Subsidi Modal dan Moral Hazard

6.5 Subsidi Modal dan Moral Hazard

Penggunaan DR untuk menyubsidi pembangunan hutan tanaman komersial, ditambah dengan mekanisme akuntabilitas yang lemah, telah menyebabkan masalah moral hazard tingkat tinggi di sektor kehutanan Indonesia. Kondisi ini dapat mendorong terjadinya praktik-praktik yang tidak bertanggung jawab di antara para peserta REDD+.

Para penerima subsidi DR sering terlibat dalam praktik investasi berisiko tinggi yang kemungkinan besar tidak akan dilakukan jika yang dipertaruhkan adalah uang mereka sendiri. Dalam banyak kasus, beberapa perusahaan dilaporkan telah gagal total untuk menanami areal konsesi HTI mereka, dan banyak pula yang tidak mengelola areal mereka supaya sasaran-sasaran produksinya dapat tercapai. Beberapa perusahaan juga mengembangkan HTI mereka di lahan-lahan yang status kepemilikan lahannya tidak kuat dan/atau berada di areal yang rentan terhadap bencana kebakaran, seperti yang terjadi di sebagian besar kawasan Sumatera dan Kalimantan selama tahun 1997-1998.

53 Selama dua dekade terakhir, pengelolaan hutan lestari di Indonesia sering terhambat oleh koordinasi yang lemah antara Kementerian Kehutanan dan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab untuk menerapkan penggunaan lahan dan kegiatan pembangunan di sektor lain (World Bank 2007). Di sektor pulp dan kertas, misalnya, Kementerian Perindustrian dilaporkan telah mengeluarkan ijin untuk pembangunan atau perluasan pabrik pulp sebelum Kementerian Kehutanan mengalokasikan lahan HTI yang memadai untuk mendukung kapasitas pengolahan baru (Barr 2001). Demikian juga konsesi pertambangan telah diterbitkan di daerah yang tumpang tindih dengan taman nasional atau hutan lindung.

Tata Kelola Keuangan dan Dana Reboisasi selama Periode Soeharto dan Pasca Soeharto, 1989-2009 | 57

ditunjukkan oleh para kelompok pelaku ini di masa atau bagaimana sengketa atas kewajiban tersebut lalu—dan kegagalan pemerintah Indonesia untuk

akan diselesaikan masih belum sepenuhnya jelas. menuntut akuntabilitas mereka—seharusnya telah

Meskipun masih belum ada kesepakatan mengenai menjadi suatu bentuk peringatan untuk dapat

isu-isu ini, beberapa pengamat lebih lanjut mewaspadai potensi keterlibatan mereka dalam

mengasumsikan bahwa pemerintah pada akhirnya REDD+. Kinerja masa lalu para calon peserta

perlu memberikan jaminan bahwa setiap klaim REDD+ khususnya penting sekali untuk ditinjau

terhadap kewajiban pemilik proyek akan dipenuhi kembali secara seksama dan berbagai kemungkinan

jika tidak tercakup dalam program asuransi yang implikasinya juga harus dipertimbangkan jika

direncanakan:

pemilik proyek gagal memenuhi kewajibannya Jika pemilik proyek gagal memenuhi berdasarkan program pembayaran REDD+.

kewajibannya atau menghilang, dan pinjaman permanen telah dikeluarkan, pada

Para pendukung REDD+ sering mengklaim bahwa akhirnya kewajiban ini akan jatuh ke tangan kemungkinan rendahnya tingkat kepatuhan para

pemerintah yang kemungkinan besar adalah pemilik proyek tidak perlu dikhawatirkan, karena

negara penjual karbon. (Dutschke 2008) pembayaran REDD+ dirancang untuk didasarkan

pada kinerja. Artinya, jika bukti pengurangan emisi Jelas bahwa isu pengelolaan kepermanenan dan karbon tidak tercapai, maka pembayaran tidak akan

kewajiban untuk mendapatkan pembayaran dilakukan. Namun diskusi yang terus berlangsung

REDD+ sangat rumit, dan masih banyak yang tentang risiko kelangsungan dan pengelolaan

harus ditangani. Namun dalam kasus di Indonesia, tanggungan menunjukkan bahwa ‘pendekatan

kemungkinan bahwa pemerintah akan diminta tertentu melibatkan pemberian pinjaman di muka

menyediakan semacam jaminan bahwa pemilik berdasarkan kelayakan kredit suatu proyek dan

proyek akan memenuhi kewajibannya dalam aliran pembayaran yang diharapkan pada masa

REDD+ memunculkan pertanyaan penting tentang depan’ (Dutschke 2008). Pendekatan ini tampaknya

sejauh mana lembaga-lembaga publik akhirnya terjadi dalam kasus proyek-proyek kehutanan

harus menanggung risiko perilaku individu. Jika dimana kredit pengurangan emisi karbon

pengalaman Indonesia dengan DR dijadikan acuan, sementara dikonversi menjadi kredit permanen.

maka kemungkinan timbulnya sejumlah akibat jika pemilik proyek gagal memenuhi kewajibannya

Untuk mengatasi persoalan tersebut, umumnya berdasarkan ketentuan dalam REDD+ penting harus ada asuransi untuk mengurangi risiko

sekali untuk dipertimbangkan.

pembalikan sifat permanen di lokasi proyek (misalnya, melalui pembalakan hutan) setelah

Selain itu juga perlu dipertimbangkan perangkat pinjaman permanen dikeluarkan. Untuk

apa yang mungkin tersedia bagi pemerintah keperluan ini berbagai pengaturan asuransi

Indonesia dan badan pengawas lainnya untuk sedang dipertimbangkan. Namun setelah suatu

memastikan tingkat kepatuhan yang tinggi. Perlu proyek diasuransikan, dapat dibayangkan bahwa

dicatat bahwa setidaknya dua dari penerima utama pemilik proyek dapat memperoleh insentif untuk

subsidi DR selama tahun 1990-an (PT Menara mengkonversi hutan di bawah pengelolaannya

Hutan Buana dan PT Musi Hutan Persada) pada dan/atau untuk melarikan diri dengan dana yang

akhirnya membayar kewajiban DR mereka secara diterima dari penjualan kredit permanen.

penuh hanya setelah pemerintah memulai proses penuntutan (dalam kasus MHB) dan ancaman

Untuk memperkecil risiko moral hazard, atau aji penuntutan (dalam kasus MHP) terhadap pemilik mumpung, seperti ini, sebagian besar program

utama perusahaan.

asuransi karbon akan menetapkan bahwa pemilik proyek harus menanggung biayanya

6.6 Kesetaraan dan Pembagian

jika pembalikan permanen ini disebabkan oleh

Manfaat

kegagalan pemilik untuk memenuhi kewajibannya selama periode yang telah ditetapkan. Namun

Khususnya selama pemerintahan Soeharto,

bagaimana atau oleh siapa kewajiban ini ditentukan,

pembagian manfaat DR yang tidak adil

58 | Christopher Barr, Ahmad Dermawan, Herry Purnomo dan Heru Komarudin

mendorong pihak-pihak tertentu yang paling

Namun demikian, ketidakmerataan distribusi dana

berkuasa untuk menikmati sebagian besar

REDD+ dapat memiliki efek yang merugikan dan

keuntungan ekonomi dari eksploitasi hutan,

memperbesar tingkat ketimpangan yang sudah ada

sementara kepentingan masyarakat yang

di sektor kehutanan di Indonesia, yang berpotensi

hidupnya bergantung pada hutan dikorbankan.