Marjinalisasi Umum (Proses Marjinalisasi)

4.1.1 Marjinalisasi Umum (Proses Marjinalisasi)

4.1.1.1 Eufimisme

Penghalusan makna digunakan untuk menjaga kesopanan dan norma. Seiring berkembangnya zaman eufimisme digunakan untuk menutupi realitas yang buruk. Akibatnya masyarakat tidak bisa melihat kenyataan yang sebenarnya. Eufimisme digunakan oleh kelompok atas kepada kelompok bawah, sehingga dalam banyak hal bisa menipu, terutama kelompok bawah.

(1) Saya harap, Sodara Pembela tidak mengaburkan persoalan. Terlalu sering alasan sakit digunakan untuk menghindari persidangan. Bagaimana pun sidang harus dilanjutkan, demi keadilan… ( VII-PC 39-JK)

Kutipan dialog menggunakan eufimisme, yakni “tidak mengaburkan persoalan” yang memiliki makna tidak lari dari masalah. Dialog tersebut diucapkan

oleh Hakim kepada pembela. Hakim mengatakan tersebut untuk menutupi realitas yang ada bahwa persidangan Susila harus tetap berjalan meskipun dengan alasan sakit yang terlalu seing digunakan. Kata lainnya yakni “demi keadilan” , dengan oleh Hakim kepada pembela. Hakim mengatakan tersebut untuk menutupi realitas yang ada bahwa persidangan Susila harus tetap berjalan meskipun dengan alasan sakit yang terlalu seing digunakan. Kata lainnya yakni “demi keadilan” , dengan

(2) Bukan seperti itu yang saya dengar… Karena itulah saya berkewajiban meluruskan berita soal itu! (IX-PC11-PB)

Kutipan lainnya yakni pada kata “meluruskan berita”, yaitu membuktikan, menulusuri kebenaran berita, diucapkan pembela untuk mengungkap kebenaran berita.. Pada cerita muncul berita tentang Susila yang telah membunuh seorang petugas ketika ia kabur, padahal yang melakukan pembunuhan adalah petugas kepala itu sendiri, karena mengetahui petugas bawahanya membiarkan susila kabur. Contoh lainnya.

(3) Tapi fakta bahwa ia punya hubungan darah dengan pesakitan itu, saya kira tidak bisa kita abaikan… (kepada Pembela) Itu artinya, kamu tidak

bersih lingkungan… Lebih-lebih, dalam arsip ini, kamu disebut-sebut bersama Ulil ikut dalam Jaringan Moralis Liberal… (IX-PC29-HK)

Pada dialog ini menceritakan Hakim yang membeberkan apa yang disembunyikan oleh si pembela. “Hubungan Darah” sendiri yang memiliki arti masih kerabat/ saudara, eufimisme di sini berfungsi untuk menyindir si Pembela yang masih berkerabat dengan terdakwa Susila, yang biasa dikenal dengan istilah Nepotisme. Masih berkaitan dengan kata selanjutnya yakni “tidak bersih lingkungan” yang merujuk pada Nepotisme.

(4) Sistem moral yang kuat, ataukah sebuah upaya untuk memonopoli kebenaran! (IX-PC19-PK)

Pada kutipan diatas “memonopoli kebenaran” yaitu memalsukan fakta atau kejadian yang sebenarnya. Suatu kebenaran yang dianggap benar tetapi disalahgunakan sehingga kebenaran itu berbalik menjadi kesalahan. Hal inilah yang sering terjadi di Negara kita ini terutama kejadian yang menimpa Susila. Pada mulanya Susila ini tidak bersalah tetapi karena ada oknum penegak hukum yang terkait seperti hakim dan jaksa yang bekerjasama untuk menahan Susila dalam penjara.

Jadi dari contoh tersebut, eufimisme digunakan untuk menutupi realitas yang buruk, dan dalam cerita digunakan untuk menyindir seseorang. Akibatnya masyarakat tidak bisa melihat kenyataan yang sebenarnya.

4.1.1.2 Disefimisme

Disefimisme merupakan kebalikan dari eufimisme yang menghaluskan realitas yang ada, yaitu untuk mengasarkan realitas yang ada. Hal tersebut digunakan oleh kelompok dominan, untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh kelompok bawah.

(1) Teteknya juga tidak bermoral! (XIII-PC28-JK) Buah pelirnya tak bermoral! (XIII-PC30-JK) Kutilnya tidak bermoral! (XIII-PC33-PB) Adegan ketika hakim, jaksa dan lainnya memaki-maki kloset yang dipakai

susila, karena tidak ditemukan Susila maka Klosetlah yang menjadi terdakwa. Kutipan tersebut menggunakan disfemisme dengan kata-kata yang langsung tanpa ditutupi, guna tidak memunculkan kesopanan/ mengasarkan, yakni kata “Tetek”, “Buah Pelir” dan “Kutilnya”.

(2) Dengarlah suara mereka… Suara Tuhan yang akan mengazab para pendosa yang tak bermoral! ( VII-PC 87-JK)

Dialog ketika jaksa mendengar suara demonstran diluar ruang sidang. Menggunakan kata “Mengazab” dan “Para Pendosa” yakni untuk mengasarkan realita, yang

sebenarnya adalah pelanggar UU Susila. Jadi Hal tersebut digunakan oleh kelompok dominan, untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh kelompok bawah.

(3) (Menenangkan suasana) Biarlah saya yang bicara… (Kepada Pembela, penuh pengertian) Saya bangga dengan kegigihanmu membela pesakitan itu. Tapi marilah kita pikirkan hal yang lebih besar. Situasi makin membahayakan keamanan Negara. Pesakitan itu makin tak terkedali. Kau pasti sudah dengar: pesakitan itu sudah membunuh seorang petugas! (IX-PC10-JK)

Pada kutipan diatas pada kata “membahayakan keamanan Negara” yaitu prasangka yang ditujukan pada dakwaan yang bernama Susila. Pada kenyataannya seorang terdakwa jika di vonis bersalah itu didasari dengan bukti dan fakta yang nyata, dengan demikian hal tersebut dapat di terima. Jadi benar apa yang dilakukan oleh pembela untuk membela kliennya karena menurutnya terdakwa tidak bersalah. Terlebih lagi apa yang dilihat sesungguhnya belum tentu benar adanya.

4.1.1.3 Labelisasi

Labeling merupakan cara oleh kelas atas untuk menundukkan lawan atau kelas dibawahnya. Pemakaian label tidak hanya membuat posisi kelompok atau kegiatan menjadi buruk, tapi juga mempunyai kesempatan bagi mereka yang memproduksi untuk melakukan tindakan tertentu. Pada kutipan ditemukan strategi marginalisasi jenis labelisasi dengan penggunaan kata “penjahat moral” untuk menggambarkan keburukan (susila).

(1) Tepat pukul kosong kosong lebih kosong kosong, Undang-Undang Susila telah ditetapkan secara sah dan meyakinkan…Kami sudah menggelar

razia moral. Dan Alhmandulillah, kami telah berhasil menangkep dari pada seorang penjahat moral, yang secara terang-terangan melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi… (II-PC1-JK)

Susila dilabeli dengan kata “penjahat moral”, memberi kesan orang yang melanggar moral seolah-olah seperti sedang melakukan tindakan kriminal yang berat, sehingga disebut sebagai penjahat. unsur semantik dalam kata penjahat memunculkan citraan yang buruk terhadap tokoh Susila. Padahal dalam cerita di hanyalah seorang penjual mainan yang lugu, ketika dia sedang asik menari tayub tiba-tiba ditangkap oleh polisi moral karena dianggap telah melanggar Undang-Undang Susila. Tokoh susila merpresentasikan orang kecil/ masyarakat kelas bawah yang menjadi korban dari pengesahan dan penerapan hukum yang berlaku. Selain itu dalam cerita, bagi orang yang meproduksi tersebut (penegak hukum) mempunyai kesempatan untuk melakukan tindakan tertentu, memperlakukan susila dengan tidak wajar. Contoh lain dari marjinalisasi labelisasi lainya terdapat dalam kutipan berikut.

(2) Itu buat berjaga-jaga. Langsung semprotkan antiseptik itu ke tubuh kalian, bila kalian terpaksa bersenggolan atau bersentuhan langsung dengan pesakitan itu. Biar virus pornonya langsung mati, dan kalian tidak tertular… (III-PC11-PK)

Sedangkan pada kutipan ini, tokoh Susila diberi label seorang pesakitan sebagai kata ganti terdakwa. Jelas memberi efek buruk dengan kemunculan diksi pesakitan yang biasa digunakan untuk menyebut orang yang memiliki kelainan jiwa.

(3) (Setelah menimbang- nimbang) Baiklah… Tapi ingat, jangat terlalu dekat

d engan pesakitan… (IV-PC21-PK)

Contoh teks tersebut merupakan labelisasi yang ditujukan kepada tokoh Susila. Susila dianggap sebagai seorang pesakita, pesakita sendiri dalam KBBI merupakan kata nomina yang ditujukan kepada orang hukuman atau terdakwa. Arti dari kata pesakitan seharusnya tidak pantas ditujukan kepada Susila karena dia belum terbukti bersalah dalam kasus tersebut. Kata pesakitan yang digunakan untuk menyebut Susila seolah-olah menegaskan bahwa ia sudah terbukti dan pasti bersalah. Marjinalisasi labelisasi yang digunakan dalam teks tersebut berdampak citra yang buruk bagi tokoh Susila.

Jadi dari contoh tersebut, labelisasi digunakan untuk menjelakan pihak tertentu lewat pelabelan serta dengan adanya labelisasi menguntungkan pihak yang memproduksi untuk melakukan tindakan tertentu.

4.1.1.4 Stereotipe

Streotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif dan positif ( tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. (Eriyanto, 2001:126) merupakan praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negative dan bersifat subjektif.

(1) Muncul derap serombongan demonstran, membawa bermacam poster yang menghujat Susila. “Gantung Susila”, “Hukum Susila Seberat- beratnya”, “Pornografi Antek Komunis”, “Ganyang Pornografi

Pornoaksi”, dan lain-lain. Rombongan demonstran itu berteriak mengacungkan tangan dan poster-poster yang dibawanya, dan bernyanyi... (VI-PR 1)

Kutipan ini menunjukan sifat negatif dengan memunculkan frasa “Pornografi Antek Komunis”, dengan memunculkan kata komunis, seolah-olah meminjam citra yang melekat di dalam kata komunis. di Indonesia, citra komunis sendiri banyak mengarah kepada hal yang negatif dalam kognisi masyarakat dan sejarah formal. Lalu kata komunis dikait-kaitkan dengan pornografi untuk menambah citra buruk, bahwa Pornografi menjadi antek, kaki tangan, atau bagian dari komunis. Jika di dalam cerita, demonstaran berupaya untuk memarjinalkan susila dengan teriakan-teriakan mereka.

(2) Makin montok saja… (I-PC4-PT1)

Kutipan selanjutnya ini menggunakan stereotipe yang biasa melekat pada wanita, yakni kata “montok”, digunakkan untuk menggambar bagian tubuh yang sintal pada wanita. Namun dalam kutipan dialog tersebut digunakan pada tokoh laki-laki yakni Susila yang bertubuh gemuk. Adegan ketika Mira sedang memanggil Susila untuk ikut menari tayub.

(3) Jangan lupa, dia seorang penjahat susila paling tidak senonoh di negeri ini. Sodara pasti tahu, penjahat susila sudah pasti jauh lebih berbahaya dari penjahat jenis biasa. Lebih berbahaya dari pencopet. Lebih berbahaya dari garong. Bahkan lebih berbahaya dari psikopat yang paling berbahaya. (VII-PC 4-JK)

Contoh teks tersebut bersifat negatif yang merupakan marjinalisasi streotipe kepada Susila. Pada teks ini dikatakan bahwa penjahat Susila lebih berbahaya dari penjahat jenis lainnya seperti pencopet bahkan psikopat. Penggunan kata dalam teks tersebut semuanya berprasangka dan berkonotasi negatif. Susila digambarkan merupakan sosok yang sangat tidak senonoh dan sangat berbahaya sehingga harus dijauhi juga dihindari. Jadi dari contoh tersebut, stereotipe menggunakan sifat-sifat tertentu dengan, orang kelas atau perangkat tindakan lainnya.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63