Tindak Tutur LANDASAN TEORI

Campur kode ini terjadi apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. b. Campur kode ekstern atau ke luar Campur kode yang terjadi apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa asing ke dalam bahasa nasional Suwito, 1997: 91. Peristiwa campur kode yang diahas dalam penelitian ini lebih cenderung pada campur kode keluar. Peristiwa campur kode yang dibahasa dalam peneitian bahasa slang dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon ini adalah campur kode ekstern. Pembahasan campur kode ini lebih menitikberatkan pada penyisipan unsur-unsur- unsur-unsur asing ke dalam bahasa slang dapikan ini. Jadi pebahasannya lebih terfokus pada campur kode ekstern.

K. Tindak Tutur

Di dalam setiap peristiwa interaksi verbal selalu terdapat beberapa faktor unsur yang mengambil peranan dalam peristiwa tutur itu, faktor-faktor itu antara lain adalah: penutur speaker, lawan bicara hearer, receiver, pokok pembicaraan topik, tempat bicara setting, suasana bicara situation scene, dan sebagainya. Keseluruhan peristiwa pembicaraan dengan segala faktor-faktor itu dalam peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan peristiwa tutur speech event Suwito, 1997:35-36. Ada 8 butir syarat yang diajukan oleh Hymes 1986 sebagai peristiwa tutur yaitu, 10 tempat dan suasana tutur, 2 partisipan, 3 tujuan tuturan, 4 cara bertutur, 5 nada tutur, 6 alat tuturan, 7 norma tuturan, dan 8 jenis tuturan. Jika peristiwa tutur soeech event merupakan gejala sosial, terdapat interaksi antarpenutur dalam situasi tertentu dan tempat tertentu, maka tindak tutur speech acts lebih cenderung sebagai gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dan jika dalam peristiwa tutur orang menitikberatkan kepada tujuan peristiwa event nya, maka dalam tindak tutur orang lebih memperhatikan kepada makna atau arti tindak act dalam tuturan itu. Namun di antara keduanya memang saling terkait. Dalam setiap peristiwa tutur terdapat berbagai tindak tutur, sehingga dapat dikatakan bahwa peristiwa tutur itu pada hakikatnya adalah serangkaian tindak tutur yang terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan. Tindak tutur merupakan bagian yang dari peristiwa tutur dan sebagai tataran terendah dalam tuturan. Tindak tutur lebih cenderung kepada makna tutur daripada bentuk tutur. Pada hakikatnya tindak tutur merupakan keterampilan memilih bentuk tutur untuk mengungkapkan satu makna. Menurut Austin 1962, ujarankalimat, yang bentuk formalnya adalah pernyataan, biasanya memberi informasi, tetapi ada juga yang berfungsi lain, yakni yang “melakukan suatu tindakan bahasa” dalam Nababan, 1992:29. Jika kita mengatakan sesuatu, kita selalu melakukan suatu tindak bahasa. Austin menekankan tindak bahasa dari sudut pembicaraan. Austin merumuskan tindak- tindak bahasa sebagai pembicara melakukan tiga tindak bahasa sekaligus secara simultan; yakni: 1. Tindak bahasa lokusi locutionary act; yakni mengatakan sesuatu dalam arti: berkata”. Searle 1996 menamakan tindak bahasa ini tindak bahasa proposisi propositional act. 2. Tindak bahasa ilokusi illocutionary act; yakni tindak bahasa yang diidentifikasikan dengan kalimat pelaku yang eksplisit. 3. Tindak bahasa perlokusi perlocutionary act; yakni tindak bahasa yang dilakukan sebagai akibat atau efek dari suatu ucapan orang lain dalam Nababa, 1992:31. Kemampuan dan ketrampilan kebahasaan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh faktor kebahasaan, tetapi juga oleh ketepatan pemilihan variasi bahasa yang sesuai dengan fungsi dan situasinya segi sosiokultural dan situasional. Pemilihan variasi bahasa yang tidak tepat akan memberi kesan bahwa si penutur tidak dapat menggunakan bahasa sesuai fungsi dan situasinya, sebab dalam proses interaksi verbal yang terjadi antara pendengar dan penutur selalu memperhitungkan kepada siapa ia bicara, di mana, mengenai masalah apa, dan dalam situasi bagaimana. Itulah sebabnya tindak tutur mutlak diperlukan dalam penelitian ini.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode dalam suatu penelitian diperlukan karena faktor metode berfungsi untuk menentukan seorang peneliti menuju pembenaran atau penolakan hipotesisnya atau menuntun tujuan penelitian Sudaryanto, 1995: 25. Subroto menjelaskan bahwa “metode dalam penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasarkan ancangan tertentu” 1992: 22. Dalam penelitian, peneliti menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Moleong menjelaskan bahwa “metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang sifat-sifat individu, keadaan, gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati” 1996: 6. Selanjutnya Edi Subroto dalam bukunya Metode Penelitian Lingustik Struktural, menjelaskan bahwa penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Peneliti mencatat dengan teliti dan cermat data yang berwujud kata- kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar-gambar atau foto, catatan harian, memorandum, video, tape. Data tersebut dilakukan analisis data untuk membuat generalisasi atau kesimpulan umum dari orang-orang yang dijadikan subjek penelitian 1992: 7. 39