Keutamaan ilmu ulama perspektif hadis

(1)

KEUTAMAAN ILMU ULAMAPERSPEKTIF HADIS

Oleh :

Tori

NIM :104034001183

JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H / 2011 M


(2)

KEUTAMAAN ILMU DAN ULAMA PERSFEKTIF HADIS

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh Tori

NIM: 104034001183

Pembimbing

Drs. H. Harun Rasyid, MA NIP: 196009021987031001

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar starata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatulla Jakarta.

Depok, 13 Juni 2011


(4)

i

ميحرلا نمحرلا ها مسسب

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT , yang telah melimpahkan nikmat, hidayah dan kasihsayang-Nya , sehingga penulisan skripsi

dengan judul “ Keutamaan Ilmu dan Ulama Perspektif Hadis ” (Sebuah kajian tematik ) dapat diselesaikan dengan baik dengan ridha-Nya . Salawat beserta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, sahabatnya dan para pengikutnya.

Walaupun munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seakan ringan berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yang terkait tanpa mengurangi penghormatan penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam pengantar singkat ini.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaranya penulis berharap kepada mereka agar selalu menjalankan amanat yang mereka embanya agar selalu memperhatikan keadaan kampus tercinta ini supaya lebih berkembang dan maju pesat.

2. Bapak, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin faqih, M.A Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan


(5)

ii

3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. Selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Ibu Dr. Lilik Umi Kaltsum, M.A. Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Drs. H. Harun Rasyid ,M.A. selaku Dosen pembimbing dalam menyusun skripsi ini. Atas bimbingan serta waktu luangnya yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

7. Kedua orangtua penulis Ayahanda H. Muhammad Tohir dan Hj Sopiah, atas cinta dan kasih sayang serta pengorbanannya yang selalu berusaha memberikan dorongan baik berupa materil dan moril serta nasihat, dan doanya.

8. Seluruh keluarga besar Al Hidayah Boarding School, K.H. Hilmi Zaeni Thahir, M.A, K.H Arif Rahman Hakim, M.A, Ust. Amshori Jayadih M.Ag, Ust. Sofyan Fadhali, S.Q, Ust. Ikhwan S.Fil.I, dan Ust.Darussalam, S.s yang selalu memberikan motivasi dan saran yang membuat penulis semangat dalam pembuatan skripsi ini.

9. Rekan-rekan dewan guru Al Hidayah Rawadenok Depok Ust Hendi Ilyas, Ust Abdul Mu’ti, S. Ag.


(6)

iii

Darussalam ,Tubagus Hamid, Syarif Hidayatullah, Anas Khairullah, dan kawan-kawa yang selalu memberikan insfirasi positif.

11. Kepada seluruh karyawan Al Hidayah Boarding School dan Karyawan Picasso Ciputat.

12. Teman-teman semua yang secara langsung, maupun tidak langsung ikut andil dalam memacu, memotivasi penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.

Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT , sebagai amal baik dan senantiasa berada dalam curahan rahmat Nya.

Akhirnya, penulis memohon kepada Allah SWT, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam ikut serta membantu kearah kemajuan pendidikan, khususnya . Mudah-mudahan tulisan ini banyak manfaat bagi orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan kasih sayang serta taufiq Nya kepada kita semua Amin.

Depok, 13 Juni 2011 M. 13 Rajab 1432 H.


(7)

iv DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan penelitian ... 9

D. Metodelogi Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG KEUTAMAAN ILMU DAN ULAMA A. Pengertian Ilmu dan Ulama ... 13

B. Perbedaan Ulama Akhirat dengan Ulama Dunia ... 20

C. Hukum menuntut Ilmu dan Tata Cara Mencari Ilmu ... 25

D. Pengaruh Ilmu Pengetahuan dalam Kehidupan ... 31

BAB III HADIS-HADIS TENTANG KEUTAMAAN ILMU DAN ULAMA A. Teks Hadis dan Terjemah... 37

B. Syarah Hadis tentang Keutmaan Ilmu dan Ulama ... 43


(8)

v ULAMA

A. Pendapat Mufasir tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama ... 48 B. Pendapat Muhadis tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama .. 55 C. Korelasi Ilmu dan Iman ... 57 D. Analisis Hadis ... 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 64 B. Saran-saran ... 67


(9)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

a. Padanan Aksara Huruf

Arab

Huruf

Latin Keterangan

tidak dilambangkan

b be

t te

ts te dan es

j je

h ha dengan garis di bawah

kh ka dan ha

d de

dz de dan zet

r er

z zet

s es

sy es dan ye

s es dengan garis di bawah

d de dengan garis di bawah

t te dengan garis di bawah

z zet dengan garis di bawah

‘ koma terbalik diatas hadap kanan

gh ge dan ha

f ef

q ki

k ka

l el

m em

n en

w we

h ha

` apostrof


(10)

vii

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah

i kasra

u dammah

Adapun Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i

و

au a dan u

c. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas

يــــــ î i dengan topi di atas

وـــــــ û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf , dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh = al-syamsiyyah, = al-qamariyyah. e. Tasydîd

Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf samsiyyah.

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

g. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya . Contoh = al-Bukhâri.


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Dewasa ini kita sudah terbiasa atau mendengar kata utama dan keutamaan terhadap yang dianggap mulia seerti kata ilmu dan ulama, sangat berharga dan sangat diagungkan oleh banyak orang. Namun memahami kata keutamaan ini tentu sudah jelas memiliki makna yang bernilai tinggi dibandingkan dengan padanan-padanan kata yang bermakna lain. Selanjutnya juga pandanan kata yang sederhana ini banyak sekali dijumpai pada sesuatu yang diyakini memiliki keutamaan dan keistimewaan jika memang sudah dianggap memiliki nilai lebih dibandingkan dengan yang lain.

Nilai lebih yang terkandung bisa dilihat dari sejarahnya atau pendapat pula peristiwa-peristiwa yang menyertainya. Karena sudah dianggap memiliki nilai yang sangat berharga, maka bermacam cara dilakukan demi menghormati sesuatu yang diagungkan dan dihormati itu.

Adakalanya sesuatu yang diagungkan tersebut memiliki beragam keistimewaan di dalamnya, sehingga tidak sedikitpun orang yang dengan sengaja memanfaatkan sesuatu yang diagungkan itu untuk menjalani ritual-ritual yang menurut keyakinan mereka akan dapat mendatangkan balasan atau sesuatu yang menguntungkan bagi mereka.


(12)

Melihat adanya keutamaan ilmu dan ulama yang terkandung di dalamnya, membuat banyak hal1 dapat dikatakan memiliki keistimewaan. Dalam dua pokok ajaran Islam yaitu al-Qur’an2 dan hadis3 yang menyebutkan dan menjelaskan makna kandungan dari ilmu dan ulama dan menguraikan keutamaanya.

Dari penjelasan di atas yang diuraikan dalam dua pokok pedoman ajaran Islam tersebut, terutama dalam beberapa hadis nabi banyak menyebutkan prihal tersebut. Dalam beberapa hadis dikatakan bahwa keutamaan ilmu dan ulama memuat beragam nilai yang tinggi.

Kemajaun suatu zaman mengakibatkan terjadinya perubahan. Kehidupan sosial, pemikiran, dan kebutuhan manusia ikut berubah sesuai dengan kemajuan zaman tersebut. Akan tetapi, kemajuan dan perubahan itu tidak lantas berkontradiksi dengan kesempurnaan Islam untuk tetap menjadi agama yang relevan di tiap tempat maupun zaman.4

Sejarah telah mencatat betapa besar sumbangan para ulama dengan ilmunya dalam menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Bukan saja ilmu pengetahuan agama dalam arti sempit seperti aqidah, syariáh akhlak dan

tasawuf, tetapi juga filsafat dan science seperti matimatika, fisika, biologi, astronomi, kedokteran, sosiologi, ekonmi, politik. Kalau pada zaman yunani kuno

1

Meliputi segala aspek, seperti benda-benda yang dianggap keramat, tempat atau lokasi yang memilki nilai sejarah yang tinggi, makhluk ciptaan tuhan yang mempunyai kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan, sejara yang menghantarkan manusia melongok masa lalu dan semua hal yang dianggap memiliki keistimewaan tersendiri.

2 Dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menyebutkan bahwa” Allah akan mengangkat

orang-orang yang beriman dan berilmu ini keutamaan ilmu” pada surat al-Mujâdalah ayat 11.

3

Dalam hadis nabi ada beberapa ditemukan hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan tentang Ilmu dan Ulama menurut Syakh Abdul Aziz al-Badri. Lihat al-Aslamu bainal Ulama wal hukaam ( Madinah ; Maktabah ilmiyah), h. 44.

4 DR. Muhammad ‘Imarah. Perang Terminologi Islam Versus Barat

, terj. Musthalah Maufur, M.A, (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 238.


(13)

3

kita mengenal para filosof dan ilmuan seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Eukledios dan Archimedes.

Seseorang akan mulia dan terhormat dalam pandangan orang lain ketika ia memiliki harkat dan martabat dalam dirinya, untuk mengukur dan menilainya tidak cukup hanya melihat kepada satu sisi saja, apalagi hal tersebut berupa materi dan jabatan. Akan tetapi penilain tersebut akan lebih tepat apabila dilihat dari sudut pandang lain yang lebih dapat diterima oleh segala lapisan.

Seandainya materi dan jabatan yang menjadi alat untuk mengukur dan menilainya, maka orang-orang yang berkesempatan untuk memiliki keduanya tidak akan pernah disebut sebagai orang yang berharkat dan bermartabat.

Lain halnya apabila ilmu yang dijadikan alat ukurnya, maka semakin bertambah ilmu yang dimilki seseorang, maka bertambah pulalah rasa hormat dan simpati orang lain terhadapnya. Dalam hal ini ilmu dan ulama sangat berperan penting untuk menentukan setatus sosial sesorang dengan demekian kebesaran dan kewibawaan seseorang ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya, dan juga sebaliknya ia kan menjadi hina dan kecil tanpa memiliki ilmu.

Adalah satu kejutan bagi dunia yang tertutup awan kejahilan dengan datangnya wahyu atau petunjuk ilahi yang diawali dengan perintah membaca dan mempergunakan kalam untuk menulis, sebagai persiapan untuk menjelaskan cakrawala baru yang sebelumnya manusia tidak mengenalnya.

Di isyaratkan dalam ayat-ayat yang diawali surat al-Alaq yang mana pengertian iqra ialah “bacalah” sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an mengandung makna penelitian dan pendalaman yang akan membuahkan berbagai


(14)

macam kreasi dan inovasi dalam kehidupan manusia, sejarah menyaksikan betapa wahyu ini mengubah sejarah dunia menjadi terang benderang karena banyaknya manusia yang dapat menikmati ilmu pengetahuan.

Sehingga banyak pola pemikiran yang berbeda-beda satu sama yang lainnya, karna banyaknya ilmu pengetahuan yang tak terbatas, Sebenarnya ilmu membentuk kerangka yang menjadi batasan yang membedakan manusia dan semua makhluk yang telah diciptakan oleh sang khâliq (Allah). Tanpa petunjuk dari Allah manusia tidak akan mampu meningkatkan pemahamannya tentang alam semesta kecuali dengan ilmu pengetahuan dengan akal yang telah diberikan oleh Allah, manusia dapat mengembamgkan ilmu tersebut dan dapat memahami tentang alam semesta ini, akan tetapi ilmu pengetahuan akan dapat berkembang di dalam kerterbatasan manusia itu sendiri5

Ilmu merupakan inti kebahagian di dunia maupun diakhirat, dan buah dari ilmu adalah meraih kedekatan kepada Allah, ilmu dapat menimbulkan kemuliaan di dunia dan akhirat sebagaimana yang telah disabdakan nabi Saw:6

5

Fuad Amsary, Mukizat alQur’an dan as-Sunnah tentang Iptek. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Jilid I, hal. 192.

6

Imam Ghazali, Minhazul Abidin. (Wasiat imam Ghazali). Jakarta: Darul ulum Press, h. 5-6.


(15)

5

“Barang siapa yang melalui jalan untuk menuntut ilmu Allah, maka Allah akan mudahkan jalan baginya untuk kesurga danmalaikat selalu meletakan sayapnya menaungi para pelajar karena senang perbuatan mereka dan seorang yang alim di mintakan ampunan oleh penduduk langit dan bumi serta ikan-ikan di dalamnya. Keutamaan seorang alim terhadap seorang ahli ibadah adalah laksana keutamaan bulan terhadap bintang dimalam bulan purnama, ulama itu pewaris nabi sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu dan barang siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengabil bagian yang melimpah.”7

Ilmu Merupakan cahaya yang dianugrahkan oleh Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki, karena memang, ilmu itu adalah anugrah yang dicurahkan oleh Allah kedalam hati sebagai cahaya, tentu keberadaan ilmu ini dapat menerangi jalan yang ditempuh oleh pemiliknya sehingga ia dapat melihatnya secara jelas dan akan membawa pemiliknya kepada tujuan akhir yang terpuji.

Akan tetapi sering kali asap kedurhakaan menguap menyusup kedalam hati dan hawa nafsu yang memenuhinya sehingga menghalangi pandangan yang benar, dimana seharusnya seorang hamba itu melihat kebaikan sebagai kebaikan dan melihat keburukan sebagai keburukan.

7

Lihat al-Hafidz Abi Abdullah Muhammad bin Yazid al-qarwini, Sunan Ibnu Majjaah, (ttp: Dar al Fikri, tth), jilid 1, h. 81 bab kitab Muqaddimah, No Hadis 223. Lihat. HR Al tirmidzi 5/47 kitab Al Ilmi, 2682, Abu Daud. 3/317, kitab al ilmi,No. 3641, Al Darimi, 1/110 dalam Al Muqaddimah, No. 342, dan dishahihkan oleh al-Bani dalam Shahih al-Jami No 6397


(16)

Hal ini menunjukan keberadaan cahaya ilmu di dalam hati yang di tunjukan dengan adanya amal yang shaleh dan perasaan takut kepada Allah. Keutamaan para ulama yang menguasai ilmu, mengamalkan dengan cara menyebar luaskan ilmu agama Islam dan menjadi petunjuk bagi manusia lainnya.

Dari keterangan diatas maka di jelaskan bahwa Allah telah mengangkat derajat para ulama yang mengenal Allah dan mengamalkan syari’at-Nya, ketingkat yang tidak akan dicapai oleh selain mereka. Bahkan kesaksian merekapun ditempatkan setelah kesaksian malaikat.

Ulama dikatakan sebagai pewaris para nabi, karena mereka telah menyampaikan risalah (ajaran) yang dibawa oleh para nabi kepada para pengikutnya setelah mereka berhasil menyebar luaskan agama Islam.8

Sedangkan mereka dikatakan sebagai wakil para nabi, karena mereka telah menyampaikan risalah (ajaran) yang dibawa oleh para nabi kepada generasi setelah mereka yang mana hal ini telah tercapai.9 Para ulama itu kunci surga dan wakil para nabi, mereka dikatakan sebagai kunci surga karena mereka telah menunjukan jalan menuju surga dengan petunjuk yang mereka telah ajarkan kepada orang lain.

8 Itthiaq Husen Qureshi. “Posisi ulama dalam Masyarakat Muslim,” dalam Kalim Siddiqi

(et. Al). Gerbang kebangkitan. (terj. AE. Priono. Dkk). Yogyaarta. Shalahuddin Press. 1984. h. 79-80.

9 Itthiaq husen Qureshi. “Posisi ulama dalam Masyarakat Muslim,” dalam Kalim Siddiqi


(17)

7

Hal ini membuktikan kemuliaan serta keutamaan ahli ilmu dan ulama merupakan faktor yang meluruskan karekter yang membiasakan mereka berbuat baik dan membuat mereka mudah menerima kearifan.10

Setiap ulama harus memiliki akhlaq yang mulia dan ilmu yang luas yang berdasarkan hukum-hukum dan prinsip agama hal ini bertujuan untuk membersihkan jiwa agar berada diatas landasan wahyu ilahi.11

Dewasa ini kaum muslimin di seluruh dunia merasa kesulitan menemukan figur ulama yang menjadi pemimpin serta mampu memberikan solusi terhadap akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. Manusia adalah makhluk hidup yang bersifat sosial yang begitu penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya sebagai makhluk Allah di muka bumi.12

Dalam rangka menyampaikan ilmu seorang ulama tidaklah pantas berprilaku tidak senonoh yang membuat kepribadiannya tercemarkan karena ulahnya yang tidak mencerminkan sebagai ulama.

Pendidik (ulama) yang baik merupakan penunjuk jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat13 Ilmu-ilmu pengetahuan alam yang dulu dikuasai oleh umat Islam, ketika ulama-ulama terdahulu telah wafat kini umat Islam hanya menjadi pengekornya saja, inilah yang terjadi dalam dunia keilmuan umat Islam sekarang.14

10

Lihat Ibnu Miskawaih , Tahdziibu al-akhlaq wa Tathhiru al-a’raaq (Tahqiiq Ibn al-Khatiib) Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 40.

11

Al-Akhlaq Fil Islam (Akhlaq dalam Islam). Dr. Abdul LAthif Al-‘Abd

12 Ismai Raji’ al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan

, (Bandung : Mizan, 1984), h. 37.

13

Fathiyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibn Khaldun tentangIlmu dan Pendidikan, penyuting H.M.D. Dahlan, (Bandung : CV. Diponegoro, 1987), h. 15-22.


(18)

Sekarang ini kita semakin sulit menemukan ulama yang memiliki ilmu sekaligus integritas moral, akibatnya, citra ulama semakin redup.

Berkenaan dengan kemuliaan dan keutamaan para ulama ini, Hasan Al-Bashri telah berkata, “ Kematian seorang alim itu menimbulkan suatu keretakan

pada Islam yang tidak dapat ditambal dalam jangka waktu sehari semalam.”

Dalam hadis marfu yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi dan Imam Thabrani dan kitab al-Kabir di katakana bahwa, “Kematian seorang alim itu merupakan musibah yang tidak ada pelipurnya dan keretakan yang tidak ada tambalannya.15”

Meskipun kajian yang penulis angkat merupakan kajian klasik yang sudah sering kali dibahas, akan tetapi, penulis merasa perlu mengangkatnya kepermukaan mengingat kajian ini cukup menarik untuk penulis sajikan ke dalam pembahasan ini. Sebagian besar sudut pandang manusia khususnya para pengikut nabi Muhammad yakni umat Islam mungkin melihatnya hanyalah sebagai titik kecil yang hanya memiliki kandungan makna yang sangat sederhana atas pembahasan ini, akan tetapi yang membuat penulis harus mengkaji kembali adalah penulis ingin menguak berbagai rahasia mengenai keutamaan ilmu dan ulama yang sering kali masyarakat abaikan.

Maka sesuatu yang dianggap kecil merupakan hal yang disepelekan dan tidak memiliki kandungan yang penting. Maka hal tersebut dikarenakan makna yang terkandung di dalamnya sederhana dan biasa-biasa saja. Namun tidak dengan ilmu dan ulama yang memiliki kharisma yang tinggi serta memiliki makna

14

Muhammad Syahrurr, Nahw Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islami (Damaskus: al-Ahlali li ath-Thiba’ah wa a-Nasyr wa at-Tawzi, 2000), h. 45-46.

15

Abu Bakar Al Jazairy, Ilmu dan Ulama, Pelita kehdupan dunia akhirat ( Daar Al Kutub : Cairo , 2000), h. 55


(19)

9

yang sangat istimewa. Oleh karena itu, penulis sengaja mengambil dan mengangkatnya ke dalam pembahasan ini sebagai pembuktian bahwasanya tiada sesuatu yang lebih tinggi dibanding ilmu dan ulama.

Sungguh benar segala kelebihan dan keistimewaan serta kesempurnaan hanyalah milik sang pencipta alam semesta Allah dan pemilik segala kekurangan hanyalah para makhluk-makhluk ciptaan-Nya.

Berangkat dari permasalahan inilah penulis memilih tema skripsi tentang

Keutamaan ilmu dan Ulama Persfektif Hadis”

A. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan mengenai judul diatas, maka penulis membatasi permasalahan diatas seputar studi analisis hadis nabi Saw tentang keutamaan ilmu dan ulama. Penulis hanya membatasi pada kitab hadis Shahih Bukhari dan Ahmad Ibn Hanbal. Adapun kitab-kitab hadis yang lainnya hanya penulis jadikan sebagai pendukung semata, dengan mengkaji hadis-hadisnya secara tematik.

Dalam mengartikan atau menterjemahkan hadis penulis bersumber pada kitab terjemah kitab-kitab yang sembilan (Kutub al-Tis’ah) dan kamus-kamus lainnya yang berkaitan dengan pembahasan diatas.

Agar skripsi ini tersaji dengan komprehensif dan terarah, penulis membuat rumusan.

1. “Apa keutamaan Ilmu dan Ulama menurut hadis”? B. Tujuan Penelitian


(20)

1. Memahami makna dan hal-hal yang berkaitan mengenai Keutamaan Ilmu dan Ulama berdasarkan hadis-hadis yang ada. 2. Untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan program Strata

Satu (S1). C. Metodologi Penelitian

Dalam skripsi ini penulis melakukan pengumpulan data dengan metode penelitian kepustakaan (library research), yakni mencari dan mengumpulkan berbagai literature yang relevan dalam pokok pembahasan. Pengumpulan data yang penulis lakukan terbagi pada dua bagian, yaitu melaui data perimer dan sekunder. Rujukan yang penulis jadikan sebagai data perimer adalah Al- Kutub

al-Tis’ah.

Adapun acuan sekunder yang dipakai dalam penelitian ini adalah sejumlah kitab dan buku yang masih berkaitan dengan obyek penelitian, seperti kitab-kitab terjemah hadis, buku-buku hadis dan bahan-bahan rujukan lain yang relevan dalam pokok masalah yang dibahas. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi secara lengkap agar dapat menentukan kesimpulan yang akan diambil sebagai langkah penting.

Berdasarkan referensi yang ada penulis dalam pembahasan skripsi berpijak pada metode deskriptif analitis, yakni melalui pengumpulan data dan kemudian di teliti dan dianalisis sehingga menjadi sebuah kesimpulan.

Secara teknis penulisan skripsi ini bersandarkan pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Desertasi Universitas Islam Negeri Syarif


(21)

11

Hidayatullah Jakarta (2002)”. Dan Pedoman Buku Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2007.

D. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan suatu sistematika yang di dalamnya terdiri dari bab-bab yang satu sama lain saling berhubungan, yaitu:

Bab I: Pendahuluan

Bab ini yang menjadi pengantar umum kepada skripsi. Berisi Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II: Pandangan umum tentang keutamaan ilmu dan ulama

Pada bab ini terbagi empat sub bab, yaitu: Pengertian ilmu dan ulama, Perbedaan Ulama akhirat dan Ulama dunia, Hukum Menuntut Ilmu dan Tata Cara Mencari Ilmu, dan Pengaruh Ilmu Pengetahuan dalam Kehidupan

Bab III: Hadis-Hadis tentang keutamaan ilmu dan ulama

Bab tiga terdiri dari tiga sub bab, yaitu: Teks Hadis dan Terjemahnya, Syarah Hadis tentang keutamaan Ilmu dan Ulama, Asbabul Wurud


(22)

Bab ini memuat mengenai Pendapat Mufasir tentang keutamaan Ilmu dan Ulama, Pendapat Muhadis tentang keutamaan Ilmu dan Ulama, Korelasi Ilmu dan Iman dan Analisis Hadis.

Bab V: Penutup


(23)

13

BAB II

PANDANGAN UMUM TENTANG KEUTAMAAN ILMU DAN ULAMA

A. Pengertian Ilmu dan Ulama 1. Pengertian ilmu

Ilmu dalam terminologi bahasa Arab adalah pengetahuan yang mendalam atau pengetahuan hakikat sesuatu, sedangkan akar katanya

-Yang artinya pengetahuan. Dalam kamus al-Munjid fi al-lughoh wa al-’ulûm didefinisikan

Ilmu juga dapat diartikan sebagai suatu cabang studi yang berkenaan dengan pengamatan, pengklasifikasian fakta-fakta, dan khususnya dengan penetapan kaidah-kaidah umum yang bisa diuji.2

Sedangkan dalam ensiklopedi Islam dinyatakan bahwa ilmu bersal dari

bahasa Arab ‘ilm yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata dari jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Kata “ilmu” bisa disepadankan dengan kata Arab lainnya, yaitu ma’rifat (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Ma’rifah kata yang sering digunakan.3



1

Louis Mahlouf al-Yasui, al-Munjid fi al-Lughoti wa al-Adabi wa al-‘Ulum, (Beirut, al-Matba’ah al-Katquliyah, 973, h. 527).

2

Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, (Bandung, Mizan, 1991), h. 108.

3


(24)

Pengertian lain menyebutkan bahwa ilmu itu dalam bahasa Inggris adalah sience, dan bahasa latin sciemia (pengetahuan), scire (mengetahui). Sinonim yang paling akurat dalam bahasa Yunani adalah episteme.1

Adapun pengertian ilmu yang termuat dalam ta’lim al-muta’alim adalah sebagai berikut;

Artinya: ilmu itu ditafsiri dengan sifat yang kalau dimiliki seseorang, maka menjadi jelas apa yang terlintas di dalam pengertiannya.2

Kamus besar bahasa Indonesia juga mengartikan ilmu secara definitif sebagai “pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat ditentukan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu”.3

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ilmu sebagai pengetahuan atau kepandaian (tentang soal akhirat, dunia, lahir, batin, dan sebagainya). Sehingga kata ilmu selalu dirangkaikan dengan sesuatu seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak dan lain-lain.

Makna definitif di atas pun selalu dirangkaikan dengan kata lain yang menghasilkan suatu yang bersangkutan dengan kata yang dirangkaikan dengan



4

Loren Bagus, Kamus filsafat, (Jakarta. PT, Gramedia Pustaka, 1996), Edisi I, h. 307.

5 Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh ta’limul muta’alim, (Indonesia: Darul Ihya‟alKutub al

-Arabiyah), h. 9. 

6


(25)

15

kata ilmu tersebut. Seperti kata ilmu agama berarti “pengetahuan tentang ajaran

(sejarah, dan lain sebagainya) agama”.

Dengan pengertian tersebut berarti ilmu dibedakan dari pengetahuan, dimana ilmu lebih spesifik dari pengetahuan, karena banyak pengetahuan yang belum disusun secara sistematis sebagai salah satu syarat untuk disebut ilmu.

Sementara menurut Fazlur Rahman, al-Qur‟an sering mengemukakan perkataan ‘ilm ( ), kata-kata jadiannya yang umum, dan pengertiannya sebagai

“pengetahuan” melalui belajar, berfikir, pengalaman dan lain sebagainya. Dengan

pengertian seperti inilah perkataan ilmu dipergunakan pada zaman nabi Muhammad SAW. Tetapi pada generasi para sahaabat, Islam mulai berkembang

sebagai sebuah “tradisi”. Ada bukti-bukti bahwa perkataan ‘ilm ( ) mulai

dipergunakan dengan pengertian pengetahuan yang diperoleh melalui belajar terutama sekali dari generasi generasi yang lampau (Nabi, para sahabat dan lain-lain).4

Quraish Shihab ketika menerangkan „ilm ( ) mengartikannya sebagai

“menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya” atau “sesuatu pengenalan yang sangat jelas terhadap suatu objek”, karena itu seseorang yang

menjangkau sesuatu dengan benaknya tetapi jangkauannya itu masih dibarengi

dengan sedikit keraguan, maka ia tidak dapat dinamai “mengetahui apa yang



7

Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka, 1984), Cet. Ke-2, h. 198-199.


(26)

dijangkaunya itu”.5

Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa bahasa mengunakan semua kata yang tersusun dari hurf-huruf dalam berbagai

bentuknya untuk menggambarkan sesuatu yang demikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan. Perhatikan misalnya kata ‘alâmat ( ) yang berarti

tanda yang jelas bagi sesuatu atau nama jalan yang mengantar seseorang menuju tujuan yang pasti. „alam yang berarti “bendera” menjadi tanda yang jelas bagi

suatu bangsa atau kelompok. Kata yang sama juga berarti “gunung” yang karena

ketinggiannya menjadi sedemikian jelas dibandingkan dengan dataran di sekelilingnya.

Atas dasar itu Allah Swt, dinamai „Âlim ( ) atau „Alîm ( ) adalah

karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap bagi-Nya hal-hal yang paling kecil sekalipun.

Dalam pandangan al-Ghazali, hakikat ilmu yang terdapat pada al-Qur‟an tidaklah terpilah-pilah, artinya al-Ghazali meletakan satu pemahamannya tentang hakekat ilmu dalam bentuk kesatuan teoritik yakni menjurus kepada pemahaman ilmu sebagai ilmu Allah yang harus dituntut dan dikaji oleh setiap pribadi dalam membawa dunia dan seisinya ke gerbang kemaslahatan.



8Quraish Shihab, Tasir alQur‟an al

-Karim (Tasir atas surat-surat pendek Baedasarkan urutan turunnya wahyu), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), Cet. Ke-I, h. 594-595.


(27)

17

1. Pengertian Ulama

Kata ulama berasal dari kata Arab „ulama yang merupakan bentuk jamak

taksir dari kata ( ) „âlim artinya orang yang memiliki ilmu yang luas dan

mendalam. Kata „âlim (ilmu) berasal dari huruf „ain, lam, mim ( ) yang

menunjukan bekas sesuatu dan membedakan yang lainnya atau sesuatu yang menjelaskan seperti bendeera, gunung dan alam.6 Menurut al Ashifani ilmu adalah mendapat hakikat sesuatu baik zat maupun penamaannya.7 Ulama adalah bentuk

jamak dari kata „âlim ( ) yang terambil dari kata yang berarti mengetahui secara

jelas, karena itu semua kata yang terbentuk oleh huruf-huruf ‟ain, lam, dan mim, selalu menunjuk kepada kejelasan seperti ( ) „alam/ bendera, ( ) âlam/ alam

raya atau makhluk yang mempunyai rasa dan atau kecerdasan, ( ) „alamah/

alamat.8 Bentuk kata yang hampir sama dengan kata ulama dalam al-Qur‟an, di antaranya ista‘lama (minta keterangan)9 ‘alima bersinonim dengan kata ‘arafa yang sama-sama memiliki arti mengetahui atau mengenal.10

Kata ilmu dalam berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Qur‟an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapain pengetahuan dan obyek



9

Ibn Faris., Al-Maqayis fi al Lughat, (Beirut: Dar Al Fikr, 1979), h. 689.

10

Abi Qosim al Husaini Ibn Muhammad Raghib al ashfihami. Al Mufradat fi Gharib al-Qur‟an, (Mesir: Musthaa al-Bab al Halabi, tth), h. 343.

11

M. Quraish Shihab., Tafsir al Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati 2003), Cet. Ke-I, h. 466.

12

Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdhor., Kamus al Ashri Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum PP. Krapyak, 1996), 105.

13


(28)

pengetahua. „alam yang berkata kerja “ya’lamu” ( ) berarti (Dia yang

mengetahui) dan biasanya al-Qur‟an menggunakan kata ini untuk Allah dalam hal-hal yang diketahui-Nya, baik yang gaib (tersembunyi), seperti Ya‘lamu mâ

Yusirru (Allah mengetahui yang mereka sembunyikan), demikian juga ilmu-ilmu yang disandarkan kepada manusia semuanya mengandung makna kejelasan.

Ulama merupakan bentuk jamak dari kata mufrad „âlim ( ) yang

merupakan bentuk isim fail dari kata ‘alima ( ) yang berarti yang terpelajar,

sarjana, yang berpengetahuan atau ahli ilmu. Lawan kata „âlim ( ) adalah jahil

( ) yang berarti orang yang bodoh.11

Kata ulama juga merupakan bentuk jamak dari kata mufrad ( ) sehingga

mempunyai arti orang yang banyak ilmunya, yang sangat mengetahui dan yang paling mengetahui adalah Allah, tetapi dalam al-Qur‟an, manusia dapat pula

mendapat peredikat sangat tahu, atau banyak ilmu. Mereka disebut dengan “ahli”

(dalam Bahasa Indonesia), ‘ilm, ‘alam atau ma’lum, yang memang sudah dikenal dengan Bahasa Indonesia, yaitu ilmu, alam dan maklum. Ilmu adalah pengetahuan yang teratur, alam adalah segala benda yang dapat ditangkap dengan panca indra sebagai ciptaan Tuhan, dan maklum artinya mengetahui. Tetapi meski manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui secara teratur atau sistematis, hanya Allah yang Maha Tahu dan Maha Mengetahui.



14


(29)

19

Menurut al-Thaba‟thaba‟i, ulama adalah mereka yang mengenal Allah Swt dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, pengenalannya yang bersifat sempurna sehingga mereka menjadi tenang, keraguan serta kegelisahan menjadi sirna dan nampak pula dampaknya dalam kegiatan mereka membenarkan ucapan mereka.12 Ibn Katsir mendefinisikan ulama adalah yang benar-benar makrifat kepada Allah Swt. sehingga mereka takut kepada-Nya, jika makrifatnya sudah dalam maka sempurnalah takutnya kepada Allah. Syekh Nawawi al-Bantani berpendapat untuk mengetahui sahnya agama, baik menetapkan sah i‟tikad

maupun amal syari‟at lainnya. Dr. wahbah Zuhaili berkata “secara naluri” ulama

adalah orang yang mampu menganalisa fenomena alam untuk kepentingan hidup di dunia dan akhirat serta takut ancaman Allah Swt jika terjerumus dalam

kenistaan. Orang yang maksiat pada hakikatnya adalah bukan ulama”.

Pada mulanya kedua kata alim dan ‘ulama berlaku bagi semua komunitas dan orang yang berkecimpung dalam lapangan ilmu pengetahuan, mulai pada abad ke-2 H/ 8 M, muncul aneka ragam ilmu serta benih-benih dikotomi di antara ilmu-ilmu baru sesuai dengan disiplin ilmu yang digeluti, seperti fuqaha,

mutakllimin, filsuf dan lain-lain.

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang disebut orang „alim adalah orang yang dengan ilmu pengetahuannya menimbulkan sifat khasyyah, karena keberagaman itu inheren dengan ilmu, sehingga dapat dikatakan bahwa hanya orang-orang berilmulah yang dapat mencapai puncak khasyyah (takut) kepada



15

Quraish Shihab., Tafsir al Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati 2003), Cet. Ke-I, h. 466.


(30)

Allah. Dengan demikian jika ada orang yang berilmu dan tidak memiliki sifat keberagamaan yang kokoh berarti ilmunya tidak bermanfaat.13 Bahkan orang yang berilmu dan lepas dari tanggung jawabnya karena memperturuti hawa nafsunya maka diibaratkan seperti seekor anjing yang menjulurkan lidahnya baik dihalangi

maupun dibiarkan. (QS. Al A‟raf 7: 175-176).

B. Perbedaan Ulama Dunia dengan Ulama Akhirat

Umat yang tidak dibimbing oleh ulama akan menjadi umat yang sesat. Mereka dapat terjerumus oleh godaan syetan ke lembah kehidupan yang hina, oleh karena itulah betapa pentingnya kehadiran ulama di tengah-tengah masyarakat. Para ulama adalah seumpama lampu yang terang menerangi jalan yang benar, menjadi wakil Allah di atas bumi. Ulama adalah lambang iman dan harapan umat, memberikan petunjuk dan menyelamatkan manusia dari segala bencana.

Sejarah bangsa telah mengukir berbagai peran yang diperankan oleh para ulama. Kerukunan umat beragama pada dekade 1970-1980 an telah berhasil terbina dengan baik berkat dukungan para ulama, sehingga kerukunan itu dapat mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa yang menjadi modal pembangunan negara dan bangsa selama ini. Ulama berperan melalui komunikasi interpersonal yang dilakukan melalui ceramah-ceramah dan khutbah di masjid-masjid, dan di negara-negara pembangunan (yang baru berkembang) paling tidak ada tiga



16


(31)

21

kelompok pemimpin resmi (pemerintah), pemimpin tidak resmi (tokoh Agama), dan pemimpin adat.

Menurut al-Munawar bahwa ulama adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan luas tentang ayat-ayat Allah, baik bersifat kawniyyah (fenomena alam) maupun bersirat Qur’aniyyah yang mengantarkan manusia kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah, dan memberikan pencerahan kepada masyarakat bukan memanfaatkannya.

Menurut Imam Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menuturkan bahwa ulama terbagi menjadi dua, yakni ulama dunia (ulama su‟) dan ulama akhirat.

1. Ulama dunia (ulama su’)

Yang dimaksud dengan ulama dunia (ulama su’) adalah mereka yang mempergunakan ilmu pengetahuannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan duniawi semata, menjadikan sebagai jembatan untuk mencapai pangkat dan kedudukan semata.14 Ketahuilah bahwa pangkal kesesatan ulama su’ yaitu pada niat dan amalan mereka, hati mereka dapat diketahui dari indikator-indikator yang nampak dari amal perbuatannya. Kita telah mengenal ulama ad-din, yakni orang baik-baik dengan sebutan ulama akhirat, sedangkan ulama su’ adalah mereka yang menyeleweng yang juga disebut ulama dunia

Menurut Imam Ghazali, ulama dunia digambarkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya surat (Ali Imran (3): 182)



17


(32)











































































“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu[258] ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran

yang mereka terima” (QS, Ali Imran (3): 187)

Setiap ulama yang diidealkan oleh al-Qur‟an bukanlah sekedar citra manusia berilmu saja, melainkan sekaligus manusia yang bermoral. Oleh karena itu, ulama bukan orang yang yang memiliki ilmu melainkan harus disertai sikap

istislam (menyerah), takut, dan tunduk kepada Allah.

Rasulullah juga bersabda dalam masalah ini dalam hadisnya:

15

“Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu hukum karena Allah, dan tidak mencarinya melainkan bukan karena Allah, maka Allah akan menempatkan ke dalam neraka. (HR. Tirmidzi)

Dalam hadis yang lain beliau bersabda,

16



18

Abi Isa Muhâmmad bin Surah, Sunan Tirmidzi; (Beirut: dar al-Fikr, 1994), J. IV, h. 195, Kitab Ilmi, No. Hadis 2664.


(33)

23

“Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di

hadapan para ulama, atau mendebat orang-orang yang bodoh, atau mengalihkan pandangan manusia kepada dirinya, maka Allah akan memasukan dia ke nereka. (HR. Tirmidzi)

Di dalam kitab Akhlaq Ulama, karya Syekh Abu Bakar Muhammad al-Ghazali dijelaskan mengenai ciri-ciri ulama dunia (ulama su’) di antaranya.17

1. Ulama yang orientasinya hanyalah demi kebahagian duniawi sebagaimana yang dilarang agama.

2. Ia (ulama su’) tertimpa kefakiran dan tidak puas dengan anugerah Allah. 3. Pikiran materialistis senantiasa mengendalikan jiwanya, sedangkan

kehidupan ukhrawi hampir lenyap dari ingatannya.18 2. Ulama Akhirat

Adapun pengertian ulama akhirat adalah ulama yang tidak termasuk klasifikasi di atas. Dalam hal ini, al-Ghazali mengaitkan ulama akhirat dengan surat Ali Imran (3): 199, yang berbunyi19















































































19

Abi Isa Muhâmmad bin Surah, Sunan Tirmidzi; (Beirut: dar al-Fikr, 1994), J. IV, h. 259-296, Kitab Ilmi, No. Hadis 2659

20

Imam Mawardi, ZI, Abdullah Aqih, Wahai Ulama, Kembalilah Kepada Umat, (Surabaya: Pustaka Pelajar: 2002), Cet. Ke-I, h. 44-45.

21

Imam Mawardi, ZI, Abdullah Faqih, Wahai Ulama Kembalilah kepada Umat, h. 2659.

22

M. Mahfudz MD, Spiritualitas Al-Qur’an Dalam Membangun Kerajinan Umat, (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet, Ke-2, h. 426.


(34)

“Dan Sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah Amat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imran (3): 199)

Adapun karekteristik ulama akhirat menurut Imam Ghazali adalah sebagai berikut20:

1. Tidak mencari kemegahan dunia dengan menjual ilmunya dan tidak memperdagangkan ilmunya untuk kepentingan dunia. (QS. Ali Imran (3): 199).

2. Konsekuen terhadap perkataannya, artinya perilakunya sesuai dengan ucapannya dan tidak menyuruh orang untuk berbuat kebaikan sebelum ia mengamalkannya. (QS. Al Baqarah (2): 44)













































“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang

kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS. Al Baqarah (2): 44)

3. Mengamalkan ilmunya untuk kepentingan akhirat, senantiasa mendalami ilmu pengetahuan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, dan menjauhi perdebatan yang sia-sia.



23 al-Ghazali, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya ‘Ulumuddin, (Mesir:


(35)

25

4. Mengejar kehidupan dengan mengamalkan ilmunya dan menunaikan berbagai ibadah

5. Menjauhi godaan penguasa yang jahat

6. Tidak cepat mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya dari

al-Qur‟an dan al Sunnah.

7. Senang terhadap ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, cinta kepada musyahadah (ilmu yang menyingkap kebesaran Allah),

muraqabah (ilmu yang mencintai perintah Alah dan menjauhi larangan-Nya), dan optimis terhadap rahmat-Nya.

8. Berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai derajat haqqul yaqin. 9. Senantiasa khasyyah kepada Allah, ta’dzim atas segala

kebesaran-Nya, tawadhu’ hidup sederhana dan berakhlaq mulia terhadap Allah maupun sesamanya.

10. Menjauhi ilmu yang dapat membatalkan amal dan kesucian hati. 11. Memiliki ilmu yang berpangkal dalam hati, bukan di atas kitab, ia

hanya taklid kepada hal-hal yang telah diajarkan Rasulullah Saw.21 C. Hukum Menuntut Ilmu dan Tata cara Mencari Ilmu

a. Hukum Menuntut Ilmu

Manusia adalah yang terbaik diciptakan oleh Allah Swt dimuka bumi ini mempunyai mulia dan berat yang dibebankan di atas pundaknya yaitu menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran untuk menjalankan tugas tersebut, seseorang harus mempunyai bekal. Dalam hal ini ilmu merupakan bekal terbaik



25 Imam Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Sulaiman Mara‟I (ttp: Singapura, tth), Juz I, h. 60

-68.


(36)

yang dapat membantu tugas tersebut. Oleh karena Allah Swt. menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya untuk pergi menuntut ilmu.

Bahkan amanah kekhalifahan yang hanya diserahkan Allah kepada manusia (Adam) pun adalah karena faktor berfikir yang dimiliki oleh manusia itu. Sebab dengan kemampuan berfikir, manusia akan dapat menyerap ilmu pengetahuan dan mentransfernya. Peristiwa dialog antara Malaikat, Adam, dan Allah Swt. Memberikan gambaran yang jelas kepada kita betapa kemuliaan itu berpangkal pada kemampuan berfikir dan menyimpan ilmu.22 Seperti firman Allah di bawah ini:





















31

32

(

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)

seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat”. (al

-Baqarah: 31-32).

Adapun hadis yang berkenaan dengan anjuran menuntut ilmu yaitu:

“Menuntut ilmu itu merupakan suatu kewajiban atas setiap muslim”.

(HR. Ibnu Majjah).



26

Rasyid, Daud. Islam Dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 88.

27


(37)

27

Dari hadits di atas inilah al-Ghazali mengangkat suatu hukum bagi setiap muslim untuk menuntut ilmu.

Kata farîdhatun diberinya makna yang lebih luas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia yang beranenaka ragam tingkat kemampuannya itu sebagaimana al-Ghazali sendiri mengakui akan terbatasnya daya tangkap, panca indra dan daya serap akal manusia, bukan para filosof yang seolah-olah memaksakan manusia dengan banyak memberikan porsi dan peran terhadap akal manusia. Oleh karena itu para filosof muslim sanggup menerapkan kata farîdhatun dengan makna kewajiban yang mutlak dilakukan dari sikap itu akan muncul permasalahan

yang pelik dan rumit sekali: “Akan berdosalah orang-orang yang tidak

mempunyai kemampuan yang bermacam-macam jumlahnya itu”.

Ali Syari‟ati, seseorang Sosiolog Syi‟ah kenamaan, menulis tentang

kewajiban menuntut ilmu antara lain sebagai berikut:

Konsep-konsep seperti observasi, penyusunan teori penalaran, ilmu pengetahuan, penulisan pengajaran pemahaman kebenaran-kebenaran, kesadaran, dan pengetahuan yang cukup tentang agama, merupakan bagian dari konsep-konsep suci yang ditekankan oleh al-Qur‟an, lebih dari semua pemimpin moral dan sosial lainnya dalam sejarah manusia, telah mendorong para pengikutnya untuk mendapatkan pendidikan sepanjang kehidupan mereka. Ia menjadikan upaya untuk mendapatkan pendidikan itu sebagai kewajiban untuk pria dan wanita


(38)

serta memerintahkan para pengikutnya untuk mencari ilmu di sudut-sudut dunia yang paling jauh dan menggalinya dari setiap sumber, bahkan dari orang kafir.24

Demikian pentingnya arti ilmu bagi kehidupan, sehingga setiap muslim wajib menuntut ilmu dan menguasainya, seebagaimana yang tercermin dari sabda

Rasululllah Saw:

25

“Siapa yang menghendaki oleh Allah untuk mendapat banyak

kebaikan, maka Allah akan memberinya pemahaman (kemampuan untuk memahami segala sesuatu) dan sesungguhnya ilmu hanya didapat dengan belajar”.

b. Tata Cara Mencari Ilmu

Salah satu etika mencari ilmu pengetahuan adalah mencari dan melacak dari sumber aslinya. Ia harus dicari sekalipun di tempat terpencil dan tersembunyi, segala jerih payah dalam pencari ilmu akan menjadi mudah dan jarak yang jauh akan menjadi dekat. Mengapa demikian? Karena apabila dalam mencari ilmu dilandasi dengan semangat ibadah dan semata-mata untuk mencari ridha Allah maka akan terbuka jalan dan semuanya akan menjadi mudah untuk digapainya.



28Ali Syari‟ati, Membangun Masa Depan Islam

, (Bandung: Mizan, 1989), Cet. Ke-2, h. 145-146.

29

Imam Bukhari Shahih Bukhari bi Hasyiyah as-Sindiy, (Beirut: Daar al-ikr), Jilid I, Kitab Ilmi, h. 30


(39)

29

26

Siapa yang melalui jalan untuk menuntut ilmu Allah. Maka Allah akan memudahkan jalan baginya untuk ke surga”. (H.R. Tirmidzi)

Dari hadis di atas dapat menjelaskan bahwa ketika seseorang mempunyai niat yang sungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan semata-mata karena mengharap ridha Allah, maka segala jalan untuk menggapai ilmu akan dimudahkan. Sekaligus memberikan motivasi kepada setiap orang yang giat mencari ilmu, maka ketika ia dengan tulus dan ikhlas bepergian untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, maka bersama dengan itu pula Allah melapangkan baginya jalan menuju kebahagian dan kemudahan. Suatu hal yang sangat penting untuk diyakini dengan sungguh-sungguh oleh setiap orang yang mencari ilmu maka Allah akan benar-benar membantu dan memudahkan persoalan setiap muslim yang dengan sungguh-sungguh mencari ilmu pengetahuan.

Sejarah tidak pernah mencatat umat manapun selain umat Islam yang demikian aktif bepergian untuk mencari ilmu, terutama yang pernah dilakukan oleh para ulama hadis. Alamah Khatib al-Bagdadi telah mengarang kitab khusus tentang kisah perjalanan para pencari hadis yang diberi nama Rihlah fi Thalabil



26

Lihat al-Hafidz Abi Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qarwini, Sunan Ibn Majjah, (ttp:Dar al fikr, tth), jilid 1, h81. Bab Kitab Muqaddimah, No. Hadis. 223. Lihat HR. al-Tirmidzi, Kitab al-Ilmi, NO. 2682, Abu Daud, 3/317, Kitab al-Ilmi, No. 3641, al-Darimi, 1/110 Dalam


(40)

Hadis. Di dalamnya disebutkan keutamaan-keutamaan mencari ilmu dan perjalanan para sahabat.

Salah satu contoh kisah tentang perjalanan mencari ilmu ialah kisah Said bin Musayyab. Ia mengatakan, Saya menempuh perjalanan berhari-hari hanya

untuk mencari sebuah hadis. Satu hal yang sangat luar biasa, perjalanan yang

sangat menguras tenaga dilakukan hanya untuk mencari sebuah hadis. Andai saja setiap muslim mempunyai kesadaran untuk mencari ilmu sebagaimana yang dilakukan Said bin Musayyab, niscaya tidak ada lagi kebodohan dimana-mana.

Konon dalam sebuah riwayat disebutkan, Ahmad bin Hambal ditanya oleh seorang, manakah yang lebih baik antara seorang alim yang mengajarkan ilmunya atau pergi mencari ilmu? Imam Ahmad menjawab, “pergi mencari ilmu ke penjuru negara itu lebih baik sehingga ia dapat bertemu langsung dengan ahlinya.

Diantara tata cara mencari ilmu yang harus diperhatikan dan diterapkan oleh seorang pencari ilmu27 antara lain adalah:

1 . Jangan berjalan di hadapan (muka) gurunya. 2 . Jangan menempati tempat duduk gurunya.

3 . Jangan mendahului bicara di hadapan gurunya kecuali dengan seizinnya. 4 . Jangan banyak bertanya di hadapan guru.

5 . Menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan kemarahannya.



31 Ibrahim bin Ismail , Syarah Ta’limul Muta’lim (Semarang, CV. Toha Putra, 1993), h.


(41)

31

6 Melaksanakan semua perintah guru kecuali diperintahkan untuk berbuat maksiat.

D. Pengaruh Ilmu Pengetahuan bagi Kehidupan

Manusia adalah makhluk homo sapiens yang dikaruniai potensi untuk berpikir. Karena dengan berpikir ia akan mendapatkan inspirasi untuk melakukan kreasi dapat membedakan antara yang baik dan buruk, antara yang bermanfaat dan yang membahayakan sehingga dalam kehidupan ia dapat saling tolong-menolong di antara sesamanya dan bahkan dapat membina lingkungannya sehingga keberadaannya dapat memberikan manfaat bagi sekitarnya.

Kehidupan dunia dalam perspektif Islam merupakan ladang bagi kehidupan akhirat. Amal kebaikan dan keburukan di dunia akan selalu terkait dengan kehidupan dengan akhirat, maka dari itu Islam tidak pernah mengenal dikotomi kehidupan antara dunia dan akhirat, yang ada adalah bagaimana keduanya mempunyai titik singgung sehingga apa yang dikerjakan manusia di dunia akan dipertanggung jawabkan di akhirat.

Untuk mendapatkan kehidupan dunia dan akhirat yang seimbang diperlukan ilmu pengetahuan. Karena tanpa ilmu pengetahuan kehidupan manusia akan sia-sia. Ia mati sebelum hidupnya berakhir karena keberadaanya tidak mempunyai arti bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Betapa banyak orang yang hidup sia-sia karena ia tidak mempunyai ilmu pengetahuan sehingga ia menghempaskan fitrah kemanusiannya yang snuci. Fitrah tersebut ia nodai dengan menjerumuskan dirinya pada perilaku yang tak terpuji, seperti mabuk, judi, mencuri, zina, dan lain sebagainya.


(42)

Oleh karena itu Islam sangat menganjurkan kepada pemeluknya untuk senantiasa mencari ilmu, bahkan bagi mereka yang giat mencari ilmu mendapatkan berbagai insentif dari Allah Swt, seperti diangkat derajatnya,28 dimudahkan baginya jalan menuju surga serta mendapatkan perlindungan selama mencari ilmu.29

Secara alamiah setiap manusia mempunyai kecendrungan untuk mengetahui sesuatu, rasa ingin mengetahui tersebut muncul sebagai akibat adanya keinginan untuk mengoptimalkan potensi berpikiran guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Menurut Ibnu Khaldun30 manusia berpikir karena mempunyai dorongan alamiah, bahkan binatang pun mempunyai dorongan alamiah untuk mendapatkan apa yang dituntut oleh alam yakni mempertahankan kehidupan dari kepunahan.

Semakin majunya peradaban manusia, maka seiring dengan itu semakin maju pula pola pikir yang ada pada mereka. Penemuan-penemuan yang merupakan barang asing tidak lagi demikian. Kemajuan ilmu pengetahuan membuat zaman semakin maju dan canggih, tanpa disadari ilmu telah memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia.

Untuk melihat lebih jauh pengaruh yang diberikan ilmu kepada manusia terlebih dahulu kita lihat fungsi ilmu itu sendiri. Secara filosofi fungsi ilmu dapat dirumuskan sebagai berikut:



32Niscaya Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan (al-Mujadalah: 11)

33

Rasulullah bersabda: barang siapa yang keluar untuk menuntut ilmu, ia berada di jalan Allah (HR Tirmidzi)

30

Nurcholish Madjid, 1994. Khajanah Intelektual Islam, Jakarta, bulan Bintang, hal 308


(43)

33

1. Fungsi deskriptif: menerangkan dan menggambarkan satu objek atau masalah, baik sebab ataupun esensinya sehingga dapat dipelajari oleh peneliti.

2. Fungsi Mengembangkan: melanjutkan hasil penemuan yang telah ada untuk menemukan penemuan-penemuan atau ilmu yang baru, baik bersifat menyalahi yang lama atau mengembangkannya.

3. Fungsi prediksi: meramalkan kejadian-kejadian yang akan terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk menanggulanginya

4. Fungsi Kontrol: dengan tercapinuya gambaran dan ramalan suatu objek atau masalah, manusia akan dapat mengembalikan masalah tersebut untuk keselamatan, kenikmatan, dan lainnya dalam kehidupan.31

Dengan merujuk kepada fungsi-fungsi ilmu di atas dapatlah dikatakan bahwa telah terbuka peluang untuk mengetahui beberapa hal dari ilmu yang berpengaruh pada manusia.

Pada fungsi pertama, ilmu memberi kemudahan bagi ilmuan-ilmuan yang bergerak di bidang penelitian untuk mempelajari objek atau masalah yang sudah dijelaskan itu.

Pada fungsi kedua terlihat jelas pengaruhnya pada manusia agar selalu

maju dan berkembang, ini sesuai dengan ungkapan “even the best can be

improved”. Adalah suatu yang sudah baik itu pada dasarnya masih dapat

ditingkatkan.



35 Utyartanta, Epistenmologi, Intisari Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1970, h. 11-12.


(44)

Sedangkan pada fungsi ketiga ilmu memberi informasi penting untuk menghindarkan diri dari mara bahaya yang akan menimpanya. Contoh: Ketika akan terjadi letusan gunung berapi, orang akan bersiap-siap untuk mengantisipasinya dengan meninggalkan daerah yang berdekatan dengan gunung itu. Demikian pula ketika orang hendak bepergian, dengan adanya badan meteorologi yang membidangi cuaca, maka orang dapat menentukan kapan saat yang tepat untuk bepergian. Ini adalah berkat fungsi ilmu tersebut.

Agama Islam banyak menjelaskan dan menerangkan bahkan mengakui bahwa apa yang dihasilkan dari ilmu pengetahuan akan bermanfaat dan memberikan pengaruh kehidupn manusia, oleh karena itulah setiap individu diharuskan untuk menuntut ilmu sebagaimana dijelaskan di atas. Tim DEPAG RI di dalam bukunya menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Drs. Muhaiman, MA :

“Ilmu Pengetahuan merupakan instrument untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh Allah Swrt., yaitu mensejahtrakan diri dan manusia lain guna mencapai ridho-Nya. Kesejahtraan itu dapat diperoleh jika manusia mengelola sumber-sumber alam (natural resources) dengan mengetahui hukum-hukum dan aturan-aturan yang memungkinkan manusia dapat mengelola dan memanfaatkan bumi dengan baik. (QS. 31: 10). Hal ini akan terjadi bila manusia berbekal ilmu pengetahuan.32

Ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi kurun ini, secara bertahap tapi pasti membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur‟an benar dan mengagumkan. Baik berupa bentuk tulisan yang paling perimutif dengan bahan-bahan yang amat sederhana (daun lontar, pelepah korma, tulang belulang, kulit-kulit hewan dean



36

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Triganda Karya, 1993), h. 82.


(45)

35

lain sebagainya) pada abad-abad yang bergemerlapan oleh cahaya ilmu pengetahuan kini dengan bertolak pada puncak pengetahuan, manusia telah menulis berjuta-juta buku, menciptakan pena yang bagus dan mudah dibawa, lalu diciptakan juga mesin tik, mesin cetak, yang dapat menyelesaikan beribu-ribu kata dalam waktu yang sangat singkat.

Akan tetapi pada sisi lain kemajuan ilmu dan teknologi kadang kala akan membawa dampak negatif pada kehidupan itu sendiri. Dari fenomena-fenomena alam kita lihat betapa kemajuan ilmu pengetahuan menjadi motivator bagi manusia khususnya bagi mereka yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya itu, untuk membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi dengan ilmu yang dimilikinya.

Prof. Dr. Hamka dalam bukunya menegaskan bahwa pengaruh ilmu pengetahuan telah meliputi dunia barat, dan di sana pengaruh agama telah berkurang, orang mau yang konkrit, tidak mau yang abstrak lagi. Adapun di negeri timur, gelombang itu sama juga. Tetapi bukan karena ilmu pengetahuan

sudah maju pula, hanyalah karena suka jadi “pak tiru” belaka, sehingga yang

dikatakan oleh sosiolog terkenal Ibnu Khaldun “Bangsa yang kalah, ketagihan

meniru kepada bangsa yang menang”.33

Kini telah jelas bahwa pada satu sisinya ilmu pengetahuan akan sangat bermanfaaat bagi kehidupan manusia akan tetapi pada sisi lain ia akan menjadi bencana apabila disalah gunakan, oleh karena itu benarlah ungkapan yang

mengatakan: “Ilmu tanpa bimbingan agama adalah buta”. Maka dari itu majunya




(46)

suatu ilmu dan teknologi yang memasuki zaman modern, maka diharapkan dengan modal keimanan yang kuat dapat membentengi diri dari pengaruh-pengaruh negatif yang timbul akibat kemajuan ilmu itu khususnya yang kita lihat pada dunia barat, sehingga kita tidak terbawa arus kepada penyalahgunaan ilmu pengetahuan, akan tetapi dengan anugrah yang diberikan Allah itu kita lebih mendekatkan diri kepada-Nya.


(47)

37 BAB III

HADIS HADIS TENTANG KEUTAMAAN ILMU DAN ULAMA

A. Teks Hadis dan Terjemah

Adapun dalam bab ini, penulis hanya menghadirkan hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan ilmu dan ulama, penulis hanya mengkaji hadis-hadis dalam kitab-kitab al-Kutub al-Sittah, sebagai berikut:

Imam Bukhari no hadis 100

1

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba. Ia mencabutnya dari hamba-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara mengambil para ulama (mematikan mreka), sehingga tidak tersisa orang berilmu akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang bodoh, maka mereka ditanya, mereka member fatwa dengan tidak berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain.”

1


(48)

Imam Bukhari no hadis 7307

1

“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil (menghilangkan) ilmu

sekaligus sesudah diberikan-Nya, melainkan mengambil dengan mewafatkan ahli ilmu (ulama) berrsama ilmunya. Maka tinggallah orang-orang bodoh, mereka diminta fatwanya, lalu mereka berfatwa menurut kemauan sendiri. Sebab itu, mereka tersesat dan menyesatkan mereka.”

Imam Muslim no hadis 4829

2

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba Ia mencabutnya dari manusia-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara mengambil para ulama (mematikan mreka), sehingga tidak tersisa orang berilmu, akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang

1 Bukhori , Shohih al-Bukhari, Kitab I’itishom, hal. 59 2


(49)

39

bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain”

Imam Muslim no hadis 246

3

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil (menghilangkan) ilmu

dari manusia secara tiba-tiba akan tetapi dengan mengangkat (mewafatkan) ulama maka diangkatnya ilmu beserta mereka (ulama) dan menyisakan pada manusia seorang pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki ilmu dan dia (pemimpin yang bodoh) nyesat menyesatkan

Imam Ahmad Ibnu Hanbal no hadis 6511

3


(50)

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba Ia mencabutnya dari manusia-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara mengambil para ulama (mematikan mereka), sehingga tidak tersisa orang berilmu, akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak

berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain”4

Imam Ahmad Ibnu Hanbal no hadis 6787

5

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil (menghilangkan) ilmu

dari manusia setelah memuliakan mereka hanya kepdanya, akan tetapi dengan perginya (wafatnya) para ulama, sebagaimana keduanya (ilmu dan ulama) perginya ulama dengan beserta ilmunya, sehingga tinggallah orang yang tidak memiliki ilmu maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak berdasarkan ilmu maka mereka

tersesat dan menyesatkan orang lain”

Imam Ahmad Ibnu Hanbal no hadis 6788

4

Ahmad (Baqi Musnad Al-Mukatsirin), hal. 290

5


(51)

41

6

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba. Ia

mencabutnya dari hamba-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara mengambil para ulama (mematikan mereka), sehingga tidak tersisa orang berilmu akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak

berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain”.

Imam Ahmad Ibnu Hanbal no hadis 6896

7

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil (menghilangkan) ilmu

dari manusia setelah mereka menginginkannya hilang akan tetapi dengan perginya (wafatnya) para ulama, sebagaimana keduanya (ilmu dan ulama) perginya ulama dengan beserta ilmunya, sehingga tinggallah orang yang tidak memiliki ilmu maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak berdasarkan ilmu maka mereka

tersesat dan menyesatkan orang lain”

Imam Ibnu Majah no hadis 52

6

Imam Ahmad bin Hanbal (Baqi Musnad Al-Mukatsirin), hal. 514

7


(52)

8

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba. Ia

mencabutnya dari hamba-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara mengambil para ulama (mematikan mereka), sehingga tidak tersisa orang berilmu akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak

berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain” Imam Tirmidzi no hadis 2661

9

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba Ia mencabutnya dari manusia-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara mengambil para ulama (mematikan mereka), sehingga tidak tersisa orang berilmu, akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain”

8

Sunan Ibn Majah, Miqaddimah, hal. 296.

9


(53)

43

Imam Ad-Daromi no hadis 241

10

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba. Ia

mencabutnya dari hamba-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara mengambil para ulama (mematikan mereka), sehingga tidak tersisa orang berilmu akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak

berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain”

B. Syarah Hadis Tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama

Lihatlah dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul SAW, lalu tulislah karena aku takut lenyap ilmu kerena meninggalnya ulama. Dan jangan anda terima, kecuali hadis Rasul SAW dan sebarkanlah ilmu (hadis) dan adakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahunya, lantaran tidak lenyap ilmu

sehingga dijadikannya barag rahasia” (H. R Darimi)

10

I.mam Ad-Darimi, Muqaddimah, hal 244 11


(54)

(Tulislah). Dari kalimat ini dapat diartikan, bahwa ini adalah awal

mula penulisan Nabi, karena sebelumnya umat masih bergantung pada hafalan. Pada saat Umar bin abdul Aziz merasa khawatir akan hilangnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, maka ia berpendapat bahwa penulisan ilmu berarti usaha untuk melestarikan ilmu itu sendiri12.

(13

(Allah tidak menarik kembali ilmu pengetahuan dengan

jalan mencabutnya) atau menghapus ilmu dari lubuk hati sanubari. Rasulullah

mengucapkan hadis ini pada saat haji wada‟, sebagaimana hadis yang

diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dari hadis Abu Umamah, bahwa saat haji

wada‟ Nabi bersabda, “Pelajarilah ilmu sebelum datang masa punahnya ilmu

tersebut.” Arabi berkata, “Bagaimanakah cara ilmu diangkat atau dipunahkan?

12

Ibnu Hajar al- Asqalani.,Fath al-Bari Syarah Shahih al- Bukhari, (Riyad: Maktabah Darussalam 1997). Cet ke-1, h.235


(55)

45

Beliau bersabda, “Punahnya ilmu itu dengan punahnya para ulama (orang yang menguasai ilmu tersebut.”

. Dalam riwayat Muslim disebutkan .

. Dalam riwayat Abu al-Aswad pada kitab Al I’tisham karangan Imam

Bukhari disebutkan (mereka memberikan fatwa dengan pendapatnya),

begitu pula dengan hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim.

Hadis ini berisi anjuran menjaga ilmu, peringatan bagi pemimpin yang bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan. Hadis ini juga dijadikan alasan oleh jumhur ulama untuk mengatakan, bahwa pada zaman sekarang ini tidak ada seorang mujtahid lagi.

C. Asbabul Wurud

Asbabul Wurud hadis merupakan suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Rasulullah mengungkapkan sabdanya. Adapun urgensi sebab Wurud terhadap hadis adalah sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadis. Jika diperhatikan semua ini terdapat manfaatnya, diantaranya, dapat mentaksis arti yang lain, membatasi arti yang mutlak, menunjukan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemuskilan, dan menjauhkan „illat suatu hukum, maka dengan memahami sebab wurud hadis dapat


(56)

mudah memahami apa yang dimaksud atau yang terkandung suatu hadis tersebut.14

Imam Ahmad dan At-Thabrani meriwayatkan dari hadis Abu Umamah,

berkata: “Selesai melakukan haji wada‟ nabi bersabda: “Ambilah ilmu sebelum ia

ditarik atau diangkat!” Seorang Arab badawi (udik) bertanya: “Bagaimana ilmu itu diangkat?” Beliau bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya hilangnya ilmu

adalah hilangnya ulama15”.

Dalam riwayat lain dari Abu Umamah, orang itu bertanya: “bagaimana

mungkin ilmu itu terangkat, padahal ditengah-tengah kami selalu ada mushaf

(al-Qur‟an), sedangkan kami mempelajarinya dan kami mengetahuinya, serta kami

ajarkan pula kepada anak-anak dan istri-istri kami, demikian pula kepada para

pelayan kami.” Rasulullah mengangkat kepalanya. Dan beliau bersabda: “Inilah

Yahudi dan Nasrani dikalangan mereka ada mushaf, tetapi mereka tidak mempelajarinya, tatkala para nabi datang kepada mereka.

Ibnu Hajar berkata: “hadis masyhur dari riwayat Hisyam. Dan dalam

riwayat lain bunyinya:… ”Sehingga tak ada lagi hidup seorang alim pun.”

Ini menunjukan betapa mulianya kedudukan ulama dalam pandangan agama. Kematian ulama berarti suatu kerugian bagi umat. Maka kemuliaan ilmu dan kepentingannya harus dirasakan oleh seseorang yang menuntutnya, dan orang yang mengamalkannya maka hidupkan ilmu-ilmu Islam dengan memelihara

kitabullah dan sunah Rasul-Nya serta berusaha mengamalkannya, agar ia tetap

14

Mudzir Suparta dan Utang Ranu Wijaya. Ilmu Hadis. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

15

Ibnu Hamzah al Husaini, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis- Hadis Rasul ( Jakarta: kalam mulia, 1996), h. 55.


(57)

47

menjadi teladan dan panutan. Jangan tanyakan perihal kepada orang bodoh, karena bila mereka berfatwa tanpa mengerti ilmu yang sebenarnya, mereka justru akan menyesatkan (umat) dari jalan lurus.


(1)

65

)

“ Kelebihan orang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti kelebihanku atas kalian kemudian membaca akan ini ayat (“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”) sesungguhnya penghuni bumi dan penghuni di lautnya pasti mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manuusia.” (Diriwayatkan Ad-Daromi)

Eksistensi ulama dalam kehidupan masyarakat memegang peranan yang penting dalam menjaga dan melestarikan kehidupan warisan yang mereka tinggalkan bukanlah bentuk materi yang banyak, melainkan ilmu pengetahuan yang darinya dapat melahirkan berbagai kekayaan. Betapa banyak negara yang secara alamiah yang mempunyai sumber daya alam yang sangat terbatas, namun hasil peradabannya mampu mengalahkan negara yang kaya sumber daya alam. Hal ini tidak lain disebabkan oleh kualitas sumber daya manusianya yang penuh dengan ilmu pengetahuan.


(2)

“ Barang siapa melewati salah satu jalan dengan tujuan mencari ilmu, maka Allah membuka dengannya jalan menuju surge, dan sesungguhnya para malaikat meletakkan saya-sayapnya karena ridha kepada pencari ilmu. Sesungguhnya para pencari ilmu itu dimintakan ampunan oleh siapa saja yang ada di langit, siapa saja yang ada di bumi, hingga ikan-ikan di laut. Kelebihan orang-orang yang berilmu atas orang yang beribadah adalah seperti kelebihan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi-nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar, dan tidak pula dirham namun mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa mendapatkannya sesungguhnya ia mendapatkan keberuntungan yang besar.” (Diriwiyatkan Abu Daud, dan At Tirmidzi)

Dengan demikian ilmu dan ulama mampu memberikan bimbingan kepada setiap manusia dan menjawab berbagai persoalan umat dengan menggunakan berbagai pendekatan, baik pendekatan sosial, kultural, politik, maupun yang lain sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh manusia.

Ilmu dan Ulama mempunyai peranan dan fungsi yang menentukan bagi masa depan dan kehidupan bangsa, maka dari itu seorang ulama diharapkan bersifat ikhlas, tawadhu (rendah hati) dihadapan orang banyak. Cara hidupnya harus zuhud, selalu bersyiar wara yaitu menjauhkan diri dari kemungkinan dosa besar dan kecil. Dengan kata lain seorang ulama yang baik adalah dia seorang yang selalu berhati-hati jangan sampai nafsu menguasai akal sehat dan imannya

Kepemimpinan ulama dituntut untuk memberi perlindungan pengayoman dan kewajiban moral untuk menjadi fasilitator menyelesaikan masalah-masalah dengan ilmu-ilmu agama dan sosial yang dihadapi manusia.


(3)

67

A. Saran-saran

Setelah penulis melakukan pembahasan tentang “Keutamaan ilmu dan ulama perspektif hadis” penulis berharap skripsi ini dapat dijadikan acuan dalam kehidupan kita, karna ilmu dan ulama merupakan pewaris para nabi, oleh karena itu harapan besar bagi penullis agar ini dijadikan sebagai panduan untuk menghormati serta memuliakan para ulama.

Sebagaimana halnya studi analisis deskriptif lainnya tentu skripsi masih jauh dari menggambarkan secara utuh terhadap persoalan yang sesungguhnya, penulis hanya berharap dikemudian hari ada karya tulis lainnya yang menyempurnakan kajian ini. Sebab sangat disadari bahwa kesimpulan akhir sekripsi ini tidak menutup kemungkinan berlainan dengan kajian lainnya.

Oleh karena itu penulis menginginkan ada penelitian lanjutan yang komprehenshif dan koreksi yang deduktif serta konstruktif, sehingga menghasilkan kesimpulan yang lebih jauh serta lebih lengkap dengan tujuan semata-mata beribadah menuntut ilmu dan menambah khazanah Tafsir hadis di dalam dunia Islam, khususnya di kampus UIN Syarif Hidayatullah jakarta.


(4)

68

Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, Jakarta: Renaisan, 2005.

Abi Qosim al Husaini Ibn Muhammad. Raghib al ashfihami. Al Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Mesir: Musthaa al-Bab al Halabi, tth.

Abi Isa Muhammad bin Surah, Sunan Tirmidzi, Beirut: Dar al-Fikri, 1994.

Albânî, Muhammad Nâsir al-Dîn. Sahih Ibn Majah.Riyadh: Maktabah al-Ma’arif lil matsna al-Tanzi’,1997.

Abdullah Habib Al-Hadad, Nasehat Agama dan Wasiat Iman, Semarang: CV. Thaha Putra, 1993.

Agil Said Husin al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Paramadina. Jakarta 1992.

Attaqi Hanan, Meditasi al-qur’an Sebuah Pemimikiran Jiwa untuk Mersakan Pesona al-Qur’an Melalui Teknologi Sunnah , Bandung: Attaqie, 2008. Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdhor., Kamus al Ashri Arab-Indonesia,

(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum PP. Krapyak, 1996

Aziz Abdul Aziz Al Badri, Al Islamu Bainul Ulama Wal Hukâm, Maktabah Ilmiyah. Madinah 1987.

Abdurrahman., M,. Pergeseran pemikiran hadis, Jakarta: Paramadina, 2000.

Baihaqî, Abi Bakr Ahmad Ibn Husain Ibn ‘Ali Sunan Kubrâ.Bairut: Dar al-Sadr,tth.

Bukhârî Shahîh Bukhârî, Andalusia: Baitul Abkar, tth.

______________, Fathul Bărî Syarah Sahĩh al-Bukhãrî. Bairut: Dar Kutub al-Ilmiah,tth.


(5)

69

Hanbal, Ahmad ibn, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Beirut: Dâr al-Fikr, tanpa tahun, juz II.

______________, Musnad al-Imam ibn Hanbal, Beirut: Dar al-Fikri, Tth, juz V. Hamdan Rasyid, K.H. Achmad Mursyidi Ulama, Pejuang, Dan politisi Dari

Betawi. Darul Hikmah. Cet 1. 2003.

Hamzah Al Husaini Hanafi, Asbabul Wurud, Kalam mulia, Jakarta. Cet 3, 1996. Hamka, Tafsir Al Azhar, Panjimas Juz XXII. Jakarta 1988.

Ibrahim bin Ismail, Syarah Ta’limul Muta’alim’alim, C.V toha Putra Semarang 1993.

Imam Mawardi, Faqih Abdullah, Wahai Ulama, Kembalilah Kepada Umat, Surabaya: Pustaka Pelajar, 2002.

Ibnu Hamjah al Husaini al Hanafi, Asbabul Wurud, Jakarta: Kalam Mulia. Ce Ke-3, 1996.

Jazairi, Abu Bakar, Ilmu dan Ulama; Pelita Kehidupan Dunia dan Aklhirat As-Salafiyah,Cairo, 2001.

Louis Mahlouf al-Yasui, al-Munjid fi al-Lughoti wal Adabi wal ‘Ulum, (Beirut, al-Matba’ah al-Katquliyah, 1973.

Loren Bagus, Kamus filsafat, Jakarta. PT, Gramedia Pustaka, 1996 Muslim, Shahîh Muslim, Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2001.

______________, Syrah An Nawawi Beirut: Dar al-Fikri, 1981

Maskawih, Abu Ali Ahmad Tahdzibu al-akhlaq wa Tathhiru al-a’raaq (Tahqiiq Ibn al-Khatib), Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1393 H.

Muhammd al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin; Menuju Filsafat ilmu dan kesucian hati di bidang insan ihsan, Surabaya: Maktabah Mahkota, Tth, juz I

______________, Pencinta Ilmu Hirarki Ilmu dalam Kehidupan, Progressif. Surabaya, Cet. 2003.

_______________, Mukasyafatul Qulub (Surabaya: Darul Fikri, Tth


(6)

M. Qurasy Shyhab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, Lentera Hati, 2002.

M. Habsy as-shidqi, Tafsir Qur’anul Majid (An-Nur), (Semarang: Pustaka Kizley Putra, 2000.

Nata Abudin, Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, Jakarta: Uin Jakarta Press, Cet. Ke-1, 2005.

Al Sidiqî,M Hasbi.Sejarah dan Pengantar ilmu hadis. jakarta: Bulan Bintang, 1954.

Sidiqî,M Hasbi.Sejarah dan Pengantar ilmu hadis. jakarta: Bulan Bintang, 1954. Umar Muhammad an Nawawi, Tanqihul Qaul Syarah Lubâbul Hadis, Mutiara

ilmu, Surabaya, 1995.

Qardhawi Yusuf, Membedah Islam Ekstrem, Bandung: Mizan, 1995

______________, Konsep Ilmu Dalam Persepsi Rasullah saw. Belajar dan Etikanya. Jakarta: Firdaus, 1994.

______________, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal Dan Ilmu Pengetahuan,Terj. Abdul Hayyie al Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 1993.

______________, al-Qur’an Berbicara Tentang akal dan Ilmu Pengetahuan (Terj)., Gema Insani Pers, Jakarta 1984.