1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum melangkah lebih jauh melihat hal ihwal pernikahan, perlu kiranya ditelaah terlebih dahulu pengertian dari “Nikah” atau “Pernikahan” tersebut. Nikah terdiri dari tiga
huruf “nun”, “kaf” dan “ha” yang bermakna untuk menunjukan sesuatu râkiban alaihi
menaiki di atas. Hal ini diambil dari Abu Ali al-Farisi yang berkata, bahwa pecahan- pecahan bahasa Arab memperhalus makna dari “nakah
a” tersebut menjadi “aqada” yaitu “ikatan”.
1
Namun menurut para ahli bahasa bahwasannya tidak ada makna yang lebih tepat bagi
“nikah” kecuali “al-wad’u” yakni “hubungan seksual”. Kemudian para fuqaha berpendapat bahwasannya hakikat nikah terdapat tiga pandangan, yaitu, pertama nikah
merupakan hakikat bagi suatu ikatan dan majaz bagi hubungan seksual. Kedua, nikah merupakan hakikat bagi hubungan seksual dan majaz bagi terjalinnya ikatan, ketiga,
hakikat keduanya dengan adanya persekutuan
2
antara hubungan seksual dengan adanya sebuah ikatan.
Pernikahan secara etimologi berarti ”persetubuhan” adapula yang mengartikan
“perjanjian” dan secara etimologi, pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “akad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan
sengaja.”
3
1
Isham al-Shabbaythi, et al-Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, al-Qahirah: Dar al-Hadits, 1994, Juz 5, h. 187
2
Isham al-Shabbaythi, et al-Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, Juz 5, h. 188
3
M. Ali Hasan, Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persad, 1997, cet II, h. 1
Setelah dibahas mengenai pengertian perkawinan, maka berikut ini sampailah kepada topik pembicaraan pada skripsi ini, yaitu Pernikahan Beda Keyakinan. Adapun
definisi dari pernikahan beda keyakinan adalah “pernikahan pria muslim dengan wanita non muslim, begitu juga sebaliknya”
4
. Yang menjadi inti pembicaraan adalah sekarang ini banyak sekali dijumpai
pernikahan-pernikahan yang berlangsung dan bahkan sudah hampir mewabah pada masyarakat, akan nikah beda keyakinan, pernikahan yang justru kalau terjadi pada
masyarakat yang awam akan hukum Islam, maka akan sangat menggegerkan dan bahkan akan menggoyahkan aqidah seorang muslim.
Permasalahan
Satu hal yang menjadi permasalahan yang lebih umum dan terbuka pada masalah pernikahan adalah pernikahan beda agama. Umat manusia di dunia ini memang
diciptakan berpasang-pasangan dan juga dengan perbedaan ras, budaya dan Agama hingga tidak dapat dihindari adanya hubungan-hubungan yang terjalin antara kaum muslim
dan non muslim dalam berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hubungan pernikahan. Di dalam Islam pernikahan diatur dengan sangat baik, yang mana ada syarat-
syarat dan rukun dalam pernikahan. Salah satu syarat dalam pernikahan adalah pasangan suami istri harus sama-sama beragama Islam.
5
. kemudian yang jadi masalah adalah bagaimana jika pernikahan dilakukan dengan pasangan yang berbeda agama?
Kasus pernikahan beda agama yang lebih dikenal dengan istilah perkawinan campuran sampai sekarang masih merupakan masalah yang sensitif di tengah masyarakat
kita, karena kasus ini masih sering terjadi, baik di kalangan masyarakat biasa maupun di
4
M. Ali Hasan, Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, h. 7
5
Ensiklopedi Islam, Departement Agama, Jakarta,1993, h. 850
kalangan selebritis. Masyarakat awam memandang pernikahan beda agama sesuatu hal yang baru tabu karena mereka tahu hal yang seperti itu adalah sesuatu yang dilarang
agama, padahal sebenarnya kasus seperti itu telah terjadi sejak jaman Rasulullah SAW, tetapi kebanyakan mereka mengkaji lagi larangan yang mereka ketahui itu.
Di Indonesia ketentuan hukum perkawinan diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Bagi umat Islam sendiri, perihal perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam KHI
di mana peraturannya ditetapkan berdasarkan kepada syariat Islam yang disesuaikan, menariknya perihal yang banyak terjadi di Indonesia dewasa ini adalah pernikahan orang
Indonesia yang beragama Islam dan non Muslim yang dilaksanakan di Luar Negri semata- mata hanya untuk mencari pengakuan perkawinan mereka, hal ini terjadi karena negeri
Indonesia tidak mengatur pernikahan beda agama. Mengingat kondisi seperti ini terasa masih relevan membicarakan pernikahan beda
agama karena merupakan sesuatu hal yang sangat penting dan mempunyai dampak yang sangat luas terutama bagi generasi mendatang.
Pada awal perkembangan Islam, khususnya masa Rasulullah saw dan para Sahabatnya, term ahli Kitab selalu digunakan untuk menunjuk kepada komunitas agama
Yahudi dan Nasroni. Selain kedua komunitas tersebut, mereka tidak menyebutnya sebagai ahli Kitab. Kaum Majusi misalnya, meskipun pada masa Nabi dan Sahabat sudah dikenal,
tetapi mereka tidak disebut sebagai ahli Kitab. Meskipun demikian, Rasulullah s.a.w. memerintahkan supaya memperlakukan mereka seperti halnya Ahli Kitab.
6
Sebenarnya Ahli Kitab pada masa pra-Islam, dalam pandangan al- Qur‟an telah
mengalami kemerosotan. Pada mulanya mereka adalah pemeluk agama yang benar, yang
6
Abdullah Ahmad Qadiry, Nikah Beda Agama Menurut Islam, h. 43
mengikuti nabi-nabi mereka, yang percaya kepada Tuhan dan firmannya, namun, ketika Islam bangkit mereka secara tidak sadar telah mendustakan kebenaran dan apa yang telah
diwahyukan kepada mereka oleh Tuhan, dengan menerima beberapa bagian yang mereka sukai dan menolak yang lainnya.
7
“pendek kata agama yang murni dan benar, yakni oleh al-Qur‟an disebut sebagai “Agama Hanif” yang disimbolkan oleh Ibrahim, seorang penganut Agama Tauhid, telah
dikotori dengan kepercayaan yang salah”.
8
Melihat pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kaum ahli kitab dahulu dan kini sangatlah beda, adapun perbedaanya antara lain: pada saat dahulu kaum ahli Kitab
masih sangatlah berpegang teguh kepada Kitab-kitab mereka, tetapi ahli Kitab yang sekarang sudah tidak murni lagi. Oleh karena itu perihal pernikahan maka seorang muslim
tidak boleh nikah dengan wanita musyrik dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dikarenakan bahwa ketertarikan tersebut membawa kepada pintu neraka.
9
Karena memang dikhawatirkan akan menjadi rapuh imannya dan akhirnya terjerumus ke dalam kekafiran.
10
Juga terdapat peringatan yang lebih jelas lagi atas bahaya menikah dengan non Muslim yang mana bila individu yang memaksakan diri menikah dengan non
Muslim tersebut pada akhirnya menjadi murtad, maka sungguh telah merugi.
11
Sering kali terjadi penilaian yang tidak positif terhadap pernikahan beda keyakinan di tengah masyarakat, ada sebagian yang anti terhadap nikah beda keyakinan dan ada pula
7
Agus Fahri Husein, Relasi Tuhan dan Manusia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997, h. 83
8
Agus Fahri Husein, Relasi Tuhan dan Manusia, h. 83
9
Abdul Mutaal Muhammad al-Jabiry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, Terj. Drs Ahmad Sythori, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, h. 21
10
Jalaluddin al-Mahalli, Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalaalayni, Mesir: Darul Hadits, tth, Juz, 1, h.44
11
Abdul Mutaal Muhammad al-Jabiry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, Terj. Drs Ahmad Sythori, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, h. 12
yang mendukungnya, jadi di sini diperlukan penengah yang benar-benar bersumber dari Al-
qur‟an sebagai sumber rujukan Islam. Untuk itulah agar lebih mendalam lagi tentang kajian pernikahan beda keyakinan
ini, penulis akan mencoba mengkaji surat al-Baqarah ayat 221, dalam hal ini adalah ayat yang mengharamkan nikah beda keyakinan dan surat al-Mâidah ayat ,5 dalam hal ini
adalah ayat yang memperbolehkan nikah beda keyakinan. Juga penulis akan memaparkan pendapat seorang Mufassir yaitu, bagaimana
pandangan Ahmad Mustafâ al-Marâghî. Selanjutnya, agar lebih mendukung lagi di dalam penelitian ini, untuk itulah dengan pemaparan tersebut penulis skripsi ini memberi judul:
Pernikahan Beda Keyakinan dalam al- Qur‟an Analisis Penafsiran al-Maraghi atas
Q.S al-Baqarah : 221 dan Q.S al-Mâidah : 5
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah