BAB IV ANALISIS PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UUD 1945
HASIL AMANDEMEN
A. Mekanisme Impeachment Presiden Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen
Di negara manapun, kedudukan Pesiden sangatlah vital dalam menentukan perjalanan bangsa ke depan, termasuk kehidupan ketatanegaraannya. Dalam hal
ini kekuasaan Presiden secara atributif diperoleh berdasarkan konstitusi.
68
Jabatan presiden merupakan lingkungan pekerjaan yang sifatnya strategis dan tidak boleh lowong sedikitpun. Sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan
UUD 1945 menganut asas kedaulatan rakyat pasal 1 ayat 2 volkssouvereiniteit yang dilakukan sepenuhnya oleh MPR . MPR bersidang sedikit 5 tahun sekali dan
bertugas untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan UUD dan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Sedangkan Presiden adalah
mandataris MPR yang tunduk dan bertanggung jawab pada majelis. Di Indonesia, pengisian jabatan Presiden dilakukan dengan cara pemilihan oleh suatu lembaga
yaitu MPR dengan suara terbanyak seandainya calon lebih dari satu orang sedangkan bila calon tunggal maka cukup dengan persetujuan aklamasi. Dengan
demikian, sistem pengisian jabatan Presiden dilakukan melalui lembaga khusus
68
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuaaan: kajian teoritis dan yuridis terhadap pidato nawaksara,
Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997, h. 53
yaitu MPR.
69
Adapun kekuasaan Presiden secara derivatif diperoleh melalui pelimpahan kekuasaan dalam bentuk pemberian kuasa mandaatsverlening dan
melalui pelimpahan kekuasaan dan tanggung jawab delegatie.
70
Proses permintaan pertanggungjawaban Presiden pada masa sebelum perubahan UUD 1945, sangat terkait pada pelbagai ketentuan yang telah
disepakati pada tingkat MPR, selain bila oleh DPR Presiden dianggap melanggar haluan negara. Yang telah ditetapkan oleh MPR, maka majelis dapat diundang
untuk sebuah persidangan istimewa yang meminta pertanggungjawaban Presiden. Dalam hal ini Presiden sesuai konstitusi negara, dengan bentuk pertanggungjawab
politis yang diberi sanksi, yakni dengan kemungkinan MPR setiap waktu melepas Presiden dari jabatannya kan hem op elk gewnst moment onslaan atau
kemungkinan Presiden dijatuhi hukuman pemecatan op straffe vabn ontslag dari jabatan sebelum habis masanya.bentuk pertanggungjawab seperti ini termasuk
dalam kategori pertanggungjawab dalam arti luas karena ada sanksinya.
71
69
R. Muhammad Mihradi, Jurnal keadilan, Lembaga Kajian Hukum dan Keadilan, November 2000, Vol.I, h. 6
70
Suwoto mulyosudarmo, peralihan kekuaaan: kajian teoritis dan yuridis terhadap pidato nawaksara,
h. 62
71
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah Konstitusi
, Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretarian Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005, Cet I, h. 30
UUD 1945 sebelum perubahan, tidak mengatur secara tegas pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya baik mengenai alasan maupun
mekanismenya. Dalam pasal 8 UUD 1945, yang berbunyi “Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakakan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Dari ketentuan tersebut, kata “berhenti” secara implisit diberhentikan memberikan
kemungkinan seorang Presiden diberhentikan ditengah jabatannya, yaitu bisa berarti berhenti karena mengundurkan diri maupun berhenti karena
mengundurkan diri maupun berhenti karena diberhentikan. Dalam bagian penjelasan UUD 1945 yaitu pada angka VII alinea ketiga
dijelaskan bahwa “Jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar Haluan Negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh Majelis
Permusyawaratn Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa meminta pertanggungan jawab Presiden”. Ketentuan
penjelasan ini secara implisit memuat alasan dan mekanisme dapat diberhentikannya seorang Presiden. Presiden dapat diberhentikan dengan alasan
bahwa Presiden sungguh melanggar Haluan Negara. Sedangkan prosesnya adalah melalui persidangan istimewa MPR untuk meminta pertanggungan jawab
Presiden setelah adanya kesimpulan dari Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden sungguh melanggar haluan Negara. Walaupun dalam penjelasan ini tidak
secara eksplisit bahwa pertanggungn jawab yang ditolak oleh MPR berakibat pada diberhentikannya Presiden. Pengaturan yang tegas mengenai pemberhentian
Presiden diatur dalam ketetapan-ketetapan MPR yang menentukan bahwa MPR berwenang meminta pertanggungjawaban Presiden mengenai pelaksanaan garis-
garis besar haluan negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut serta mencabut kekuasaan dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya
apabila Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan Negara dan atau Undang- Undang Dasar.
Yang dimaksud dengan melanggar haluan negara tidak didefinisikan dalam perundang-undangan yang ada. Namun dari kajian terhadap berbagai
ketetapan MPR yang ada dan praktek ketatanegaraan Indonesia, pelanggaran terhadap haluan negara adalah merupakan pelanggaran terhadap ketetapan-
ketetapan MPR baik ketetapan MPR mengenai garis-garis besar haluan negara maupun ketetapan MPR yang lainnya serta pelanggaran terhadap UUD. Jika
dikaitkan dengan ketentuan pasal 9 UUD 1945, mengenai sumpah jabatan Presiden maka pelanggaran terhadap UUD ini, dapat memperluas bentuk dan
jenis pelanggaran yang dapat dilakukan oleh Presiden karena bisa mencakup tindakan Presiden yang tidak memegang teguh UUD serta tidak menjalankan
segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Adanya kata- kata “menjalankan undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”,
dapat berarti bahwa pelanggaran terhadap setiap ketentuan undang-undangan atau pelanggaran terhadap peraturan pemerintah, keputusan Presiden dan peraturan-
peraturan lainnya dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap pasal 9 UUD 1945.
Ketentuan yang lebih rinci mengenai mekanisme pemberhentian Presiden sebelum amandemen diatur dalam ketetapan MPR RI No. VIMPR1973 dan Tap
MPR No. IIIMPR1978, yang menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat DPR berkewajiban setiap saat mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam
rangka pelaksanaan haluan negara. Apabila DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara maka DPR menyampaikan
memorandum untuk mengingatkan Presiden. Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum tersebut, maka DPR menyampaikan
memorandum kedua. Dan apabila dalam waktu satu bulan memorandum kedua ini tidak diindahkan Presiden maka DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan
Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.
72
Hasil perubahan UUD 1945 yang berkaitan langsung dengan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, adalah pembatasan kekuasaan Presiden
sebagaimana diatur dalam pasal 7 lama yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”. Penegasaan di dalam pasal 7 dipandang terlalu fleksibel untuk ditafsirkan. Jadi tidak perlu dibatasi, asal masih dipilih oleh MPR, ia dapat terus
menjabat Presiden dan atau Wakil Presiden. Kemudian, pasal 7 diubah, yang bunyinya menjadi “Presiden dan atau Wakil Presiden memegang jabatannya
selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
72
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden “Alasan Tindak Pidana Pemberhetian Presiden Menurut UUD 1945,
Jakarta: Konstitusi Press, 2005, h. 89-91
sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Perubahan pasal ini dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mengakhiri perdebatan tentang periodisasi jabatan
Presiden dan Wakil Presiden. Perubahan terhadap pasal-pasal ini dapat dikatakan sebagai pengurangan atas kekeuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai
hak prerogatif. Adanya perubahan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat diharapkan rakyat dapat berpartisipasi secara
langsung menentukan pilihannya sehingga tidak mengulang kekecewaan yang pernah terjadi pada pemilu 1999. Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki
otoritas dan legitimasi yang sangat kuat karena akan dipilih langsung oleh rakyat. Perubahan ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
menetapkan bahwasanya Presiden dan atau Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat pasal 6A UUD NRI 1945. Pasal 7 UUD
NRI Tahun 1945 menegaskan bahwasanya Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan atau Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa
jabatannya, tentu saja during good behaviour. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR. Dewan Perwakilan Rakyat DPR tidak dapat pula
mengajukan mosi tidak percaya motie van wantrouwen terhadap kebijakan
Presiden dan atau Wakil Presiden, sekalipun dukungan DPR tetap dipandang efektif dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
73
Pejabat negara yang dapat di-impeach di Indonesia menurut UUD setelah perubahan hanyalah Presiden dan atau Wakil Presiden. Berbeda dengan aturan
negara lain dimana mekanisme impeachment bisa dilakukan terhadap pejabat- pejabat tinggi negara. Misalkan di Amerika Serikat, Presiden dan Wakil Presiden
serta pejabat tinggi negara adalah obyek yang dapat dikenakan tuntutan impeachment
sehingga dapat diberhentikan. Pengaturan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden yang dapat dikenakan tuntutan impeachment terdapat pada
pasal 7A UUD Tahun 1945 yang menyebutkan “Presiden dan atau Wakil Presiden
dapat diberhentikan
dalam masa
jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat DPR baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun perbuatan apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.”
73
Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, Palu: Fakultas Hukum Universitas Tadulako, 2005, Vol. I April-Juli, h. 2
Pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dimaksud merupakan kewenangan konstitusional MPR atas usul DPR. DPR adalah impeacher,
mempersiapkan data bukti secara cermat. Tentu saja, DPR perlu mempersiapkan tim investigasi sebelum mengemukakan pendapatnya berkenaan hal-hal
pelanggaran hukum dan atau perbuatan yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden.
74
DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Bilamana dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR menemukan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang
termasuk dalam alasan impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945, maka DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya tata
tertib DPR mengajukan tutntutan impeachment tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.
75
Dalam pada itu, ketua Mahkamah Konstitusi dalam syaratnya, bertanggal 15 juni 2004, no. 94-95MK.KAVI2004 kepada ketua MPR. Ketua DPR dan
pimpinan DPD khusus terakhir melalui sekretaris jendral MPR memberikan saran guna perubahan peraturan tata tertib DPR dan MPR, antara lain dengan
mengantisipasi penjabaran prosedur dan pemberhentian Presiden dan Wakil
74
Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 3
75
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah Konstitusi
, h. 62
Presiden dalam peraturan tata tertib masing-masing, termasuk peraturan tata tertib DPD.
76
Proses impeachment yang berada ditangan Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat 4 maka MK wajib memeriksa, mengadili dan
memutus pendapat DPR tersebut. Kedudukan DPR dalam persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon
karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal
7A UUD 1945.
77
Pasal 7B ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa usulan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diajukan DPR
kepada MPR hanya terlebih dahulu mengajukan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden
melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela Presiden dan atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden
pasal 7B ayat 4 UUD NRI 1945. Putusan yang diminta DPR kepada MK adalah putusan hukum ‘judicieele vonnis’, bukan putusan politik ‘politieke
beslissing’ . Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR, wajib
disampaikan kepada DPR dan Presiden dan atau Wakil Presiden pasal 85 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
78
76
Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 3
77
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah Konstitusi,
h. 62
78
Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 3
Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, dan atau terbukti
bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR pasal 7B ayat 5 UUD NRI Tahun 1945.
79
Berbeda halnya putusan Mahkamah Konstitusi maka putusan MPR yang memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden adalah putusan politik
politieke beslissing. Hanya MPR yang memiliki kewenangan konstitusional guna memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatan
pasal 7A dan pasal 7B ayat 6, 7 UUD NRI Tahun 1945.
80
MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 tiga puluh hari sejak menerima usul tersebut pasal 7B
ayat 6 UUD NRI Tahun1945.
81
Proses pengambilan keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden ini dilakukan dengan
mengambil suara terbanyak dalam rapat paripurna. Komposisi dan tata cara pengambilan suara terbanyak itu juga diatur secara rinci oleh UUD 1945 yaitu
rapat paripurna MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari seluruh anggota MPR. Dan persetujuan atas usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil
79
Ibid, h. 4
80
Ibid, h. 3
81
Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 5
Presiden harus disepakati sekurang-kurangnya 23 dari anggota MPR yang hadir dalam rapat paripurna.
82
Walaupun telah jatuh putusan MK yang menyatakan bahwasanya pendapat DPR tentang pelanggaran hukum oleh Presiden telah terbukti, namun
MPR dapat menjatuhkan putusan lain sepanjang pertimbangan politik ‘politieke overweging’
dalam rapat paripurna MPR menerima baik penjelasan yang dikemukakan Presiden dan atau Wakil Presiden sehingga rapat memandang
Presiden dan atau wakil Presiden tidak perlu diberhentikan. Rapat paripurna terlebih dahulu memberi kesempatan kepada Presiden dan atau Wakil Presiden
menyampaikan penjelasan sebelum Rapat Paripurna menjatuhkan putusan vide pasal 7B ayat 7 UUD NRI Tahun 1945.
Penjelasan sebagaimana dimaksud pasal konstutusi tersebut pada hakikatnya merupakan upaya pembelaan diri bagi Presiden dan atau Wakil
Presiden. Tidak berarti putusan MPR menyampingkan putusan MK, tetapi hal pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya itu
memang merupakan constitutioneele bevoegheden dari MPR. Dalam pada itu, putusan Rapat Paripurna MPR yang memberhentikan Presiden dan atau Wakil
Presiden adalah sebatas memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dari jabatan publik kepala pemerintahan negara, dalam makna to removal from the
office, tidak memasuki ranah penyidikan serta penuntutan pidana terhadap
82
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah Konstitusi,
h. 62
Presiden dan atau Wakil Presiden yang diberhentikan. Putusan politik ‘politike beslissing’
, bukan bagian dari proses hukum penyidikan ‘opsporing dan penuntutan.
83
B. Alasan-Alasan Impeachment Presiden Menurut UUD 1945 Hasil