Penafsiran al-Maraghi PERNIKAHAN DALAM ISLAM DAN PENAFSIRAN AL-MARAGHI

orang-orang yang baik biasanya juga akan melahirkan keturunan-keturunan saleh yang akan menjadi penyambung amal bagi kedua orang tuanya. 20

B. Penafsiran al-Maraghi

Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat-ayat pernikahan beda keyakinan sebagai berikut: 1. Surat al-Baqarah ayat 221 Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mu‟min lebih baik dari dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak keneraka, sedang Allah mengajak kesurga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat- ayatnya perintah-perintahnya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.al-Baqarah 2:221. al- Maraghi dalam menjelaskan ayat “wala tankihul musryikat hatta yu‟minu “. Menurut beliau laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita musyrik selagi mereka masih berada dalam kemusyrikan, akan tetapi laki-laki muslim 20 Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut‟ah; Analisis Perbandingan antara Sunni dan Syi‟ah, Jakarta: Gaya Media Pratama: 2008, cet. 1 h. 57 boleh menikahi wanita musyrik apabila mereka telah beriman dan menjalankan sariat-sariat agama islam. Dalam hal ini al-Maraghi berlandaskan firman Allah sebagai berikut: Dalam ayat ini al-Maraghi melarang menikahi wanita musryik selagi mereka masih berada dalam kemusryikan. Sedangkan dalam ayat “ ”dalam penafsirannya al-Maraghi melarang untuk menikahi mereka walaupun mereka itu cantik, dan kaya sebab menurut al-Maraghi orang yang menikahi wanita musyrik hanya karna kecantikan dan hartanya tidak akan semuanya itu dapat membantu mereka untuk pindah mengikuti agama Islam. Dalam hal ini al-Maraghi menukil pendapat Ibnu Majah dan Ibnu Umar Radiyallahu Anhu, sesung guhnya Nabi bersabda: “janganlah kalian nikahi wanita- wanita musyrik karena kecantikannya maka tidak mungkin kecantikannya itu dapat membalikan mereka dan janganlah kalian menikahi wanita karena hartanya, karena tidak mungkin harta mereka akan membantu kita. Dan nikahilah mereka atas agamanya, bahkan wanita-wanita hamba sahaya yang hitam yang mempunyai agama itu lebih baik 21 daripada orang musyrik yang gagah dan cantik. Al-Maraghi juga menukil pendapat dua Syaik Buhari dan Muslim dari Abu Hurairah “sesungguhnya Nabi saw, harus menikahi wanita karena empat 21 Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babi al-Halabi, Juz 2, 1962, h. 151 perkara: pertama hartanya, keduanasabnya, ketiga kecantikannya, dan keempat agamanya maka nikahilah yang mempunyai agama.” Adapun penjelasan Al-Maraghi dari ayat “ ” adalah larangan untuk menikah dengan wanita musyrik apabila mereka belum beriman, akan tetapi boleh menikah dengan wanita musyrik apabila mereka telah beriman kepada Allah swt, sebab menurut al-Maraghi menikahi seorang budak yang beriman itu lebih baik daripada menikah dengan orang musyrik, karena perbuatan orang musyrik itu selalu mengajak untuk keneraka. 22 Menurut penulis, al-Maraghi selain melarang menikah dengan orang musyrik, tetapi al-Maraghi membolehkan menikah dengan orang musyrik dengan beberapa syarat salah satunya adalah membolehkan menikah dengan orang musyrik apabila mereka itu telah beriman kepada Allah, bukan karena harta ataupun kecantikannya saja sebab perbuatan orang-orang musyrik itu mengandung unsur syirik yang jelas dan selalu mengajak kepada neraka. 2. Surat al-Maidah ayat 5 22 Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, , Tafsir al-Maraghi, , h. 152 Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan sembelihan orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang- orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka pula menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman tidak menerima hukum-hukum islam maka apuslah amalannya dan ia dihari akhirat termasuk orang-orang merugi;.Al-Maidah 5:5. 23 Al-Maraghi dalam menjelaskan ayat: “ ” menurut beliau halal memakan binatang sembelihan ahli kitab yang telah diberi taurat dan injil kecuali sembelihan kaum musyrikin yang tiada berkitab yaitu para penyembah patung dan berhala itu tidak halal dimakan. Dalam hal ini al-Maraghi menukil dari pendapat yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari Abu Darda dan Ibnu Zaid, bahwa keduanya pernah ditanya mengenai binatang yang disembelih untuk gereja.Maka, keduanya mempatwakan, itu boleh dimakan.Bahkan Ibnu Zaid berkata, “Allah telah menghalalkan makanan mereka dan mengecualikan apa- apa daripadanya.”Sedangkan Abu Darda berkata yaitu ketika dia ditanya tentang seekor domba yang disembelih untuk sebuah gereja yang bernama jirjis, mereka mengorbankan domba tersebut untuk gereja tersebut, 23 Ahmad, Mustâfâ Maraghi,Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babial-Halabi , 1962, Juz 16, h.108 bolehkah kita memakannya? Sesungguhnya mereka adalah ahli kitab, makanan mereka halal bagi kita dan makanan kita halal bagi mereka, lalu dia menyuruh memakannya dan dalam menjelaskan “ ” menurut al-Maraghi bahwa dibolehkannya binatang sembelihan adalah dari dan untuk masing-masing kedua belah pihak. 24 Akan tetapi lain halnya dalam soal hubungan perkawinan, menurut al-Maraghi dalam menjelaskan surat al-Maidah ayat 5 masalah kebolehan untuk menikahi wanita ahli kitab “ ” ayat ini menurut al-Maraghi adalah ayat yang membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab akan tetapi yang muhsanat yaitu orang yang memiliki kitab dan orang yang memelihara dirinya dari perbuatan zina dan menjaga dengan baik agamanya, sebab menurut beliau mereka tidak bertentangan dan masih dalam batasan-batasan syariat Islam dan memegang teguh ajaran-jaran agamanya. kataAl-Muhsanât disini yang dimaksud adalah Al-Hârâir wanita- wanita merdeka. Menurut al-Maraghi laki- laki mu‟min boleh menikahi wanita ahli kitab yakni wanita merdeka yang telah didatangkan kitab sebelum kamu Yahudi dan Nasroni. Sedangkan wanita muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab karena menurut al-Maraghi sebagaimana dijelaskan dalam al- Qur‟an bahwa wanita muslim tidak memiliki wewenang atas laki-laki, dikhawatirkan wanita tersebut akan mengikuti agama suaminya dan akan merusak 24 Ahmad, Mustâfâ Maraghi,Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babial-Halabi , 1962, Juz 16, h.111 aqidah agama anaknya. Karena sesungguhnya wanita musyrik dan laki-laki musyrik perbuatan mereka akan membawa kita kepada jalan neraka. 25 Mengenai masalah ini Al-Maraghi menukil pendapat Ibnu Jarir dari Qatadah, bahwa dia berkata, diceritakan kepada kami bahwa ada beberapa orang Islam yang mengatakan “bagaimana wanita-wanita itu kita nikahi? Sedangkan mereka itu berlainan agama dengan kita” maka diturunkannya oleh Allah “ ” jadi dihalalkannya mereka oleh Allah bukanlah tanpa ilmu. 26 Penulis sepakat dengan pendapat al-Maraghi, yang mengatakan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab, sebab suami itu adalah seorang pemimpin dalam rumah tangga, jadi apabila suami itu memiliki keimanan yang kuat tidak mungkin dapat terpengaruh terhadap ajakan seorang istri apabila suami memiliki ilmu bahkan bisa jadi malah sebaliknya suami sebagai seorang kepala keluarga bisa dengan mudah membimbing istri untuk memeluk agama yang dianutnya Islam dengan kata lain suami memiliki wewenang penuh dalam mengatur rumah tangga, dalam masalah apapun termasuk masalah aqidahkeyakinan. Begitu juga dalam hal pelarangan al-Maraghi tentang wanita muslim menikahi pria ahli kitab, penulis sepakat, sebab apabila wanita muslim menikahi pria ahli kitab, di mana ilmu pengetahuan suami lebih tinggi dibandingkan istri 25 Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ, Juz 2, 1962, h. 152-154 26 Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi , h. 113 dikhawatirkan akan dengan mudah suami mempengaruhi istri dan anaknya dalam masalah aqidah dan akan merusak keyakinannya, karena sudah menjadi tugas suami menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Apabila keduanya sama-sama mempengaruhi maka rumah tangga akan hancur dan tidak akan harmonis.

C. Aspek-aspek penafsiran al-Maraghi tentang Nikah Beda Agama dibandingkan dengan Para Ulama