenuhi kepentingannya yaitu kepentingan nafsu seksnya.

34

Imran, Di bawah Pendudukan Jepang 1942-1945, h. 55. 35

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 68. 36

Abdurrahman(edt), Dari Kurun Niaga Hingga Orde Baru, Bunga Rampai Sejarah Indonesia, (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, 2007) h. 64.


(41)

30

3. Kebijakan Ekonomi

Jepang berusaha untuk dapat menguasai Asia Tenggara yang disebut Wilayah Selatan (yang terbagi menjadi 2 wilayah: wilayah A yang terdiri atas Malaya, kalimantan Utara, Hindia Belanda dan Filipina dan wilayah B yang terdiri atas Vietnam, Laos dan Kamboja). Tujuannya yaitu untuk memperoleh sumber-sumber bahan mentah untuk industri perang Jepang, terutama minyak bumi dan juga untuk memotong garis perbekalan musuhnya yang bersumber pada wilayah tersebut. Rencana Jepang tersebut akan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap pengusaan dan tahap kedua merupakan rencana untuk jangka panjang, yaitu menyusun kembali struktur ekonomi wilayah tersebut di dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan-bahan untuk perang.

Jepang ingin menguasai Indonesia terutama pulau Jawa karena Jepang menganggap Indonesia mempunyai potensi ekonomi yang luar biasa. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki tanah yang subur dan penduduknya banyak.37 Sebelum Jepang benar-benar menguasai Indonesia, Belanda menghancurkan objek-objek vital yang sebagian besar merupakan tempat produksi dan prasarana ekonomi, ini dilakukan Belanda agar Jepang tidak dapat memanfaatkannya. Akibatnya ialah, pada awal pendudukan Jepang hampir seluruh kehidupan ekonomi di Indonesia lumpuh. Kehidupan ekonomi kemudian sepenuhnya berubah dari keadaan normal menjadi ekonomi perang.38 Ekonomi perang merupakan penerapan berbagai pengaturan, pembatasan dan penguasaan produksi dengan tujuan untuk memenangkan perang.39

37

Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa. h. 3 38

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 75-76. 39


(42)

Setelah berhasil menguasai Indonesia, pemerintah Jepang di Tokyo membuat kebijakan ekonomi pada bulan November 1941 yang isinya;

“Apabila pengurusan bantuan vital bagi pertahanan nasional dan swasembada militer dapat menimbulkan kerugian terhadap tingkat hidup penduduk pribumi, hal itu harus diterima saja.”40

Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang mengambil alih semua kegiatan dan pengendalian ekonomi. Langkah pertama yang dilakukan Jepang adalah rehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat transportasi, dan telekomunikasi yang bersifat fisik. Beberapa peraturan yang bersifat kontrol terhadap kegiatan ekonomi dikeluarkan. Pengawasan terhadap barang-barang yang disita dari musuh diperketat. Untuk mencegah meningkatnya harga barang dan timbulnya berbagai manipulasi secara setempat, dikeluarkan peraturan pengendalian harga dan hukuman yang berat bagi yang melanggar. Harta milik musuh dan harta yang dibiayai dengan modal musuh disita dan menjadi hak milik pemerintah Jepang.41

Di bidang moneter pemerintah Jepang berusaha sekeras-kerasnya untuk mempertahankan nilai gulden atau rupiah Hindia Belanda. Tujuannya ialah agar harga barang-barang dapat dipertahankan seperti sebelum perang dan untuk mengawasi lalu lintas permodalan dan arus kredit. Di bidang perpajakan diadakan pemungutan dari berbagai sumber, termasuk pajak pengahasilan.42 Hal ini dilakukan Jepang agar Jepang mudah untuk melakukan pengendalian ekonomi.

Ketika perang menginjak tingkat krisis pada tahun 1944 dimana Sekutu sudah mendekati Jepang, tuntutan akan kebutuhan bahan baku semakin

40

Imran, Di bawah Pendudukan Jepang 1942-1945, h. 47 41

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 76 42


(43)

32

meningkat. Rakyat dituntut untuk menyetor padi dan menaikkan produksi padi, mereka juga dibebani pekerjaan tambahan yang bersifat wajib, seperti menanam dan memelihara jarak (tumbuhan liar). Pekerjaan ini mengurangi waktu kerja petani apalagi banyak di antara mereka dipaksa menjadi Romusa.43 Kebijakan ini mengakibatkan kesengsaraan yang berlipat ganda bagi rakyat Indonesia.

4. Pengendalian Pendidikan, Komunikasi Sosial, dan Budaya

Pada masa penjajahan Jepang jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500. jumlah sekolah dasar merosot 30 %, ini karena pada awal pemerintahan Jepang banyak sekolah yang ditutup, dan dibuka lagi namun tidak semuanya yang dibuka. Guru-guru sekolah dasar berkurang 35%, sedangkan guru-guru menengah yang aktif kira-kira tinggal 5%. Karena sebagian guru-guru ditarik untuk bekerja dikantor-kantor pemerintahan sebab Jepang kekurangan tenaga untuk menjalankan administrasi pemerintahan.44

Pada masa pendudukan Jepang pendidikan sekolah dasar menjadi 6 tahun. Jepang mengadakan penyeragaman untuk memudahkan pengawasan terhadap sekolah-sekolah tersebut, baik dalam isi maupun penyelenggaraan. Sistem pengajaran dan struktur kurikulum ditujukan kepada keperluan Perang Asia Timur Raya. Jenis sekolah dikelompokkan menjadi dua bagian utama yaitu sekolah umum dan sekolah guru.45 Sekolah guru dibuat untuk melatih guru-guru agar dapat mendidik siswanya sesuai dengan apa yang diharapkan Jepang.

Disiplin militer yang merupakan ciri pemerintahan militer Jepang, diterapkan dalam bidang pendidikan. Seperti yang disampai dalam majalah soeara

43

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 83. 44

Imran, Di bawah Pendudukan Jepang 1942-1945, h. 74. 45


(44)

muslimin Indonesia yang mengomentari pidatonya Moh. Hatta tentang pendidikan untuk rakyat Jelata yaitu:

“... Lihat sadja aliran jang ditempoeh oleh anak-anak kita disekolah-sekolah ataoe dalam doenia pemuda oemoemnja. Kita lihat boewahnya pendidikan mereka itoe jang sangat mengherankan. Peroebahan semangat anak-anak dan pemoeda-pemoeda kita selama tiga tahoen jang belakangan ini menendjoekan dengan tegas adanja kekoeatan jang loear-biasa dalam djiwanja bangsa kita. Djiwanj a bangsa Indonesia, jang selaloe dikira oleh pendjadjah Barat sebagai djiwa-boedak itoe, sebagai disoenglap beroebah menjadi djiwa perkasa djiwa jang tahoe bertjita-tjita loehoer, asal diberi kesempatan, asal diberi didikan jang sewadjarnya. Istimewa aliran

kemiliteranlah jang ditanamkan soenggoeh-soenggoeh dalam dadaja

anak-anak dan pemoeda-pemoeda kita itoe....”46

Sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan menjadi tempat indoktrinasi Jepang.47 Melalui pendidikan Jepang berusaha membentuk kader-kader untuk memelopori dan melaksanakan konsep “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” dan hal itu akan tercapai apabila Jepang memenangkan perang dunia II.48

Meskipun Jepang memberikan kelonggaran terhadap Islam, tetapi Jepang tetap mengawasi dan mengontrol pendidikan Islam rakyat pedesaan. Karena Jepang takut akan bahaya yang ditimbulkan jika sewaktu-waktu terjadi pemberontakan karena adanya unsur Arab dan Pan Islam, oleh karena itu Jepang melarang penggunaaan bahasa Arab. Namun pada akhir tahun 1942, Jepang menghapus larangan tersebut, karena Jepang menyadari bahwa tidak mungkin melarang penggunaan bahasa Arab yang merupakan bahasa suci Al-Quran. Jepang mengizinkan penggunaan bahasa Arab dalam pengajaran agama, apabila kaum muslim mau menerima kurikulum standar di dalam mata pelajaran non-agama dan mengajarkan bahasa Jepang disamping bahasa Arab, dengan demikian

46“Pendidikan di Masa Perang oleh Drs. Moh. Hatta”, Soeara Muslimin Indonesia, (30 Moeharram 1364 /15 Djanoeari 2605, No. 2 Th. 3).

47

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 91-92. 48


(45)

34

Jepang tidak menghilangkan unsur Pan Islam dalam pendidikan Islam di Indonesia.49

Jepang memanfaatkan jalur pendidikan untuk mengubah cara berfikir masyarakat Indonesia dari mentalitas Eropa kepada alam pikir Jepang. Karena Jepang berharap melalui pendidikan tercipta kader-kader yang dapat membantu Jepang, khususnya para pemuda. Sesuai dengan undang-undang No.12 tertanggal 22 April 1942 sekolah yang semula dibekukan dibuka kembali secara berangsur-angsur. Tidak hanya pembukaan sekolah-sekolah bekas Belanda, sekolah-sekolah swasta pun diizinkan dibuka kembali misalnya sekolah agama Islam, sekolah Taman Siswa, dan sekolah Muhammadiyah. Namun kebebasan untuk membuka sekolah-sekolah baru diberikan kepada Jawa Hokokai, sedangkan swasta lainnya hanya diperkenankan untuk membuka sekolah kejuruan dan bahasa.50

Menurut Dr. Mohammad Hatta, yang mendapatkan pendidikan bukan hanya dari golongan terpelajar, tetapi rakyat Indonesia secara keseluruhan perlu mendapatkan pendidikan;

“... Pendidkan bagi rakjat berarti menginsjafkan, menambah pengetahoean, kecakapan akan tjita-tjita. Akan tetapi hal itoe tidak dimengerti oleh seloeroeh rakyat. Maka perloelah seloeroeh rakjat kita bagi atas 5 golongan mendapat pendidikan; 1. Golongan pemimpin, 2. Golongan Pangreh Pradja, 3. Kaoem terpelajar, 4. Rakyat djelata, jang boleh kita bagi dalam 2 golongan rakjat tani dan pekerdja di kota-kota...”51

Pemerintah Jepang juga mengadakan pelatihan-pelatihan atau indokrinasi bagi para guru seluruh Jawa. Karena dalam usaha mencapai sasaran pendidikan, guru memegang peranan yang menentukan, untuk itu gurulah yang harus didik

49

Benda. Bulan Sabit Dan Matahari Terbit. h. 159-160. 50

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 95.

51“Pendidikan Bagi Rakyat Oentoek Mentjapai Indonesia Merdeka

oleh Drs. Moh. Hatta”, Soeara Muslimin Indonesia, No. 1 Th. III. (16 Moeharram 1364/ 1 Djanoeari 2605).


(46)

terlebih dahulu.52 Pada awal zaman Jepang, semua perguruan tinggi ditutup sejak tahun 1943 ada beberapa yang dibuka kembali, seperti Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik di Bandung. Jepang lebih menekankan pada pendidikan dasar dan kurang menginvestasikan uang serta usaha pada pendidikan lanjutan. Mereka lebih menaruh perhatian atas pengembangan tingkat melek huruf pada masyarakat bawah dibandingkan dengan penciptaan orang elit (golongan yang lebih sedikit jumlahnya) yang memiliki kecakapan dan kecerdasan lebih. Kebijakan ini persis seperti yang diharapkan di Jepang pada awal periode Meiji. Dengan cara ini Jepang sangat berhasil di dalam meningkatkan mobilitas sosial ke atas dan menyediakan kemampuan dasar bagi masa, yang memungkinkan memperoleh keahlian industri.53

Pemerintahan Jepang saat menduduki Indonesia sangat mengendalikan media komunikasi massa, baik surat kabar, majalah, radio, film dll, untuk menyebarkan propaganda Jepang. Surat kabar dan majalah terbit tanpa izin istimewa, tetapi diawasi oleh badan-badan sensor. Pikiran-pikiran atau pendapat yang tidak sesuai dengan kehendak Jepang, dilarang. Surat Kabar yang terbit berada di bawah pengawasan badan yang diberi nama Jawa Shinbukai. 54 Jepang melakukan pengawasan yang ketat terhadap semua alat pemberitaan baik radio, kantor berita Domei, maupun surat kabar. Selain surat kabar seperti Soeara Asia,

Asia Raya dan lain-lain, diterbitkan juga majalah-majalah seperti Djawa Baroe,

Oandji Poestaka, dan lain-lain.55

52

Imran, Di bawah Pendudukan Jepang 1942-1945. h. 75. 53

Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa. h. 406. 54

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 99. 55


(47)

36

Radio juga penting sebagai alat komunikasi massa, dan karena itu Jepangpun setelah menduduki Indonesia terus bertindak menguasai radio, baik swasta maupun semi pemerintah seperti perserikatan-perserikatan Radio

Ketimuran (PPRK), Nederlands-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM)

dan sebagainya. Setelah menghentikan semua aktivitas siaran radio swasta dan semipemerintah tersebut, Jepang mendirikan suatu badan yang mengurus dan menyelenggarakan siaran radio, baik di pusat maupun daerah-daerah, Badan ini diberi nama Hoso Kanrikyoku.

Walaupun pengawasan yang dilakukan Jepang sangan ketat, tetapi masih ada celah yang dapat ditembus oleh pejuang-pejuang Indonesia yang bekerja di kantor-kantor tersebut. Mereka mengetahui dari siaran-siaran luar negeri mengenai kedudukan kedua belah pihak yang terlibat dalam perang Pasifik. Sarana komunikasi, pers dan radio pada masa pendudukan Jepang memainkan peran penting dalam menyebarluaskan serta meningkatkan semangat nasionalis rakyat Indonesia, karena mereka dapat mendengar dan membaca pidato-pidato dan tulisan-tulisan para tokoh pergerakan nasional Indonesia.56 Seperti pidato yang disampaikan wakil ketua Masyumi, Wahid Hasyim, pada tahun terakhir kekuasaan Jepang di Indonesia;

“Sejarah masa lampau kami (demikian namanya)telah menunjukkan bahwa lkami belum mencapai kesatuan. Demi kepentingan kesatuan ini, yang sangat kami perlukan secara pendesak dan dalam usaha untuk membangun negara Indonesia kita, didalam pikiran kami pertanyaan yang penting bukanlah, “Di manakah akhirnya tempat Islam(didalam negara itu)?.” Akan tetapi pertanyaan yang terpenting adalah, “dengan jalan manakah akan kami jamin tempat agama (kami) di dalam Indonesia Merdeka?” karena itu saya ulangi: Yang sangat kita butuhkan saat ini adalah persatuan bangsa yang tak terpecahkan.”57

56

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h. 102. 57


(48)

Lenyapnya bahasa Belanda dari dunia perguruan dan dari pergaulan sehari-hari memberikan kesempatan yang baik bagi pemakaian dan pengembangan bahasa Indonesia. Orang Belanda sendiri dilarang memakai bahasanya sendiri. Demikian kerasnya larangan pemakaian bahasa Belanda sehingga boleh dikatakan di semua toko, rumah makan, perusahaan, perkumpulan dan lain-lainnya papan nama atau papan iklan yang berbahasa Belanda diganti dengan yang berbahasa Indonesia atau berbahasa Jepang.

Jepang berusaha mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Jepang, oleh karena itu di semua sekolah yang dibuka kembali oleh Jepang diberi mata pelajaran bahasa Jepang. Dikota-kota besar, kecil maupun kantor-kantor diadakan kursus bahasa Jepang, yang juga mengadakan ujian. Bahkan terdapat pula sekolah-sekolah khusus untuk pengajaran bahasa Jepang. Pelajaran bahasa Jepang juga disiarkan melalui radio dan majalah.58 Selama bulan Ramadhan juga diadakan pengajaran bahasa Nippon untuk para pegawai negeri.59 Jepang berkeinginan kuat untuk mempromosikan sebuah bahasa bersama demi mendorong komunikasi sosial antar penguasa dan rakyat, serta antara rakyat dari berbagai daerah.60

58

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h. 103.

59“Sekolah Bahasa Nippon Tinggi”

Asia Raya, (Djoem’at Paing, 3 Agoest 2665/25 Roewah 1364)

60


(49)

38

BAB III

KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP PENDIDIKAN KAUM MUSLIMIN

Secara umum pemerintah Jepang menaruh perhatian cukup besar terhadap Islam di Indonesia karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu, untuk dapat mengambil perhatian rakyat Indonesia maka Jepang membuat kebijakan pendidikan yang berpihak kepada kaum muslimin serta memberikan peranan sosial dan politik yang penting kepada para pemimpin Islam. Sesuatu yang jelas berbeda dari kebijakan Belanda. Ketika tentara Jepang menduduki Indonesia pada 1942, harapan akan kerja sama dari kaum muslimin menjadi sebuah kebutuhan yang penting, untuk dapat memenangkan perang dunia II. Jepang berusaha untuk mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia dengan membuat kebijakan-kebijakan, salah satunya yaitu dalam bidang pendidikan. Kebijakan tersebut antara lain;

A.Pelatihan-Pelatihan Ulama dan Guru

1. Kerangka Dasar

Islam adalah alat yang paling paling efektif untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Oleh karena itu, kedudukan alim ulama sangat penting untuk mempengaruhi rakyat Indonesia melalui pendidikan. Seperti yang disampaikan alim ulama;

“... Kita haroes tahoe bahwa kalau lapangan baroe soedah terboeka, maka perloe kita sadar akan kedoedoekan kita, insaf akan kewadjiban jang kita pikoel dan jakin akan langkah jang kita tindakkan. Djoega dalam pemebntoekan Djaman Baroe ini, tidak koerang-koerang lapangan jang haroes dilaloei oleh alim oelama kita. Istimewa sekali daja-oepaja membesar-besarkan dan menghebat-hebatkan modalnja kaoem Moeslimin


(50)

oentoek melanjoetkan perjoeangan kita. Jang kita maksoedkan ialah Angkatan Moeda Oemat Islam. menyediakan dasar jang kokoh oentoek anak-anak Islam kita dibelakang hari. Berkenaan dengan hal ini, baiklah lebih doeloe kita perhatikan berita Domei baroe-baroe ini seperti berikoet:

Toean2 Ogina dan Mr. Soemitro dari Departemen Pengadjaran bagian

Agama Islam Djakarta telah mengondjoengi Djokjakarta oentoek

memeriksa keadaan sekolah2 Islam, pesantren, dan tempat pemondokanja di

Kotagede, Wonokromo dan lain2. Menoeroet keterangan toean2 Ogino dan

Mr. Soemitro keadaan sekolah 2dan pesantren2 Islam itu sangat

memuaskan, melebihi dari jang disangkakan. Selandjoetnja oleh doea Pembesar Departemen Pengadjaran tsb. Diterangkan, bahwa pekerdjaan

alim-oelama pada waktoe sekarang penting sekali.” Perhatiakan kalimat

jang terachir dalam berita singkat itoe. Pekerdjaan alim oelama pada waktoe sekarang ini penting sekali. Nistjaja sekali jang dimaksoedkan dengan kepentingan itoe teroetama jang berhoebongan dengan masalah PENDIDIKAN. Pendidikan anak-oemat, pendidikan tjalon-oemmat, pendidikan bakal pemangkoenja bangsa dan Noesa...”1

Jepang memanfaatkannya ulama untuk menyebarkan budaya Jepang, yaitu dengan cara mendoktrin ulama melalui latihan-latihan.2 Jepang mulai memiliki gagasan tentang pelatihan ini sejak awal tahun 1943, ketika Shumubu masih dikepalai oleh Kolonel Horie. Persiapan dan pelaksanaan kursus dilakukan oleh seksi propaganda Shumubu. Kursus pertama diadakan pada bulan Juli 1943.

“Atas oesahanja Gunseikanbu Sjumubu pada permoelaan boelan ke 7 tahoen 2603 diadakan Latihan-Oelama dari seloeroeh Djawa dan Madoera, jang lamanja satoe boelan dan diadakan dalam tiga rombongan jang mengambil tempo tiga boelan dan dapat melatih 3 x 60 =180 alim oelama oentoek bekerdja bersama dengan Bala tentara Dai Nippon dalam mentjiptakan kemakmoeran Asia Timoer Raja. Segala ongkos2 keperloean Latihan ini dipikoel oleh Pemerintah sendiri dan para Alim Oelama mendapat poela soembangan oentoek nafkah keloeargaja selama mengoenjoengi latihan itoe jang diadakan di Djakarta bertempat di Gedoeng MIAI. Oentoek penginapanja disediakan doea boeah roamah besar di Kramat No 45 dan 47 dengan ditjoekoepkan sekalian keperluan berhoeboengan dengan tempat sembahjang, beladjar, tempat tidoer, makan minoem menyoetji dll....”3

1“Alim Olama; Menghadapi Pendidikan Ra’jat”, Soeara Madjelis Islam A’lla Indonesia, (30 Radjab 1364/1 Agoestoes 2603).

2

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2012) h. 39.

3“Pendapatan Selama Latihan Oelama oleh H. A Musaddad”,

Soeara Madjelis Islam A’lla Indonesia, 1 Ramadhan 1362 (1 September 2603). h. 11


(51)

40

Seksi propaganda tersebut dikepalai oleh seorang Jepang, yaitu Naguchi, dan pejabat utama yang bertanggung jawab atas kursus alim ulama ini diantaranya Hoesein Iskandar, H. Aboebakar, dan Abdulloh Aidid. Namun pada Agustus 1944, kursus tersebut dipercayakan kepada seksi III (penelitian, kontrol, dan pengelolaan), yang dipimpim oleh seorang Jepang, Furusawa, seksi inilah yang menangani persoalan Masyumi dan Hizbulloh.4 Tujuan kursus ini ialah untuk mendoktrin alim ulama dalam semangat menghadapi perang pasifik dan Hakko Iciu (delapan benang dibawah satu atap) penguasaan wilayah dunia atas rekayasa Jepang.

Kursus ini diselenggarakan sebanyak 17 kursus alim ulama. Setelah usaha pertama pada Juli 1943, jenis latihan yang serupa diulang kembali pada bulan berikutnya. Akan tetapi, pada bulan September dan Oktober kursus tersebut dihentikan karena bertepatan dengan bulan Ramadhan, dan baru diselenggarakan kembali untuk angkatan ketiga pada Desember 1944. Setelah sebulan istirahat, pusat latihan alim ulama yang permanen didirikan pada bulan Februari 1944 di Gedung Masyumi di Jakarta dan sejak itu kursus diberikan secara teratur dan rapi, yaitu diselenggarakan setiap bulan, kecuali pada bulan Ramadhan (Agustus-September 1944) karena alasan yang tidak diketahui, latihan tersebut dihentikan sejak Juni 1945. Setiap kursus yang mula-mula berlangsung selama empat minggu, tetapi sejak Februari 1944 dikurangi menjadi hanya tiga minggu.5

Di samping kursus-kursus berjangka pendek bagi ulama biasa, juga diselenggarakan kursus tiga bulan, sejak April 1944, bagi para guru madrasah,

4

Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945, (Depok: Komunitas Bambu, 2015) h. 322.

5Ibid. h. 323.


(52)

yang disebut Latihan Guru Agama bagian II. Guru-guru putri diseluruh Jawa dilatih dengan cara Jepang;

“Disekolah latiahan goeroe-goeroe poeteri di Djakarta, moerid-moeridnja dilatih dengan djara Nippon, dipimpin oleh Nj. K. Mijahira dan Nona T. Abe jang mendjadi moerid-moerid disana ialah para goeroe putri jang terpilih dari seluruh daerah di pulau Djawa...”6

Setelah mereka dilatih dan dididik mereka dikembalikan kedesa masing-masing untuk mengajarkan ilmu yang telah didapat kepada murid-muridnya.

“para goeroe poetri Sekolah Rakyat dari seluruh Djawa masoek Djakarta Kjoin Renseisjo. Dan 3 bulan lamanja mereka diberi oleh goeroe Nippon pengadjaran, misalnja bahasa Nippon jang benar, tata kerama, taiso dsb. Lihatlah disini, para goeroe poetri tadi, setelah kembali kedesa masing-masing siboek mengadjarkan moerid-moeridnja...”7

Dalam usaha mencapai sasaran pendidikan, guru memegang peranan yang menentukan. Untuk itu gurulah yang harus dididik terlebih dahulu.8 Dikabarkan bahwa rencana kursus ini dibuat atas permintaan yang diajukan pada konferensi kepala sekolah madrasah pada 20 Januari 1944. Latihan ini lebih diarahkan untuk mempersiapkan orang-orang yang akan bekerja sebagai propaganda politik, dengan fokus pada pelatihan mental, serta lebih menekankan pada aspek militer.

Seleksi ulama yang diundang untuk mengikuti latihan dilakukan oleh kontor keresidenan. Setelah Masyumi terbentuk (November 1943), seleksi terutama berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh organisasi Islam ini. Shumubu mengeluarakan petunjuk mengenai latihan ulama untuk tahun 1943 dan menetapkan syarat peserta sebagai berikut:

6“Sekolah Latihan Goeroe Poetri di Djakarta”

Djawa Baroe, No Istimewa,(1/3/2603). 7“Pendidikan Nippon di Desa”, Djawa Baroe, No Istimewa,(6/10/2603).

8

Imran, Amrin, Di bawah Pendudukan Jepang 1942-1945, dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ad), Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang Dan Revolusi Jilid 6, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012. h. 75.


(1)

102

Lampiran 12:

Pembukaan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2605.12

12Sekolah Tinggi Islam Djakarta (Djakarta Kaikyoo Daigaku)”,

Asia Raya, Rebo Legi, (13 Djoeni 2665/3 Redjab 1361).


(2)

Lampiran 13:

Sambutan pada upacara pembukaan Sekolah Tinggi Islam.13

13

Oepatjara Pemboekaan: Sekolah Tinggi Islam; Pendidikan Tjalon Pemimpin-Pemimpin Islam Indonesia”, Soeara Muslimin Indonesia, (19 Djoemadul Achir 1364/19 Djoeni 2605), No. 11 Th. 3.


(3)

104

lampiran 14:

Banyaknya siswa yang diterima di sekolah Tinggi Islam pada tahap awal berjumlah 49 orang, 35 dari SMT dan 14 dari madrasah..14

14Sekolah Tinggi Islam: Tjalon-tjalon jang Diterima Oentoek Tingkat Pendahuluan”, Asia Raya (Selasa Pon, 14 Agoest 2665 (6 Ramadhon 1364). No.158


(4)

Lampiran 15:

Selain sekolah Agama pendidikan agama Islam juga diberikan disekolah umum salah satunya yaitu pendidikan untuk para Romusa.15

15Oesaha Pendidikan Dikalangan Para Roomusya”, Asia Raya, (Djoem’at Paing, 29 Djoeni 2665/19 Redjab 1364).


(5)

106

Lampiran 16:

Sambutan H. A. Kahar Moedzakir tentang Pembentukan Barisan Hizboellah.16

16Sepatah Kata Tentang Hizboe’llah oleh; H. A. Kahar Moedzakir

Shumubu-Jichoo”, Soeara Muslimin Indonesia, (16 Moeharram 1364/1 Djanoeari 2605), No. 1 Th. III.


(6)

Lampiran 17:

Peraturan pemerintah Jepang dalam pembentukan pasukan sukarela untuk membela tanahh Djawa.17

17

Tentara Pembela Tanah Air lahir; Osamu Seirei No.44 Tentang Pembentukan Pasoekan Soeka-rela Oentoek Membela Tanah Djawa” ”, Djawa Baroe, No Istimewa,6/10/2603