pengaruh motivasi, lingkungan kerja, dan kepemimpinan terhadap kepuasan kerja
karyawan STIE”AUB” Surakarta.
M anfaat Penelit ian
Hasil penelitian ini menjadi informasi untuk
menentukan langkah
atau program
di STIE”AUB”
Surakarta, khususnya tentang bagaimana mening-
katkan kepuasan kerja para karyawan di Instansi tersebut;
Dengan melakukan
penelitian akan
mendapat gambaran yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah faktor-foktor apa yang mempe- ngaruhi kepuasan kerja para karyawan
di STIE”AUB” Surakarta;
Memberi saran sebagai masukan terhadap upaya
pembinaan pegawai
yang mengarah pada peningkatan kepuasan
kerja karyawan STIE”AUB” Surakarta.
E. Hipotesis 1. Motivasi mempunyai pengaruh positif
terhadap kepuasan kerja karyawan STIE “AUB” Surakarta;
2. Lingkungan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan kerja karya-
wan STIE “AUB” Surakarta; 3. Kepemimpinan mempunyai pengaruh
positif terhadap kepuasan kerja karya- wan STIE “AUB” Surakarta;
4. Secara bersama-sama motivasi, kepe- mimpinan, dan lingkungan kerja mem-
punyai pengaruh
positif terhadap
kepuasan kerja karyawan STIE “AUB” Surakarta.
A. Motivasi 1.Teori Maslow
Menurut Maslow,
dalam Gito
sudarmo dan Sudito 1997 dikemu-kakan bahwa manusia ditempat kerjanya dimoti-
vasi oleh suatu keinginan untuk me- muaskan sejumlah kebutuhan yang ada
dalam diri seseorang. Teori ini didasarkan pada tiga asumsi dasar sebagai berikut:
1 Kebutuhan manusia tersusun dalam
suatu hirarkhi, mulai dari hirarkhi kebu- tuhan yang paling dasar sampai kebu-
tuhan yang komplek atau paling tinggi tingkatannya;
2 Keinginan untuk memenuhi kebutuhan dapat mempengaruhi perilaku sese-
orang dimana hanya kebutuhan yang belum terpuaskan yang dapat meng-
gerakkan perilaku, kebutuhan yang telah terpuaskan tidak dapat berfungsi
sebagai motivator;
3 Kebutuhan yang lebih tinggi berfungsi sebagai motivator apabila kebutuhan
yang hirarkhinya lebih rendah paling tidak telah terpuaskan secara minimal.
Atas dasar asumsi di atas, hirarkhi
kebutuhan manusia menurut Maslow dalam Gitosudarmo dan Sudito 1997
adalah sebagai berikut: a. Kebutuhan fisiologis
Physiological Needs
b. Kebutuhan keselamatan
dan keamanan
Safet y and
Scurit y Needs
c. Kebutuhan sosial
Social Needs
d. Kebutuhan penghargaan
Est eem Needs
e. Kebutuhan aktualisasidiri
Selfct ualizat ion Needs
2. Teori ERG
Menurut Alderfer, dalam Gito sudarmao dan Sudito 1997 dikemukakan bahwa
kebutuhan manusia tersusun dalam hirarkhi, Alderfer dan Maslow sependapat
bahwa orang cenderung meningkat hirarkhi kebutuhannya sejalan dengan
terpuaskannya kebutuhan di bawahnya, akan tetapi Alderfer tidak yakin atau tidak
sependapat dengan Maslow, bahwa suatu kebutuhan harus terpuaskan terlebih
dahulu sebelum kebutuhan tingkat di-
atasnya muncul. Kalau teori Hirarkhi Kebutuhan dari Maslow menganggap
bahwa kebutuhan manusia tersusun dalam lima hirarkhi maka teori ERG menganggap
bahwa kebutuhan manusia memiliki tiga hirarkhi kebutuhan. Ketiga kebutuhan ter-
sebut meliputi kebutuhan akan eksistensi
exist ence needs
E, kebutuhan akan keterkaitan
relat ednes needs
R, dan kebutuhan akan pertumbuhan
grow t h needs
G. a. Kebutuhan eksistensi
b. Kebutuhan akan keterikatan c. Kebutuhan pertumbuhan
Kebutuhan akan pertumbuhan meliputi semua kebutuhan yang berkaitan
dengan pengembangan potensi sese- orang termasuk kebutuhan aktualisasi
diri dan penghargaan dari Maslow. Kepuasan atas kebutuhan partum-
buhan oleh orang-orang yang terlibat dalam suatu tugas tidak saja ingin
menggunakan dan menunjukkan kemampuannya secara maksimal tetai
juga dapat mengembangkan kemam puan-kemampuan baru.
3. Teori dua faktor dari Hersberg
Menurut Herzberg, dalam Gitosudarmo dan Sudito 1977 pembagian kebutuhan
hirarkhi Maslow menjadi kebutuhan atas dan bawah, hanya kondisi yang memungkinkan
pemenuhan kebutuhan atas yaitu penghar- gaan dan aktualisasi diri akan mening-katkan
motivasi kerja. Sebuah organisasi harus memungkinkan karyawan memenuhi kebu-
tuhan tingkat bawah melalui kerja, tetapi ini adalah cara utama untuk mempertahankan
karyawan tersebut di organisasi tersebut, bukan untuk mempengaruhi motivasi
kerjanya.
Dalam teori dua faktor tersebut, kondisi kerja yang memungkinkan orang
memenuhi kebutuhan tingkat atas dinamakan faktor motivator dan yang penting untuk
memenuhi kebutuhan tingkat bawah dina- makan faktor hygiene. Faktor motivator yang
diidentifikasikan oleh Herzberg antara lain prestasi, pengakuan, kerja yang menarik,
tanggung jawab, dan kesempatan maju. Herzberg yakin semua faktor tadi mempe-
ngaruhi kepuasan kerja dan membimbing motivasi kerja lebih tinggi. Faktor hygiene
menurut Herzberg hanya mempengaruhi rasa tidak puas terhadap pekerjaan. Faktor-faktor
ini antara lain kondisi kerja, jenis supervisi, hubungan dengan rekan sekerja, gaji, dan
kebijaksanaan perusahaan.
Menurut Herzberg, pentingnya faktor kesehatan
hygiene fact ors
dirasakan hanya ketika faktor itu tidak ada. Para karyawan
menerima kondisi kerja dengan begitu saja tetapi mereka tidak mendapatkan kepuasan
kerja, kondisi kerja yang buruk biasanya merupakan sumber ketidak puasan Moon,
1994.
A.Lingkungan Kerja
1. Suhu di tempat kerja 2.
Penerangan di tempat kerja
3. Kebisingan di tempat kerja 4. Pengaturan kantor
5. Warna dinding
B. Kepemimpinan
Dalam kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan
kepuasan kerja, keamanan, kualitas kehidupan kerja, dan tingkat prestasi
suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan peranan strategis dalam
membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan
mereka. Hampir semua pemimpin yang efektif mem-punyai sifat-sifat atau
kualitas tertentu yang diinginkan, seperti karisma, berpandangan luas,
intensitas, dan keyakinan diri.
Bagaimanapun juga kemampuan dan ketram- pilan
kepemimpinan dalam
pengarahan adalah faktor penting efektivitas manajer. Bila
organisasi dapat mengidentifikasikan kualitas- kualitas yang berhubungan dengan kepemim-
pinan, kemampuan
untuk menseleksi
pemimpin-pemimpin efektif akan meningkat.
Dan bila organisasi dapat mengidentifikasikan perilaku dan teknik-teknik kepemimpinan
efektif, organisasi barangkali akan dapat mempelajari berbagai perilaku dan teknik
tersebut oleh karena itu akan dicapai pengembangan efektifitas organisasi.
1. Pengertian Kepemimpinan Menurut Stoner, dalam Handoko 1999
kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan pem-
berian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan
tugasnya. Ada tiga implikasi penting dari definisi tersebut:
pert ama
, kepemimpinan menyangkut bawahan,
kedua,
kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan
yang tidak seimbang antara pemimpin dan anggota kelompok
, dan ket iga,
pemimpin dapat
memberikan pengarahan
kepada bawahan dan mempergunakan pengaruh.
Pert ama
, kepemimpinan menyangkut orang lain, bawahan atau pengikut. Kesediaan
mereka untuk menerima pengarahan dari pemimpin, para anggota kelompok mem-
bantu menentukan
statuskedudukan pemimpin dan membuat proses kepemim-
pinan dapat berjalan. Tanpa bawahan, semua kualitas kepemimpinan seorang manajer akan
menjadi tidak relevan.
Kedua,
kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan yang tidak seimbang
antara para pemimpin dan anggota kelompok. Para pemimpin mempunyai wewenang untuk
mengarahkan berbagai kegiatan para anggota kelompok, tetapi para anggota kelompok
tidak dapat mengarahkan kegiatan-kegiatan pemimpin secara langsung, meskipun dapat
juga melalui sejumlah cara secara tidak langsung.
Ket iga,
selain dapat memberikan penga- rahan kepada para bawahan atau pengikut,
pemimpin dapat
juga mempergunakan
pengaruh. Dengan kata lain, para pemimpin tidak hanya dapa memerintah bawahan apa
yang harus dilakukan tetapi juga dapat mem- pengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan
perintahnya.
Sebagai contoh,
seorang manajer
dapat mengarahkan
seorang bawahan untuk melaksanakan suatu tugas
tertentu, tetapi dia dapat juga mempengaruhi bawahan dalam menentukan cara bagaimana
tugas itu dilaksanakan dengan tepat. Menurut Stoner 1992 Kepemimpinan
adalah bagian penting manajemen, tetapi tidak sama dengan manajemen.
Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dipunyai seseorang untuk mempengaruhi
orang-orang lain agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran. Manajemen mencakup
kepemimpinan, tetapi juga mencakup fungsi- fungsi lain seperti perencanaan, pengorgani-
sasian, dan pengawasan. 2. Pendekatan-pendekatan studi kepemim-
pinan Menurut Handoko 1999 teori-teori
kepemimpinan dapat diklasifikasikan sebagai pendekatan-pendekatan kesifatan, perilaku,
dan situasional dalam studi tentang kepe- mimpinan. Pendekatan pertama memandang
kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat- sifat
t rait s
yang tampak. Pendekatan kedua bermaksud
mengidentifikasikan perilaku-
perilaku
behaviors
pribadi yang berhu- bungan dengan kepemimpinan efektif. Kedua
pendekatan ini mempunyai anggapan bahwa seorang individu yang memiliki sifat-sifat
tertentu atau
memperagakan perilaku-
perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi kelompok apapun
dimana dia berada. Pendekatan ketiga, yaitu pandangan
sit uasional
tentang kepemim- pinan. Pandangan ini menganggap bahwa
kondisi yang menentukan efektifitas kepe- mimpinan bervariasi dengan situasi tugas-
tugas yang dilakukan, ketrampilan, pengha- rapan bawahan, lingkungan organisasi, penga-
laman masa lalu pemimpin, dan sebagainya. Pandangan ini telah menimbulkan pende-
katan situasional pada kepemimpinan, yang bermaksud untuk menetapkan faktor-faktor
situasional yang menentukan seberapa besar efektifitas
situasi gaya
kepemimpinan tertentu.
a. Pendekatan sifat-sifat kepemimpinan Para teoritisi kesifatan adalah kelom-
pok pertama yang bermaksud menjelaskan tentang aspek kepemimpinan. Mereka
percaya bahwa para pemimpin memiliki ciri- ciri atau sifat-sifat tertentu yang menye-
babkan mereka dapat memimpin para
pengikutnya. Daftar sifat-sifat ini dapat menjadi sangat panjang, tetapi cenderung
mencakup energi, pandangan, penge-
tahuan, kecerdasan, imajinasi, kepercayaan diri,
integritas, kepandaian
berbicara, pengendalian, keseimbangan emosional,
pergaulan sosial, dorongan, dan antu- siasme.
Usaha sistematik pertama yang dila- kukan untuk memahami kepemimpinan
adalah mengidentifikasikan
sifat-sifat pemimpin. Berbagai studi tentang kepe-
mimpinan bermaksud untuk 1. Mem- bandingkan sifat-sifat orang yang menjadi
pemimpin dengan sifat-sifat yang menjadi pengikut, dan 2. mengidentifikasikan sifat-
sifat yang dimiliki oleh para pemimpin efektif. Berbagai studi pembandingan sifat-
sifat pemimpin dan bukan pemimpin sering menemukan bahwa pemimpin cenderung
lebih tinggi, mempunyai tingkat kecerdasan lebih tinggi, lebih ramah, dan lebih percaya
diri daripada yang lain. Kombinasi sifat-sifat tertentu yang akan membedakan antara
pemimpin atau calon pemimpin dari pengi- kut, belum pernah ditemukan. Sehingga
timbul anggapan para peneliti sifat-sifat kepemimpinan bahwa pemimpin dilahirkan,
bukan dibuat, atau seseorang itu dilahirkan membawa atau tidak membawa sifat-sifat
yang diperlukan bagi seorang pemimpin. Menurut Handoko 1999 untuk mem-
bandingkan
sifat-sifat pemimpin
yang efektif dan tidak efektif, berbagai sifat
dipelajari untuk menentukan apakah hal-hal tersebut berhubungan dengan kepemim-
pinan efektif. Pertanyaan utama adalah: “Dapatkah sifat-sifat tertentu membedakan
pemimpin efektif dari yang tidak efektif?”. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan
belum pernah dapat menunjukkan bahwa sifat-sifat tertentu dapat membedakannya.
Menurut
Ghiselli, dalam
Handoko 1999 dikemukakan bahwa sifat-sifat ter-
tentu yang penting untuk kepemimpinan efektif adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan dalam
kedudukannya sebagai pengawas
supervisory abilit y
pelaksanaan fungsi-fungsi dasar mana- jemen, terutama pengarahan dan penga-
wasan pekerjaan orang lain; 2. Kebutuhan akan prestasi dalam peker-
jaan, mencakup pencarian tanggung jawab dan keinginan sukses;
3. Kecerdasan, mencakup kebijakan, pemi- kiran kreatif, dan daya piker;
4. Ketegasan atau kemampuan untuk mem- buat keputusan-keputusan, dan meme-
cahkan masalah-masalah dengan tepat;. 5. Kepercayaan diri, atau pandangan ter-
hadap dirinya sebagai kemampuan untuk menghadapi masalah;
6. Inisiatif, atau kemampuan untuk ber- tindak
tidak tergantung,
mengem- bangkan serangkaian kegiatan, dan mene
mukan cara-cara baru atau inovasi. Sedangkan Davis, dalam Handoko 1999
mengikhtisarkan 4 empat cirisifat utama yang mempunyai pengaruh ter-
hadap kesuksesan kepemimpinan orga- nisasi: 1 kecerdasan, 2 kedewasaan
dan keluasan hubungan sosial, 3 motivasi diri dan dorongan berprestasi,
dan 4 sikap-sikap hubungan manusiawi.
b. Pendekatan perilaku kepemimpinan
Pendekatan-pendekatan kesifatan
dalam kenyataannya tidak dapat menje- laskan apa yang menyebabkan kepemim-
pinan efektif. Oleh sebab itu pendekatan perilaku tidak lagi mencoba untuk mencari
jawaban sifat-sifat pemimpin, tetapi men- coba untuk menentukan apa yang dila-
kukan oleh para pemimpin efektif bagai- mana mereka mendelegasikan tugas,
bagaimana mereka berkomunikasi dan memotivasi bawahan mereka, bagaimana
mereka menjalankan tugas-tugas, dan sebagainya. Tidak seperti sifat-sifat, bagai-
manapun juga perilaku-perilaku dapat dipelajari atau dikembangkan, sehingga
individu-individu dapat dilatih dengan perilaku-perilaku
kepemimpinan yang
tepat agar mampu memimpin lebih efektif. Di samping itu, kenyataan juga
menunjukkan bahwa
perilaku-perilaku kepemimpinan yang sesuai dalam suatu
situasi tidak perlu harus cocok dalam situasi
lain. Sebagai contoh, dalam
perusahaan-perusahaan barang konsumsi
dengan persaingan yang ketat dibutuhkan ketrampilan untuk memotivasi individu-
individu secara kreatif, yang mungkin tidak diperlukan oleh perusahaan-perusahaan
dengan tingkat spesialisasi tinggi.
c. Fungsi-fungsi kepemimpinan Pendekatan
perilaku membahas
orientasi atau identifikasi pemimpin. Aspek pertama pendekatan perilaku kepemim-
pinan menekankan pada fungsi-fungsi yang dilakukan pemimpin dalam kelompoknya.
Agar kelompok berjalan dengan efektif seseorang harus melaksanakan dua fungsi
umum: 1 fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas
“ t ask-relat ed”
atau peme- cahan masalah, dan 2 fungsi-fungsi
pemeliharaan kelompok
“ group- maint enance
” atau sosial. Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyele-
saian, informasi dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesutau yang
dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar, persetujuan dengan kelompok lain,
penengahan perbedaan pendapat, dan sebagainya.
d. Gaya-gaya kepemimpinan
Menurut Martoyo 2000 terdapat 6 tipe gaya kepemimpinan yaitu:
1. Tipe pribadi. Tipe kepemimpinan ini didasarkan pada kontak pribadi secara
langsung dengan bawahannya; 2. Tipe non pribadi. Pimpinan dengan tipe
ini memberikan cermin kurang adanya pribadi pemimpin yang bersangkutan
dengan bawahannya. Ini berarti bahwa hubungan pemimpin dengan bawahan-
bawahannya hanya melalui sarana atau media
tertentu seperti:
rencana- rencana atau instruksi-instruksi;
3. Tipe otoriter. Pemimpin otoriter me- nganggap
kepemimpinannya meru-
pakan hak pribadinya dan berpendapat bahwa ia dapat menentukan apa saja
dalam organisasi, tanpa mengadakan konsultasi dengan bawahanya yang
melaksanakan;
4. Tipe Demokratis. Pemimpin tipe ini menitikberatkan pada partisipasi kelom-
pok dengan memanfaatkan pandangan- pandangan atau pendapat-pendapat
kelompok; 5. Tipe partenalistis. Tipe ini cenderung ke
“bapak”an, sehingga sangat memikirkan keinginan dan kesejahteraan anak buah,
terlalu melindugi dan membimbing; 6. Tipe indigenous. Pemimpin tipe ini
timbul dalam
organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bersifat informal
seperti perkumpulan sepakbola, sekolah dan sebagainya.
Menurut Handoko 1999 perilaku kepemimpinan
memusatkan pada
gaya pemimpin
dalam hubungannya
dengan bawahan, terdapat dua gaya kepemimpinan
yaitu gaya dengan orientasi tugas
t ask- orient ed
dan gaya dengan orientasi karyawan
employee-orient ed
. Manajer
berorietasi tugas mengarahkan dan mengawasi bawahan
secara tertutup untuk menjamin bahwa tugas dilaksanakan sesuai yang diinginkannya,
manajer dengan gaya kepemimpinan ini lebih memperhatikan pelaksanaan pekerjaan dari
pada
pengembangan dan
pertumbuhan karyawan. Manajer berorientasi karyawan
mencoba untuk lebih memotivasi bawahan dibanding mengawasi mereka, mereka men-
dorong para anggota kelompok untuk melak- sanakan tugas-tugas dengan memberikan
kesempatan bawahan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, menciptakan
suasana
persahabatan serta
hubungan- hubungan saling mempercayai dan meng-
hormati.
e. Teori X dan Teori Y dari M cGregor
Konsep Teori X dan Teori Y dari McGregor, dalam Supardi 2002 dike-
mukakan bahwa strategi kepemimpinan dipe- ngaruhi anggapan-anggapan seorang pemim-
pin tentang sifat dasar manusia. Sebagai hasil pengalamannya menjadi konsultan McGregor
menyimpulkan dua kumpulan anggapan yang saling berlawanan yang dibuat oleh para
manajer yang dikenal dengan teori X dan teori Y.
Anggapan-anggapan teori X: 1 Rata-rata pembawaan manusia malas atau
tidak menyukai pekerjaan dan akan menghindarinya bila mungkin;
2 Karena karakteristik manusia tersebut, orang harus dipaksa, diawasi, diarahkan,
atau diancam dengan hukuman agar mereka menjalankan tugas untuk men-
capai tujuan-tujuan organisasi;
3 Rata-rata manusia lebih menyukai diarah- kan, ingin menghindari tanggung jawab,
mempunyai ambisi relatif kecil, dan me- nginginkan keamananjaminan hidup di
atas segalanya.
Anggapan-anggapan teori Y: 1 Penggunaan usaha phisik dan mental
dalam bekerja adalah kodrat manusia, seperti bermain atau istirahat;
2 Pengawasan dan
ancaman hukuman
eksternal bukanlah satu-satunya cara untuk mengarahkan usaha pencapaian
tujuan organisasi. Orang akan melakukan pengendalian diri dan pengarahan diri
untuk mencapai tujuan yang disetujuinya;
3 Keterikatan pada tujuan merupakan fungsi dari penghargaan yang berhubungan
dengan prestasi mereka; 4 Rata-rata manusia, dalam kondisi yang
layak, belajar tidak hanya untuk menerima tetapi mencari tanggung jawab;
5 Ada kapasitas besar untuk melakukan imajinasi, kecerdikan dan kreatifitas dalam
penyelesaian masalah-masalah organisasi yang secara luas tersebar pada seluruh
karyawan;
6 Potensi intelektual rata-rata manusia hanya digunakan sebagian saja dalam
kondisi kehidupan industri modern. Seorang pemimpin yang menganut
anggapan-anggapan teori X akan cenderung menyukai
gaya kepemimpinan
otoriter. Sebaliknya, pemimpin yang mengikuti teori Y
akan lebih menyukai gaya kepemimpinan partisipasif atau demokratis.
D.Kepuasan Kerja 1. Definisi Kepuasan Kerja
Menurut Sondang P Siagian 1992 kepuasan kerja merupakan suatu cara
pandang seseorang baik yang bersifat positif maupun bersifat negatif tentang pekerjaan,
pembahasan mengenai kepuasan kerja perlu didahului oleh penegasan bahwa masalah
kepuasan kerja bukanlah hal yang sederhana baik dalam arti konsepnya maupun dalam arti
analisisnya, karena kepuasan mempunyai konotasi yang beraneka ragam.
Menurut Handoko 1999 kepuasan keja adalah keadaan emosional yang menye-
nangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan
mereka.
Menurut Martoyo 2000 kepuasan kerja merupakan keadaan emosional karya-
wan dimana terjadi ataupun tidak tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa karyawan dari
perusahaanorganisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh
karyawan yang bersangkutan.
Menurut Irianto 2001 Kebutuhan- kebutuhan individu yang membutuhkan
pemuasan adalah kebutuhan ekonomi untuk memenuhi keperluan hidup secara mendasar,
kebutuhan keamanan, kebutuhan interaksi, kebutuhan status, kebutuhan prestasi, penga-
kuan, pertumbuhan, dan pengembangan.
2. M engukur kepuasan kerja
Kepuasan kerja adalah sikap dan karenanya merupakan konstruksi hipotesis
sesuatu yang tidak dapat dilihat, tetapi ada atau tidak adanya diyakini berkaitan dengan
pola perilaku tertentu. Seperti halnya dengan semua konstruksi hipotesis, terdapat berbagai
macam pandangan mengenai bagaimana kepuasan kerja didefinisikan dan diukur, serta
sebagian besar alat ukur cocok dengan salah satu dari beberapa pendekatan dasar
tersebut. Dalam semua kasus, kepuasan kerja diukur dengan kuesioner laporan diri yang
diisi oleh karyawan. Anda harus ingat, bahwa para ahli psikologi sebenarnya mengukur
kepuasan kerja yang dilaporkan atau dinya- takan, dan hal ini merupakan perasaan
responden sebenarnya.
Siegall dan Jewell, 1998 mengemu- kakan Alternatif dari konsep kepuasan kerja
satu dimensi adalah konsep permukaan atau komponen,
yang menganggap
bahwa
kepuasan karyawan dengan berbagai aspek situasi
pekerjaan yang
berbeda dapat
bervariasi secara bebas dan harus diukur secara terpisah. Di antara konsep yang harus
diperhatikan adalah beban kerja, keamanan kerja, kompensasi, kondisi kerja, status, dan
prestise kerja. Kecocokan rekan kerja, kebijaksanaan penilaian perusahaan, praktek
manajemen
umum, hubungan
atasan- bawahan, otonomi dan tanggung jawab
jabatan, kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan ketrampilan, dan kesem-
patan untuk pengembangan. Kepuasan kerja karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya
supaya moral kerja, kecintaan dan kedisi- plinan karyawan meningkat.
M ETODOLOGI PENELITIAN
A. Metodologi Penelitian
1. Populasi dan sampel