Syura’ yang diberi kuasa memilih kepala negara khalifah, juga memiliki kekuasaan untuk memecatnya atas dasar suara mayoritas.
43
D. Mekanisme Impeachment Menurut Perspektif Politik Islam
Mengenai mekanisme impeachment, dalam Islam tidak ditemukan penjelasannya secara eksplisit dan meyakinkan. Namun dalam kitab-kitab fiqh al-
siyasah setidaknya ditemukan beberapa cara atau mekanisme pemberhentian presiden;
Pertama , sekelompok ulama Ahli Sunnah, Khawarij, Mu’tazilah,
Zaidiyah, dan para ulama murjiah berpendapat wajib mengangkat senjata untuk memberhentikannya. Cara inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan sall
as-saif menghunuskan pedang.
44
Golongan Khawarij berpendapat, ’Imam yang telah berubah perilaku baiknya dan menyimpang dari kebenaran, maka ia wajib
dipecat atau dibunuh’. Abu Hanifah mendukung pendapat ini. Ia mengatakan bahwa keimaman seorang zalim bukan saja batal, tetapi lebih dari itu, dibolehkan
melakukan pemberontakan terhadapnya, bahkan seyogyanya hal itu dilakukan dengan syarat pemberontakan itu memiliki faktor-faktor untuk dapat berhasil dan
berfaedah dengan seorang yang adil dan baik sebagai pengganti orang yang zalim dan fasik, dan bukan semata-mata memecah belah kekuatan dan menghilangkan
43
Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah h. 191
44
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 180
nyawa. Abu Hanifah berpendapat bahwasanya memberontak terhadap pimpinan negara yang tidak sah adalah sesuatu yang dibenarkan dalam syari’at. Pendapat
ini mendapat dukungan dari fuqaha lainnya seperti Sa’id bin Jubair, al-Sya’bi, Ibnu Abi Laila, dan Abdul Bukhturi. Juga para qurra berdiri di pihaknya.
Abu ya’ala juga percaya bahwa kontrak imamah tidak dapat dibubarkan selama tidak ada alasan-alasan yang sah. Kepala Negara harus meletakkan
jabatannya apabila merasa telah memiliki kekurangan yang permanent, tetapi selama mampu melaksanakan tugas-tugasnya sebagai kepala Negara Presiden,
ia tidak boleh meletakkan jabatannya. Al-Juwayni beranggapan bahwa, kalau kepala Negara tidak bermoral dan menyimpang dari akhlak yang baik, maka ia
boleh turun; tetapi apakah orang lain harus atau dapat memberhentikannya diperlukan ijtihad dalam kasus seperti ini. Ironisnya ia juga menganggap bahwa
kepala Negara boleh meletakan jabatannyakapan saja ia mau.
45
Ibnu Hazm mengemukakan bahwa sebagian besar Ahli Sunnah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Zaidiyah memandang bahwa mengangkat senjata
dalam amar ma’ruf dan nahi munkar adalah wajib jika mencegah kemungkaran itu tidak ada jalan lain selain dengan senjata. Pendapat itu mengacu pada sabda
Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits panjang yang berbicara mengenai sebab-sebab Bani Israil mendapat laknat Allah SWT; “Sekali-kali tidak, demi
Allah, sungguh kamu mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
45
Mumtaz Ahmad, ed, Masalah-masalah Teori Politi Islam, penerjemah Ena Hadi, Bandung: Mizan, 1996, Cet III, h. 104
munkar. Kemudian sungguh-sungguh kamu mencegah perbuatan orang zalim, menggiringnya dengan gigih pada kebenaran, dan mengajaknya pada jalan
kebenaran-tanpa memberi peluang pada jalan kesesatan-atau jika tidak demikian niscahya Allah akan mencampur aduk hati sebagian kalian dengan sebagian
lainnya kemudian menimpakan laknat terhadap kalian seperti laknat terhadap mereka Bani Israil”
.
46
Secara umum Ahlusunnah melihat pada dua pertimbangan: Pertama, akibat negatif menggunakan kekuatan senjata. Kedua, adalah akibat negatif dari
kelanjutan imam yang fasik pada kekuasaannya. Mereka lebih condong untuk memilih akibat buruk yang lebih kecil. Apabila pemberhentian menimbulkan
fitnah yang lebih besar maka tidak dibenarkan mengangkat senjata terhadapnya. Para ulama Ahlusunnah yang berpendapat demikian diantaranya ialah Al-
Aiji, ia mengemukakan bahwa umat harus memberhentikan imam bilamana terdapat alasan yang mengharuskan demikian, akan tetapi jika menimbulkan
fitnah maka yang diambil adalah akibat buruk yang lebih kecil. Sedangkan Al- Kamal bin Abu Syarif mengemukakan bahwa pada dasarnya imam tidak
dibenarkan diberhentikan akan tetapi berhak diberhentikan manakala
kelangsungan imamah-nya menimbulkan fitnah.
47
Sementara itu, Ibnu Taimiyah selaku pemikir besar dan berpandangan luas mendukung sikap ini dengan alasan
46
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem politik Islam, h. 181
47
Ibid, h. 45-46
bahwa mwnjatuhkan seorang kepala Negara akan menggangu ketentraman di dalam masyarakat dan melemahkan persatuan umat. Karena Ibnu Timiyah
berpendapat, bahwa keberadaan kepala Negara, meskipun zalim, lebih baik bagi rakyat daripada kalau mereka harus hidup tanpa kepala Negara. Dia meminjam
suatu ungkapan bahwa enam puluh tahun dibawah kepala Negara yang zalim lebih baik daipada satu malam tanpa kepala Negara. Bahkan ia memberi
dukungan kepada absolutisme yang tiada henti-hentinya. Demi ketentraman dan menjauhkan anarki ditengah masyarakat telah menjadi alasan utama untuk tidak
menjatuhkan kepala Negara yang melakukan penyimpangan.
48
Hal itu karena banyaknya hadits shahih yang mewajibkan ketaatan kepada Negara, sekalipun senantiasa melaksanakan kemungkaran, bertindak zalim, dan
memakan hak-hak rakyat, selama tidak memrintah berbuat maksiat dan tidak jelas-jelas kafir.
49
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda:
a ﺵ
c d ﻡ ﻥ T
O 7 e O ﻡ ﻡf ﻡ
D g ﻡ a ﻡ O
1 ﻡ -
2
50
Artinya: “Siapa saja yang melihat sesuatu yang tidak disetujui dari amirnya hendaknya bersabar. Karena tidak seorangpun yang meninggalkan jama’ah
sejengkal saja kemudian mati, kecuali dia mati seperti jahiliyyah”. H.R. Muslim
48
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993, CetV, h. 89
49
Abdul Qadim Zallum, System Pemerintahan Islam, h. 129
50
Muslim An-Naisabury, Shahih Muslim Syarah An-Nawawy, Beirut: Darul fikri, 1978, Cet III, Jiilid XII, h. 240
Kedua, untuk memberhentikan pemimpin adalah melalui apa yang
diistilahkan pada zaman modern ini dengan civil disobedience pembangkangan sipil. Cara ini dilakukan apabila umat merasa bahwa imam ini fasiq yang tidak
takut dosa melakukan maksiat atau zalim, tidak layak menjadi imam. Umat- melalui wakil-wakil mereka menghadap kepadanyauntuk memberi teguran dan
nasihat akan tetapi ia menolak dan menyombongkan diri. Maka dlam keadaan demikian tidak ada jalan lain selain memboikotnya dan juga orang-orang yang
menjadi kroninya. Ketika itu ia merasa bahwa dirinya tercampakkan dari umat atau rakyatnya; kembali kepada kebenaran atau meletakkan jabatan. Pengertian
ini diambil dari sabda Rasulullah SAW; -L3 6-9 83h693 K 3796ﻡ 9 679ﻡ ]if3 9 3ﻡ
J ﻥ93 3 9 3g9 3ی 9 3 93
J 93=3 9 3g9 3ی 9 3 93
3 9یj 6N39 3 3RiQ3 6-93 3
B9 6ﻡ
51
Artinya, “Barang siapa diantara kamu melihat suatu kemunkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, dan jika ia tak mampu maka dengan lisannya,
dan jika ia tak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman”. H.R. Muslim
Sebab pengertian mengingkari dengan hati tidaklah bersifat pasif tanpa memberikan reaksi konkrit terhadap pelaku kemungkaran baik penguasa maupun
bukan penguasa, melainkan bersifat aktif yang berarti menolak kemungkaran dengan hatinya lalu tidak menyukainya dan tidak menyukai pelakunya serta
memboikotnya: tidak makan bersamanya, tidak berhubungan dengannya dan
51
HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri dalam Kitab Riyadus Sholihin karangan Syekh al- Islam Muhyiddin Abi Zakariya, Surabaya: Mahkota,tt, h. 108
begitu seterusnya. Apabila setiap individu umat Islam melakukan demikian terhadap imam yang zalim dan fasiq maka tidak ada jalan lain baginya selain
kejatuhan yang mengenaskan. Pengertian inilah yang terkandung dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
yang dituturkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu kekurangan yang masuk pada Bani Israil adalah bahwa orang laki-laki
bertemu orang laki-laki lalu berkata: “Mengapa itu kamu lakukan? Takutlah kepada Allah, tinggalkanlah apa yang kamu lakukan itu. Yang demikian tidak
halal bagimu. “Kemudian berjumpa lagi esok harinya tetapi ia masih tetap melakukan apa yang diperingatkan kemarin. Yang demikian itu tidak
menghalanginya menjadi teman makan dan minum serta bersahabat dengannya. Karean orang-orang Bani Israel melakukan demikian maka Allah mencampur
aduk hati sebagian mereka dengan sebagian yang lainnya-yang baik dan buruk- kemudian berfirman; “Orang-orang kafir dilaknati….hingga pada firman-Nya
‘orang-orang fasiq’. Bahkan dalam hadits riwayat At-Thabrani terdapat sabda Rasulullah SAWl; “Pada akhir zaman terdapat umara yang zalim, para menteri
yang fasiq, para jaksa yang penghianat, para fuqaha pembohong. Maka diantara kalian mengalami zaman itu, janganlah sekali-kali menjadi petugas pajak
mereka, pejabat mereka, dan aparat kepolisian mereka”.
Ketiga, adalah bahwa masa jabatan imam lebih baik dibatasi hingga
jangka waktu tertentu. Jika imam melakukan perbuatan fasiq maka umat menghindarkan diri dari keburukannya dengan tidak memilihnya pada periode
lain. Ini tampaknya menjadi cara yang baik untuk menghindarkan diri dari pemimpin yang fasiq dan zalim tanpa harus menumpahkan darah selain juga
dapat menjadi ajang untuk menampilkan keahlian dan pengalaman yang orang- orang yang layak menjadi pemimpin umat.
52
Dapat disimpulkan, bahwa Islam menolak ketidak pedulian dan sebagai gantinya, menegaskan kewajiban umat untuk tidak mentaati dan melawan
pemimpin yang tidak memenuhi hukum Tuhan. Al-Quran juga mewajibkan ketaatan kepada mereka yang berkuasa. Namun ia juga mewajibkan kepada para
pemimpin memenuhi syariah dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Kegagalan dalam hal-hal ini akan membenarkan jabatan dari posisi kekuasaan
legislatif atau majelis as-syura’ dalam menjalankan dalam kekuasaan menuntut pertanggungjawaban harus mencari bantuan dari pengadilan untuk menyelidiki
masalah dengan cara yang tidak memihak dan adil.
53
52
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 184-185
53
Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 151-152
BAB III LEMBAGA KEPRESIDENAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA NKRI
Salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan adalah pertanggungjawaban dan pengawasan. Jabatan Presiden RI
adalah suatu jabatan dalam tatanan negara berdasarkan paham kerakyatan. Karena itu harus ada pertanggungjawaban dan pengawasan. Dalam penjelasan UUD 1945
sebelum amandemen disebutkan “Presiden yang diangkat oleh Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis”. Dalam praktek ketatanegaraan yang
berlaku, pengertian bertunduk dan bertanggung jawab tersebut tidak sekedar diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga pemberhentian Presiden dari
jabatannya.
54
Semenjak amandemen 1, 2, 3, 4 Undang-Undang Dasar 1945 telah beralih dari system pemerintahan campuran kepada system pemerintahan presidential.
Dalam sistem ini kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala Negara diorganisasikan ke dalam satu tangan dengan sebutan lembaga
kepresidenan. Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden dalam suatu institusi tersebut mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam konstitusi ataupun
54
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta, FH.UII Press, 1999, Cet I, h. 107