KEPENDUDUKAN DAN SUMBERDAYA MANUSIA
1.4.3.5 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia dan Analisis Situasi Pembangunan Manusia Kota Jayapura 2011 (Bappeda Kota Jayapura dan BPS Kota Jayapura; 2011:29-30), diperoleh IPM Kota Jayapura tahun 2010 sebesar 75,76. IPM tahun 2010
terdiri dari indeks kesehatan (e 0 ), yaitu sebesar 72,43, indeks pendidikan (gabungan angka melek huruf dan rata-rata pendidikan) sebesar 82,10 dan indeks decent living (PPP) sebesar 74,30. Dari ketiga indeks yang menyusun IPM terlihat bahwa indeks pendidikan adalah indeks yang paling menonjol, hal ini berarti untuk menaikkan angka IPM Kota Jayapura, Pemerintah Kota Jayapura sebaiknya lebih memprioritaskan terhadap program kesehatan dan program dibidang ekonomi. Pencapaian angka IPM tahun 2010 bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2009, yaitu sebesar 75,16 bertambah 0,6 point. Peningkatan tersebut menunjukkan keberhasilan Pemerintah Kota Jayapura dalam perencanaan pembangunan pada tahun-tahun sebelumnya. Tabel perkembangan IPM di Kota Jayapura dari tahun 2008-2010 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Dengan capaian IPM 75,76, maka Kota Jayapura menurut Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkategori kinerja pembangunan manusia Menengah Atas, yaitu capaian IPM diantara 66-79,9.
TABEL I.12 PERKEMBANGAN IPM KOTA JAYAPURA TAHUN 2008-2010 NO
KOMPONEN IPM
1 Angka Harapan Hidup (Tahun)
68,34 68,46 2 Melek Huruf (%)
99,3 99,58 3 Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
10,88 11,00 4 Pengeluaran Riil yang Disesuaikan (000Rupiah)
Sumber: IPM dan Analisis Situasi Pembangunan Manusia Kota Jayapura 2011: 2011:30
1.4.3.6 KONDISI SOSIAL BUDAYA
Kota Jayapura sebagai wilayah perkotaan menjadi tujuan migrasi bagi masyarakat di sekitar Kota Jayapura maupun kota-kota lainnya di Indonesia. Masyarakat yang menetap telah membentuk masyarakat majemuk yang berasal dari berbagai suku bangsa dan budaya.
Penduduk asli Papua sendiri (termasuk Kota Jayapura) memiliki ciri-ciri fisik berkulit hitam, berbulu, dan berambut keriting. Masyarakat asli pada dasarnya termasuk ke dalam rumpun suku bangsa Melanesia, dengan ciri-ciri berkulit hitam dan berambut keriting, tinggi badan pria sekitar 165-175 cm dan wanita 155-165 cm.
I - 46
Dari tanda-tanda tersebut terlihat ada keterkaitan dengan penduduk asli Australia, yaitu Suku Aborigin. Pada penetapan wilayah perbatasan RI-PNG, Pemerintah Belanda dan Pemerintah Australia tidak memperhatikan batas-batas tradisional antar etnik, yang menyebabkan suku-suku yang sama terbagi menjadi beberapa bagian kecil. Padahal wilayah perbatasan merupakan wilayah yang bebas bagi mobilitas suku-suku di Barat dan di Timur, karena antara keduanya terdapat sumberdaya alam yang saling melengkapi kebutuhan suku-suku tersebut.
a. Distrik Jayapura Utara: Suku asli di Distrik Jayapura Utara adalah Suku Kayobatu.
b. Distrik Jayapura Selatan: Suku asli di Distrik Jayapura Selatan adalah Tobati Enggros, dengan marga Hamadi, Ireeuw, Afaar, Hasor, Dawir, Hay, Itaar, Mano, Injama, Kerauje, Iwo, Sanyi, Drunyi, Habubuk, Hanasbey, Srem-srem, Sembra, dan Samay. Kampung Tahima Soroma terdapat Suku Sibi, Hay, Youwe, dan Soro. Sebagian lainnya telah berpindah ke daratan di sekitar Entrop, Kotaraja, Kali Acai, atau tempat lainnya. Namun pada saat acara-acara adat, suku-suku ini akan berkumpul.
c. Distrik Abepura: Suku asli di Distrik Abepura termasuk dalam Suku Tobati Enggros yang juga berada di Distrik Jayapura Selatan. Menurut penduduk setempat, nama asli kedua kampung adalah ”Tubadij” artinya sudah jadi orang di sini atau kampung saya di sini, dan ”Injros” yang terdiri dari dua kata, yaitu ”Inj” (tempat) dan ”Ros” (dua),
yang bila diartikan secara lengkap adalah kampung kedua atau tempat tinggal kedua. Dulunya kampung ini hanya ada satu kampung, yaitu Tobati, namun karena perkembangan jumlah penduduk, maka suku utama (Drunyi dan Sanyi) pindah ke tempat permukiman kedua di Injros. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Tobati, di samping Bahasa English Pidgin oleh sebagian orang yang sering berkunjung secara tradisional ke Papua Neuw Guinea (PNG) untuk bertemu sanak keluarga mereka yang bermukim di sana. Namun, jumlah penutur Bahasa Tobati saat ini jarang digunakan secara aktif. Bahasa yang sering digunakan adalah bahasa persatuan (Bahasa Indonesia) yang diperkenankan di Papua sejak 5 Pebruari 1855 (yang kala itu disebut Maleise Taal-Bahasa Melayu)-ketika penyebaran Agama Kristen masuk di Pulau Mansinam (Manokwari), Tanah Papua. Selain itu, terdapat Suku Nafri yang bertempat tinggal di Kampung Nafri.
d. Distrik Heram: Penduduk asli di Kampung Yoka di Distrik Heram termasuk dalam Suku Sentani, meskipun secara wilayah administrasi berada di Kota Jayapura.
e. Distrik Muara Tami: Suku asli di Distrik Muara Tami adalah masyarakat peramu, yaitu hanya memanfaatkan hasil hutan. Hanya sedikit masyarakat asli yang mulai
I - 47 I - 47
Disadur dari Laporan Final Bantuan Teknis Pelaksanaan Penataan Ruang Kawasan Muara Tami. Berdasarkan sejarah, dalam selayang pandang Pulau Papua dijelaskan bahwa sejarah orang Papua mulai diungkap dalam catatan tertulis setelah ditemukan sepotong catatan tentang New Guenea dan penduduknya, yang menjadi nenek moyang Bangsa Papua, pada awal kedatangan orang Portugis dipermulaan abad ke-
16. Suku dengan mobilitas tinggi ini pada saat ini sering disebut para pelintas batas.
Warga Indonesia yang sempat tinggal di PNG kemudian kembali ke Papua diberikan tempat tinggal khusus di Kampung Mosso. Sebagai para pelintas batas, para penduduk asli perbatasan memiliki KTP khusus berwarna merah sebagai pengganti paspor/visa jika ingin melakukan kunjungan ke PNG. Suku yang berbeda menempati kampung-kampung Distrik Muara Tami, seperti:
Suku di Skouw Mabo, yaitu Malo, Membilong, Palora, Awe, dan Kemo; Suku di Skouw Yambe, yaitu Rolo, Patipeme, Ramela, Membilong, dan Pae; Suku di Skouw Sae, yaitu Nali, Mutang, Lomo, Reto, dan Palora; Suku pendatang di Holtekamp, yaitu Sarmi, Serui, dan Yawa; Suku asli yang masih ada di Koya Barat dan Koya Timur adalah Rolo, suku Jawa
merupakan asal para transmigran; Suku di Mosso adalah Nyao, yaitu para pelintas batas.
Makanan lokal penduduk adalah sagu. Dulu tersedia cukup melimpah dibeberapa hutan sagu berawa, namun saat ini sebagian besar hutan sagu telah dijadikan kawasan permukiman, seperti di Kotaraja dan Entrop. Menangkap ikan di laut dan kerang juga merupakan pekerjaan rutin yang dilakukan oleh penduduk. Mencari ikan di laut biasanya dilakukan oleh kaum pria, dan wanita mengumpulkan kerang di laut dan hutan bakau.
I - 48