Hasbi As-Shidiqi HAMKA Pendapat Mufasir tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama

52 ilmuwan sosial dan alam memiliki rasa takut dan kagum kepada Allah yang lahir dari pengetahuan mereka tentang Allah. Kesatuan itu dapat lebih diperjelas lagi dengan lanjutan ayat yang dinilai oleh sementara pakar tafsir seperti al- Biqa’i dan ar-Razi sebagai penjelasan tentang siapa ulama itu. Ayat diatas ditutup dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, dapat dipahami dsebagai kelanjutan dari bukti ketidak butuhan Allah terhadap iman kaum musyrikin, kendati Allah selalu menghendaki kebaikan buat mereka. Demikian pendapat ibn ‘Asyur. Sedang Thabathaba’i menjadikannya sebagai penjelasan tentang sebab sikap ulama itu. Yakni karena ‘izzat keperkasaan Allah Yang Kuasa menundukan siapapun dan Dia tidak tunduk kepada siapapun, maka Dia ditakuti oleh yang mengenal-Nya, selanjutnya karena Dia Maha Pengampun, senantiasa memberi pengampunan dosa dan penghapusan kesalahan, maka para ulama itu percaya dan mendekatkan diri kepada-Nya serta merindukan pertemuan dengan-Nya. 2

1. Hasbi As-Shidiqi

Dalam menanggapi Surah Fâthir ayat 28, Hasbi As-Shidiqi dalam tafsir Qur’anul Majid, menyatakan bahwa orang yang takut kepada Allah lalu memelihara diri dari azab-Nya dengan jalan mengerjakan ketaatan, hanyalah orang yang mengetahui kebesaran kodrat Allah dengan ilmunya. Sebab orang yang mengetahui 2 M. Qurasy Shyhab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian al- Qur’an Jakarta: Lentera Hati, Lentera Hati, 2002 h. 465-468. 53 bahwa Allah itu maha berkuasa tentu meyakini bahwa Tuhan akan menimpakan siksa-Nya kepada orang yang durhaka, karena itulah timbul rasa ketakutannya kepada siksa, karena Allah itu maha keras siksa-Nya terhadap orang yang mengkufuri-Nya dan maha pengampun terhadap dosa-dosa orang yang mengimaninya dan mentaati- Nya. Menurut Hasbi As-Shidiqi bahwa ulama itu adalah mereka yang takut dengan Allah dan membaca kitab Allah dengan ilmunya dengan menghafalnya, mempelajarinya dan mengajarkannya. Selain itu juga mengamalkan isi kandungannya, terutama menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, mengerjakan shalat dengan khusuk dan mengeluarkan zakat baik dalam keadaan sirr dalam keadaan sembunyi-sembunyi atau dengan terang-terangan bila dalam keadaan menghendakinya dan mereka berlaku tulus ikhlas dalam hidupnya. Mereka tidak mengharap sesuatu, kecuali dari Allah mereka hanya mengharap perniagaan yang tidak rugi dan pahala yang tiada habis-habisnya. Mereka berbuat seperti itu supaya Allah menyempurnakan pahala amalnya serta menambahkan keutamaanya. Sesungguhnya Allah maha mengampuni dosa dan patutnya semua hamba mensyukuri apa yang telah diberikan Allah kepada hamba- Nya. 3 3 M. Habsy as-shidqi, Tafsir Qur’anul Majid An-Nur, Semarang: Pustaka Kizley Putra, 2000, Juz 22, h. 3384. 54

2. HAMKA

Dalam mengomentari surah Fâthir ayat 28, pendapat Hamka tentang keutamaan ilmu dan ulama bahwa orang yang bisa merasakan takut kepada Allah, ialah orang-orang yang berilmu. Di pangkal ayat digunakan kata “Innamâ” yang menurut ahli-ahli ilmu nahwu mengatakan bahwa huruf Innamâ itu adalah adâtu hasri yang artinya “alat untuk pembatas” sebab itu artinya yang tepat adalah “tidak lain hanyalah orang-orang yang berilmu jua yang kan merasa takut kepada Allah. Kalau ilmu tidak ada, tidaklah orang akan merasa takut kepada Allah, dan jelas bahwa ilmu itu adalah luas sekali. Alam disekeliling kita, sejak dari air hujan yang turun dari langit menghidupkan bumi setelah mati, sampai kepada gunung-gunung yang menjulang tinggi, binatang melata, ini semua mengandung ilmu dengan berbagai cabangnya pula sebagai geografi, etnologi, ilmu-ilmu sosial sosiologi, polotik, kebudayaan, serta serta antropologi dan banyak lain lagi halnya. Ibnu Abb as mengatakan “Alim sejati diantara hamba arahman ialah yang tidak mempersekutukan Allag dengan apapun, dan yang halal tetap halal dan yang haram tetap haram, serta memelihara perintah-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu dengan sang pencipta Allah. Dengan demikian jelas pula bahwa ulama bukanlah sempit hanya sekedar orang yang tahu akan hukum-hukum agama saja secara terbatas, dan bukan juga 55 orang yang mengaji kitab fiqih, dan bukan pula ditentukan oleh jubah dan sorban besar. 4

A. Pendapat Muhaditsin tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama