Analisis Wacana Naskah Drama Sidang Susi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Analisis wacana tidak hanya berhenti pada media umum baik cetak maupun non cetak namun analisis wacana juga dapat membedah suatu karya sastra secara lebih jeli dari segi linguistik dan aspek sosial. Salah satu jenis wacana yang berkembang dalam masyarakat adalah jenis wacana sastra. Landsteen 1976 (Tarigan,1987:23) menyatakan bahwa wacana mencakup empat tujuan penggunaan bahasa yaitu ekspresi diri sendiri, eksposisi, sastra, dan persuasi. Perkembangan sastra yang akhir-akhir ini berkembang cukup pesat karena memang masyarakat membutuhkannya sebagai pendamping kehidupan yang sudah cukup penat sebagai bagian yang mampu menghibur untuk bersantai atau lebih dari itu. Karya sastra bukan hanya sekedar gambaran keindahan dan romansa kehidupan yang digoreskan oleh penulis atau pengarang pada karyanya, namun ada juga pengarang yang ingin menyampaikan kritikan dalam karya sastranya.

Dunia sastra yang cukup kompleks dengan berbagai genre dan cukup menarik untuk dikaji dari segi wacana. Salah satu jenis karya sastra yang banyak diminati adalah drama karena memiliki jalan cerita dan semua kejadian diungkapkan melalui percakapan antar tokohnya sehingga ketika dibaca atau dipentaskan penikmat sastra dapat menikmatinya secara langsung dan mudah. Sebuah karya sastra yang berupa naskah drama yang cukup fenomenal dan unik untuk dikaji adalah naskah drama Sidang Susila yang ditulis oleh dua pengarang ternama Indonesia dengan ciri khas seksismenya yaitu Agus Noor dan Ayu Utami. Ayu Utami dikenal sebagai seorang novelis dengan pendobrak kemapanan khususnya masalah seks dan agama sedangkan Agus Noor dikenal sebagai cerpenis, penulis prosa, dan lihai menulis naskah panggung dengan gaya parodi.

Naskah drama Sidang Susila memiliki cerita komedi dengan persidangan seseorang yang dianggap melanggar asusila. Naskah Sidang Susila juga banyak dipentaskan oleh komunitas teater yang ada di Malang. Teater Sidang Susila sudah pernah dipentaskan oleh dua Universitas ternama di Malang yakni di Universitas

Brawijaya pada tahun 2012 dan Universitas Negeri Malang pada tahun 2011. Naskah ini dianggap sebagai naskah yang menantang untuk digarap oleh sebagian komunitas teater di Indonesia karena cerita dan makna yang ada di balik naskah Sidang Susila tersebut.

Naskah drama Sidang Susila dibuat pada tahun 2008 karena sebuah reaksi Ayu Utami dan Agus Noor sebagai sastrawan terhadap pembuatan RUU Pornografi di Indonesia pada Tahun 2007-2008. Undang-Undang Pornografi No.44 tahun 2008 berisikan 45 butir pasal yang mengatur tentang pornografi dan pornoaksi di Indonesia ini disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 November 2008. Banyak pro dan kontra yang timbul dalam pengesahan Undang-Undang pornografi ini, protes datang dari masyarakat, musisi, seniman, bahkan sastrawan. Undang-Undang pornografi dianggap kurang jelas dalam pembatasannya dan pengaplikasiannya sehingga dianggap akan banyak kesalahan dalam penegakan hukum pornografi tersebut.

Drama Sidang Susila mengisahkan kekonyolan, nilai hidup, dan beberapa dialog tentang pelanggaran hukum susila yang ada. Naskah Sidang Susilasebenarnya merupakan kritik sosial yang ditujukan kepada pemerintah melalui sebuah naskah drama. Sebuah wacana yang memiliki tujuan mengkritik maka pasti akan ditemukan marjinalisasi dalam teks wacana tersebut. Sidang Susila merupakan satu-satunya naskah yang merupakan kritik pada suatu pemberlakuan undang-undang. Pada umumnya naskah drama biasanya berisi tentang romansa, kritik pada kehidupan sosial, dan kritik pada pemerintah umumnya namun naskah Sidang Susila ini hadir sebagai reaksi dan tindak protes Ayu Utami serta Agus Noor atas pro kontra dalam pengaplikasian UU Pornografi yang tidak jelas.

Apakah Sidang Susila merupakan sebuah wacana yang mendukung adanya penegakan hukum atas sebuah pornografi atau bahkan sebaliknya? Hal inilah yang akan coba peneliti bahas melalui analisis wacana. Analisis wacana terhadap naskah drama ini akan menggunakan teori Van Dijk untuk mengetahui struktur mikro, makro dan superstruktur yang terdapat dalam naskah drama Sidang Susila. Selain analisis dengan teori Van Djik pembahasan pada makalah ini juga akan membahas Apakah Sidang Susila merupakan sebuah wacana yang mendukung adanya penegakan hukum atas sebuah pornografi atau bahkan sebaliknya? Hal inilah yang akan coba peneliti bahas melalui analisis wacana. Analisis wacana terhadap naskah drama ini akan menggunakan teori Van Dijk untuk mengetahui struktur mikro, makro dan superstruktur yang terdapat dalam naskah drama Sidang Susila. Selain analisis dengan teori Van Djik pembahasan pada makalah ini juga akan membahas

1.2 Rumusan Masalah

Dari penjabaran latar belakang sebelumnya maka peneliti dapat mengambil empat rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini.

1) Apa saja bentuk marjinalisasi yang terdapat dalam naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami?

2) Bagaimana naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami jika dikaji melalui Analisis Wacana dengan teori Van Dijk?

3) Bagaimana kritik yang ada dalam naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami terhadap pemberlakuan UU Pornografi di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat diambil tiga tujuan dalam penelitian ini.

1) Untuk mengetahui bentuk-bentuk marjinalisasi yang terdapat dalam naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami

2) Untuk mengetahui Struktur wacana dalam naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami jika dikaji melalui Analisis Wanacana dengan teori Van Dijk

3) Untuk mengetahui kritik yang ada dalam naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami terhadap pemberlakuan UU Pornografi di Indonesia

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat Praktis

1) Bagi komunitas teater penelitian ini dapat memberikan gambaran makna yang utuh dalam memahami maksud naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami.

2) Bagi masyarakat dan penikmat karya sastra penelitian ini dapat membuka wawasan lebih dalam tentang kritik dalam suatu karya sastra khususnya pada 2) Bagi masyarakat dan penikmat karya sastra penelitian ini dapat membuka wawasan lebih dalam tentang kritik dalam suatu karya sastra khususnya pada

3) Bagi pemerintah penelitian ini dapat menambah bahan pertimbangan dalam pengaplikasian UU Pornografi di masyarakat karena penelitian ini juga disertai angket pendapat masyarakat dan juga mahasiswa atas UU Pornografi itu sendiri.

Manfaat Teoritis

1) Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan pada bidang analisis wacana khususnya pada kajian wacana teks naskah drama.

2) Menambah referensi dalam analisis wacana karya sastra naskah drama yang dikaji melalui teori Van Dijk.

1.5 Batasan Masalah

Penelitian ini berfokus pada naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami yang merupakan naskah asli yang menjadi inventaris kelompok Bandul Nusantara yang diunduh dari internet dan bukan naskah drama Sidang Susila saduran atau rubahan. Penelitian ini berfokus pada teks naskah drama bukan pada pertunjukan drama dan lebih khususnya penelitian ini meneliti kalimat marjinalisasi yang ada dalam naskah drama Sidang Susila .

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

Dalam hal ini beberapa penelitian-penelitian terdahulu menjadi acuan peneliti dalam meneliti analisis wacana. Pada penelitian tersebut peneliti lebih condong pada dialog teks drama yang berjudul Sidang Susila. Dalam penelitian-penelitian terdahulu terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik peneliti. Dalam beberapa hal yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat, terdapat banyak penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian Naskah Drama Sidang Susila Karya Agus Noor Dan Ayu Utami Sebagai Representasi Kritik Penegakan UU Pornografi di Indonesia (Analisis Wacana Teks Naskah Drama Dengan Teori Van Djik). Beberapa penelitian yang berkaitan tersebut menjadi referensi peneliti, diantaranya sebagai berikut.

Penelitian pertama dengan judul “Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Terhadap Skenario Film Perempuan Punya Cerita” (Haiatul Umam: 2009). Tujuan

dari penelitian ini untuk mengetahui permasalahan perempuan yang sering terjadi di masyarakat. Dari penelitian itu penulis memperoleh beberapa hal sebagai berikut: pertama dari struktur teks atau naskah skenario terdapat struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Kedua dalam hasil penelitian apabila di lihat dari segi kognisi sosial pada film “Perempuan Punya Cerita” kenyataannya perempuan di Indonesia memiliki masalah yang cukup kompleks dan masih banyak pihak yang belum memperhatikan atau peka terhadap masalah perempuan. Ketiga dari segi konteks sosial kurang adanya sarana yang mewadai sehingga munculnya kejadian di masyarakat mengenai perempuan yaitu banyaknya perempuan di Indonesia yang telah banyak menjadi korban kekerasan, pelecehan seksual, dan woman trafficking.

Penelitian kedua yang mengambil objek film dengan judul “Karakter Orang Surabaya dalam Film Kere Tapi Mbois” yang dilakukan oleh Danu Ardiansah (2012)

ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode analisis wacana kritis model Van Djik. Van Djik melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama struktur makro yang merupakan makna global/umum dari suatu ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode analisis wacana kritis model Van Djik. Van Djik melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama struktur makro yang merupakan makna global/umum dari suatu

Penelitian ini dilakukan karena penulis tertarik dengan karakter masyarakat Surabaya dalam berinteraksi untuk mengkritisi permasalahan-permasalahan yang terjadi di negeri ini. Selain itu juga dikarenakan untuk-untuk mendukung karya-karya lokal yang dihasilkan oleh sineas muda kota surabaya agar bisa eksis dan mampu bersaing. Di samping itu, film Kere Tapi Mbois ini menampilkan guyonan dan banyolan yang cerdas, serta memberikan kritik yang solutif mengenai permasalahan- permasalahan terkini melalui sentilan khas suroboyoan. Film ini juga mengajarkan kita untuk bisa berfikir lebih dewasa dan lebih bijak, dengan harapan kita mampu mengaplikasikan dalam menyelesaikan berbagai masalah pada kehidupan kita.

Penelitian ketiga dilakukan oleh Hendri (2010) dengan judul Wacana Marjinalisasi Politik Perempuan Dalam Media (Studi Analisis Wacana Marjinalisasi Perempuan dalam Berita Calon Legislatif tahun 2009 di Harian Jawa Pos Periode 1 Maret - 30 April 2009). Dalam penelitian ini dibahas tentang Caleg tahun 2009 yang dimuat di harian Jawa Pos kurun waktu 1 Maret-30 April 2009 yang terdapat kecenderungan perempuan dimarjinalisasikan dalam ranah politik. Artinya, kehadiran

perempuan dalam berita ‘diciptakan’ agar tidak terlibat jauh dalam ruang politik. Hal ini dilihat dari banyaknya berita yang memposisikanperempuan sebagai objek

ketimbang subjek. Ketika sebagai objek, perempuantidak diberikan ruang untuk berpendapat dan berargumen karena wartawanmemilih berita dari perpektif laki-laki. Selanjutnya, marjinalisasi terjadi ketikaperempuan ditiadakan (pasivasi) dalam berita. Dalam hal ini strategi yangdigunakan berupa penghilangan dan penyamaran posisi perempuan dalam berita.Terakhir praktek marjinalisasi ketika dalam berita terjadi pengingkaran (negasi)terhadap kehadiran dengan tema-tema perempuan.

2.2 Kajian Teori

2.2.1 Teori Analisis Wacana Van Dijk

Pada penelitian ini analisis wacana Van Dijk digunakan untuk membedah suatu isu sosial yaitu tentang penerapan Undang-Undang no.44 tentang pornografi di

Indonesia yang menimbulkan banyak pro dan kontra. Analisis wacana ini akan diterapkan pada suatu karya sastra drama yang merupakan representasi kritik pemberlakuan Undang-Undang no.44 tentang pornografi. Penggunan analisis wacana Van Dijk ini untuk menguak isu sosial sesuai dengan pernyataan Van Dijk.

First, the focus on dominance and inequality implies that, unlike other domains or approaches in discourse analysis, CDA does not primarily aim to contribute to a specific discipline, paradigm, school or discourse theory. It is primarily interested and motivated by pressing social issues, which it hopes to better understand through discourse analysis. ( Dijk, 1993:252)

Dari begitu banyak model analisis wacana yang diintroduksikan dan dikembangkan oleh beberapa ahli, model van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini mungkin disebabkan karena van Dijk memformulasikan elemen- elemen wacana, sehingga bisa dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial” (Eriyanto 2001:221). Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial.

Van Dijk (Rani, 2004:4) menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah bangunan teoritis yang abstrak (the abstract theoritical construct) dengan begitu wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan wacana adalah teks. Naskah drama Sidang Susila ini dianalisis meggunakan analisis wacana karena naskah ini merupakan reaksi Agus Noor dan Ayu Utami pada pemberlakuan UU Pornografi, sehingga di dalamnya terdapat implikatur atau makna yang tersembunyi di dalam naskah Sidang Susila. Esensi sebuah wacana tidak hanya dipandang pada satuan bahas tetapi juga dipandang dari sisi komunikasi dan maksud komunikasi itu sendiri (Achmad dan Abdullah, 2012:129).

Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana. Di sini ada dua bagian, yaitu teks yang mikro yang merepresentasikan suatu topik permasalahan dalam berita, dan elemen besar berupa struktur sosial. Van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial.

Kognisi sosial tersebut mempunyai dua arti. Di satu sisi ia menunjukkan bagaimana proses teks tersebut diproduksi oleh wartawan/ media, di sisi lain ia menggambarkan nilai-nilai masyarakat itu menyebar dan diserap oleh kognisi wartawan dan akhirnya digunakan untuk membuat teks berita (Eriyanto 2001:222).

Van Dijk membagi suatu teks kedalam tingkatan struktur yaitu, struktur makro, struktur mikro dan superstruktur. Struktur makro merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema dalam suatu teks. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, preposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. Supersruktur wacana adalah hal yang berhubungan dengan kerangka suatu teks. berikut ini bagan yang akan menjelakan tentang isi atau lapisan dari setiap struktur teks.

Struktur Wacana

Hal yang Diamati

Elemen

Struktur Makro

Tematik

Topik

Tema/topik yang dikedepankan dalam suatu berita

Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks

berita utuh.

Struktur Mikro

Semantik

Latar, Detil,

Makna yang ingin ditekankan

Maksud,

dalam teks berita. Misal dengan

Praanggapan,

memberi detil pada satu sisi atau

Nominalisasi

membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi sisi yang lain

Struktur Mikro

Sintaksis

Bentuk kalimat,

Bagaimana kalimat (bentuk,

Koherensi, Kata

susunan yang dipilih)

ganti

Struktur Mikro

Stilistik

Leksikon

Bagaimana pilihan kata yang

dipakai dalam teks berita

Struktur Mikro

Retoris

Grafis, Metafora,

Bagaimana dan dengan cara

Ekspresi

penekanan dilakukan

2.2.1.1 Tematik

Dalam hal ini tematik merujuk pada gambaran umum dari suatu teks. Dapat disebut juga sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks (Eriyanto, 2012: 229). Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik menunjukkan konsep yang dominan, sentral, dan yang paling penting dari isi suatu berita. Oleh sebab itu sering disebut sebagai tema atau topik. Dalam suatu wacana tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya (Sobur, 2006:75)

Topik ini menggambarkan tema umum dari suatu teks berita, topik ini akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik lain yang saling mendukung terbentuknya topik umum. Subtopik ini biasanya juga didukung oleh serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan subtopik sehingga sub bagian yang saling mendukung antara satu bagian dengan bagian yang lain, teks dapat membentuk teks yang koheren dan utuh. Berikut ini penjabaran tematik yang ada dalam naskah drama Sidang Susila.

Dalam teks naskah drama tersebut tema umumnya adalah penegakan hukum moral asusila tentang Undang-Undang Pornografi. Topik ini jika menggunakan kerangka Van Dijk dalam teks akan didukung oleh beberapa subtopik yakni: hukum moral asusila yang salah kaprah, Susila yang melakukan tindak asusila yang melanggar Undang-undang, dan penegakan hukum semena- mena.

Masing-masing dari subtopik ini jika diperhatikan dapat mendukung, memperkuat, bahkan membentuk topik utama berupa anarkisme penegakan hukum. Masing-masing subtema ini juga akan didukung oleh sebagian yang lebih kecil. Dengan kata lain, semua fakta saling mendukung membentuk satu pengertian umum yang koheren.

2.2.1.2 Skematik

Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Skematik merupakan bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks utuh. Alur tersebut menunjukan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Menurut Van Dijk (Eriyanto2012:234) arti penting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu. Dalam teks drama skema diatur berdasarkan bagian babak. Babak pertama dimulai dengan pengenalan konflik ketika Susila ikut menari tayuban.

Skema dalam naskah drama ini akan dipisahkan menjadi dua skema yaitu alur dalam setiap babaknya dan alur percakapan dalam setiap babak. Alur percakapaan akan menunjukan tokoh mana yang paling banyak mendominasi dalam suatu babak. Untuk mengetahui tokoh-tokoh mana yang merupakan tokoh pro dan tokoh kontra maka alur percakapan inilah yang paling tepat digunakan untuk menganalisisnya. Berikut ini contoh skematik pada babak I

Keteran Kode Lakon Percakapan Marjinal Marjin gan

isasi alisasi Umum Khusus

Babak 1 I-

Prolog Tayuban sedang

PR1 1 berlangsung di sebuah tempat di pingiran

kota…

I-

Prolog Para penari tayub asik

PR2 2 ngibing. Orang-orang yang yanggembira pun ikut menari dan berteriak-teriak menyenggaki goyang para penari. Mira, PR2 2 ngibing. Orang-orang yang yanggembira pun ikut menari dan berteriak-teriak menyenggaki goyang para penari. Mira,

I-

Prolog Muncul Susila,

PR3 3 membawa pikulan berisi dagangannya: mainan anak-anak. Bermacam mainan anak-anak. Ada mobil-mobilan, wayang, balon yang dibentuk dilekuk-lekuk aneka bentuk, kitiran, dll. Begitu melihat sesila muncul, Mira langsung menyambut dengan genit.

I-

Mira

Waduh Mas Susila…

PC1-

Ayo sini, Mas… ayo

Prolog Beberapa penari tayub

PR4 4 yang lain pun segera mengrubungi Susila, seolah Susila sudah akrab dengan mereka, sudah terbiasa datang ke tempat itu.

I-

Penari Kemana saja sih.. Kok PC2- Tayub1 lama nggak kelihatan… PT1 I-

Penari Apa nggak ngerti kalo PC3- Tayub2 dikangenin… PT2 I-

Mjr PC4- Tayub1

Penari Makin montok saja…

Stereotip PT1

e  SS I-

Penari Montok apanya PC5- Tayub2 PT2

2.2.1.3 Latar

Latar merupakan bagian dari sebuah wacana yang dapat mempengaruhi semantik atau arti yang ingin ditampilkan (Eriyanto2012:235). Latar dalam suatu Latar merupakan bagian dari sebuah wacana yang dapat mempengaruhi semantik atau arti yang ingin ditampilkan (Eriyanto2012:235). Latar dalam suatu

Latar 1: Para penari tayub asik ngibing. Orang-orang yang yanggembira pun ikut menari dan berteriak-teriak menyenggaki goyang para penari. Mira, seorang penari tayub bergerak sensual, mengundang gairah para lelaki yang ikut berjoget. Suasana meriah dan bergairah.( I-PR2)

Latar 2: Muncul susila membawa pikulan berisi dagangannya: mainan anak-anak. Bermcam-macam mainan anak-anak ada mobil-mobilan, wayang, balon yang dibentuk dilekuk-lekuk aneka bentuk, kitiran dll. Begitu melihat susila muncul mira langsung menyambut dengan genit. (I- PR3)

Latar dalam bagian 1 naskah Sidang Susila digambarkan ada sebuah tayuban yang diikuti oleh banyak laki-laki. Namun pada saat itu juga Susila yang berdagang mainan datang dan digoda oleh Mira salah satu penari tayub agar ikut bertayub. Pada latar di bagian 1 lebih menjelaskan bahwa Susila hanyalah seorang pedagang yang ikut bertayub karena godaan dari Mira. Latar pada bagian 1 ini dimunculkan untuk mengenalkan tokoh Susila yang tidak bersalah yang pada bagian selanjutnya dianggap sebagai penjahat moral.

2.2.1.4 Detil

Elemen Detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit, selain itu elemen wacana detil berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang (Eriyanto, 2006: 238). Detil yang lengkap dan panjang merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak. Detil yang lengkap ini akan dihilangkan kalau berhubungan dengan sesuatu yang menyangkut kelemahan atau kegagalan komunikator. Hal yang menguntungkan komunikator/pembuat teks akan diuraikan secara detil, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan, detil informasi akan dikurangi. Dalam mempelajari detil, yang harus dipelajari atau diteliti adalah Elemen Detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit, selain itu elemen wacana detil berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang (Eriyanto, 2006: 238). Detil yang lengkap dan panjang merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak. Detil yang lengkap ini akan dihilangkan kalau berhubungan dengan sesuatu yang menyangkut kelemahan atau kegagalan komunikator. Hal yang menguntungkan komunikator/pembuat teks akan diuraikan secara detil, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan, detil informasi akan dikurangi. Dalam mempelajari detil, yang harus dipelajari atau diteliti adalah

Detil 1 :Mendadak terjadi kepanikan. Muncul beberapa Polisi Moral – yang langsung mengobrak-abrik tayuban itu. Para penari dan pengunjung yang lain langsung kabur. Susila yang bertubuh tambun terlihat kaget, bingung dan hanya melongo memandangi itu semua. Ia ingin ikut lari juga, tapi tubuhnya yang tambun tak bisa membuatnya bergerak cepat. (I- PR8)

Detil 2 : Para petugas yang meringkus Susila itu segera menggelendangnya. Memukulinya. Susila hanya bisa berteriak-teriak mengaduh kesakitan. Mereka exit. (I-PR11)

Elemen detil pada bagian I ini lebih banyak menjelaskan atau menjabarkan bagaimana Susila yang hanya pedagang mainan dan sedang ikut menari tayub ditangkap oleh para polisi moral. Susila yang ditangkap oleh polisi moral sudah diperlakukan berlebihan dengan menggelandang dan memukulinya, padahal ketika penangkapan Susila hanya pasrah tanpa perlawanan dan tak tahu apa yang terjadi. Detil pada bagian I menjelaskan bahwa diawal penulis mengisahkan seorang Susila yang tidak tahu ditangkap dan diperlakukan semena-mena oleh polisi moral karena sedang menari tayub.

2.2.1.5 Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Di mana ia menanyakan apakah A yang menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. logika kausalitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan) (Eriyanto, 2012 : 252) . Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Contoh kalimat pada naskah drama Sidang Asusila.

Kita benar-benar menghadapi Pesakitan yang tidak saja berbahaya, tapi juga tidak punya etika (VII-PC30-JK)

Kalimat di atas merupakan kalimat yang aktif, di mana anak kalimat “tapi juga tidak punya etik’’ merupakan tujuan utama dari yang menguatkan makna dari kalimat Kalimat di atas merupakan kalimat yang aktif, di mana anak kalimat “tapi juga tidak punya etik’’ merupakan tujuan utama dari yang menguatkan makna dari kalimat

Bentuk kalimat ini menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit atau implisit dalam teks. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seseorang menjadi subjek dari tanggapannya, sebaliknya kalimat pasif menempatkan seseorang sebagai objek. Semua struktur adalah benar, tetapi semua variasi menunjukkan pada tingkatan mana yang ditonjolkan, mana yang difokuskan, bagian mana yang di fokuskan dengan kata-kata khusus, frase atau anak kalimat yang secara langsung mempengaruhi makna kata secara keseluruhan.Bentuk lain adalah dengan pemakaian urutan kata-kata yang mempunyai dua fungsi sekaligus. Pertama, menekankan atau menghilangkan dengan penempatan dan pemakaian kata atau frase yang mencolok dengan menggunakan permainan semantik. Yang juga penting dalam sintaksis selain bentuk kalimat adalah posisi proposisi dalam kalimat.

Bagaimana proposisi-proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Proposisi mana yang ditempatkan di awal kalimat, dan mana yang di akhir kalimat. Penempatan itu mempengaruhi makna yang timbul karena akan menunjukkan bagian mana yang lebih ditonjolkan kepada khalayak. Selain itu pemakaian bentuk deduktif dan induktif juga berpengaruh. Deduktif adalah bentuk penulisan kalimat dimana inti kalimat (umum) ditempatkan di bagian muka, kemudian disusul dengan keterangan tambahan (khusus) ditempatkan kemudian. Sebaliknya, bentuk induktif adalah bentuk penulisan dimana inti kalimat ditempatkan di akhir setelah keterangan tambahan. Dalam bentuk kalimat deduktif, aspek penonjolannya lebih kentara, sementara dalam bentuk induktif initi dari kalimat ditempatkan tersamar dan tersembunyi

2.2.1.6 Koherensi

Menurut Eriyanto (2001:242) koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tanpa koheren. Fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana Menurut Eriyanto (2001:242) koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tanpa koheren. Fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana

penjabaran koherensi dalam naskah “Sidang Susila” Kata Hubung “dan”

Orang-orang yang gembira pun ikut menari dan berteriak-teriak menyenggaki goyang para penari. (OP II-PR2)

Kata Hubung “akibat” Dia penjahat moral paling berbahaya. Karena itulah, kami menempatkannya

di sel khusus, dengan penjagaan ekstra ketat. (II-PC10-JK)

2.2.1.7 Koherensi Kondisonal

Menurut (Eriyanto, 2001:244) koherensi kondisional di antaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Di sini ada dua kalimat, di mana kalimat kedua adalah penjelas atau keterangan dari proposisi pertama yang dihubungkan dengan kata hubung (kon jungsi) seperti “yang”, atau “dimana”. Kalimat kedua fungsinya dalam kalimat semata hanya penjelas (anak kalimat), sehingga ada atau tidak ada anak kalimat itu tidak akan mengurangi arti kalimat. Berikut contoh penjabaran koherensi kondisional dalam naskah “Sidang Susila”

Tanpa Koherensi Mira, seorang penari tayub bergerak seksual, mengundah gairah para lelaki

(I-PR2) Dengan Koherensi Mira, seorang penari tayub bergerak seksual, mengundang gairah para

lelaki yang ikut berjoged (I-PR2)

2.2.1.8 Koherensi Pembeda

Menurut Eriyanto (2001:247) koherensi kondisional berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa dihubungkan atau dijelaskan, maka koherensi pembeda berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu Menurut Eriyanto (2001:247) koherensi kondisional berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa dihubungkan atau dijelaskan, maka koherensi pembeda berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu

penjabaran koherensi pembeda dalam naskah “Sidang Susila” Tanpa Koherensi Pembeda

Sebagaimana dalam Pasal 4 Undang-undang Susila. Dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual…atau yang

dianggap sensual. Seperti alat kelamin, payudara, pusar, paha, pinggul, pantat…(VII-PC45-JK)

Koherensi Pembeda Dalam penjelasan Pasal 4 tersebut dinyatakan bahwa bagian tubuh tertentu

yang sensual adalah antara lain payudara perempuan. Terdakwa adalah seorang laki-laki. Bukan perempuan. Karena itu tuntutan Jaksa absurd dan tak berdasar (VII-PC49-JK)

2.2.1.9 Kata Ganti

Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan posisi di mana seseorang dalam wacana.

Dalam mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti “saya” atau “kami”yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata- mata. Akan tetapi, ketika memakai kata ganti “kita” menjadi sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas terterntu. Batas antara komunikator dengan khalayak dengan sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan.

Pema kaian kata ganti yang jamak seperti “kita” (atau “kami”) mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian publik, serta mengurangi kritik dari oposisi (hanya) kepada diri sendiri. Di sini, kata ganti merujuk pada konteks kategori tertentu. Berbagai kata ganti yang berlainan digunakan secara strategis sesuai dengan kondisi yang ada. Prinsipnya adalah merangkul dukungan

dan menghilangkan oposisi yang ada. Kata “kita” menciptakan sikap bersama. dalam teks drama ini berupaya untuk mendekatkan antara pembaca dan tokoh- tokoh yang dibuat oleh penulis, sehingga tidak ada batas antara pembaca dan tokoh

. “kami” dan “mereka” justru untuk menciptakan jarak dan memisahkan antara

“kami” dan “mereka”. Untuk yang sependapat dengan tokoh dipakai kata ganti “kami” sedangkan dengan pihak yang tidak sependapat dipakai kata ganti “mereka”

JAKSA: Tepat pukul kosong kosong lebih kosong kosong, Undang- undang Susila telah ditetapkan secara sah dan meyakinkan. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka secara resmi dan konstitusional kita telah menjadi bangsa yang bermoral. Untuk itu secepatnya kita juga akan menyusun Garis- garis Besar Haluan Moral Negara… Bertepatan dengan itulah, kami mencanangkan Gerakan Nasional Moral Bangsa untuk mencapai moralitas yang adil dan beradab. Kami sudah menggelar razia moral. Dan Alhmandulillah, kami telah berhasil menangkep dari pada seorang penjahat moral, yang secara terang-terangan melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi… (II-PC1-JK)

2.2.1.10 Leksikon

Pada dasarnya elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Kata “meninggal”, misalnya, mempunyai kata lain: mati, tewas, gugur, meninggal, terbunuh, menghembuskan nafas yang terakhir, dan sebagainya. Di antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih di antara pilihan yang tersedia. Dengan demikian pilihan kata yang dipakai tidak semata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta/realitas.Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologis tertentu. Peristiwa sama dapat digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda.

Contoh: JAKSA: Faktanya Pesakitan memang bersikap cabul dan amoral, karena

mempertontonkan bagian tubuhnya yang sensual… Lihat saja sendiri kelakuannya… Saya yakin dia seorang eksibisionis…(VII-PC55-JK)

Kalimat tersebut menggunakan kata pesakitan untuk menyebut seorang terdakwa, pilihan kata tersebut digunakan untuk memarjinalkan tokoh Susila. Kata lain yang bisa ditemukan adalah pilihan kata eksibisionis, yakni menyangkut kelainan untuk mempertontonkan kelamin dan alat genital di depan umum. Kedua pilihan kata tersebut sengaja dipilih guna memarjinalkan tokoh Susila.

2.2.1.11 Grafis dan Ekspresi

Grafis merupakan bagian yang digunakan untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan oleh seseorang yang dapat diamati dari suatu teks

(Eriyanto, 2012: 257). Dalam hal ini biasanya wacana berita akan dimunculkan lewat bagian tulisan yang akan dibuat lain dibandingkan dengan tulisan yang lain. Contohnya saja pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih kecil atau lebih besar. Selanjutnya dapat pula di dalamnya pemakaian grafik atau gambar yang dapat mendukung pentingnya suatu pesan. Hal ini biasanya terdapat dalam teks berita atau teks iklan. Bagian-bagian ini perlu ditonjolkan untuk menekankan pada khalayak umum akan pentingnya hal tersebut.

Namun hal ini berbeda jika wacana yang dikaji adalah wacana yang berupa pembicaraan. Ekspresi ini diwujudkan dalam bentuk intonasi dari pembicara yang mempengaruhi pengertian dan mensugesti khalayak pada bagian mana yang harus diperhatikan dan bagian mana yang tidak. Berikut ini penjabaran grafis yang ada dalam naskah drama Sidang Susila.

JAKSA: (Langsung bernada membentak marah) Bagimana pun Sodara- sodara, pornografi dan pornoaksi harus kita babat! Karna begitulah, Sodara- sodara… Sebagaimana firman Allah.Moral masyarakat harus dijaga, Sodara-sodara. Kalau penjahat moral ini tidak segera dihukum, pasti masyarakat akan resah. Dia akan mengganggu ketertiban. Membuat hidup kita sengsara. Haleluya! (II-PC8-JK).

Hal ini ekspresi ini diwujudkan dalam bentuk intonasi dari pembicara yang dapat mempengaruhi pengertian dan mensugesti khalayak pada bagian mana yang harus diperhatikan dan bagian mana yang tidak. Dalam percakapan di atas dapat terlihat bahwa ekspresi seorang jaksa yang sedang marah-marah dengan menggunakan nada yang membentak. Intonasi yang digunakan oleh jaksa sedikit meninggi dengan nada yang marah dalam percakapan naskah drama tersebut. Hal ini ekspresi ini diwujudkan dalam bentuk intonasi dari pembicara yang dapat mempengaruhi pengertian dan mensugesti khalayak pada bagian mana yang harus diperhatikan dan bagian mana yang tidak.

2.2.1.12 Praanggapan

Elemen wacana pengingkaran adalah bentuk praktik wacana yang menggambarkan bagaimana penulis menyembunyikan apa yang ingin di ekspreksikan secara implisit. Dalam arti yang umum, pengingkaran menunjukkan Elemen wacana pengingkaran adalah bentuk praktik wacana yang menggambarkan bagaimana penulis menyembunyikan apa yang ingin di ekspreksikan secara implisit. Dalam arti yang umum, pengingkaran menunjukkan

JAKSA: Saya hanya ingin menegaskan: yang kita lawan adalah kejahatan pikiran… Kita melawan sebuah ide, Bapak Hakim. Ide yang yang

dibungkus kebebasan berekspresi dan keberagaman. Tapi semua itu tak lebih omong kosong, Bapak Hakim. Bagi saya, ide kebebasan berekspresi bukanlah ide yang genial, tapi ide yang bersifat genital. Yakni ide-ide yang hanya dipenuhi gagasan seputar alat vital. Inilah ide yang lebih berbahaya dari pada ide komunisme…(VII-PC10-JK)

Melalui tokoh jaksa (antagonis), penulis seolah menyutujui bahwa ide (Susila) berekspresi dan keberagaman hanyalah omong kosong, ide kebebasan berekspresi bukanlah ide yang genial (luar biasa) tetapi ide yang mengarah pada genital (kelamin) yang ujungnya pada tindakan asusila. Padahal maksud penulis lewat kalimat ironi tersebut adalah menentang RUU karena terlalu membatasi ekspresi dan keberagaman yang muncul.

2.2.1.13 Metafora

Dalam hal ini metafora merupakan suatu kiasan atau ungkapan. Metafora dapat dijadikan sebuah ornamen dalam suatu teks. Namun pemakaian metafora tertentu dapat menjadikan sebuah petunjuk utama untuk mengerti suatu makna teks. Biasanya metafora dapat berupa ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, dan petuah. Metafora disebutkan oleh Pradopo (1994:66) merupakan bentuk perbandingan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.

Gaya metafora itu melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain. Metafora sebagai pembanding langsung tidak menggunakan kata-kata seperti dan lain-lain, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Salah satu unsur yang dibandingkan, yaitu citra, memiliki sejumlah komponen makna dan biasanya hanya satu dari komponen makna tersebut yang relevan dan Gaya metafora itu melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain. Metafora sebagai pembanding langsung tidak menggunakan kata-kata seperti dan lain-lain, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Salah satu unsur yang dibandingkan, yaitu citra, memiliki sejumlah komponen makna dan biasanya hanya satu dari komponen makna tersebut yang relevan dan

Panggung perlahan menggelap. Musik transisi, seperti derap langkah kaki itu lama-kelamaan terdengar seperti menderap menggemuruh, seakan ruangan itu sudah terkepung ribuan langkah kaki yang menyebar dan menderap ke segenap penjuru (V-PR7).

Dalam prolog di atas dapat terlihat bahwa “terkepung ribuan langkah kaki yang menyebar dan menderap ke segenap penjuru” merupakan sebuah ungkapan

yang berarti panggung dibuat menjadi lama-lama menggelap seolah-olah dikelilingi oleh musuh yang berjumlah banyak orang yang berjalan berbaris yang ada diberbagai sudut.

2.2.2 Marjinalisasi

Menurut Eriyanto, 2001:124 mengatakan bahwa praktik marjinalisasi adalah misrepresentasi yang berbeda dengan eksklusi dan pengucilan. Dalam ekskomunikasi dan eksklusi, kelompok lain atau orang lain dipandang sebagai the others, yang lain yang berbeda dengan kita. Praktik itu mengimplikasikan adanya pembagian antara pihak kita di satu sisi dengan pihak mereka di pihak lain. Ada beberapa praktik pemakaian bahasa sebagai strategi wacana dari marjinalisasi ini. Pertama, Penghalusan makna (eufinisme). Kata eufinisme barangkali yang paling banyak dipakai oleh media. Kata ini dipakai dalam bidang budaya, terutama untuk menjaga kesopanan dan norma- norma. Kedua, pemakaian bahasa pengasaran (disfemisme). Kalau eufemisme dapat mengakibatkan realitas menjadi halus, disfemisme sebaliknya dapat mengakibatkan realitas menjadi kasar. Ketiga, labelisasi. Labelisasi merupakan perangkat bahasa yang digunakan oleh mereka yang berada di kelas atas untuk menundukkan lawan-lawan. Keempat, stereotipe. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan.

Contoh Petugas Kepala: Saya ingatkan sekali lagi, agar kalian hati-hati. Selama

interograsi, jangan sampai kalian bersentuhan langung dengan pesakitan. Mana tabung antiseptiknya? (III-PC11-PK)

Dari cuplikan naskah drama di atas dapat dilihat bahwa terdapat marjinalisasi terhadap Susila yang merupakan bentuk labelisasi. Dalam hal ini kata pesakitan mengacu pada sikap mengucilkan Susila. Orang-orang tidak boleh mendekat pada Susila karena Susila dianggap berbahaya.

2.2.3 Nakah Drama Sidang Susila

Naskah drama Sidang Susila dibuat oleh Agus Noor dan Ayu Utami pada tahun 2008. Naskah drama Sidang Susila ini merupakan refleksi dari adanya rencana pembuatan RUU Pornografi di Indonesia pada Tahun 2007-2008, naskah ini pun dibuat pada tahun 2008 dan pertama kali dipentaskan tanggal 21-23 februari bertempat di Taman Ismail Marzuki oleh Teater Gandrik.

2.2.3.1 Agus Noor

Agus Noor lahir di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni1968 merupakan seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia. Agus Noor telah berkecimpung di dunia sastra dengan menulis karya-karya puisi dan prosa. Dia merupakan penulis naskah untuk

program Sentilan Sentilun Metro TV yang diadopsi dari naskah monolognya, Matinya Sang Kritikus , yang sebelumnya telah dipentaskan di sejumlah kota oleh Butet Kertaradjasa. Agus Noor lahir dan dibesarkan di Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal. Berlatar belakang pendidikan Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Meskipun berlatar belakang pendidikan teater, ia aktif menulis. Dia dikenal sebagai cerpenis, penulis prosa, dan naskah panggung dengan gaya parodi yang terkadang satir.

Bersama Ayu Utami, ia menulis naskah Sidang Susila untuk merefleksikan dan mengkritik Rancangan Undang Undang Anti-Pornografi. Hal itu pun tercermin dalam adegan-adegan ketika teater ini dipentaskan. Sebut saja balon yang menjadi tuduhan akan menjadi pemicu tindakan asusila, persis seperti yang dianalogikan oleh Ayu Utami sebagai suatu hal yang konyol, dan juga menunjukkan bagaimana Undang- Undang Asusila ini begitu multitafsir. Begitu juga dengan ucapan “Saudara pesakitan” yang terus menerus diucapkan oleh sang hakim, menunjukkan bagaimana

seseorang berada dalam posisi terpojok oleh suatu produk hukum yang dijadikan satu-satunya kebenaran moral.

Dalam hal ini Agus Noor hanya menulis ulang naskah Ayu yang sudah jadi. Hal ini bermula dari Butet yang ingin pentas monolog, namun Agus Noor menyarankan agar Butet memainkan naskah orang lain agar terlihat lebih menarik. Hal ini dikarenakan selama ini Butet cenderung memainkan naskah-naskah yang ditulis oleh teman-teman yang tumbuh di lingkungan komunitas yang sama yakni seperti Agus Noor atau Indra Tranggono.

Setelah itu saat Ayu merespon dan mau menulis naskah lakon itu, seperti yang dikatakan Ayu, naskah itu merespon soal RUU Pornografi dan Pornoaksi itu. Seperti biasa, Agus Noor dan kawan-kawan mendiskusikannya dan saat proses latihan terasa benar kalau naskah Ayu ini akan lebih ‘nendang’ bila diwujudkan dalam repertoar teater dan pada akhirnya Agus Noor memikirkan agar Teater Gandrik yang melakonkan. Atas ide itulah Agus Noor menulis ulang naskah Ayu yang sudah jadi. Dalam proses penulisan itulah gagasan dasar Ayu dikembangkan oleh Agus, setidaknya agar memenuhi standar dramaturgi dan dramatik lakon teater

2.2.3.2 Ayu Utami

Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama.Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga Katolik. Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994).Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999). Ayu menggemari cerita petualangan, seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin. Selain itu ia menyukai musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.

Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang memasok senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang memasok senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut

Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel pertama yang ditulisnya adalah Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan dwilogi novelnya, Saman dan Larung, juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.

Setelah itu bersama dengan Agus Noor, ia menulis naskah Sidang Susila untuk merefleksikan dan mengkritik Rancangan Undang Undang Anti-Pornografi. Dalam hal ini sebenarnya yang menulis utama adalah Ayu Utami yang kemudian ditulis ulang oleh Agus Noor. Ayu Utami dan Agus Noor membuatnya dengan suatu alasan utama, yakni gerah dengan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang ketika itu sedang digodok oleh Pemerintah. Agus Noor seperti dikutip dari blog pribadinya berpendapat bahwa hal ini dilakukan dengan semangat melihat sesuatu persoalan sosial secara kritis, dan bagaimana bila sebuah undang-undang susila dilegalkan dan menjadi satu-satunya kebenaran moral. Senada dengan Agus Noor, Ayu Utami mengatakan, ia melakukan hal ini karena melihat kekonyolan dalam proses pembuatan hukum di negeri ini. Contohnya saja menurut Ayu, ada aturan bahwa orang dilarang melakukan gerakan yang menyerupai tindakan bersetubuh atau gerakan pornografi akan mendapat sanksi karena diangap melanggar UU Pornografi. Seperti pada Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum dalam Undang-Undang No.44 tahun 2008 tentang pornografi yang menyatakan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk Setelah itu bersama dengan Agus Noor, ia menulis naskah Sidang Susila untuk merefleksikan dan mengkritik Rancangan Undang Undang Anti-Pornografi. Dalam hal ini sebenarnya yang menulis utama adalah Ayu Utami yang kemudian ditulis ulang oleh Agus Noor. Ayu Utami dan Agus Noor membuatnya dengan suatu alasan utama, yakni gerah dengan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang ketika itu sedang digodok oleh Pemerintah. Agus Noor seperti dikutip dari blog pribadinya berpendapat bahwa hal ini dilakukan dengan semangat melihat sesuatu persoalan sosial secara kritis, dan bagaimana bila sebuah undang-undang susila dilegalkan dan menjadi satu-satunya kebenaran moral. Senada dengan Agus Noor, Ayu Utami mengatakan, ia melakukan hal ini karena melihat kekonyolan dalam proses pembuatan hukum di negeri ini. Contohnya saja menurut Ayu, ada aturan bahwa orang dilarang melakukan gerakan yang menyerupai tindakan bersetubuh atau gerakan pornografi akan mendapat sanksi karena diangap melanggar UU Pornografi. Seperti pada Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum dalam Undang-Undang No.44 tahun 2008 tentang pornografi yang menyatakan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk

2.2.4 Undang Undang No.44 Pornogafi Tahun 2008

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63