15. Al-Mutala‟ah al-‟Arâbiyah li al-Madâris as-Sudâniyyah.
16
Penulisan sekian banyaknya karyanya ini tidak terlepas dari rasa tanggung jawab al-Maraghi sebagai salah seorang Ulama Tafsir yang melihat begitu banyak problema yang
membutuhkan pemecahan dalam masyarakatnya. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil-
dalil Qur‟ani sebagai alternative untuk dijadikan cara pemecahan yang actual dan pemecahan menurut Islam dimasa modern ini.
Salah satu adigium yang selalu menjadi jargon para mufasir kontemporer adalah bahwa al-
Qur‟an merupakan sebuah kitab suci yang Sâlihun li Kulli Zamân wa al-Makân kitab suci yang sesuai untuk segala Zaman dan tempat, sebuah kitab suci yang berlaku
universal, melampaui waktu dan tempat, yang dialami manusia.
17
B. Profil Tafsirnya
1. Metode Penafsirannya Bagian ini diawali dengan menjelaskan latar belakang penulisan tafsir al-Maraghi
sebagaimana yang terdapat pada mukodimah tafsirnya, ia mengatakan bahwa di masa sekarang banyak kalangan yang cenderung memperluas cakrawala pengetahuan agama,
terutama di bidang tafsir al- Qur‟an dan Sunnah Rasul. Kitab-kitab tafsir tersebut banyak
memberikan manfaat yang menyikapkan persoalan-persoalan agama, namun penjelasan dalam kitab-kitab tersebut banyak dibumbui dengan istilah-istilah lain seperti Ilmu
Balâghah, Nahwu, Sarf, Fiqh, Tauhîd dan ilmu-ilmu lainnya yang justru menimbulkan permasalahan sendiri bagi pembaca dalam rangka memahami al-
Qur‟an dengan benar. Namun demikian al-Maraghi mengulas, hal ini memang tidak bisa disalahkan,
karena ayat-ayat al- Qur‟an sendiri memberikan Isyarat tentang hal itu. Tetapi saat ini dapat
16
Kafrawi Ridwan, et. Al ed Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve Jakarta, 1994, cet. Ke-3, h. 166, lihat juga Abdullah Mustâfâ Al-Maraghi, al-Fath al-Mubin Fi Tabaqat al-Ushuliyin Beirut :
Muhammad Amin, co. 1934. H. 204
17
Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran al- Qur‟an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta, 2003 cet. 1, h. 95
dibuktikan dengan dasar penyelidikan ilmiah dan data autentik dengan berbagai argumentasi yang kuat, bahwa sebaiknya tidak perlu ditafsirkan al-
qur‟an dengan analisi ilmiah yang hanya berlaku seketika. Sebab, dengan berlalunya masa, sudah tentu situasi
akan berubah. Apalagi tafsir-tafsir terdahulu itu ditampilkan dengan gaya bahasa yang hanya bisa dipahami oleh para pembaca yang semasa.
Pembicaraan tentang ilmu-ilmu tersebut merupakan bidang tersendiri yang sebaiknya tidak dicampur dengan Tafsir al-
Qur‟an. Di samping itu kitab-kitab tafsir sering diberi cerita-cerita yang kontradiksi dengan fakta dan realita.
18
Berdasarkan kenyataan tertentu, maka al-Maraghi merasa terpanggil untuk menyusun suatu kitab tafsir dengan
metode penulisan yang sistematis, bahasa yang sederhana, dan efektif serta mudah dipahami. Tafsir al-Maraghi mempunyai metode penulisan tersendiri yang membuatnya
berbeda dengan tafsir-tafsir yang lain. 2. Corak Tafsirnya
Tafsir al-Maraghi bercorak sama dengan tafsir al-Manâr karya Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, Tafsîr al-
qur‟ân al-Karîm Karya Muhammad Syaltut, dan Tafsir al- Wâdih karya Muhammad Hijazi. Semuanya itu bercorak al-Adabi al-
Ijtimâ‟î.
19
yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk al-
Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-
ayat al- Qur‟an, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang
mudah dimengerti tapi indah didengar.
20
18
Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Beirut : Dar al-Fikr, 1974 M, cet. Ke-3, Jilid 1, hal. 3
19
Ali Hasan Al-Arid, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1994, cet. Ke-2, hal. 72
20
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h. 6
3. Sistematika Penafsirannya Adapun metode dan sistematika Tafsir al-Maraghi sebagaimana yang dikemukakan
dalam mukadimah tafsirnya adalah sebagai berikut:
21
1. Mengemukakan ayat-ayat di awal pembahasan
Al-Maraghi memulai setiap pembahasan dengan mengemukakan satu, dua atau lebih ayat-ayat al-
Qur‟an yang berorientasi kepada suatu tujuan yang menyatu. 2.
Menjelaskan kosa kata kata-kata secara bahasa ternyata ada kata-kata sulit dipahami oleh para pembaca.
3. Menjelaskan pengertian ayat-ayat secara global
Selanjutnya al-Maraghi menyebutkan makna ayat-ayat secara global, sehingga sebelum memasuki penafsiran yang menjadi topik utama, para pembaca telah
terlebih dahulu mengetahui makna ayat-ayat tersebut secara umum. 4.
Menjelaskan sebab-sebab turun ayat Jika ayat tersebut mempunyai asbâb al-nuzûl berdasarkan riwayat sahih yang
menjadi pegangan para mufassir, maka al-Maraghi menjelaskannya terlebih dahulu. 5.
Meninggalkan istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan Al-Maraghi sengaja meninggalkan istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu-
ilmu lain yang diperkirakan bisa menghambat para pembaca dalam memahami isi al-
Qur‟an. Misalnya `Ilm Nahwu, Sarf, `Ilm balâghah dan sebagainya. Pembicaraan tentang ilmu-ilmu tersebut merupakan bidang tersendiri yang sebaiknya tidak
dicampur dengan tafsir al- Qur‟an namun ilmu-ilmu tersebut sangat penting
diketahui dan dikuasai seorang mufassir. Meskipun ia mengingkari visi dan paradigm tafsir al-
Qur‟an ilmiah, akan tetapi ia juga berusaha memadukan karena mengikuti
metodologi gurunya, Muhammad Abduh dalam mengkompromikan antara
21
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, h. 26-30
Islam dengan sivilisasi Barat antara sikap mereka yang menolak terhadap visi dan paradigma
tersebut dengan sikap para pendukung dan penganjurnya, karena itu beliau masih mentolelir jika antara tekstualitas ayat dengan realitas ilmiah yang
Fixed itu ada kesesuaian.
22
6. Gaya bahasa para Mufassir
Al-Maraghi menyadari bahwa kitab-kitab tafsir terdahulu disusun sesuai dengan gaya bahasa para pembaca ketika itu. Yang sudah barang tentu sangat
mudah dimengerti oleh mereka, kebanyakan Mufassir didalam menyajikan karya- karyanya itu menggunakan gaya Bahasa yang ringkas, sekaligus sebagai
kebanggaan mereka karena mampu menulis dengan cara itu. Saat ini sudah masanya bagi kami menulis sebuah kitab tafsir dengan warna
tersendiri yang kami bangun berdasarkan pendapat-pendapat para mufasir terdahulu sebagai sekedar penghargaan atas upaya yang pernah mereka lakukan di dalam
meniti jalan ini, dengan demikian kamipun mengetahui sejauh mana perkembangan ilmu pengetahuan sains yang dapat mendukung pemahaman isi al-
Qur‟an. Kami sadar bahwa, upaya ini merupakan kewajiban bagi para ahli agama. Tetapi, wajib pula bagi mereka untuk menanyakan masalah-masalah kepada para
ahli sains untuk sekedar memberikan penjelasan, disamping agar lebih bersesuaian dengan situasi masa. Sebab, jika mereka ini telah jauh pendapat-pendapat orang-
orang terdahulu berarti mereka ini telah jauh bahkan menjauhi kenyataan, sehingga tidak mendapatkan penghargaan apapun, Namun, karena pengertian masa lalu
diikuti dengan ciri-ciri khusus, baik tingkahlaku maupun kerangka berpikir masyarakat, maka wajar, bahkan wajib bagi mufassir masa sekarang untuk
22
Abdul Majid Abdussalam al-Muhtashib visi dan Paradigma Tafsir al- qur‟an Kontemporer
Jakarta: al-Izzah 1997 cet. 1, h. 323
memperhatikan para pembaca dan menjauhi pertimbangan masa lalu yang tidak relevan lagi.
23
7. Seleksi terhadap kisah-kisah yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir terdahulu yang
memuat cerita-cerita yang berasal dari ahli kitab israiliyat padahal cerita tersebut belum tentu benar. Pada dasarnya, manusia ingin mengetahui hal-hal yang
dipandang sulit untuk diketahui. Terdesak oleh kebutuhan tersebut, mereka justru mengidentifikasi permasalahan kepada ahli kitab yang telah memeluk agama Islam,
seperti Abdullah ibn Salam, Ka‟ab ibn al-Ahbar dan Wahab ibn Munabbih. Ketiga orang tersebut menceritakan kepada umat islam yang dianggap interpensi hal-hal
sulit yang terdapat didalam al- Qur‟an. Padahal mereka bagaikan orang yang
mencari kayu bakar dikegelapan malam. Mereka mengumpulkan apa saja yang didapat, kayu ataupun lainnya sebab kisah-kisah mereka tidak melalui seleksi,
bahkan sama sekali tidak mempunyai nilai-nilai ilmiah, belum bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, dan tidak mampu memisahkan antara yang sah
dan yang palsu. Mereka secara sembarangan menyajikan kisah yang selanjutnya dikutip oleh umat Islam dan dijadikan sebagai tafsiran mereka. Dengan demikian
menurut al-Maraghi banyak kita jumpai hal-hal yang kontradiktif dengan akal sehat dalam tafsir mereka, dan bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri lebih-lebih
karya tersebut tidak mempunyai bobot ilmiah dan jauh dibandingkan karya-karya generasi sesudahnya.
24
Selanjutnya al-Maraghi mengemukakan contoh lain ia mengatakan bahwa perumpamaan mereka adalah sama dengan turis Eropa ketika
mengunjungi Piramida di Mesir. Kemudian ia bertanya kepada orang-orang Arab yang sedang berkemah di sekitar itu: “mengapa piramida itu dibangun?Siapa yang
membangunnya? Bagaimana cara membangunnya? Sudah pasti para turis tadi akan
23
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h.. 27
24
Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h.28
mendapatkan jawaban-jawaban yang jauh dari kenyataan dan bertentangan dengan rasio. Karena itu al-Maraghi memandang langkah yang lebih baik dalam
pembahasan tafsirnya tidak menyebutkan masalah-masalah yang berkaitan erat dengan cerita orang terdahulu kecuali jika cerita-
cerita tersebut” kami percaya , kata al-Maraghi, cara inilah yang paling baik dan bisa dipertanggung jawabkan
dalam penafsiran al- Qur‟an. Sudah barang tentu hasilnyapun akan banyak
dirasakan kalangan masyarakat pendidikan yang biasanya tidak mudah percaya terhadap sesuatu tanpa argumentasi dan bukti.
25
8. Jumlah Juz Tafsir al-Maraghi
Kitab Tafsir ini terdiri dari 30 jilid berisi 1 Juz al- Qur‟an. Hal ini dimaksudkan agar
mudah dibawa kemana-mana baik ketika menempati suatu tempat atau bepergian, Tafsir al-Maraghi dicetak untuk pertama kalinya pada awal tahun 1365 H. Tafsir
Al-Maraghi yang sekarang ditemukan berjumlah 10 jilid, dan tiap jilid berisi 3 Juz Al-
Qur‟an. 9.
Pesatnya Sarana Komunikasi Di Masa Modern Masa sekarang ini, ternyata mempunyai ciri tersendiri. Masyarakat lebih cenderung
menggunakan gaya bahasa sederhana yang dapat dimengerti maksud dan tujuannya. Terutama ketika bahasa itu dipergunakan sebagai alat komunikasi
sehingga melahirkan kejelasan pengertian. Karenanya, sebelum kami melakukan pembahasan terlebih dahulu membaca seluruh kitab-kitab tafsir terdahulu yang
beraneka ragam kecenderungannya dan masa ditulisnya, sehingga kami memahami secara keseluruhannya sisi kitab-kitab tersebut. Kemudian kami berusaha
mencernanya dan kami sajikan dengan gaya bahasa yang bisa dimengerti di masa sekarang . itulah cara kami menyusun tafsir.
25
Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h.29
Demikianlah metode penulisan, sistematika dan langkah-langkah yang ditempuh al-Maraghi dalam penyusunan Tafsirnya.
26
26
Hasan Zaini., Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-maraghi, h.30
24
BAB III PERNIKAHAN DALAM ISLAM DAN PENAFSIRAN AL-MARAGHI