G. Kedwibahasaan dan Diglosia
1. Kedwibahasaan
Apabila masyarakat atau daerah yang memiliki atau memakai dua bahasa, maka masyarakat atau daerah itu disebut masyarakat atau daerah yang
berdwibahasa atau bilingual. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan atau orang yang bilingual berdwibahasa Nababan, 1993:27.
Adapun bilingualisme adalah kebiasaan seseorang menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Jika kita berpikir tentang kesanggupan atau
kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa, kita sebut ini bilingualitas dari bahasa Inggris bilinguality
. Jadi, orang yang “berdwibahasa” mencakup pengertian kebiasaan memakai dua bahasa, atau kemampuan memaknai
dua bahasa.
Nababan 1993:27
membedakan “kedwibahasaan”
untukkemampuan denan menggunakan istilah “bilingualisme” dan “bilingualitas”.
Pendapat lain tentang kedwibahasaan dikemukakan Haugen dalam Suwito, 1997:490. Ia menyatakan bahwa kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa
knowledge of two languages. Ini berarti bahwa dalam hal kedwibahasaan seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi
cukuplah ia mengetahui secara pasif dua bahasa a completely passive bilingualism, understanding without speaking. Penguasaan secara pasif suatu
bahasa oleh seorang penutur dapat ikut menciptakan kondisi kebahasaan yang menyimpang dari kaidah-kaidah yang sebenarnya kurang dikuasainya. Hal itu
dapat terjadi pada dwibahasawan.
Apabila dua bahasa atau lebih dipergunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam
keadaan saling kontak. Pengertian kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan antara beberapa bahasa yang berakibat adanya kemungkinan
pergantian pemakaian bahasa oleh penutur dalam konteks sosialnya. Peristiwa atau gejala semacam itu antara lain tampak dalam wujud kedwibahasaan dan
diglosia. Salah satu ciri kedwibahasaan adalah dipergunakannya dua bahasa atau
lebih oleh seorang atau sekelompok orang, tetapi kedua bahasa itu tidak mempunyai peranan sendiri-sendiri di dalam masyarakat pemakai bahasa. Kepada
siapa pun mereka berbicara, di mana pun pembicaraan itu berlangsung, tentang masalah apa pun yang dibicarakan, dan dalam situasi yang bagaimana pun terjadi
pembicaraan itu, kedua bahasa itu dapat dipergunakan. Pemilihan bahasa manakah yang akan dipergunakan semata-mata tergantung kepada kemampuan pembicara
dan pendengarnya Whorf dalam Suwito, 1997:51-52.
2. Diglosia
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama suatu bahasa, terdapat juga ragam yang lain
Fergusson dalam Chaer, 1995: 122. Dalam pandangan Fishman, diglosia tidak hanya semata-mata merupakan gejala yang terdapat dalam masyarakat
monolingual, melainkan lebih dari itu, diglosia juga mengacu kepada pemakaian dua bahasa yang berbeda dengan fungsi dan peran yang berbeda pula Fishman
dalam Rahardi, 2000: 15. Diglosia merupakan istilah untuk melukiskan keadaan masyarakat yang terdiri dari satu bangsa tetapi menggunakan dua bahasa atau
logat yang berlainan Wolf dalam Suwito, 1997: 54. Menurut Robins, istilah diglosia mengacu kepada keadaan yang relatif
stabil di mana mengemukakan bahwa sebuah bahasa atau salah satu ragam bahasa yang bergengsi tinggi tumbuh berdampingan dengan bahasa lain, masing-masing
dengan fungsi yang khusus dalam komunikasinya Suwito, 1997:49. Di dalam masyarakat diglosik terdapat kecenderungan adanya penilaian terhadap bahasa
yang “tinggi” dan bahasa yang “rendah” Suwito, 1997:61.pertama yang digunakan dalam situasi formal dan berkesan martabat, sedang yang kedua
dipergunakan dalam situasi yang lebih informal dan kurang bermartabat. Makin jelas pemilihan pemakaian antara keduanya, makin stabil situasi diglosik dalam
masyarakat yang bersangkutan. Dari uraian di atas terlihat bahwa diglosia tidak lagi terbatas pada
pemakaian dua variasi dari satu bahasa si dalam suatu masyarakat seperti yang dikemukakan Fergusson, tetapi termasuk juga pemakaian dua dialek atau dua
logat dalam masyarakat yang sama. Jadi diglosia merupakan gejala sosial. Suatu masyarakat disebut diglosik apabila di dalam masyarakat itu dipergunakan dua
bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi yang bahasa itu masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda.
Berdasarkan uraian masalah kedwibahasaan dan diglosia, masyarakat di Kecamatan Pasar Kliwon mayoritas adalah masyarakat dwibahasawan. Di
Kecamatan Pasar Kliwon mayoritas masyarakatnya adalah orang Jawa, tetapi
tidak sedikit penduduk keturunan Arab dan Cina yang menjadi penduduk tetap Kecamatan Pasar Kliwon. Kondisi itulah yang mempengaruhi munculnya variasi
bahasa yang dipergunakan leh penduduk di Kecamatan Pasar Kliwon. Secara tidak langsung keberadaan beberapa etnis yang tinggal dalam satu wilayah
mempengaruhi pemakaian bahasa masyarakat sekitarnya.
H. Verbal Repertoire