Pembahasan Naskah Sidang Susila

4.3 Pembahasan Naskah Sidang Susila

4.3.1 Pembahasan Marjinalisasi dalam Naskah Sidang Susila

Analisis marjinalisasi khusus dalam naskah drama Sidang Susila lebih banyak di temukan pada oknum penegak hukum yaitu sebanyak 118 bentuk marjinalisasi. Pada Undang-Undang Pornografi sebanyak 39, kepada pemerinah atau negara sebanyak 14 dan kepada dewan perwakilan rakyat ditemukan sebanyak 4 data. Dari jumlah ini dapat diketahui kritik sasaran utama Agus Noor dan Ayu Utami adalah para penegak hukum di Indonesia. Banyak kasus para penegak hukum yang tidak jujur dan bahkan terkena kasus pornografi, namun menutupi keburukannya demi nama baik penegak hukum itu sendiri.

Jadi apa yang ingin disampaikan Ayu Utami dan Agus Noor adalah suatu hal yang percuma bila Undang-Undang Porngrafi itu ditegakkan tetapi para oknum penegak hukum iu justru memonopoli kebenaran dan mengkonsumsi hal pornografi itu sendiri.Dalam cerita sidang susila ini digambarkan para penegak hukum yang justru melanggar hukum itu sendiri. Seperti hakim dan jaksa yang melakukan hubungan inti di tempat umum tanpa ada ikatan pernikahan, pembela yang merpakan penulis sastra Jadi apa yang ingin disampaikan Ayu Utami dan Agus Noor adalah suatu hal yang percuma bila Undang-Undang Porngrafi itu ditegakkan tetapi para oknum penegak hukum iu justru memonopoli kebenaran dan mengkonsumsi hal pornografi itu sendiri.Dalam cerita sidang susila ini digambarkan para penegak hukum yang justru melanggar hukum itu sendiri. Seperti hakim dan jaksa yang melakukan hubungan inti di tempat umum tanpa ada ikatan pernikahan, pembela yang merpakan penulis sastra

Marjinalisasi umum yang ditemukan dalam analisis naskah drama sidang susila lebih banyak banyak mengarah pada tokoh Susila Parna. Tokoh Susila Parna digambarkan sebagai laki-laki kampung yang berjualan mainan dan tersandung kasus pelanggaran Undang-Undang Susila. Secara implisit Agus Noor dan Ayu Utami menyampaikan kritikannya dengan memarjinalkan tokoh yang tidak bersalah sehingga dapat dikatakan bahwa naskah drama sidang susila merupakan wacana yang berisikan kritik dengan penggambaran secara ironi yaitu apa yang ingin disampaikan tidak sesuai dengan apa yang ditulis oleh penulis.

Dari pembahasan marjinalisasi pada lampiran 2 diketahui bahwa bukan Undang-Undang Pornografi yang dikritik oleh Agus Noor dan Ayu Utami. Kritik yang disampaikan lebih tertuju kepada pengaplikasian dan pemberlakuan Undang-Undang Pornografi itu sendiri. Jadi dapat di simpulkan bahwa Agus Noor dan Ayu Utami tidak menolak adanya Undang-Undang Pornografi, namun mengingatkan pemerintah dan aparat-aparat yang ada di balik perberlakuan Undang-Undang itu sendiri seperti oknum penegak hukum dan DPR.

4.3.2 Pembahasan Analisis Van Dijk dalam Naskah Sidang Susila

Analisis Van Dijk digunakan untuk menganalisis tiga struktur utama dalam naskah drama Sidang Susila. Dari analisis Van Dijk diketahui bahwa alur dalam cerita Sidang Susila ini adalah alur maju. Alur ini diketahui dari analisis skematik pada lampiran 2. Alur yang dilihat dari 13 babak dalam naskah drama Sidang Susila ini dimulai dengan penggambaran bahwa sebenarnya susila adalah orng yang tidak bersalah dan menjadi kambing hitam oknum penegak hukum untuk menjalankan proyek moral atau Undang-Undang Susila yang secara sah ditegakan dalam negara tersebut.

Bentuk kalimat yang paling sering digunakan dalam menggambarkan marjinalisasi khusus adalah bentuk kalimat aktif. Kalimat aktif ini digunakan Agus Noor untuk lebih menegaskan kesan pergerakan sehingga semua kata kerja yang digunakan adalah kata kerja aktif bukan pasif. Selain itu jenis kalimat yang paling banyak adalah kalimaat deklaratif. Kalimat ini lebih banyak muncul saat para tokoh Bentuk kalimat yang paling sering digunakan dalam menggambarkan marjinalisasi khusus adalah bentuk kalimat aktif. Kalimat aktif ini digunakan Agus Noor untuk lebih menegaskan kesan pergerakan sehingga semua kata kerja yang digunakan adalah kata kerja aktif bukan pasif. Selain itu jenis kalimat yang paling banyak adalah kalimaat deklaratif. Kalimat ini lebih banyak muncul saat para tokoh

Penggunaan diksi dan majas dalam naskah Sidang Susila ini semakin memperjelas ciri khas penulis naskah diksi yang konyol bercampur dengan hal pornografi. Semakin memperjelas bahwa naskah Sidang Susila adalah naskah drama satir yang berbau sexisme. Kekonyolan dalam naskah ini dihadirkan oleh Agus Noor seperti pemilihan diksi virus porno, Sastra Mazhab Selangkangan, dan Agen 36B untuk menambah daya tarik penikmat sastra. Penggunaan kata-kata yang berbau pornografi atau sexisme dihadirkan oleh Ayu Utami karena ciri khas sexismenya. Penggunaan majas dalam naskah drama Sidang Susila hanya ditemukan 19 data (lihat lampiran 4). Hal ini karena naskah Sidang Susila lebih bersifat realistis yang menggunakan bahasa komunikasi sehari-hari yang slengekan dan apa adanya.

Dari analisis struktur mikro semantik latar, detil, dan praanggapan Naskah Sidang Susila lebih banyak menggunakan sindiran dalam bentuk marjinalisasinya baik pada pemerintah, Undang-Undang Pornografi, DPR dan aparat penegak hukum. Penggunaan bentuk marjinalisasi sindiran ini lebih memperhalus kritik terhadap keburukan-keburukan penegakkan hukum di Indonesia. Naskah drama Sidang Susila ini merupakan sebuah wacana yang mengandung banyak maksud atau makna tersirat di dalam sebuah kisah Sidang Susila. Naskah drama yang merupakan salah satu bentuk sastra ini memiliki cara lain dalam pengungkapan wacana yang ada di dalamnya. Wacana koran biasanya dituliskan sesuai dengan kenyataan yang ditambahi dengan sedikit frasa atau kalimat hegemoni dan marginalisasi oleh pihak wartawan namun wacana dalam sebuah karya sastra seperti naskah drama akan digambarkan lebih menarik dengan pembuatan kisah alur dan juga penciptaan sebuah tokoh-tokoh dalam naskah yang mewakili tiap-tiap sasaran kemana wacana itu di tuju.

Tokoh Susila dimunculkan oleh Agus Noor dan Ayu Utami sebagai masyarakat kecil yang bodoh dan tidak tahu menahu tentang sebuah pemerintahan yang berlaku mereka hanya mejalankan hidup dengan polos. Undang-Undang Susila dalam naskah ini adalah representasi dari Undang-Undang Pornografi No.44 Tahun

2008 di Indonesia. Sedangkan para aparat seperti jaksa, hakim, pembela, kepala polisi merujuk pada Oknum Penegak Hukum di Indonesia yang memang sudah banyak kasus monopoli hukum dan KKN di dalamnya. Selain itu campur tangan Agus Noor seorang penulis dengan ciri khas karya satir dan komedinya dimunculkalah istilah-istilah ORMAS yang ada di Indonesia dengan penyelewangan arti lain seperti GAM yang aslinya merupakan Organisasi Gerakan Aceh Merdeka dan diganti menjadi Gerakan Anti Moral. Pemunculan ORMAS ini karena mungkin adanya campur tangan ORMAS seperti FPI, MUI dsb dalam pembentukan Undang-Undang Pornografi di Indonesia. Penggunaan istilah-istilah tersebut dianalis dalam Lampiran 4 struktur mikro stilistik diksi.

4.3.3 Pembahasan Kritik UU Pornografi no. 44 Tahun 2008 dalam Naskah Sidang Susila

Naskah drama Sidang Susila hadir sebegai reaksi UU Pornografi no. 44 Tahun 2008 yang hadir di Indonesia untuk menghindari segala bentuk pornografi. Dalam naskah Sidang Susila ditemukan 39 data bentuk marjinalisasi khusus yang mengarah pada UU Pornografi no. 44 Tahun 2008 (lihat lampiran 1) UU Pornografi no. 44 Tahun 2008. Naskah drama Sidang Susila merupakan naskah yang dibuat oleh Agus Noor dan Ayu Utami sebagai representasi kritik pemberlakuan Undang-Undang Pornografi tahun 2008 di Indonesia. Kritik terhadap pemberlakuan Undang-Undang Pornografi tahun 2008 ini bukan hanya tertuju pada DPR sebagai pencetus ide pembuatan Undang-Undang Pornografi tahun 2008. Dalam analisis wacana ini peneliti mengelompokkan pihak yang terkritik menjadi empat macam yakni Oknum penegak hukum, Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan Undang-Undang Pornografi itu sendiri. Ditemukan 175 marjinalisasi khusus kepada Oknum penegak hukum, Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan Undang-Undang Pornografi.

Marjinalisasi pada naskah drama Sidang Susila ini, lebih banyak tertuju pada oknum penegak hukum yaitu dengan jumlah data 118 marjinalisasi. Jadi dapat dikatakan bahwa Agus Noor dan Ayu Utami lebih memarjinalkan penegak hukum sendiri dalam menegakkan Undang-Undang Pornografi. Oknum penegak hukum dianggap sebagai pejabat negara yang masih memonopoli kebenaran dalam suatu persidangan atau kasus hukum. Kritik terhadap pemberlakuan Undang-Undang

Pornografi ini kepada oknum penegak hukum dimunculkan dengan tokoh jaksa, hakim, dan petugas kepala. Pemarjinalisasian Susila sebagai tokoh yang tidak bersalah menjadi ironi yang ingin digambarkan oleh Agus Noor dan Ayu Utami (lihat lampiran 2).

Kritik terhadap pemberlakuan Undang-Undang juga ditujukan kepada Undang- Undang nomor 44 tahun 2008 yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Bapak Susilo Bambang Yudoyono. Undang-Undang nomor 44 tahun 2008 ini dianggap kurang jelas batasan-batasannya. Pasal-pasal yang ada di dalam Undnag- undang ini juga menjadi kajian marjinalisasi yang dimunculkan dalam cerita naskah drama Sidang Susila.

Marjinalisasi terhadap Undang-Undang Pornografi ditemukan sebanyak 39 marjinalisasi. Marjinalisasi terhadap Undang-Undang Pornografi adalah marjinalisasi yang paling banyak ditemukan dalam data setelah marjinalisasi terhadap oknum penegak hukum. Berikut ini contoh data dari marjinalisasi terhadap Undang-Undang Pornografi.

(1) Masa jualan balon melanggar susila? (Sambil masih menempelkan kedua balon itu di dadanya) Kalau balon kayak gini dianggap mirip payudara, lha ya payudaranya siapa? Payudaranya Dolly Parton saja nggak segede ini kok… Kalau gede kayak gini bukan payudara Bu Jaksa, tapi tumor… Aneh- aneh saja lho Bu Jaksa ini… Lalu gimana kalau balon ini saya letakkan di tempat lain? Apa ya masih porno? Misalnya begini… (VII-PC 76-SS)

Dari kutipan data diatas dapat diketahui bahwa susila parna tokoh yang menjal mainan seperti balon dianggap menjual barang yang berbau porografi. Kenyataannya suatu barang bagaimanapun bentuknya itu bergantung pada pemikiran inividu tersebut. Bisa jadi kutipan diatas merupakan kitik terhadap ketidak jelasan atau batasan-batasan pornografi dalam UU No. 44 tentang pornografi tahun 2008. Pada UU No. 44 tentang pornografi pasal 1 BAB I, butir pertama menyatakan bahwa “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam Dari kutipan data diatas dapat diketahui bahwa susila parna tokoh yang menjal mainan seperti balon dianggap menjual barang yang berbau porografi. Kenyataannya suatu barang bagaimanapun bentuknya itu bergantung pada pemikiran inividu tersebut. Bisa jadi kutipan diatas merupakan kitik terhadap ketidak jelasan atau batasan-batasan pornografi dalam UU No. 44 tentang pornografi tahun 2008. Pada UU No. 44 tentang pornografi pasal 1 BAB I, butir pertama menyatakan bahwa “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam

Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b. kekerasan seksual;

c. masturbasi atau onani;

d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

e. alat kelamin; atau

f. pornografi anak.

Pasal ini tidak menjelaskan batasan yang disebut persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan, dan pornografi anak. Contoh kasusnya seperti Susila yang menjual mainan balon yang dibentuk beraneka rupa. Beberapa orang dapat mempersepsikan sebagai kreativitas dengan bentuk yang bermacam-macam. Namun, ada juga orang yang mempersepsikan hal tersebut seperti sesuatu yang porno yakni bentuk alat kelamin pria dan payudara. Ketidak jelasan hal-hal seperti inilah yang ingin dikritik oleh Agus Noor dan Ayu Utami. Selain ada pasal 1 dan 4, ada pasal 10 yang juga merupakan pasal yang dikritik oleh Agus Noor dan Ayu Utami yang dikitik lewat naskah drama Sidang Susila. Berikut ini pasal 10 Bab II Undang-Undang nomor 44 tahun 2008.

Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Contoh kasus dari pasal tersebut misalnya ada pasangan pengantin yang menggunakan tradisi kemanten Jawa dan menggunakan pakaian dhodhotan di mana laki-laki hanya memakai celana dan sewek tanpa menutup bagian atasnya. Sedangkan yang perempuan memakai baju kemben. Lalu apakah hal ini dapat menjadi kasus pelanggaran Undang-Undang Pornografi? Batasan terhadap pornografi dalam suatu kebudayaan dan pornografi dalam konteks dan lingkup yang seperti apalah yang harus dibenahi oleh DPR dan pemerintahan.

Sebagai penulis sastra Ayu Utam dan Agus Noor pasti akan memahami benar bagaimana sebaikny tulisan itu dibuat, begitu juga UU Pornografi no 44 Tahun 2008 Sebagai penulis sastra Ayu Utam dan Agus Noor pasti akan memahami benar bagaimana sebaikny tulisan itu dibuat, begitu juga UU Pornografi no 44 Tahun 2008

4 butir 1 Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,

menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b. kekerasan seksual;

c. masturbasi atau onani;

d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

e. alat kelamin; atau

f. pornografi anak. Dapat dilihat dari kutipan pasal 4 diatas ada penggunaan kata meng impor,

mengekspor, meperjual belikan dan menyewakan. Pengunaan kata-kata tersebut justru terkait dengan ranah perdagangan sedangkan apakah mungkin kekerasan seksual, onani, alat kelami, dan juga masturbasi itu diperdagangakan. Penggunaan kata dan juga penyusunan kalimat seperti inilah yang juga mungkin tidak dibenarkan oleh Agus Noor dan Ayu Utami. Agus Noor dan Ayu Utami juga mencurigai bahwa pengesahan Undang-Undang pornografi ini adalah sebuah proyek moral karena pada tahun 2008 masa kepemimpinan Presiden SBY akan berakhir dan beliau akan mencalonkan lagi pada tahun depan. Sehingga pengesahan ini akan diingat di akhir masa pemerintahan SBY dan masyarakat akan kembali memilih SBY.

4.3.4 Pembahasan Presepsi Masyarakat Terhadap UU Pornografi no. 44 Tahun 2008

Untuk mengetahui bagaimana pendapat masyarakat tentang penerapan Undang-Undang Pornografi peneliti menyebarkan angket yang berhubungan dengan penerapan dan contoh kasus yang terjadi karena pelanggaran Undang-Undang Pornografi hampir semua masyarakat umum mengetahui adanya penerapan Undang- Undang Pornografi. Dari 43 informan 39 menjawab mengetahui adanya penerapan Undang-Undang Pornografi di Indonesia. Penyebaran angket dilakukan pada dua kalangan masyarakat yang pertama adalah mahasiswa kedua adalah penyebaran angket dikalangan masyarakat. Dari penyebaran angket ke kalangan mahasiswa 70% Untuk mengetahui bagaimana pendapat masyarakat tentang penerapan Undang-Undang Pornografi peneliti menyebarkan angket yang berhubungan dengan penerapan dan contoh kasus yang terjadi karena pelanggaran Undang-Undang Pornografi hampir semua masyarakat umum mengetahui adanya penerapan Undang- Undang Pornografi. Dari 43 informan 39 menjawab mengetahui adanya penerapan Undang-Undang Pornografi di Indonesia. Penyebaran angket dilakukan pada dua kalangan masyarakat yang pertama adalah mahasiswa kedua adalah penyebaran angket dikalangan masyarakat. Dari penyebaran angket ke kalangan mahasiswa 70%

Contoh kasus yang di tampilkan pada angket adalah orang yang memakai pakaian mini saat berenang lalu di amankan karena dianggap melanggar Undang- Undang Pornografi terdapat 40 informan yang menyatakan tidak setuju dan 3 orang setuju atas contoh kasus tersebut. Contoh kasus lainnya adalah penangkapan kasusu pornografi yang berkaliatan dengan kebudayaan (Lihat lampiran 9) dari contoh kasusu adanya penangkapan atau tuduhan pornografi pada suatu kebudayaan tarian ronggeng hampir 95 % informan tidak setuju dengan contoh kasus ini.

Dari penyebaran angket yang dilakukan oleh peneliti dan juga wawancara yang dilakukan pada dua informan dapat diketahui bawasannya masyarakat setuju dengan adanya Undang-Undang Pornografi di Indonesia, namun pengaplikasiannya masih belum jelas dan sesuai. Undang-Undang yang dibuat juga masih belum memiliki kejelasan yang pasti sehingga akan banyak penafsiran yang salah dari Undang-Undang tersebut. Wawara ini juga dilkukan untuk mengetahui apakah Naskah Sidang Susila ini diterima oleh penontonnya saat dilakukan pertunjukan secara umum, dan ternyata Naskah Ini dianggap sangat menarik dan sangat kritis.

Dari triangulais data dengan metode wawancara dan angket yang dilakukan peneliti dapat diketahu bahwa kritikan yang ingin disampaikan Agus Noor dan Ayu Utami tentang kekaburan makna dari Undang-Undang dan pengaplikasian suatu Undang-Undang yang berkaitan dengan Penegak Hukum, DPR, dan Pemerintahan sejalan dan tidak bertolak belakang dengan pendapat masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa naskah drama Sidang Susila ini bukan hanya curahan atau ketidak setujuan pihak pribadi penulis seperti Ayu Utami yang notabene penulis sastra berbau porno ataupun Agus Noor yang notabene adalah penulis dengan gaya satir dan komedinya. Naskah Sidang Susila dapat dikatakan sebuah wacana sastra yang mewakili atau mereprsentasikan pendapat atau pandangan masyarakat umum dalam penerapan UU pornografi di Indonesia.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63