IDENTIFIKASI PENANAMAN NILAI KARAKTER TK KELOMPOK B DI GUGUS IV AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING.

(1)

i

IDENTIFIKASI PENANAMAN NILAI KARAKTER TK KELOMPOK B DI GUGUS IV AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Endah Windiastuti NIM 13111241007

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Kebanyakan orang mengatakan bahwa kecerdasanlah yang melahirkan seorang ilmuwan besar. Mereka salah, karakterlah yang melahirkannya. Tanda

kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan, tapi imajinasi” (Albert Enstein)

“You can if you think can” (penulis)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk: 1. Nusa, bangsa, dan negara.

2. Kedua orangtua saya atas segala doa dan dukungannya. 3. Almamater tercinta.


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga laporan skripsi dengan judul “Identifikasi Penanaman Nilai Karakter TK Kelompok B di Gugus IV Ambarketawang Kecamatan Gamping” dapat tersusun dengan baik dan lancar.

Dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan sarana dan kebijaksanaan kepada penilis dalam penelitian.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan kemudahan pada penulis dalam kelulusan studi.

3. Ketua jurusan PAUD yang telah memberikan ijin penelitian.

4. Dosen Pembimbing I, Ibu Sudaryanti, M.Pd yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

5. Dosen Pembimbing II, Ibu Nur Cholimah, M.Pd yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

6. Kepala sekolah beserta guru guru TK di Gugus IV Ambarketawang yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian.

7. Keluarga yang telah memberikan dukungan dan bimbingan.

8. Helen dan Lathif yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi, dan juga Aya, Dewi, Putri, Nuri, dan Ingrid, MCCL, dan teman teman PPL yang telah berjuang menggapai mimpi, serta teman-teman PG


(8)

(9)

ix

IDENTIFIKASI PENANAMAN NILAI KARAKTER TK KELOMPOK B DI GUGUS IV AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING

Oleh

Endah Windiastuti NIM 13111241007

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai karakter yang ditanamkan di Kelompok B, metode penanaman nilai karakter, faktor penghambat serta pendukung dalam penerapan nilai karakter di gugus IV, serta bagaimana upaya mengatasi faktor penghambat pada penanaman nilai-nilai karakter di gugus IV Ambarketawang Kecamatan Gamping.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Subyek dalam penelitian ini adalah guru kelas dan peserta didik di 10 TK gugus IV Ambarketawang. Data dikumpulkan dengan peneliti sebagai instrumen utama dan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang terkumpul lalu dianalisis menggunakan metode analisis interaktif. Data-data hasil penelitian diuji kembali keabsahannya dengan menggunakan triangulasi, menggunakan bahan refererensi, dan member check.

Hasil penelitian ini menunjukkan: 1) Dalam menanamkan nilai-nilai karakter, 4 TK sudah menanamkan 18 nilai karakter; 3 TK menanamkan 17 nilai karakter; 2 TK menanamkan 16 nilai karakter; dan 1 TK menanamkan 15 nilai karakter. Dari 18 nilai karakter tersebut, nilai karakter yang banyak muncul adalah nilai karakter religius, disiplin, dan kemandirian sedangkan nilai karakter yang jarang muncul adalah nilai karakter demokratis, semangat kebangsaan, dan peduli lingkungan. 2) Metode yang banyak digunakan dalam penanaman nilai karakter adalah metode pembiasaan dan metode yang paling sedikit digunakan adalah metode karya wisata. 3) Faktor pendukung penanaman nilai karakter yaitu adanya motivasi sekolah untuk menanamkan nilai karakter dan orangtua yang selaras dengan program sekolah. Faktor penghambat adalah adanya beberapa orangtua yang tidak meneruskan program penanaman nilai karakter sekolah di rumah. 4)Cara mengatasi faktor penghambat ini adalah dengan terus mendampingi siswa dalam penanaman nilai karakter, mengadakan buku penghubung, dan mengadakan parenting guna membahas permasalahan seputar peserta didik.


(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL... i

PERSETUJUAN... ii

PERNYATAAN... iii

PENGESAHAN... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR... vii

ABSTRAK... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Identifikasi Masalah... 5

C. Fokus Penelitian... 5

D. Rumusan Masalah... 6

E. Tujuan Penelitian... 6

F. Manfaat Penelitian... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perkembangan Moral Anak Usia Dini... 8

1. Perkembangan Moral Anak Usia Dini menurut Piaget... 8

2. Perkembangan Moral Anak Usia Dini menurut Kohlberg... 11

B. Pengertian Nilai Karakter... 13

C. Nilai-nilai Karakter... 20

D. Pendidikan Karakter... 30

E. Metode Penanaman Nilai Karakter... 32


(11)

xi

G. Cara Mengatasi Faktor Penghambat... 45

H. Penelitian yang Relevan... 47

I. Kerangka Berfikir... 48

J. Pertanyaan Peneliti... 49

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 50

B. Tempat dan Waktu Penelitian... 50

C. Subjek dan Objek Penelitian... 51

D. Metode Pengumpulan Data... 51

E. Instrumen Penelitian... 52

F. Teknik Analisis Data... 53

G. Uji Keabsahan Data... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 57

1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 57

2. Kurikulum... 63

3. Penanaman Nilai Karakter... 64

a. TKIT Nurul Ittihad... 64

1) Nilai Karakter yang Ditanamkan... 64

2) Metode Penananaman Nilai Karakter... 66

3) Faktor Pendukung dan Penghambat... 67

4) Cara Mengatasi Faktor Penghambat... 67

b. TK Santi Siwi... 68

1) Nilai Karakter yang Ditanamkan... 68

2) Metode Penananaman Nilai Karakter... 70

3) Faktor Pendukung dan Penghambat... 70

4) Cara Mengatasi Faktor Penghambat... 71

c. TK ABA Kalimanjung... 71

1) Nilai Karakter yang Ditanamkan... 71

2) Metode Penananaman Nilai Karakter... 72


(12)

xii

4) Cara Mengatasi Faktor Penghambat... 73

d. TK ABA Bodeh... 74

1) Nilai Karakter yang Ditanamkan... 74

2) Metode Penananaman Nilai Karakter... 75

3) Faktor Pendukung dan Penghambat... 75

4) Cara Mengatasi Faktor Penghambat... 76

e. TK ABA Mancasan... 76

1) Nilai Karakter yang Ditanamkan... 76

2) Metode Penananaman Nilai Karakter... 78

3) Faktor Pendukung dan Penghambat... 78

4) Cara Mengatasi Faktor Penghambat... 79

f. TK ABA Delingsari... 80

1) Nilai Karakter yang Ditanamkan... 80

2) Metode Penananaman Nilai Karakter... 82

3) Faktor Pendukung dan Penghambat... 82

4) Cara Mengatasi Faktor Penghambat... 83

g. TK ABA Mejing... 83

1) Nilai Karakter yang Ditanamkan... 83

2) Metode Penananaman Nilai Karakter... 84

3) Faktor Pendukung dan Penghambat... 85

4) Cara Mengatasi Faktor Penghambat... 85

h. TK Ambar Asri... 86

1) Nilai Karakter yang Ditanamkan... 86

2) Metode Penananaman Nilai Karakter... 87

3) Faktor Pendukung dan Penghambat... 87

4) Cara Mengatasi Faktor Penghambat... 88

i. TK ABA Patukan... 88

1) Nilai Karakter yang Ditanamkan... 88

2) Metode Penananaman Nilai Karakter... 90

3) Faktor Pendukung dan Penghambat... 90


(13)

xiii

j. TK ABA Gamping... 91

1) Nilai Karakter yang Ditanamkan... 91

2) Metode Penananaman Nilai Karakter... 92

3) Faktor Pendukung dan Penghambat... 92

4) Cara Mengatasi Faktor Penghambat... 93

B. Pembahasan... 93

1. Nilai Karakter yang Ditanamkan... 93

2. Metode Penanaman Nilai Karakter... 98

3. Faktor Pendukung dan Penghambat... 100

4. Cara Mengatasi Faktor Penghambat... 101

C. Keterbatasan Penelitian... 102

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan... 104

B. Saran... 105

DAFTAR PUSTAKA... 106


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komponen Karakter yang Baik Menurut Lickona... 14 Tabel 2. Jadwal Penelitian Penanaman Nilai Karakter... 51 Tabel 3. Kisi-kisi Penelitian Penanaman Nilai Karakter... 53


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Komponen dalam Analisis Data Model Interaktif... 54 Gambar 2. Jumlah Nilai Karakter yang Nampak Selama Observasi... 94 Gambar 3. Jumlah Nilai Karakter yang Nampak Selama Wawancara... 95 Gambar 4. Jumlah Nilai Karakter berdasarkan Observasi dan Wawancara 96


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Surat Izin Penelitian... 110

Pedoman Observasi... 122

Pedoman Wawancara... 124

Pedoman Dokumentasi... 126

Hasil Observasi... 128

Catatan Lapangan... 149

Catatan Wawancara... 173


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa anak usia dini disebut juga sebagai masa awal Kanak-kanak yang memiliki berbagai karakter atau ciri-ciri. Ciri-ciri ini tercermin dalam sebutan-sebutan yang diberikan oleh para orangtua, pendidik, dan ahli psikologi untuk anak usia dini Hurlock (2000: 2). Bagi orangtua, masa awal Kanak-kanak merupakan usia yang sulit, karena anak-anak berada dalam proses pengembangan kepribadian. Proses ini berlangsung dengan disertai perilaku-perilaku yang kurang menarik untuk orangtua, misalnya melawan orangtua, marah tanpa alasan, takut yang tidak rasional, dan sering juga merasa cemburu.

Menurut Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003, anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun. Masa anak usia dini disebut sebagai masa golden age atau magic years. Hal ini disebabkan bahwa selama rentang waktu usia dini, anak mengalami berbagai pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat dan berpusat pada berbagai aspek. Pada periode ini hampir seluruh potensi anak mengalami masa peka untuk tumbuh dan berkembang secara cepat dan hebat. Oleh karena itu, pada masa ini anak sangat membutuhkan stimulasi dan rangsangan dari lingkungannya. Pembelajaran pada periode ini merupakan wadah yang memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak guna mencapai tahapan sesuai dengan tugas perkembangannya.


(18)

2

Anak usia dini didefinisikan pula sebagai kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik. Mereka memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya (Mansur, 2005: 88). Usia dini merupakan masa yang strategis untuk mengoptimalkan segala aspek perkembangan anak. Usia dini merupakan usia emas atau golden age, di mana potensi yang dimiliki anak berkembang dengan pesat, baik itu perkembangan fisik motorik, sosial, emosional, intelektual, maupun bahasa (Slamet Suyanto, 2005: 6). Pada masa tersebut merupakan masa emas dikarenakan anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat dan tidak tergantikan pada masa mendatang. Menurut banyak penelitian bidang neurologi ditemukan bahwa 50% kecerdasan anak terbentuk pada kurun waktu 4 tahun pertama. Setelah usia 8 tahun, perkembangan otaknya mencapai 80%, dan pada usia 18 tahun mencapai 100% (Slamet Suyanto, 2005: 6).

Menurut pandangan psikologis anak usia dini memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan anak lain yang berada di atas usia 8 tahun. Karakteristik anak usia dini yang khas seperti yang dikemukakan oleh Kellough (dalam Slamet Suyanto, 2005: 6) di antaranya adalah egosentris, memiliki rasa ingin tahu yang besar, bergantung dengan orang lain, unik, kaya dengan imajinasi, daya konsentrasinya pendek, dan mempunyai masa belajar yang paling potensial. Anak merupakan individu yang unik di mana masing-masing memiliki bawaan, minat, kapabilitas, dan latar belakang


(19)

3

kehidupan yang berbeda satu sama lain. Setiap anak itu unik. Unik di sini berarti bahwa setiap anak mempunyai perbedaan dan ciri khas antar anak satu dengan yang lainnya.

Pada saat lahir, tidak ada anak manusia yang memiliki hati nurani atau skala nilai. Akibatnya tiap bayi yang baru lahir dapat dianggap amoral atau nonmoral (Fawzia A. Hadis, 1996: 75). Lebih lanjut Fawzia menjelaskan bahwa pokok pertama dalam pendidikan moral adalah menjadi pribadi yang bermoral dalam arti seorang anak dapat belajar apa yang diharapkan kelompok dari anggotanya. Harapan tersebut diperinci bagi seluruh anggota kelompok dalam bentuk hukum, kebiasaan, dan peraturan. Inilah bukti bahwa untuk membentuk manusia bermoral diperlukan perangkat yang komperehensif, dan memerlukan proses pembinaan yang panjang.

Pentingnya penanaman nilai karakter sejak dini ini didukung juga oleh Haslip dan Haslip dalam artikelnya yang berjudul, “From Malaysia to America: Community-Based Character Education for Children and Youth” (2013: 297) di mana peneliti melaksanakan penelitian di Malaysia mengenai suatu taman Kanak-kanak yang melaksanakan penanaman nilai toleransi kepada peserta didiknya yang mayoritas adalah anak dengan etnis Tionghoa agar dapat hidup bersama dengan damai bersama anak dengan etnis minoritas lainnya, yaitu India dan Muslim. Haslip juga mengemukakan bahwa penanaman nilai karakter sejak dini ini akan berakibat baik di masa depan anak di mana anak akan menjadi generasi yang mempunyai moral yang baik


(20)

4

dengan suka berbagi, cinta damai, dan akan menumbuhkan jiwa nasionalisme bagi anak di masa depan.

Peneliti telah melaksanakan observasi awal mengenai penanaman nilai karakter bagi peserta didik di TK Kelompok B di Gugus IV Ambarketawang Kecamatan Gamping yang dilaksanakan pada bulan November tahun 2016 di TK ABA Gamping di mana penelitian ini dilaksanakan selama satu hari pembelajaran dari kegiatan awal hingga kegiatan penutup. Berdasarkan pengamatan tersebut ditemukan data di lapangan bahwa pembelajaran di sekolah sudah menanamkan beberapa nilai karakter tetapi masih belum dimaksimalkan. Hal ini dikarenakan pembelajaran di TK tersebut masih berorientasi pada perkembangan fisik dan kognitif anak sehingga guru masih kurang memperhatikan aspek moral anak, terutama dalam nilai karakter. Nilai karakter yang ditanamkan berupa nilai religius, kemandirian, tanggung jawab, dan peduli lingkungan. Guru menanamkan nilai karakter tersebut dengan metode pembiasaan dan bercerita. Guru membiasakan anak untuk menaruh sepatu di rak sebelum masuk kelas. Sebelum pembelajaran guru bersama anak berdoa bersama dan ketika akan mulai pembelajaran guru bersama anak menata meja dan kursi bersama. Saat pembelajaran dilaksanakan, guru banyak berbicara sehingga kesempatan anak untuk mengemukakan pendapat dan mengembangkan diri menjadi kurang.

Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa penanaman nilai karakter bangsa perlu ditanamkan kepada anak sejak usia dini, di mana dapat dilakasanakan di dalam proses pembelajaran di Taman Kanak-kanak.


(21)

5

Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka peneliti bermaksud melaksanakan penelitian mengenai penanaman nilai karakter selama proses pembelajaran Kelompok B di Gugus IV Ambarketawang Kecamatan Gamping.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penanaman nilai karakter Kelompok B di Gugus IV Ambarketawang Kecamatan Gamping adalah sebagai berikut:

1. Metode pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru belum mengandung unsur nilai karakter yang dimaksudkan peneliti.

2. Pembelajaran masih berorientasi pada hal-hal yang bersifat mengembangkan fisik dan kognitif anak sehingga guru masih kurang memperhatian aspek moral anak, terutama dalam nilai karakter.

3. Kurangnya kesempatan yang diberikan kepada anak untuk mengemukakan pendapatnya, dan mengembangkan diri.

C. Fokus Penelitian

Agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik dan terarah serta keterbatasan waktu serta kemampuan yang penulis miliki maka penulis menetapkan fokus penelitian ini yaitu penanaman nilai karakter TK Kelompok B di Gugus IV Ambarketawang Kecamatan Gamping.


(22)

6 D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan pembatasan masalah yang telah disusun, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Nilai apa saja yang ditanamkan kepada anak TK Kelompok B selama proses pembelajaran ?

2. Apa saja metode yang digunakan dalam menanamkan nilai karakter ? 3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam menanamkan nilai

karakter ?

4. Bagaimana cara mengatasi faktor penghambat dalam menanamkan nilai karakter ?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Nilai-nilai karakter yang ditanamkan di TK Kelompok B di Gugus IV Ambarketawang.

2. Metode yang digunakan dalam penanaman nilai karakter.

3. Faktor pendukung dan penghambat dalam penanaman nilai karakter . 4. Cara mengatasi hambatan yang terjadi.

F. Manfaat Penelitian 1. Bagi peserta didik

a. Meningkatkan nilai-nilai karakter bangsa bagi anak.

b. Melatih anak untuk memahami nilai karakter dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.


(23)

7 2. Bagi guru

a. Menjadi masukan yang berarti untuk mengembangkan metode pembelajaran yang mengandung nilai-nilai karakter.

b. Meningkatkan keterampilan guru dalam mengembangkan dan melaksanakan metode pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan nilai-nilai karakter.

3. Bagi Kepala Sekolah

a. Memberi kesempatan pada guru untuk menanmkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik.

b. Mengikutsertakan guru dalam pelatihan dan seminar mengenai penanaman nilai karakter yang diadakan oleh lembaga maupun oleh pemerintah.


(24)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perkembangan Moral Anak Usia Dini

Dalam kehidupan sosial di masyarakat, anak akan berhadapan dengan ukuran-ukuran yang menentukan benar-salah atau baik-buruk dari suatu tingkah laku. Ukuran-ukuran tersebut dapat berupa budaya, tata cara, adat istiadat, atau kebudayaan. Ukuran-ukuran tersebut yang pada akhirnya disebut moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ke-XVI (2008: 1041) moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila. Berdasarkan aturan-aturan berperilaku tersebut, anak dituntut untuk mengetahui, memahami, dan mengikutinya. Perubahan dalam proses pengetahuan, pemahaman, dan perbuatan ini yang disebut dengan perkembangan moral. Cabang ilmu psikologi telah banyak melahirkan tokoh yang menjelaskan mengenai perkembangan moral tersebut. Beberapa diantaranya adalah Piaget dan Kohlberg. Piaget dan Kohlberg (dalam Maria J. Wantah, 2005: 64-70) memaparkan perkembangan moral pada anak usia dini. 1. Perkembangan Moral Anak menurut Piaget

Fokus Piaget dalam melaksanakan penelitian adalah mengenai cara berpikir anak mengenai isu-isu moral. Piaget mengadakan wawancara dan pengamatan terhadap sekelompok anak dengan rentang usia 4-12 tahun. Piaget mengamati cara anak berperilaku selama permainan dengan peraturan main yang dibuat oleh mereka. Pertanyaan yang ditanyakan seputar isu-isu moral, seperti pencurian, berbohong, hukuman, dan keadilan.


(25)

9

Berdasarkan pengamatan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak berpikir mengenai moralitas dalam 2 tahap yang tergantung pada tingkat perkembangannya. Tahap pertama yaitu moralitas heteronomus (heteronomous morality) yang terjadi pada anak usia 4 hingga 7 tahun. Pada tahap ini anak beranggapan bahwa keadilan dan aturan sebagai sifat dunia yang tidak berubah dan lepas dari kendali manusia.

Pada usia 10 tahun ke atas, anak sudah memahami bahwa aturan-aturan dan hukuman itu diciptakan oleh manusia. Anak pada tahap moral ini juga sudah menyadari bahwa dalam menilai tindakan seseorang, ia harus mengetahui maksud si pelaku melakukan hal terebut dan dapat memikirkan sebab akibat yang akan terjadi. Tahapan ini disebut moralitas otonomous (autonomous morality).

Perbedaan yang dapat disimpulkan dari kedua tahap tersebut adalah bahwa pada tahap heteronomous anak hanya melihat sesuatu dari sisi akibat yang dilakukan pelaku, sedangkan pada tahap otonomous anak lebih melihat sesuatu dari maksud yang dilakukan pelaku. Misalnya ketika ada anak yang memecahkan satu piring dengan sengaja dan lima piring dengan tidak sengaja. Anak pada tahap heteronomous akan lebih memilih memecahkan lima piring dengan tidak sengaja seabgai suatu kejadian yang lebih jelek. Namun pada anak dalam tahap otonomous akan memilih memecahkan satu piring dengan sengaja sebagai suatu kejadian yang lebih jelek dan memecahkan lima piring dengan tidak sengaja sebagai suatu kejadian yang


(26)

10

lebih baik karena kejadian itu merupakan kejadian yang dilakukan dengan tidak sengaja.

Selanjutnya anak-anak hetereonomous berpikiran bahwa aturan-aturan dibuat oleh pemegang otoritas yang memiliki kekuatan sehingga tidak dapat diubah lagi, namun anak-anak otonomous berpikiran bahwa aturan-aturan yang ada adalah sebuah bentuk kesepakatan yang dapat diubah sesuai keadaan. Selanjutnya, anak heteronomous berpikiran bahwa keadilan adalah sesuatu yang tetap ada. Piaget mengistilahkannya dengan Immanent Justice, yaitu bahwa jika aturan dilanggar maka hukuman akan ditimpahkan segera. Mereka meyakini bahwa kejahatan dan hukuman adalah dua hal yang terkait. Anak otonomous berpikiran bahwa hukuman bisa diberikan sebagai sanksi sosial namun bisa juga tidak, tergantung kondisi yang ada.

Piaget berpendapat bahwa di saat anak-anak berkembang, mereka mengalami kemajuan dalam pemahaman tentang masalah-masalah sosial. Piaget meyakini bahwa pemahaman sosial ini muncul melalui interaksi atau saling menerima dan memberi dalam hubungan teman sebaya, karena dalam kelompok teman sebaya anak-anak memiliki kekuatan dan status yang sama, mereka secara leluasa dapat saling memberi masukan dan bernegoisasi dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul. Pengalaman tentu merupakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan moral anak.

2. Perkembangan Moral Anak menurut Kohlberg

Dengan pendekatan perkembangan kognitif yang sama dengan Piaget, Kohlberg (dalam Maria J. Wantah, 2005: 64) mencoba mengembangakn


(27)

11

sendiri teori tentang perkembangan penalaran moral. Kohlberg berfokus pada alasan-alasan yang ada di balik respon-respon moral, dengan kata lain Kohlberg memilih untuk mendalami struktur proses berpikir yang terlibat dalam penalaran moral.

Selama penelitiannya, Kohlberg merancang cerita-cerita imajinatif yang mengandung dilema-dilema moral untuk mengukur penalaran moral. Konflik moral dalam cerita itu terdiri dari dua pilihan yang dapat diterima secara kultural dan ada yang terdiri dari dua pilihan yang tidak dapat diterima secara kultural. Cerita ini menempatkan seorang responden pada situasi konflik tersebut. Respon yang dipilih tidaklah begitu penting, tetapi alasan dibalik seseorang mengambil alternatif itulah yang akan diteliti. Oleh sebab itu, kepada para responden ditanyakan tentang apa yang sebaiknya dilakukan, di samping mereka ditanya pula mengapa memilih untuk melakukan itu.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Kohlberg mengelompokkan perkembangan moral manusia ke dalam enam level, lebih lanjut keenam level ini dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan sehingga masing-masing level terdiri dari 2 tahapan, di antaranya:

Level 1: Penalaran moral prakonvensional, meliputi tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, dan tahap orientasi individualisme dan orientasi instrumental.

Level 2: Penalaran moral konvensional, meliputi tahap orientasi

konformitas interpersonal dan tahap orientasi hukum dan aturan. Level 3: Penalaran moral pascakonvensional, meliputi tahap orientasi


(28)

12

kontrak sosial dan tahap orientasi etis universal.

Pada level yang paling dasar, anak belum menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral. Pengalihan atau penalaran moral anak dikendalikan oleh faktor eksternal, yaitu ganjaran dan hukuman yang bersifat fisik. Pertimbangan moral anak pada usia ini didasarkan pada akibat-akibat yang bersifat fisik dan hedonistik. Sesuatu itu dianggap benar atau baik oleh anak jika menghasilkan sesuatu yang secara fisik menyenangkan atau menguntungkan dirinya. Sebaliknya, sesuatu dianggap jelek atau salah apabila menyakitkan atau menimbulkan kerugian bagi dirinya.

Level ini terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan (punishment and obedience orientation) serta tahap individualismedan orientasi tujuan instrumental (individualism and instrumental purpose). Berikut adalah penjabaran mengenai orientasi hukuman dan kepatuhan serta orientasi tujuan instrumental:

a. Orientasi Hukuman dan Kepatuhan

Tahap ini didominasi oleh penalaran moral yang mengacu pada kepatuhan atau hukuman oleh figur-figur yang berkuasa. Benar salahnya suatu perbuatan hanya dilihat dari akibat hukuman yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Misalnya saja anak yang beranggapan bahwa dokter itu jahat karena sering menyakiti dengan menyuntik.

b. Orientasi Individualisme dan Orientasi Tujuan Instrumental

Pada tahap ini acuan moral anak masih terhadap peristiwa-peristiwa eksternal fisik. Namun pada tahap ini anak sudah mampu menilai suatu


(29)

13

tindakan itu benar bila berkaitan dengan kejadian eksternal yang memuaskan kebutuhan dirinya atau orang lain. Misalnya saja seseorang yang mencuri dianggap salah, namun bisa dianggap benar apabila ada alasan dibalik pencurian tersebut, misalnya karena lapar. Pada tahap ini anak sudah mampu untuk melihat suatu peristiwa dari beberapa perspektif.

Jadi menurut pemaparan di atas, pada masa ana usia dini terjadi 2 tahap perkembangan moral yaitu pada anak usia 4-7 tahun anak merasa bahwa aturan adalah sesuatu yang mutlak dan tidak bisa dilanggar. Pada masa ini pula anak menganggap benar salahnya suatu perbuatan dilihat dari akibat hukuman yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Pada anak usia 10 tahun ke atas, mereka sudah bisa melihat bahwa aturan merupakan kesepakatan bersama yang bisa diubah sesuai keadaan. Pada tahap ini anak sudah mampu menilai suatu tindakan itu benar bila berkaitan dengan kejadian eksternal yang memuaskan dirinya. Contohnya adalah ketika ada seseorang yang mencuri dianggap salah, namun bisa dianggap benar bila ada alasan seseorang mencuri, misalnya saja karena ia lapar. Anak dalam tahap ini sudah mampu melihat berbagai hal dalam perspektif yang berbeda.

B. Pengertian Nilai Karakter

Secara etimologi istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu karasso yang berarti cetak biru, format dasar, dan sidik seperti dalam sidik jari. Dalam hal ini, karakter diartikan sebagai sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi, seperti ganasnya laut dengan gelombang pasang dan angin yang menyertainya (Doni Koesoma, 2011: 90). Menurut


(30)

14

Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ke-XVI (2008: 682) karakter berarti tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak. Zubaedi dalam ”Desain Pendidikan Karakter; Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan” (2013) menyebutkan bahwa definisi dari karakter adalah to mark (menandai) dan memfokuskan, bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Sementara menurut Suyanto dalam tulisan “Urgensi Pendidikan Karakter” sebagaimana dikutip oleh Zubaedi (2013), dijelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara (Doni Koesoma, 2011: 11-12).

Lickona (2012: 85-99) menjelaskan mengenai komponen karakter yang baik pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Komponen Karakter yang Baik Menurut Lickona Pengetahuan Moral (Moral Knowing) Perasaan Moral (Moral Feeling) Perilaku Moral (Moral Behavior) - Kesadaran moral

- Pengetahuan nilai moral

- Penentuan perspektif - Pemikiran moral - Pengambilan

keputusan

- Pengetahuan pribadi

- Hati nurani - Harga diri - Empati

- Mencintai hal yang baik

- Kendali diri - Kerendahan hati

- Kompetensi - Keinginan - Kebiasaan

1. Pengetahuan Moral

Terdapat banyak jenis pengetahuan moral berbeda yang perlu kita ambil seiring kita berhubungan dengan perubahan moral kehidupan. Keenam


(31)

15

aspek berikut ini merupakan aspek yang menonjol sebagai tujuan pendidikan karakter yang diinginkan:

a. Kesadaran Moral

Pada kesadaran moral ada dua tanggung jawab yang harus diketahui, yang pertama adalah menggunakan pemikiran mereka untuk melihat suatu situasi yang memerlukan penilaian moral dan kemudian untuk memikirkan dengan cermat tentang apa yang dimaksud dengan arah tindakan yang benar. Aspek kedua dari kesadaran moral adalah memahami informasi dari permasalahan yang bersangkutan. Sangat sering, di dalam membuat penialain moral, kira tidak dapat memutuskan apa yang benar sampai kita tahu apa yang benar.

b. Pengetahuan Moral

Nilai-nilai moral seperti menghargai kehidupan dan kemerdekaan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, penghormatan, disiplin diri, integritas, kebaikan, belas kasihan, dan dorongan atau dukungan mendefinisikan seluruh cara tentang menjadi pribadi yang baik. Ketika digabung, seluruh nilai ini menjadi warisan moral yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

c. Penentuan Perspektif

Penentuan perspektif merupakan kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain, melihat situasi sebagaimana adanya, membayangkan bagaimana mereka akan berpikir, berkreasi dan merasakan masalah yang ada. Satu sasaran fundamental pendidikan moral haruslah membantu siswa


(32)

16

mengalami dunia dari sudut pandang orang lain, terutama sudut pandang orang-orang yang berbeda dari mereka sendiri.

d. Pemikiran Moral

Pemikiran moral melibatkan pemahaman apa yang dimaksud dengan moral dan mengapa harus aspek moral. Di tingkat yang lebih tinggi, pemikiran moral juga mengikutsertakan pemahaman atas prinsip moral klasik: “Hormatilah hak hakiki intrinsik setiap individu”. Prinsip-prinsip seperti itu memandu tindakan moral dalam berbagai macam situasi yang berbeda.

e. Pengambilan keputusan

Mampu memikirkan cara seseorang bertindak melalui permasalahan moral dengan cara memikirkan konsekuensi merupakan keahlian pengambilan keputusan reflektif.

f. Pengetahuan Pribadi

Mengetahui diri sendiri merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit untuk diperoleh, namun hal ini perlu bagi pengembangan karakter. Menjadi orang yang bermoral memerlukan keahlian untuk mengulas kelakuan kita sendiri dan mengevaluasi perilaku kita tersebut secara kritis. 2. Perasaan Moral

Perasaan moral terdiri dari hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal yang baik, kendali diri, dan kerendahan hati.


(33)

17 a. Hati Nurani

Hati nurani memiliki empat sisi yaitu sisi kognitif (mengetahui apa yang benar) dan sisi emosional (merasa berkewajiban untuk melakukan apa yang benar). Banyak orang tahu apa yang benar, namun meraskan sedikit kewajiban untuk berbuat sesuai dengan hal tersebut.

b. Harga Diri

Harga diri yang tinggi dengan sendirinya tidak menjamin karakter yang baik. Sudah jelas mungkin untuk memiliki harga diri berdasarkan pada hal-hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan karakter yang baik, seperti kepemilikan, penampilan yang baik, popularitas, atau kekuasaan. Bagian dari tantangan sebagai pendidik adalah memantu siswa mengembangakan harga diri berdasarkan pada nilai-nilai seperti tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan serta berdasarkan pada keyakinan kemampuan diri mereka sendiri demi kebaikan.

c. Empati

Empati merupakan identifikasi dengan, atau pengalaman yang seolah-olah terjadi dalam, keadaan orang lain. Empati menampung kita untuk keluar dari diri kita sendiri dan masuk ke dalam diri orang lain. Ini merupakan sisi emosional penentuan perspektif.

d. Mencintai Hal yang Baik

Bentuk karakter yang tertinggi mengikutsertakan sifat yang benar-benar tertarik pada hal yang baik. Ketika orang-orang mencintai hal yang baik, mereka senang melakukan hal yang baik. Mereka memiliki moralitas


(34)

18

keinginan, bukan hanya moral tugas. Kemampuan untuk menemukan pemenuhan layanan tidak terbatas pada menjadi penolong; kemampuan ini merupakan bagian dari potensi moral orang biasa, bahkan anak-anak. Potensi tersebut dikembangkan, melalui program-program, seperti pendampingan orang, teman sebaya dan pelayanan masyarakat, pada sekolah di seluruh negara.

e. Kendali Diri

Kendali diri diperlukan untuk menahan diri agar tidak memanjakan diri kita sendiri. Idealisme yang tinggi mengalami kegagalan di hadapan pola ini.

f. Kerendahan Hati

Kerendahan hati merupakan kebaikan moral yang diabaikan namun merupakan bagian yang esensial dari karakter yang baik. Kerendahan hati merupakan sisi afektif pengetahuan pribadi. Hal ini merupakan keterbukaan yang sejati terhadap kebenaran dan keinginan untuk bertindak guna memperbaiki kegagalan kita.

3. Tindakan Moral

Tindakan moral, untuk tingkatan yang besar, merupakan hasil dari dua bagian karakter lainnya. Apabila orang-orang memiliki kualitasmoral keceerdasan dan emosi yang baru saja kita teliti maka mereka mungkin melakukan apa yang mereka ketahui dan mereka rasa benar. Tindakan moral terdiri dari kompetensi, keinginan, dan kebiasaan.


(35)

19 a. Kompetensi

Kompetensi moral memiliki kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam tindakan moralyang efektif. Untuk memecahkan suatu konflik dengan adil, misalnya, kita memerlukan keahlian praktis: mendengarkan, menyampaikan sudut pandang kita tanpa mencemarkan nama baik orang lain, dan mengusahakan solusi yang dapat diterima semua pihak. b. Keinginan

Diperlukan keinginan untuk menjaga emosi di bawah kendali pemikiran. Diperlukan keinginan untuk melihat dan berpikir melalui seluruh dimensi moral dalam suatu situasi. Diperlukan keinginan untuk melaksanakan tugas sebelum memperoleh kesenangan. Diperlukan keinginan untuk menolak godaan, untuk menentang tekanan teman sebaya, dan melawan gelombang. c. Kebiasaan

Anak-anak sebagai bagian dari pendidikan moral mereka, memerlukan banyak kesempatan untuk mengembangkan kebiasaan yang baik, banyak praktik dalam hal menjadi orang yang baik. Hal ini berarti pengalaman yang diulangi dalam melakukan apa yang membantu, apa yang jujur, apa yang ramah, dan apa yang adil. Oleh karena itu, kebiasaan baik yang terbentuk akan bermanfaat bagi diri mereka sendiri bahkan ketika mereka menghadap situasi yang berat.

Dalam pribadi dengan karakter yang baik, pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral secara umum bekerja sama untuk saling mendukung satu sama lain. Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan


(36)

20

tentang kebaikan (knowing the good), keinginan terhadap kebaikan (desiring the good), dan berbuat kebaikan (doing the good). Dalam hal ini, diperlukan pembiasaan dalam pemikiran (habits of the mind), pembiasaan dalam hati (habits of the heart), dan pembiasaan dalam tindakan (habits of the action). Dalam konteks kebangsaan, pembangunan karakter diorientasikan pada tiga tataran besar, yaitu (1) untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan (3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat (Doni Koesoma, 2011: 13-14).

Jadi menurut Lickona, komponen karakter yang baik adalah adanya pengetahuan moral (moral knowing) yang terdiri dari kesadaran moral, pengetahuan nilai moral, penentuan perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan pribadi. Perasaan moral (moral feeling) yang terdiri dari hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal yang baik, kendali diri, dan kerendahan hati. Serta perilaku moral (moral behavior) yang terdiri dari kompetensi, keinginan, dan kebiasaan.

C. Nilai-nilai Karakter

Nilai-nilai karakter bangsa merupakan rumusan tujuan pendidikan nasional yang menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang diidentifikasi dari Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas


(37)

21

menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Nilai-nilai karakter bangsa yang diambil dalam penelitian ini adalah nilai karakter religius, disiplin, kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, dan rasa ingin tahu.

Berikut adalah penjabaran dari 18 nilai karakter menurut Muhammad Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida (2014: 190-205) dalam buku ”Pendidikan Karakter Anak Usia Dini: Konsep dan Aplikasinya dalam PAUD” dan Mohamad Mustari (2014: 1-207) dalam buku “Nilai Karakter: Refleksi untuk Pendidikan” adalah sebagai berikut:

1. Religius

Religius adalah nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan. Ia menunjukan bahwa pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/ atau ajaran agamanya. Religius juga merupakan sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Menurut


(38)

22

Stark dan Glock (dalam Muhammad Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida 2014: 190), ada lima unsur yang dapat mengembangkan manusia menjadi religius. Yaitu, keyakinan agama, ibadat, pengetahuan agama, pengalaman agama, dan konsekuensi dari keempat unsur tersebut.

Keyakinan agama adalah kepercayaan atas doktrin ketuhanan, seperti kepercayaan terhadap Tuhan, malaikat, akhirat, surga, neraka, dan lain-lain. Ibadat adalah prosesi penyembahan kepada Tuhan. Dimana ibadat dapat meremajakan keimanan, menjada diri dari kemerosotan budi pekerti atau dari mengikuti hawa nafsu yang berbahaya. Pengetahuan agama adalah pengetahuan tentang ajaran agama meliputi berbagai segi dalam suatu agama, seperti pengetahuan mengenai sembahyang, puasa, dan zakat. Pengalaman agama adalah segala perasaan yang dirasakan oleh penganut agama, seperti rasa aman, tenteram, nyaman, bahagia, dan lain-lain. Terakhir, konsekuensi dari keempat unsur tersebut adalah aktualisasi dari doktrin agama yang diyakini seseorang yang diwujudkan dalam ucapan dan tindakan.

2. Toleransi

Toleransi adalah sikap memberikan respek/ hormat terhadap berbagai perbedaaan yang ada di masyarakat baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama (Mohamad Mustari, 2014: 121). Bersikap toleran berarti juga tidak memaksakan pemikiran, keyakinan, dan kebiasaannya sendiri pada orang lain. Kita tidak bisa sama sekali memaksa pada seseorang untuk menganut suatu kepercayaan tertentu, tidak bisa mengharuskan seseorang untuk menganut suatu kepercayaan tertentu, tidak bisa


(39)

23

mengharuskan seseorang untuk berpandangan picik dalam urusan keduniaan ataupun lainnya, walaupun dalam urusan agama. Menurut Rawls (dalam Mohamad Mustari, 2014: 121), toleransi ini menjadi penting ketika kebebasan-kebebasan nurani indidvidu bertemu dalam wilayah publik. Dari sudut pandang keadilan, orang harus menghormati hak orang untuk beragama lain.

3. Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. disiplin diri merujuk pada latihan yang membuat orang merelakan dirinya untuk melaksanakan tugas tertentu atau menjalankan pola perilaku tertentu maka, disiplin diri adalah penundukan diri untuk mengatasi hasrat-hasrat yang mendasar. Disiplin diri biasanya disamakan artinya dengan kontrol diri (self-control).

Disiplin diri merupakan pengganti untuk motivasi. Disiplin ini diperlukan dalam rangka menggunakan pemikiran sehat untuk menentukan jalannya tindakan yang terbaik yang menentang hal-hal yang lebih dikehendaki. Perilaku yang bernilai adalah ketika motivasi ditundukkan oleh tujuan-tujuan yang lebih terpikirkan: melakukan apa yang dipikirkan sebagai yang terbaik dan melakukannya itu dengan hati senang. Sementara perilaku baik yang biasa adalah melakukan perbuatan yang baik, namun dilakukan secara enggan, karena menentang hasrat diri pribadi. Beralih dari perilaku biasa kepada perilaku yang bernilai membutuhkan latihan dan disiplin.


(40)

24 4. Kerja Keras

Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya (Mohamad Mustari, 2014: 43). Pantang menyerah adalah salah satu tanda dari kerja keras, yaitu usaha menyelesaikan kegiatan atau tugas secara optimal. Kerja keras dapat ditandakan dengan :

a. Menyelesaikan tugas dalam batas waktu yang ditargetkan. b. Menggunakan segala kemampuan/ daya untuk mencapai sasaran.

c. Berusaha mencari berbagai alternatif pemecahan ketika menemui hambatan.

5. Kreatif

Fromm (dalam Mohamad Mustari, 2014: 69) menyatakan bahwa dalam segala jenis kerja kreatif orang yang menciptakannya menyatukan dirinya dengan bendanya, yang mewakilkan dunia di luar dirinya. Proses pemikiran kreatif dalam lapangan apa pun kehidupan manusia sering kali dimulai dengan apa yang disebut “visi rasional” yang merupakan hasil pertimbangan kajian sebelumnya, pemikiran reflektif, dan pengamatan (observasi). Menurut From (dalam Mohamad Mustari, 2014: 69) kreatif berarti menciptakan ide-ide dan karya baru yang bermanfaat. Pemikiran yang kreatif adalah pemikiran yang dapat menemukan hal-hal atau cara-cara baru yang berbeda dari yang biasa dan pemikiran yang mampu mengemukaakn ide atau gagasan yang memiliki nilai tambah (manfaat).


(41)

25 6. Kemandirian

Kemandirian adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Dalam keluarga, kemandirian (self-reliance) adalah sifat yang harus dibentuk oleh orangtua dalam membangun kepribadian anak-anak mereka. Anak yang mandiri adalah anak yang aktif, independen, kreatif, kompeten, dan spontan. Orang yang mandiri adalah orang yang mampu berpikir dan berfungsi secara independen, tidak perlu bantuan orang lain, tidak menolak risiko dan bisa memecahkan masalah, bukan hanya khawatir tentang masalah-masalah yang dihadapinya. Orang seperti itu akan percaya pada keputusannya sendiri, jarang membutuhkan orang lain untuk meminta pendapat atau bimbingan orang lain. Orang yang mandiri dapat menguasai kehidupannya sendiri dan dapat menangani apa saja dari kehidupan ini yang ia hadapi.

7. Demokratis

Demokratis adalah cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain (Mohamad Mustari, 2014: 137).

8. Semangat Kebangsaan

Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompok. Semangat kebangsaan merupakan suatu sudut pandang yang memandang dirinya sebagai bagian dari bangsa dan negaranya. Sudut pandang yang mewujudkan sikap dan perilaku yang akan mempertahankan bangsa dari


(42)

26

berbagai ancaman, serta memahami berbagai faktor penyebab konflik sosial baik yang berasal dari luar maupun dari dalam.

9. Cinta Tanah Air

Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukan kesetian, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

10.Menghargai Prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuai yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Menghargai prestasi merupakan perasaan bangga terhadap kelebihan dan keunggulan yang dimiliki dirinya sebagai individu maupun dirinya sebagai anggota masyarakat. Perasaan bangsa ini akan mendorong untuk memperoleh pencapaian-pencapaian yang positif bagi kemajuan bangsa dan negara.

11.Bersahabat

Tindakan yang memperhatikan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Bersahabat/komunikatif merupakan perilaku yang ditunjukan dengan senantiasa menjaga hubungan baik dengan interaksi yang positif antar individu dalam suatu kelompok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

12.Cinta Damai

Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas keberhasilan dirinya. Cinta damai merupakan perilaku


(43)

27

yang selalu mengutamakan kesatuan rasa dan perwujudan harmoni dalam lingkungan yang majemuk dan multikultural.

13.Gemar Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Senang membaca merupakan rasa ingin meningkatkan pengetahuan dan pemahaman melalui gemar mencari informasi baru lewat bahan bacaan maupun mengajak masyarakat di lingkungan sekitarnya untuk memupuk perasaan gemar membaca ini.

14.Peduli Lingkungan

Peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan (Mohamad Mustari, 2014: 145).

15.Peduli Sosial

Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada oarang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Peduli sosial merupakan kepekaan akan segala kesulitan yang dihadapi oleh lingkungannya dan masyarakatnya. Kepekaan ini kemudian terwujud dalam tindakan, perasaan, dan perbuatan yang berulang-ulang dan menjadi kebiasaan dalam mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang di sekitarnya, yang mana individu tidak terfokus pada dirinya sendiri dan bekerja sama dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.


(44)

28 16.Tanggung jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

17.Kejujuran

Kejujuran merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Jujur merujuk pada suatu karakter moral yang mempunyai sifat-sifat positif dan mulia seperti integritas, penuh kebenaran, dan lurus sekaligus tidak berbohong, curang, ataupun mencuri. Jujur dianggap bersifat morral, sedangkan dusta dianggap immoral. Kejujuran dapat saja tidak diinginkan dalam banyak banyak sistem sosial dengan alasan penjagaan diri (self-preservation).

Menurut Kong Fu Tse ada beberapa tingkatan kejujuran, yaitu: Li, ingn tampak benar untuk keuntungan pribadi; Yi, mengatakan apa yang benar atas dasar bahwa kita akan diperlakukan secara sama; Ren, berdasarkan bentuk yang paling mulia dari empati terhadap yang lain yang berbeda dari kita baik secara umur, jenis kelamin, budaya, pengalaman, keluarga, dan sebagainya.

Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, jika suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/ jujur, tetapi jika tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran tidak hanya ada pada


(45)

29

ucapan, tetapi juga ada pada perbuatan, sebagaimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang adapada batinnya. 18.Rasa ingin tahu

Merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Rasa ingin tau adalah emosi yang dihubungkan dengan perilaku mengorek secara alamiah seperti eksplorasi, investigasi, dan belajar. Rasa ingin tahu terdapat pada pengalaman manusia dan binatang. Di dalam otak, rasa ingin tahu membuat bekerjanya kedua jenis otak, yaitu otak kiri dan orak kanan. Salah satu dari bagian otak ini mempunyai kemampuan untuk memahami dan mengantisipasi informasi, dan yang lain untuk menguatkannya dan mengencangkan memori jangka panjang untuk informasi baru yang mengejutkan.

Nilai-nilai karakter terdiri dari 18 nilai di antaranya adalah: religius, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, kemandirian, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab, kejujuran, dan rasa ingin tahu. Nilai-nilai karakter tersebut penting untuk ditanamkan kepada anak usia dini sebagai pondasi bagi kehidupan anak di masa yang akan datang.

D. Pendidikan Karakter

Menurut Fakry Gaffar (dalam Dharma Kesuma, Cepi Triana, dan Johar Permana 2013: 9) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai proses


(46)

30

transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Naisonal, tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Menurut Dharma Kesuma (2013: 9) ada tiga tujuan pendidikan karakter yang ditanamkan pada anak khususnya dalam setting sekolah, di antaranya:

1. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilaiyang dikembangkan.

2. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah.

3. Membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.

Selanjutnya Zubaedi (2013: 18) mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan pendidikan karakter, di antaranya:

1. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa.


(47)

31

2. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsayang religius. 3. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik

sebagai generasi penerus bangsa.

4. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi mansia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan.

5. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi serta penuh kekuatan.

Tujuan pendidikan karakter menurut Dharma Kesuma (2013: 9) adalah :

1. Memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah).

2. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan sekolah.

3. Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri


(48)

32

meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

E. Metode Penanaman Nilai Karakter

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ke-XVI (2008: 1022) metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Ada beberapa metode yang dapat dilaksanakan guru dalam menanamkan nilai karakter kepada anak seperti yang dipaparkan oleh Muhammad Fadlillah (2014: 172) diantaranya:

1. Metode Keteladanan

Metode ini dirasa sebagai metode yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral spiritual dan sosial anak. Hal ini dikarenakan pendidikan dirasa sebagai suatu contoh terbaik yang ada dalam pandangan anak dan akan ditiru dalam tindak-tanduk dan sopan santunnya terpatri dalam jiwa. Keteladanan merupakan unsur paling mutlak untuk melakukan perubahan perilaku hidup. Nasihat yang tidak dibarengi dengan keteladanan akan dirasa percuma. Metode keteladanan merupakan suatu cara mengajarkan ilmu dengan mencontohkan secara langsung kepada anak.

Metode keteladanan yang digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah, secara tidak langsung lebih mengarah pada kompetensi dari pengajar


(49)

33

itu sendiri. Hal ini dikarenakan dengan memberikan contoh yang baik, maka anak akan mengikuti setiap gerak-gerik dari guru. Karena orang dewasa di mata anak adalah seorang panutan yang harus ditiru.

Dalam penerapan metode keteladanan di sekolah, ada beberapa hal yang dapat digunakan:

a. Memberikan keteladanan dengan cara apa yang dilihat anak. Oleh karena dalam konteks ini adalah pendidikan di RA/TK, hendaknya guru-guru bisa menjadi teladan bagi anak didiknya. Misalnya saat anak didik diajarkan untuk bersabar, maka guru juga harus memberikan teladan kesabaran yang sesuai.

b. Metode keteladanan bisa dilakukan dalam proses pembelajaran di kelas melalui kisah-kisah para nabidan kisah lain yang berisi keteladanan akhlak.

c. Metode keteladanan juga dapat diterapkan ketika ada seorang pengemis yang meminta uang. Guru mengajak anak untuk memberikan uang, dengan begitu anak diajarkan untuk berbagi dengan sesama.

Dalam aplikasinya, penanaman nilai karakter dengan metode keteladanan ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, seperti pendapat Armai Arif (2002: 100):

1. Kelebihan

a. Akan memudahkan anak didik dalam menerapkan ilmu yang dipelajari di sekolah.


(50)

34

c. Agar tujuan pendidikan lebih terarah dan tercapai dengan baik. d. Tercipta hubungan harmonis antara guru dan siswa.

e. Secara tidak langsung guru dapat menerapkan ilmu yang diajarkannya. f. Mendorong guru untuk selalu berbuat baik karena akan dicontoh oleh

peserta didik. 2. Kekurangan

a. Jika figur yang dicontoh tidak baik, maka anak akan cenderung berbuat tidak baik pula.

b. Jika teori tanpa praktik akan menimbulkan verbalisme.

2. Metode Pembiasaan

Menurut Armai Arif (2002: 110) metode pembiasaan adalah suatu cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak berpikir, bersikap, bertindak sesuai dengan ajaran agama Islam. Metode ini sangat praktis dalam pembinaan dan pembentukan karakter anak usia dini dalam meningkatkan pembiasaan-pembiasaan dalam melaksanakan suatu kegiatan di sekolah.

Inti dari pembiasaan adalah pengulangan. Dalam pembinaan sikap, metode pembiasaan sangat efektif digunakan karena akan melatih kebiasaan-kebiasaan yang baik kepada anak sejak dini. Menurut Yusuf Mohamad, sebagaimana dikutip oleh Mukodi (2015: 75) ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak dengan etika umum yang ada di pergaulan sehari-hari, seperti:


(51)

35

1. Dibiasakan mengambil dan memberi makan serta minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tanan kiri, maka diperingatkan untuk menggunakan tangan kanan.

2. Dibiasakan mendahulukan anggota badan sebelah kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan baju dimulai dari kanan dan ketika melepasnya memulai dari bagian kiri.

3. Dilarang tidur terlungkap dan dibiasakan tidur dengan miring ke kanan. 4. Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak

tumbuh dengan kesadaran meutup aurat dan malu membukanya. 5. Dicegah menggigit jari dan menggigit kukunya.

6. Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dihindarkan dari sikap rakus.

7. Dilarang bermain dengan hidungnya.

8. Dibiasakan membaca basmallah ketika hendak makan atau minum.

9. Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.

10.Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun orang yang makan.

11.Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.

12.Dibiaskan memakan makanan yang ada, tidak menginginkan yang tidak ada.


(52)

36

13.Dibiasakan membersihkan mulut dengan sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.

14.Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan dan permainan yang disenangi.

15.Mengucapkan salam yang sopan kepada orang yang dijumpainya.

16.Dibisakan untuk mengucapkan terimakasih setiap mendapatkan kebaikan. 17.Diajari kata-kata yang benar dan bahasa yang baik.

18.Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar. 19.Bila membantah diperintahkan supaya kembali kepada kebenaran dengan

sukarela.

Selanjutnya menurut Yusuf Mohamad (dalam Mukodi, 2015: 80) dalam metode pembiasaan, ada beberapa kelebihan dan kekurangan selama prosesnya, diantaranya adalah:

1. Kelebihan

a. Dapat menghemat tenaga dan waktu dengan baik.

b. Permbiasaan tidak hanya berkaitan dengan aspek lahiriah, tetapi juga berhubungan dengan aspek batiniah.

c. Pembiasaan dalam sejarah tercatat sebagai metode yang paling berhasil dalam pembentukan kepribadian peserta didik.

2. Kekurangan

a. Apabila telah tertanam kebiasaan buruk, sulit untuk dihilangkan. b. Memerlukan pengawasan, supaya kebiasaan yang dilakukan tidak


(53)

37

c. Membutuhkan stimulus atau rangsangan, supaya anak dapat melakukan kebiasaan baiknya dengan istiqamah.

3. Metode Bercerita

Menurut Sanders (dalam Tadkiroatun Musfiroh, 2005: 23), ada sepuluh alasan penting mengapa anak perlu menyimak cerita:

1. Menyimak cerita merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi anak. 2. Cerita dapat mempengaruhi masyarakat.

3. Cerita membantu anak melihat melalui mata orang lain.

4. Cerita memperlihatkan kepada anak konsekuensi suatu tindakan. 5. Cerita mendidik hasrat anak.

6. Cerita membantu anak memahami tempat/ lokasi. 7. Cerita membantu anak memanfaatkan waktu.

8. Cerita membantu anak mengenal penderitaan, kehilangan, dan kematian. 9. Cerita mengajarkan anak bagaimana menjadi manusia.

10.Cerita menjawab rasa ingin tahu dan misteri kreasi.

Dalam buku “Menumbuhkan Kecerdasan Moral pada Anak” oleh Coles (2003: 73), penulis mengemukakan penelitiannya bahwa ketika guru membacakan cerita yang berjudul “Malam Berbintang” anak-anak merasa sangat antusias dalam menyimak cerita dari guru dan mereka meminta guru untuk mengkopikan cerita tersebut agar bisa mereka bawa pulang dan membacakannya untuk anggota keluarga lainnya. Anak-anak tersebut juga mampu mengidentifikasi tokoh dalam cerita tersebut, yaitu Stela sebagai seseorang yang baik dan mau berbagi dengan orang lain.


(54)

38

Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dalam metode bercerita menurut Sanders (dalam Tadkiroatun Musfiroh, 2005: 95), di antaranya: 1. Kelebihan

a. Membangun kontak batin, antara anak dengan orangtua dan guru. b. Media penyampai pesan terhadap anak.

c. Pendidikan imajinasi anak.

d. Dapat melatih emosi atau perasaan anak. e. Membantu proses identifikasi diri. f. Memperkaya pengalaman batin.

g. Dapat sebagai hiburan atau menarik perhatian anak. h. Membentuk karakter anak.

2. Kekurangan

a. Pemahaman siswa menjadi sulit ketika cerita itu telah terakumulasi oleh masalah lain.

b. Bersifat menolong dan dapat menjenuhkan siswa.

c. Sering terjadi ketidakselarasan isi cerita dengan konteks yang dimaksud sehingga pencapaian tujuan sulit diwujudkan.

4. Metode Karyawisata

Gordon dan Jeannette (2001: 301) mengemukakan bahwa belajar dapat dilakukan dengan berbagai cara. Mereka menjelaskan hasil terbesar yaitu sebanyak 90% diperoleh jika kita belajar dari apa yang kita lakukan dan lihat.


(55)

39

Karyawisata sebagai metode pengajaran memberikan kesempatan kepada anak untuk mengamati, dengan cara tersebut anak akan mendengar, merasakan, melihat, dan melakukan. Anak dapat mendengar suara burung, air, tumbuhan, dan yang lainnya. Menurut Moeslichatoen (dalam Muhammad Fadlillah, 2014: 182), melalui karyawisata semua indra dapat diaktifkan. Indra ini akan membantu menerima informasi. Hal ini dimungkinkan karena benda ada yang memiliki sifat dapat dilihat, diraba, didengar suaranya, informasi ini akan membentuk satu persepsi yang membantu anak mengembangkan perbendaharaan pengetahuan dan memperluas wawasan sehingga membentuk suatu kemampuan pada diri anak.

Dalam melakukan karyawisata, ada beberapa kelemahan dan kelebihan di antaranya:

1. Kelebihan

a. Siswa dapat menyaksikan secara langsung kegiatan-kegiatan yang dilakukan di tempat kunjungan tersebut.

b. Siswa memperoleh pemantapan teori-teori yang pernah mereka pelajari di sekolah.

c. Siswa dapat menghayati pengalaman praktik suatu ilmu yang telah ditemui di sekolah.

d. Siswa dapat memperoleh informasiyang lebih akurat dengan mengadakan wawancara langsung.

2. Kelemahan


(56)

40

b. Pembiayaan dalam sebuah karyawisata merupakan beban tambahan yang akan memberatkan bagi anak-anak yang orangtuanya kurang mampu. c. Karyawisata akan berubah jadi piknik jika persiapan kurang matang. d. Beberapa acara inti sering terabaikan karena pelaksanaan acara tidak tepat

waktu.

Haslip dan Haslip dalam artikelnya “From Malaysia To America:

Community-Based Character Education for Children and Youth

mengemukakan beberapa cara untuk menerapkan pendidikan moral di sekolah-sekolah manapun, di antaranya adalah:

1. Fokus pada satu nilai setiap minggunya. Diskusikan kepada anak mengenai pengertian, contoh positif maupun negatifnya, dan efek dari keduanya.

2. Terapkan penanaman tersebut di kegiatan sehari-hari. Misalnya ketika nilai yang diterapkan adalah kebaikan, bersama anak-anak latih kebiasaan untuk saling memuji.

3. Adakan “morning meeting daily” di mana setiap harinya guru dan anak berdiskusi mengenai nilai apa yang akan mereka pelajari hari itu dan menerapkan dalam kegiatan hari itu. Guru harus memberikan kalimat atau kata-kata yang sesuai dengan nilai pada hari itu. Misalnya ketika ingin meminjam barang anak harus berkata, “Bolehkah aku...” dan lain-lain. 4. Berbagi mengenai perkataan yang positif mengenai nilai pada hari itu. 5. Bercerita mengenai nilai dengan buku cerita ataupun berdasarkan kisah


(57)

41

6. Selalu mengekspresikan nilai dalam seni, drama, dan musik. 7. Puji anak setiap kali mereka berbuat baik.

8. Memberikan penghargaan kepada anak setiap kali mereka berbuat baik. Misalnya dengan memberikan bintang ataupun memberikan selebrasi singkat kepada anak oleh teman satu kelasnya.

9. Memberikan penghargaan berupa sertifikat telah berbuat baik.

Dalam menanamkan nilai karakter, ada empat metode yang dapat digunakan, di antaranya adalah metode pembiasaan, keteladanan, bercerita, dan karya wisata. Beberapa cara untuk menerapkan pendidikan moral di sekolah adalah dengan mengadakan morning meeting daily¸ reward and punishment, selalu memuji anak setiap dia berbuat baik, selalu berbicara positif. Memfokuskan satu nilai setiap minggunya juga bisa menjadi salah satu cara menanamkan nilai karakter. Guru bercerita mengenai hal-hal yang baik yang harus dilakukan dan hal-hal yang kurang baik yang tidak boleh dilakukan.

F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penanaman Nilai Karakter

Ada empat faktor yang dapat memengaruhi penanaman nilai karakter pada anak usia dini. Faktor-faktor ini dapat menjadi faktor pendukung ataupun faktor penghambat dalam penanaman nilai karakter, sebagaimana dikemukakan oleh Zubaedi (2013: 177-180):

1. Insting/naluri : aneka corak refleksi sikap, tindakan, dan perbuatan manusia dimotivasi oleh potensi kehendak yang dimotori oleh insting seseorang (Zubaedi, 2013: 178).


(58)

42

Selanjutnya, menurut Zubaedi ada 5 insting/naluri yang mendorong lahirnya tingkah laku antara lain:

a. Naluri makan (nutitrive instinct). Manusia lahir dengan membawa suatu hasrat makan tanpa didorong oleh orang lain.

b. Naluri berjodoh (sexual instinct). Hal ini ditandai dengan rasa ketertarikan terhadap lawan jenis.

c. Naluri keibubapakan (paternal instinct), ditandai dengan rasa cinta orangtua kepada anaknya dan sebaliknya.

d. Naluri berjuangan (combative instinct), ditandai dengan naluri manusia untuk mempertahankan diri dari gangguan luar.

e. Naluri ber-Tuhan, ditandai dengan naluri manusia untuk mencari dan merindukan penciptanya. Naluri ini disalurkan dalam hidup beragama. 2. Adat/kebiasaan : setiap tindakan dan perbuatan seseorang yang dilakukan

secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menajdai kebiasaan.

3. Keturunan (wirotsah/heredity). Secara langsung atau tidak langsung keturunan sangat memengaruhi pembentukan karakter atau sikap seseorang. Anak-anak terkadang mewarisi sebagian besar sifat dari salah satu orangtuanya. Adapun sifat yang diturunkan orangtua terhadap anaknya itu bukan sifat yang tumbuh dengan matang karena pengaruh lingkungan, adat, dan pendidikan melainkan sifat-sifat bawaan sejak lahir. Sifat-sifat yang biasa diturunkan tersebut ada dua macam:


(59)

43

a. Sifat-sifat jasmaniah, yakni sifat kekuatan dan kelemahan otot dan urat saraf orangtua dapat diwariskan kepada anak-anaknya.

b. Sifat-sifat rohaniah, yakni lemah atau kuatnya suatu naluri, dapat diturunkan pula oleh orangtua yang kelak memengaruhi tingkah laku anak cucunya. Ada orang yang combative instingnya kuat sehingga dia menjadi pemberani dan pahlawan yang gagah perkasa.

4. Lingkungan (milieu). Artinya suatu yang melingkupi tubuh yang hidup, meliputi tanah dan udara, sedangkan lingkungan manusia ialah apa yang mengelilinginya, seperti negeri, lautan udara, dan masyarakat. Milieu ada dua macam yaitu:

a. Lingkungan alam

Alam yang melingkungi mausia merupakan faktor yang memengaruhi dalam menentukan tingkah laku seseorang. Jika kondisi alamnya jelek, hal itu merupakan perintang dalam mematangkan bakat seseorang, sehingga hanya mampu berbuat menurut kondisi yang ada. Sebaliknya, jika kondisi alam itu baik maka kemungkinan seseorang akan dapat berbuat lebih mudah dalam menyalurkan persediaan yang dibawanya lahir dapat turut menentukan.

b. Lingkungan pergaulan

Manusia hidup selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Itulah sebabnya manusia harus bergaul. Lingkungan pergaulan ini dapat dibagi menjadi beberapa kategori:


(60)

44

1. Lingkungan dalam rumah tangga di mana perilaku orangtuanya akan dapat memengaruhi perilaku anaknya.

2. Lingkungan sekolah di mana akhlak anak dapat terbentuk karena pendidikan yang diberikan oleh guru-guru.

3. Lingkungan pekerjaan di mana suasana dalam lingkungan pekerjaan akan memengaruhi perkembangan pikiran, sifat, dan kelakuan seseorang.

4. Lingkungan organisasi jamaah di mana orang yang menjadi anggota suatu jamaah akan memperoleh aspirasi cita-cita yang digariskan organisasi tersebut.

5. Lingkungan kehidupan ekonomi di mana kehidupan ekonomi seseorang akan berpengaruh dalam perkembangan perilaku dan sifat yang terbentuk.

6. Lingkungan pergaulan yang bersifat umum dan bebas di mana lingkungan pergaulan bebas yang tidak baik akan membawa sifat seseorang menjadi tidak baik dan begitu pula sebaliknya. Jadi beberapa faktor yang dapat menjadi penghambat ataupun pendukung adalah faktor insting/naluri, adat/budaya, keturunan, dan lingkungan. Keempat faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan moral anak. Saat keempat faktor tersebut mendukung anak untuk berkembang secara positif maka anak akan menjadi pribadi yang positif dan begitu pula sebaliknya.


(61)

45 G. Cara Mengatasi Faktor Penghambat

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan guru untuk mengatasi hambatan pada proses penanaman nilai karakter yang dilaksanakan oleh guru, di antaranya adalah:

1. Parenting

Program pendidikan keorangtuan atau program parenting termasuk ke dalam pendidikan orang dewasa, yang di mana pendidikan orang dewasa menurut (Sudjana, 2010: 45) yaitu diperuntukkan bagi orang dewasa dalam lingkungan masyarakatnya, agar mereka dapat mengembangkan kemampuan, memperkaya pengetahuan, meningkatkan keterampilan dan profesi yang telah dimiliki, memperoleh cara-cara baru, serta mengubah sikap dan perilaku orang dewasa. Model Pelaksanaan Program Pendidikan Keorangtuaan di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (2012: 13) yang menyebutkan bahwa bentuk program parenting yang dilaksanakan lembaga pendidikan yaitu kelas orangtua (parent’s class) atau Kelas Pertemuan Orangtua (KPO), Keterlibatan Orangtua di Kelompok/Kelas Anak (KOK), Keterlibatan Orangtua dalam Acara Bersama (KODAB), Hari Konsultasi Orangtua, Kunjungan Rumah.

2. Reward and Punishment

Menurut Ngalim Purwanto, MP. (1995: 183) hadiah adalah memberikan suatu kepada orang lain sebagai penghargaan untuk kenang-kenangan/cenderamata. Hadiah yang diberikan kepada orang lain bisa berupa apa saja, tergantung dari keinginan pemberi. Atau bisa juga disesuaikan dengan prestasi yang dicapai oleh seseorang. Reward bisa diberikan dalam


(62)

46

bentuk benda atau barang yang disukai dan bermanfaat bagi siswa dalam belajar, maupun perbuatan atau sikap guru dalam memberi pujian. Berikut contoh bentuk-bentuk sikap dan perbuatan guru yang bisa menjadi reward bagi siswa Ngalim Purwanto, MP. (1995: 184):

a. Guru mengangguk-angguk tanda senang dan membenarkan suatu jawaban yang diberikan oleh seorang siswa.

b. Guru memberi kata-kata yang menggembirakan (pujian).

c. Hadiah yang ditujukan kepada seluruh kelas sering sangat perlu. d. Hadiah juga dapat diberikan dengan bermanfaat dan menyenangkan.

Sedangkan Ngalim Purwanto (1995: 186) mengkategorikan hukuman menjadi dua yaitu:

a. Hukuman Preventif yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran

b. Hukuman Represif yaitu hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran, adanya dosa yang telah diperbuat. Jadi Hukuman ini dilakukan setelah terjadi pelanggaran atau kesalahan.

3. Buku Penghubung

Hubungan sekolah dan orangtua dapat dijalin melalui berbagai cara, misalnya mengadakan rapat, surat menyurat, buku penghubung, buletin sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler yang bermanfaat bagi peserta didik maupun orangtua (E. Mulyasa, 2005: 164).

Jadi menurut paparan di atas, ada tiga cara untuk mengatasi faktor penghambat pada proses penanaman nilai karakter di sekolah di antaranya


(63)

47

adalah parenting yang terdiri dari kelas orangtua (parent’s class) atau Kelas Pertemuan Orangtua (KPO), Keterlibatan Orangtua di Kelompok/Kelas Anak (KOK), Keterlibatan Orangtua dalam Acara Bersama (KODAB), Hari Konsultasi Orangtua, Kunjungan Rumah. Reward and punishment untuk memotivasi peserta didik melakukan sesuatu, di mana ketika anak melakukan suatu hal yang merugikan/tidak sesuai dengan norma maka guru akan memberikan hukuman kepada anak. Hukuman ini akan membuat efek jera kepada anak, misalnya time out. Reward diberikan ketika anak melakukan hal yang baik, salah satu cara pemberian reward adalah dengan memuji anak, dan memberikan stiker bintang. Selanjutnya adalah buku penghubung yang berisi catatan dari guru kelas kepada orangtua anak.

H. Penelitian yang Relevan

Penelitian thesis yang berjudul Pengembangan Nilai-nilai Karakter Anak Usia Dini melalui Metode Bercerita (Studi Kasus di TK Pembina Kecamatan Sanden) yang ditulis oleh Siti Nurhayati pada tahun 2014 dilatarbelakangi oleh kegelisahan masyarakat mengenai lemahnya karakter bangsa dan kurangnya penanaman nilai karakter di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang diarahkan pada field research. Jenis data yang digunakan adalah data-data yang diperoleh bersumber dari observasi, pengumpulan data di lapangan, interview, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penerapan metode bercerita di TK Pembina Kecamatan Sanden dapat mempengaruhi anak dalam kehidupan sehari-hari. Karakter tersebut


(64)

48

adalah cinta kepada Allah, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Karakter-karakter tersebut telah mereka tunjukkan baik di sekolah maupun di rumah.

Penelitian yang dilakukan oleh Siti Nurhayati mengamati masalah pengaruh kegiatan bercerita pada penanaman nilai-nilai karakter pada anak usia dini. Kegiatan bercerita merupakan salah satu metode penanaman nilai karakter anak. Penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti memiliki cakupan lebih luas di mana metode yang digunakan dalam menanamkan nilai karakter tidak hanya satu metode saja.

I. Kerangka Berpikir

Masa anak usia dini adalah masa keemasan atau dapat juga dikatakan sebagai golden age era. Pada masa ini, anak mampu menyerap dengan baik apa saja yang diberikan kepada anak. Anak harus diberikan stimulus yang mampu membantu anak berkembang secara optimal dalam setiap aspek perkembangannya. Salah satu aspek yang penting adalah aspek moral. Aspek moral dapat membantu anak untuk menghadapi permasalahan-permasalahan hidup yang memerlukan nilai moral dalam rangka menyelesaikan permasalahan.

Penanaman moral dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dirasa mampu untuk membentuk moral anak sebagai bekal di masa depan. Anak akan tidak hanya cerdas dalam kognitifnya saja, tetapi juga cerdas dalam


(65)

49

moral dan akhlak. Hal ini akan mempermudah anak dalam berinteraksi dengan orang lain, menumbuhkan sikap saling menghargai, saling membantu, dan akan membuat anak selalu mengambil keputusan dengan bijak dan mengetahui resiko dari hal yang ia lakukan.

J. Pertanyaan Peneliti

1. Nilai apa saja yang ditanamkan kepada anak Kelompok B selama proses pembelajaran ?

2. Apa saja metode yang digunakan dalam menanamkan nilai karakter ? 3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam menanamkan nilai

karakter ?

4. Bagaimana cara mengatasi faktor penghambat dalam menanamkan nilai karakter ?


(66)

50 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Menurut Arief Furchan (2007: 39), metode penelitian merupakan strategi umum yang dianut dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlukan guna menjawab persoalan yang dihadapi. Ini adalah rencana pemecahan bagi persoalan yang sedang diteliti. Penelitian adalah bentuk khusus metodologi ilmiah.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut Sugiyono (2012: 1) penelitian kualitiatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penlitian kualitatif lebih menekan makna daripada generalisasi. Fokus pada penelitian ini adalah mengidentifikasi penanaman nilai karakter Kelompok B di Gugus IV Ambarketawang Kecamatan Gamping.

B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di 10 Taman Kanak-Kanak Gugus IV Ambarketawang Kecamatan Gamping yaitu TK ABA Gamping, TK ABA Bodeh, TK ABA Patukan, TK ABA Mancasan, TK ABA Kalimanjung, TK Ambar Asri, TK Santi Siwi, TK ABA Delingsari, TK ABA Mejing, dan TKIT Nurul Ittihad.


(67)

51 2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2017 yang dapat dilihat pada Tabel 2:

Tabel 2. Jadwal Penelitian Penanaman Nilai Karakter

No Nama TK Waktu

1 TKIT Nurul Ittihad Senin, 13 Februari 2017 2 TK Santi Siwi Selasa, 14 Februari 2017 3 TK ABA Kalimanjung Jumat, 17 Februari 2017 4 TK ABA Bodeh Selasa, 21 Februari 2017 5 TK ABA Mancasan Rabu, 22 Februari 2017 6 TK ABA Delingsari Kamis, 23 Februari 2017 7 TK ABA Mejing Jumat, 24 Februari 2017 8 TK Ambar Asri Sabtu, 25 Februari 2017 9 TK ABA Patukan Selasa, 28 Februari 2017 10 TK ABA Gamping Rabu, 1 Maret 2017 C. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah TK Kelompok B Gugus IV Ambarketawang. Objek dalam penelitian ini adalah penanaman nilai karakter. D. Metode Pengumpulan Data

Salah satu kegiatan yang sangat penting dalam penelitian adalah melakukan pengukuran atau measurement, yaitu suatu kegiatan yang ditujukan untuk mengidentifikasi besar kecilnya obyek atau gejala (Sutrisno Hadi, 2004: 97). Lebih lanjut Sutrisno Hadi (2004: 97) mengemukakan bahwa pengumpulan data dalam riset ilmiah dimaksudkan untuk memperoleh bahan-bahan yang relevan, akurat, dan reliabel. Untuk memperoleh data seperti itu, pekerjaan riset dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik, prosedur-prosedur, alat-alat, serta kegiatan yang dependable, yang dapat


(68)

52

diandalkan. Penelitian yang dilaksanakan menggunakan metode pengumpulan data observasi, dan dokumentasi.

1. Observasi

Johni Dimiyanti (Sugiyono, 2012: 64) menyatakan bahwa observasi merupakan metode pengumpulan data untuk menilai atau mengukur perkembangan atau kemajuan siswa dalam melakukan kegiatan tertentu. Observasi dilaksanakan menggunakan pedoman observasi berbentuk lembar observasi check list untuk mengetahui penanaman nilai-nilai selama proses pembelajaran.

2. Wawancara

Menurut Sugiyono (2012: 72) wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil. Wawancara dilaksanakan dengan pedoman wawancara yang telah disusun peneliti.

3. Dokumentasi

Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 158) dokumentasi adalah mencari dan mengumpulkan data mengenai hal-halyang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen, raport, agenda, dan sebagainya. Dokumentasi dalam penelitian ini berupa foto dan video yang diambil selama proses pembelajaran berlangsung.

E. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti merupakan instrumen utama. Untuk mendukung hasil penelitian maka peneliti menyusun pedoman observasi dan


(69)

53

pedoman wawancara mengenai penanaman nilai-nilai selama proses pembelajaran dengan kisi-kisi yang dapat dilihat pada Tabel 3:

Tabel 3. Kisi-Kisi Pedoman Instrumen Penanaman Nilai Karakter

Variabel Indikator Sumber Data Metode

Pengumpulan Data Sejarah dan

Identitas Lembaga

Profil sekolah Kepala sekolah Wawancara Penanaman

Nilai Karakter

a. Rencana pembelajaran b.Penilaian anak c. Proses pembelajaran a. Guru b. Anak a. Observasi b. Dokumentasi c. Wawancara

F. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber dengan metode pengumpulan data kuisioner, observasi, dan dokumentasi. Dalam menganalisis hasil penelitian, peneliti menggunakan model analisis interaktif oleh Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2012: 91-99) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/ verification. Model interaktif dalam analisis data ditunjukkan pada Gambar 1 di halaman 54.

a. Data Reduction (Reduksi Data)

Reduksi data merupakan analisis yang berfungsi untuk menajamkan, menggolongkan, memilih-milih data memfokuskan data sedemikian rupa sehingga diperoleh kesimpulan akhir dari observasi, dan dokumentasi.


(70)

54

Gambar 1. Komponen dalam Analisis Data Model Interaktif (Sumber: Sugiyono, 2012: 92)

b. Data Display (Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sebagainya. Data yang diperoleh peneliti selama penelitian disajikan dalam bentuk uraian singkat yang diberikan kode data untuk mengorganisasikan data, yaitu Catatan Lapangan (CL), Catatan Wawancara (CW), dan Catatan Dokumentasi (CD).

c. Conclusion Drawing/ Verification (Penarikan kesimpulan)

Setelah dilakukan reduksi data dan penyajian data maka langkah berikutnya yaitu penarikan kesimpulan/verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang

Data Collection

Data Reduction

Data Display

Conclusions : Drawing/ verifying


(1)

191


(2)

192

LAMPIRAN 8


(3)

193

CATATAN DOKUMENTASI PENANAMAN NILAI KARAKTER DI GUGUS IV AMBARKETAWANG KECAMATAN GAMPING

Upacara bendera setiap hari Senin Berjabat tangan sesama teman dan guru

Masuk kelas dengan tertib Menata tempat untuk shalat Dhuha


(4)

194

Anak-anak berwudhu dengan tertib Anak memasukkan infaq

Anak-anak bermain di halaman sekolah Anak-anak menata meja untuk belajar


(5)

195

Anak-anak berbaris dengan rapi Kegiatan makan bersama

Kegiatan fisik motorik di luar kelas Guru memberikan cerita


(6)

196

Jalan-jalan di sekitar sekolah Anak-anak mengerjakan tugas

Tempat tas anak Loker LKA dan alat tulis