Analisis Artikel “Let‟s Go Zero-Waste!”

E. Analisis Artikel “Let‟s Go Zero-Waste!”

1. Analisis Teks

Dalam sebuah teks pasti terkandung unsur-unsur maupun elemen-elemen yang merupakan suatu kesatuan yang saling menopang satu sama lain hingga terbentuk sebuah teks yang utuh. Untuk menganalisis sebuah teks, maka diperlukan beberapa hal yang akan diamati, meliputi tematik, skematik, semantik, sintaksis , stilistik, dan retoris. Berikut analisis teks “Let‟s Go Zero-Waste!” :

a. Tematik Elemen tematik merupakan gambaran umum dari suatu teks. Topik menggambarkan tema umum dari suatu teks, topik akan didukung oleh subtopik lainnya yang saling berkaitan hingga terbentuknya topik umum. Subtopik juga didukung serangkaian fakta yang menunjuk dan menggambarkan subtopik itu sendiri, sehingga subbagian yang lain saling mendukung antara satu bagian dengan bagian lainnya. Tema dari artikel ini adalah mengenai “zero-waste fashion ” yaitu proses produksi pakaian yang sedikit atau bahkan tidak mengeluarkan limbah. Sedangkan wacana yang terkandung dalam artikel ini

commit to user

kalimatnya: “Selain dengan memilih bahan yang eco-friendly, masih ada cara lain

yang dipakai para desainer untuk memproduksi pakaian ramah lingkungan lho. Here they are the newest eco-fashion innovation, zero- waste fashion .” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 1, GoGirl! November 2011)

b. Skematik Dalam sebuah teks pasti memiliki skema atau alur yang menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun hingga membentuk kesatuan arti. Dalam konteks penyajian artikel, memiliki dua kategori skema besar, yaitu summary yang ditandai dengan dua elemen, yaitu judul dan lead , serta story yang memuat isi berita secara kesuluruhan.

Secara skematik, artikel “Let’s Go Zero-Waste!” memiliki 4 paragraf, paragraf 1 berisi lead yang tergolong dalam teras berita “apa” (what lead), paragraf kedua berisi tentang konsep zero-waste fashion, selanjutnya di paragraf ketiga berisi tentang awal mula kemunculan para desainer yang berusaha meminimalisir limbah, dan di paragraf terakhir berisi tentang bagaimana memanfaatkan baju bekas . Berikut kutipan paragrafnya:

“Selain dengan memilih bahan yang eco-friendly, masih ada cara lain yang dipakai para desainer untuk memproduksi pakaian ramah lingkungan lho. Here they are the newest eco-fashion innovation, zero- waste fashion .” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 1, GoGirl! November 2011)

“Alasan inilah yang bikin beberapa desainer akhirnya nerapin konsep zero-waste fashion , yaitu proses produksi pakaian yang nggak ngeluarin

limbah atau cuma ngeluarin sedikit aja limbah. Disini, para desainer

commit to user

terbuang. Tiap inci kain yang ada, diusahain habis terpakai.” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 2 kalimat 3-5, GoGirl!

November 2011)

“Tahun 1970-an, baru deh muncul lagi desainer yang berusaha meminimalisir limbah, kayak Zandra Rhodes. Sekarang, udah banyak muncul eco-fashion-designer, seperti Mark Liu, Holly McQuillan, Timo

Rissanen dan Julian Roberts.” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 3 kalimat 4-5, GoGirl! November 2011)

“Sebagai konsumen, kita juga bisa kok melakukan post-consumer zero- waste , yaitu memanfaatkan lagi baju yang udah nggak kepake. Let’s make our own zero-waste fashion by turning our trash to treasure !”

(Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 4 kalimat 2-3, GoGirl! November 2011)

Selanjutnya juga terdapat beberapa kutipan langsung dan tidak langsung dari narasumber. Berikut kutipannya:

““It took a lot of trial and error to make a zero-waste pattern work,” kata Mark Liu, salah satu eco-fashion designer. ” (Ar tikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 2 kalimat 9, GoGirl! November 2011)

“Menurut Mark Liu, “wasted materials are bad for the environment and

a loss in potential profits.”” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 3 kalimat 7, GoGirl!

November 2011)

c. Semantik Struktur mikro dalam sebuah wacana yang disebut semantik merupakan makna yang ingin ditekankan dalam suatu teks, bisa melalui elemen latar, detil, maksud, praanggapan, dan nominalisasi. Namun dalam artikel “Let’s Go Zero- Waste! ” hanya terdapat 4 elemen yaitu latar, detil, maksud, dan nominalisasi. Berikut uraiannya:

commit to user

Latar dari artikel ini adalah cara desainer yang memproduksi pakaian ramah lingkungan, selain dengan menggunakan bahan yang ramah lingkungan, juga diterapkan konsep zero-waste fashion ini. Yaitu dengan membuat pola jahitan baju yang hanya mengeluarkan sedikit bahkan tidak menghasilkan limbah sama sekali. Berikut kutipan kalimatnya:

“Selain dengan memilih bahan yang eco-friendly, masih ada cara lain yang dipakai para desainer untuk memproduksi pakaian ramah lingkungan lho. Here they are the newest eco-fashion innovation,

zero-waste fashion. ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 1, GoGirl! November 2011)

ii. Detil Elemen detil berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan komunikator. Jika informasi tersebut akan menguntungkan komunikator, maka informasi tersebut akan ditulis dengan jelas bahkan berlebihan, sebaliknya jika informasi dianggap merugikan komunikator, maka informasi akan ditampilkan dengan jumlah sedikit. Beri kut kutipan elemen detil dalam artikel “Let’s Go Zero-Waste! ”:

“Industri fashion emang menghasilkan banyak limbah, soalnya

emang lebih gampang dan murah sih buat buang bahan-bahan

itu dibanding mendaur ulang. Alasan inilah yang bikin beberapa desainer akhirnya nerapin konsep zero-waste fashion, yaitu proses produksi pakaian yang nggak ngeluarin limbah atau cuma ngeluarin sedikit aja limbah.” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 2 kalimat 2-3, GoGirl! November 2011)

commit to user

juga menghasilkan limbah yang banyak karena lebih mudah dan murah untuk membuang sisa bahan daripada mendaur ulang kembali. Hal inilah yang mendorong para desainer untuk bekerja keras membuat pola jahitan yang hanya sedikit atau bahkan tidak menyisakan kain sama sekali. Konsep inilah yang disebut dengan zero-waste fashion .

“Disini, para desainer ditantang buat bijak dalam bikin pola biar nggak banyak bahan yang terbuang. Tiap inci kain yang ada,

diusahain habis terpakai.” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 2 kalimat 4-5, GoGirl!

November 2011)

Dalam kalimat di atas dijelaskan bahwa para desainer ditantang untuk lebih bijaksana dalam membuat pola yang menggunakan kain tanpa harus menyisakannya sedikitpun. Jadi tidak hanya menggunakan bahan yang ramah lingkungan, desainer juga harus lebih bijaksana dalam membuat pola tanpa menyisakan bahan sedikitpun.

“Zero-waste fashion ini sebenernya bukan konsep baru.” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 3 kalimat 1, GoGirl!

November 2011)

Dalam kalimat di atas, dijelaskan bahwa konsep zero-waste fashion ini bukanlah sebuah konsep baru di dunia fashion namun sudah diterapkan pada beberapa desain baju adat beberapa negara. Penjelasan lebih mendetail akan dijelaskan di elemen maksud.

commit to user

“Menurut Mark Liu, “wasted materials are bad for the environment and a loss in potential profits. ” Itulah yang bikin konsep ini menarik minat banyak, desainer dan sekolah fashion .” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 3 kalimat 6-7, GoGirl! November 2011)

Kutipan pendapat Mark Liu sebagai salah satu eco-fashion designer yang menjelaskan bahwa membuang bahan sisa jahitan sangat merugikan lingkungan dan mengurangi keuntungan yang besar. Konsep zero-waste inilah yang mampu menarik minat baik dari desainer maupun dari sekolah-sekolah fashion.

“Sebagai konsumen, kita juga bisa kok melakukan post-

consumer zero-waste, yaitu memanfaatkan lagi baju yang udah

nggak kepake .” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 4 kalimat 2, GoGirl!

November 2011) Jika pada paragraf-paragraf sebelumnya dimunculkan dengan jelas

mengenai fakta yang mendukung pemikiran komunikator tentang konsep zero-waste, maka pada kutipan kalimat kedua paragraf keempat menjelaskan bagaimana kita sebagai konsumen bisa melakukan post-consumer zero-waste. Jika sebelumnya zero-waste dilakukan oleh para desainer maupun produsen, maka kalimat ini menggambarkan bahwa konsumen pun juga dapat menerapkan konsep ini.

iii. Maksud Maksud merupakan bentuk uraian yang panjang, jelas, dan lebih mendetail tentang informasi yang dianggap menguntungkan komunikator. Sebaliknya, informasi yang dianggap kurang

commit to user

Berikut kutipan kalimat yang mengandung elemen maksud: “Did you know, dalam proses produksi pakaian, 15-20 persen

dari kain yang digunakan bakal terbuang sia-sia! Industri fashion emang menghasilkan banyak limbah, soalnya emang lebih gampang dan murah sih buat buang bahan-bahan itu dibanding mendaur ulang.” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 2 kalimat 1-2, GoGirl! November 2011) Jika pada analisis elemen detil, kalimat ini menjelaskan bahwa

industri fashion juga menghasilkan limbah yang banyak karena lebih mudah dan murah untuk membuang sisa bahan daripada mendaur ulang kembali. Dalam analisis elemen maksud ini, pernyataan mengenai industri fashion menghasilkan limbah yang lebih banyak didukung pernyataan yang lebih mendetail yaitu dengan mengawalinya dengan kalimat “Did you know, dalam proses

produksi pakaian, 15-20 persen dari kain yang digunakan bakal terbuang sia-sia! ”

“Tiap inci kain yang ada, diusahain habis terpakai. Caranya? They

pay a lot of attention to design clothes patterns where all the parts

fit together, perfectly, like pieces of a jigsaw .” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 2 kalimat 6, GoGirl!

November 2011)

Jika dalam analisis elemen detil dijelaskan bahwa desainer dituntut untuk lebih bijaksana dalam membuat pola, sehingga setiap inci kain bisa digunakan. Maka dalam analisis maksud ini, dijelaskan mengenai kalimat lanjutan yang menjelaskan kalimat sebelumnya. Kalimat di atas menjelaskan bagaimana cara tiap inci kain habis

commit to user

pakaian dimana seluruh bagiannya cocok satu sama lain, seperti bagian dari puzzle.

“Zero-waste fashion ini sebenernya bukan konsep baru. Historically,

all clothes were desgined to minimize waste, contohnya kayak

baju kimono dan sari. ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 3 kalimat 1-2, GoGirl!

November 2011)

Jika dalam kalimat di atas pada analisis elemen detil, dijelaskan bahwa konsep zero-waste fashion ini bukanlah sebuah konsep baru di dunia fashion. Maka dalam analisis elemen maksud ini menjelaskan atau memberi pemaknaan yang lebih mendetail agar mendukung apa yang hendak disampaikan komunikator. Dalam analisis ini, dijelaskan bahwa konsep zero-waste fashion sudah pernah diterapkan sebelumnya. Seperti pakaian adat Jepang dan India, baju kimono dan sari yang didesain menghasilkan sedikit limbah.

“Let’s make our own zero-waste fashion by turning our trash to treasure !

 Ambil details dari baju yang nggak kepake, kayak kancing

atau renda, trus dijahit ke pakaian baru yang keliatan polos.

 Celana jeans lama yang cuma numpuk di lemari bisa digunting di bagian lutut buat dijadiin shorts! ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 4 kalimat 3-5, GoGirl! November 2011)

Dalam analisis elemen detil sebelumnya, zero-waste dilakukan oleh para desainer maupun produsen, maka kalimat ini menggambarkan bahwa konsumen pun juga dapat menerapkan konsep ini. Dalam

commit to user

menerapkan konsep pre-consumer zero-waste yaitu dengan memanfaatkan pakaian yang sudah tidak digunakan lagi. Dalam kalimat di atas, dijelaskan dengan mendetail langkah-langkah membuat pakaian bekas menjadi bermanfaat mulai dari mengambil detail pakaian yang sudah tidak digunakan yaitu kancing atau renda, kemudian dijahitkan pada pakaian yang tampak polos. Selain itu pemanfaatan celana jeans yang sudah tidak digunakan bisa digunakan kembali menjadi tas dengan menggunting bagian bawahnya dan menjahitnya kembali.

iv. Nominalisasi Elemen nominalisasi merupakan suatu elemen yang memuat nominal atau angka yang mendukung dan mampu mempengaruhi makna dari informasi yang hendak disampaikan oleh komunikator. Berikut kutipan kalimat yang mengandung elemen nominalisasi di dalamnya:

“Did you know, dalam proses produksi pakaian, 15-20 persen dari kain yang digunakan bakal terbuang sia-sia! ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 2 kalimat 1, GoGirl! November 2011)

Melalui kalimat ini, komunikator ingin menyampaikan bahwa dalam proses produksi pakaian, 15-20% dari kain yang digunakan, terbuang sia-sia. Memang lebih mudah dan murah untuk membuang kain yang tersisa daripada mendaur ulang. Berangkat dari fakta ini, para desainer dituntut untuk lebih bijaksana membuat pola jahitan dengan

commit to user

tersisa atau bahkan tidak tersisa sama sekali.

d. Sintaksis Hal yang diamati dari struktur mikro ini adalah bagaimana suatu kalimat itu disusun atau dibentuk. Sintaksis meliputi bentuk kalimat, koherensi, pengingkaran, dan kata ganti. Berikut kutipan kalimatnya:

i. Bentuk kalimat Penulis menggunakan beberapa bentuk kalimat yaitu kalimat aktif dan kalimat pasif dalam penulisan artikel “Let’s Go Zero-Waste!”. Berikut kutipan kalimatnya:

“Selain dengan memilih bahan yang eco-friendly, masih ada cara lain yang dipakai para desainer untuk memproduksi pakaian ramah lingkungan lho. ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 1 kalimat 1, GoGirl! November 2011)

Kalimat aktif menonjolkan subyek yaitu para desainer atau perancang busana.

“Did you know, dalam proses produksi pakaian, 15-20 persen dari kain yang digunakan bakal terbuang sia-sia! ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 2 kalimat 1, GoGirl! November 2011)

Kalimat pasif menonjolkan obyek yaitu kain-kain yang digunakan untuk memproduksi pakaian.

commit to user

“Nah, yang dari tadi kita bahas itu adalah pre-consumer zero-waste, jadi meminimalisir limbahnya pas proses produksi pakaian. Sebagai konsumen, kita juga bisa kok melakukan post-consumer zero-waste,

yaitu memanfaatkan lagi baju yang udah nggak kepake. ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 4 kalimat 1-2, GoGirl!

November 2011)

Kalimat diatas ditulis dalam bentuk kalimat aktif yang menonjolkan subyek yaitu konsumen.

“Ambil details dari baju yang nggak kepake, kayak kancing atau renda, trus dijahit ke pakaian baru yang keliatan polos. Celana jeans lama yang cuma numpuk di lemari bisa digunting di bagian lutut buat dijadiin shorts! ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 4 kalimat 4-5, GoGirl! November 2011)

Kalimat diatas ditulis dalam bentuk kalimat aktif yang menonjolkan pakaian-pakaian yang sudah tidak dipakai lagi namun dapat dimanfaatkan kembali.

ii. Koherensi Koherensi merupakan jalinan antarkata maupun antarkalimat dalam suatu teks. Kata penghubung merupakan kunci dalam penggabungan kalimat satu dengan kalimat lainnya. Berikut kutipan kalimat yang menggunakan elemen koherensi di dalamnya:

“Industri fashion emang menghasilkan banyak limbah, soalnya emang lebih gampang dan murah sih buat buang bahan-bahan itu

dibanding mendaur ulang.” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 2 kalimat 2, GoGirl!

November 2011)

Koherensi “soalnya” pada kalimat di atas memiliki arti yang kurang lebih sama dengan koherensi “karena”. Koherensi tersebut

commit to user

lainnya sehingga memunculkan makna hubungan sebab-akibat. Pada kalimat sebelum koherensi “soalnya” merupakan akibat yaitu limbah yang begitu banyak dihasilkan dari industri fashion sedangkan pada kalimat kedua dimaksudkan sebagai bukti penyebab dari kalimat pertama, yaitu penyebab banyaknya limbah yang dihasilkan dari industri fashion adalah cara yang begitu mudah dan murah saat membuang sisa bahan daripada harus mendaur ulang.

“Tapi gara-gara revolusi industri yang bikin harga baju jadi murah, orang jadi lebih gampang buang-buang bahan. ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 3 kalimat 3, GoGirl! November 2011)

Kata “gara-gara” merupakan bentuk tidak baku, namun memiliki arti yang sama dengan kata “karena” yang menunjukkan koherensi

sebab-akibat. Yaitu terjadinya revolusi industri yang mengakibatkan harga baju menjadi murah sehingga membuat masyarakat justru dengan mudah membuan-buang bahan.

iii. Pengingkaran Elemen ini merupakan bentuk praktik wacana yang menggambarkan bagaimana komunikator menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara implisit. Bentuk pengingkaran yang ditemukan dalam artikel “Let’s Go Zero-Waste!” menggunakan kata “tapi”. Komunikator hendak menyampaikan sesuatu yang berseberangan.

commit to user

dalamnya:

“Zero-waste fashion ini sebenernya bukan konsep baru. Historically, all clothes were desgined to minimize waste , contohnya kayak baju kimono dan sari. Tapi gara-gara revolusi industri yang bikin harga baju jadi murah, orang jadi lebih gampang buang- buang bahan.” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 3 kalimat 1-3, GoGirl! November 2011)

Elemen pengingkaran yang digunakan pada kalimat di atas adalah “tapi”. Komunikator ingin menjelaskan bahwa zero-waste bukanlah

konsep baru dalam dunia fashion karena sebelumnya memang beberapa pakaian sudah didesain dengan konsep tersebut seperti baju kimono dan sari. Kata “tapi” digunakan komunikator untuk menjelaskan bahwa akibat adanya revolusi industri yang membuat harga baju lebih murah, maka orang-orang lebih mudah untuk membuang bahan. Kata “tapi” nampak memiliki arti yang berseberangan, namun dalam konteks ini, kata “tapi” mendukung

pemaknaan pada kalimat sebelumnya.

iv. Kata ganti Kata ganti digunakan komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana. Berikut kutipan kalimatnya:

“They pay a lot of attention to design clothes patterns where all the parts fit together, perfectly, like pieces of a jigsaw .” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 2 kalimat 7, GoGirl! November 2011)

commit to user

Kata ganti “they” jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia berarti “mereka”. Komunikator menggunakan kata ganti “they”

untuk menggantikan istilah para desainer yang sudah digunakan pada kalimat sebelumnya.

“Sebagai konsumen, kita juga bisa kok melakukan post-consumer zero-waste , yaitu memanfaatkan lagi baju yang udah nggak kepake.”

(Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 4 kalimat 2, GoGirl! November 2011)

Komunikator menggunakan kata ganti “kita” untuk memposisikan dirinya sama dengan para pembaca. Posisi komunikator dan para

pembaca adalah konsumen dan dengan menggunakan kata ganti “kita”, komunikator ingin mengajak pembaca bersama-sama mendukung serta menerapkan konsep post-consumer zero-waste.

e. Stilistik Pada dasarnya, elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pemilihan kata juga memberikan makna yang berbeda pada kalimat tersebut. Berikut kutipannya:

“Selain dengan memilih bahan yang eco-friendly, masih ada cara lain yang dipakai para desainer untuk memproduksi pakaian ramah

lingkungan lho. ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 1 kalimat 1, GoGirl!

November 2011) Penulis menggunakan l eksikon “desainer” untuk menjelaskan para

perancang busana yang menerapkan konsep zero-waste fashion.

commit to user

“Industri fashion emang menghasilkan banyak limbah, soalnya emang lebih gampang dan murah sih buat buang bahan-bahan itu dibanding mendaur ulang. ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 2 kalimat 2, GoGirl! November 2011)

Penulis menggunakan l eksikon “mendaur ulang” untuk menjelaskan proses yang kembali menggunakan bahan yang pernah digunakan dalam hal ini adalah kain.

“Tapi gara-gara revolusi industri yang bikin harga baju jadi murah, orang jadi lebih gampang buang-buang bahan. ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 3 kalimat 3, GoGirl! November 2011)

Penulis menggunakan l eksikon “revolusi industri” untuk menjelaskan perubahan radikal dalam usaha mencapai produksi dengan menggunakan mesin-mesin, baik untuk tenaga penggerak maupun untuk tenaga pemroses.

“Tahun 1970-an, baru deh muncul lagi desainer yang berusaha meminimalisir limbah, kayak Zandra Rhodes. ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 3 kalimat 4, GoGirl! November 2011)

Penulis menggunakan leksikon “meminimalisir” untuk menjelaskan keadaan untuk menekan serendah-rendahnya limbah yang dihasilkan industri fashion.

“Sebagai konsumen, kita juga bisa kok melakukan post-consumer zero- waste , yaitu memanfaatkan lagi baju yang udah nggak kepake. ” (Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”: Paragraf 4 kalimat 2, GoGirl! November 2011)

commit to user

menjelaskan sesuatu yang dapat dimunculkan kegunaannya atau menjadi berguna.

f. Retoris Dalam analisis teks, retoris menggambarkan bagimana dan dengan cara seperti apa, cara penekanan pada teks dilakukan. Penekanan pada teks bisa dilakukan dengan menganalisis elemen grafis, metafora, maupun ekspresi. Untuk artikel “Let’s Go Zero-Waste!”, penekanan pada teks hanya melalui grafis. Layout artikel ini tidak hanya menampilkan teks namun juga disertai beberapa foto dan gambar. Foto yang dimunculkan penulis adalah model dengan menggunakan busana beserta gambar pola jahitan berkonsep zero-waste fashion rancangan beberapa eco-fashion designer yaitu Holly McQuillan dan Timo Rissanen. Selain itu juga ditampilkan gambar hasil pemanfaatan pakaian bekas menjadi tas.

commit to user

Judul

Lead

Layout Artikel “Let’s Go Zero-Waste!”

Sumber: Majalah GoGirl! November 2011

Dari analisis teks yang sudah dilakukan, peneliti menemukan beberapa elemen di dalamnya seperti latar, detil, maksud, nominalisasi, kata ganti, dan beberapa elemen lainnya yang digunakan van Dijk dalam menganilisis sebuah wacana. Yang muncul dari hasil analisis teks adalah konsep zero-waste fashion yang menjadi solusi dari pengelolaan limbah kain yang begitu banyak dihasilkan.

Foto rancangan eco-fashion designer , Holly McQuillan

Foto dan gambar rancangan eco-fashion designer , Holly McQuillan

Foto dan Gambar rancangan eco-fashion designer , Holly McQuillan

Foto hasil pemanfaatan pakaian bekas.

commit to user

Dalam analisis ini, peneliti mengadakan wawancara kepada penulis dalam rubrik “Green Page” majalah GoGirl! November 2011, dan dari proses wawancara tersebut, peneliti mendapatkan hasil wawancara mengenai artikel yang sedang diteliti.

“Soalnya waktu itu tema GoGirl! November adalah Fashion Issue. Jadi aku nyari kaitannya fashion dengan lingkungan, trus ketemulah inovasi baru di dunia fashion, yaitu zero-waste fashion. ” kata Starin Sani, penulis artikel “Go Gas!” dalam wawancara yang dilakukan pada 26 Maret 2012 lalu.

Disinggung mengenai tujuan penulisan artikel “Let’s Go Zero-Waste!”, Starin mengungkapkan ingin menyampaikan pemahaman jika industri fashion

menghasilkan banyak sekali limbah. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan limbah fashion adalah dengan memproduksi pakaian dengan konsep zero-waste fashion. Selain itu, tujuan penulisan artikel ini adalah ingin meningkatkan awareness pembaca mengenai konsep zero-waste fashion. Bagaimana pandangan penulis sendiri terhadap zero- waste fashion ? Penulis sangat mendukung konsep zero-waste fashion yang diharapkan dapat diterapkan pada semua pakaian.

Dari analisis kognisi sosial pada artikel “Let’s Go Zero-Waste!”, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang ingin ditonjolkan dalam artikel tersebut adalah tentang penerapan konsep zero-waste fashion.

commit to user

Masyarakat Indonesia pada umumnya belum begitu memahami adanya konsep zero-waste di dunia fashion. Istilah zero-waste memang sering digunakan untuk menjelaskan tentang pengelolaan sampah agar dapat didaur ulang. Namun, masyarakat belum mengetahui jika konsep zero-waste dapat diterapkan di dunia fashion . Dalam hal ini, para desainer ditantang untuk bekerja keras menghasilkan desain pakaian yang memanfaatkan bahan dengan sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali bahan yang tersisa. Artinya setiap inchi bahan, benar-benar dimanfaatkan untuk membuat pakaian.

Belum banyak desainer Indonesia yang menerapkan konsep zero-waste fashion dalam rancangannya. Diharapkan para desainer Indonesia terinspirasi untuk menerapkan konsep zero-waste fashion dalam rancangan mereka sehingga limbah yang dihasilkan tidak banyak.

Dalam analisis konteks sosial ini, peneliti menganalisi apa yang terjadi pada masyarakat dengan adanya konsep zero-waste fashion. Selanjutnya, dikaitkan dengan hasil analisis teks dan kognisi sosial.

Setelah dilakukan analisis dari teks, konteks sosial, hingga kognisi sosial, dapat ditarik kesimpulan bahwa artikel “Let’s Go Zero-Waste!” memenuhi kriteria analisis yang dilakukan dari ketiga dimensi wacana van Dijk. Dalam analisis teks, menganalisis bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang digunakan untuk mempertegas tema mengenai gas sebagai bahan bakar alternatif. Kemudian pada analisis kognisi sosial yang diteliti adalah bagaimana proses produksi teks yang melibatkan kognisi individu dan wartawan. Sedangkan pada dimensi konteks

commit to user

masalah. Ketiga dimensi analisis tersebut tidak dapat dipisahkan, masing-masing saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain.

Dokumen yang terkait

PENGARUH NHT BERBANTUAN BOOKLET MIND MAP TERHADAP RESPON DAN HASIL BELAJAR MATERI PENCEMARAN LINGKUNGAN

0 0 10

EKSISTENSI KESENIAN TANJIDOR DI KOTA PONTIANAK Imam Azhari, Ismunandar, Chiristianly Program Studi Pendidikan Seni Tari dan Musik FKIP Untan Pontianak Email: hidrakhairunnisa4gmail.com Abstract - EKSISTENSI KESENIAN TANJIDOR DI KOTA PONTIANAK

0 2 13

PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SOSIOLOGI SISWA SMA ISLAM HARUNIYAH PONTIANAK

1 1 8

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING PADA MATERI PENCEMARAN LINGKUNGAN MTS NEGERI SUNGAI PINYUH ARTIKEL PENELITIAN

0 0 13

1 ORIENTASI KARIR PADA PESERTA DIDIK DI SMA NEGERI 1 SUNGAI RAYA Yessiana Yolanda Saputri, Purwanti, Abas Yusuf Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Untan Pontianak Email: yolandayessianagmail.com Abstract - ORIENTASI KARIR PADA PESERTA DIDIK DI SMA

0 0 9

Nina Afriyani, Luhur Wicaksono , Sri Lestari Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Untan Pontianak Email: ninaafriyani5gmail.com Abstract - PENGGUNAAN FACEBOOK DALAM KEGIATAN BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS VIII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA HARUNIYAH PONTIAN

0 1 8

1 PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN LINGKUNGAN TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V SD

0 0 9

1 PENGEMBANGAN PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA BERBASIS LINGKUNGAN PADA MATERI ASAM BASA KELAS XI IPA

0 1 10

KELAYAKAN MAJALAH MATERI KEANEKARAGAMAN HAYATI DARI BUAH BALADOK JEMPARI DAN TITIDAN ARTIKEL PENELITIAN

0 3 9

Pengaruh Ownership Structure dan Corporate Governance Terhadap Financial Performance Perbankan di Bursa Efek Indonesia

0 0 49