8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Perkembangan Moral Anak Usia Dini
Dalam kehidupan sosial di masyarakat, anak akan berhadapan dengan ukuran-ukuran yang menentukan benar-salah atau baik-buruk dari suatu
tingkah laku. Ukuran-ukuran tersebut dapat berupa budaya, tata cara, adat istiadat, atau kebudayaan. Ukuran-ukuran tersebut yang pada akhirnya
disebut moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ke-XVI 2008: 1041 moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila. Berdasarkan aturan-aturan berperilaku tersebut, anak dituntut untuk
mengetahui, memahami, dan mengikutinya. Perubahan dalam proses pengetahuan, pemahaman, dan perbuatan ini yang disebut dengan
perkembangan moral. Cabang ilmu psikologi telah banyak melahirkan tokoh yang menjelaskan mengenai perkembangan moral tersebut. Beberapa
diantaranya adalah Piaget dan Kohlberg. Piaget dan Kohlberg dalam Maria J. Wantah, 2005: 64-70 memaparkan perkembangan moral pada anak usia dini.
1. Perkembangan Moral Anak menurut Piaget
Fokus Piaget dalam melaksanakan penelitian adalah mengenai cara berpikir anak mengenai isu-isu moral. Piaget mengadakan wawancara dan
pengamatan terhadap sekelompok anak dengan rentang usia 4-12 tahun. Piaget mengamati cara anak berperilaku selama permainan dengan peraturan
main yang dibuat oleh mereka. Pertanyaan yang ditanyakan seputar isu-isu moral, seperti pencurian, berbohong, hukuman, dan keadilan.
9 Berdasarkan pengamatan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak
berpikir mengenai moralitas dalam 2 tahap yang tergantung pada tingkat perkembangannya.
Tahap pertama
yaitu moralitas
heteronomus heteronomous morality yang terjadi pada anak usia 4 hingga 7 tahun. Pada
tahap ini anak beranggapan bahwa keadilan dan aturan sebagai sifat dunia yang tidak berubah dan lepas dari kendali manusia.
Pada usia 10 tahun ke atas, anak sudah memahami bahwa aturan- aturan dan hukuman itu diciptakan oleh manusia. Anak pada tahap moral ini
juga sudah menyadari bahwa dalam menilai tindakan seseorang, ia harus mengetahui maksud si pelaku melakukan hal terebut dan dapat memikirkan
sebab akibat yang akan terjadi. Tahapan ini disebut moralitas otonomous
autonomous morality. Perbedaan yang dapat disimpulkan dari kedua tahap tersebut adalah
bahwa pada tahap heteronomous anak hanya melihat sesuatu dari sisi akibat
yang dilakukan pelaku, sedangkan pada tahap otonomous anak lebih melihat
sesuatu dari maksud yang dilakukan pelaku. Misalnya ketika ada anak yang memecahkan satu piring dengan sengaja dan lima piring dengan tidak
sengaja. Anak pada tahap heteronomous akan lebih memilih memecahkan
lima piring dengan tidak sengaja seabgai suatu kejadian yang lebih jelek. Namun pada anak dalam tahap
otonomous akan memilih memecahkan satu piring dengan sengaja sebagai suatu kejadian yang lebih jelek dan
memecahkan lima piring dengan tidak sengaja sebagai suatu kejadian yang
10 lebih baik karena kejadian itu merupakan kejadian yang dilakukan dengan
tidak sengaja. Selanjutnya anak-anak hetereonomous berpikiran bahwa aturan-aturan
dibuat oleh pemegang otoritas yang memiliki kekuatan sehingga tidak dapat diubah lagi, namun anak-anak
otonomous berpikiran bahwa aturan-aturan yang ada adalah sebuah bentuk kesepakatan yang dapat diubah sesuai
keadaan. Selanjutnya, anak heteronomous berpikiran bahwa keadilan adalah
sesuatu yang tetap ada. Piaget mengistilahkannya dengan Immanent Justice,
yaitu bahwa jika aturan dilanggar maka hukuman akan ditimpahkan segera. Mereka meyakini bahwa kejahatan dan hukuman adalah dua hal yang terkait.
Anak otonomous berpikiran bahwa hukuman bisa diberikan sebagai sanksi
sosial namun bisa juga tidak, tergantung kondisi yang ada. Piaget berpendapat bahwa di saat anak-anak berkembang, mereka
mengalami kemajuan dalam pemahaman tentang masalah-masalah sosial. Piaget meyakini bahwa pemahaman sosial ini muncul melalui interaksi atau
saling menerima dan memberi dalam hubungan teman sebaya, karena dalam kelompok teman sebaya anak-anak memiliki kekuatan dan status yang sama,
mereka secara leluasa dapat saling memberi masukan dan bernegoisasi dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul. Pengalaman tentu merupakan
kondisi yang kondusif bagi pengembangan moral anak.
2. Perkembangan Moral Anak menurut Kohlberg