Sumber-Sumber Pendapatan Desa Substansi Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang

ii selama ini anggota badan perwakilan desa telah dianggap oleh masyarakat dan aparat pemerintah desa terlalu jauh ”menyetir” kebijakan yang diambil dalam proses pemerintahan desa secara umum. Sehingga berdasar penjelasan pasal 209 “yang dimaksud dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam ketentuan ini adalah sebutan untuk Badan Perwakilan Desa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”. Dimana sesuai dengan Undang-Undang ini pencantuman Badan Permusyawaratan Desa dalam Ketetapan Peraturan Desa adalah terkait dalam penulisan frase “Dengan Persetujuan Bersama”. Makna dari penulisan itu adalah setiap menetapkan Peraturan Desa, Kepala Desa perlu meminta persetujuan bersama dengan Badan Perwakilan Desa dalam artian penentuan aturan hukum untuk saat ini memerlukan persetujuan antara 2 pejabatlebih untuk melakukan penandatanganan suatu peraturankeputusan sebagai satu kesepakatan bersama untuk tujuan legalitas hukum. Berbeda dengan era Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dimana sebelum ditandatangani Kepala Desa perlu meminta persetujuan terlebih dahulu Badan Perwakilan Desa sebagaimana yang telah terjadi dalam praktek kepemerintahan desa. Maka dengan perkembangan yang ada diharapkan intervensi dari Badan Perwakilan Desa kepada Pemerintah Desa dapat diminimalisir sehingga aparat desa dapat bekerja untuk mengurus kepentingan masyarakat desa secara umum. Solusi yang diberikan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah menetapkan personil anggota Badan Permusyawaratan dari penduduk desa yang memangku jabatan seperti Ketua RW, pemangku adat, dan tokoh masyarakat lainnya.

d. Sumber-Sumber Pendapatan Desa

Sumber pendapatan desa menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal107 ayat 1 adalah sumber pendapatan desa yang terdiri atas: a Pendapatan Asli Desa yang meliputi hasil usaha desa; hasil swadaya dan partisipasi; hasil gotong royong ii serta lain-lain pendapatan asli desa yang sah, b Bantuan dari Pemerintah Kabupaten yang meliputi: 1 bagian dari perolehan pajak dan retribusi daerah; 2 bagian dari dana perimbangan keuangan pusat, dan daerah yang diterima pemerintah kabupaten, c Bantuan dari Pemeritah dan Pemerintah Propinsi, d Sumbangan dari pihak ketiga, e Pinjaman desa. Penjelasan diatas memberikan bukti bahwa desa diberikan hak oleh Undang-Undang ini untuk memperoleh kelunakan perolehan dana dari pihak luar pemerintahan di atasnya dalam rangka peningkatan pendapatan desanya. Disamping itu juga dengan kekreatifitasan masing-masing desa diberikan kewenangan untuk membentuk badan usaha milik desa sebagai upaya peningkatan taraf hidup desa maupun perangkat desanya. Sedangkan untuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara umum kajiannya sama dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tetapi ada penambahan sedikit terkait pengertian keuangan desa. Keuangan desa menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 212 ayat 1 adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu yang baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik desa berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Pengertian hak dan kewajiban menurut yang tercantum dalam ayat 2 adalah segala sesuatu yang menimbulkan pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan desa. Jadi jelas, desa diberikan kewenangan untuk memperoleh pendapatan belanja dan mengelola keuangan desa selama masih dalam koridor hak dan kewajiban desa. Untuk sumber pendapatan desa terdapat penambahan yaitu adanya hibah, baik yang bersumber dari intern lingkungan desa maupun dari pihak luar lingkungan desa. Semua yang terkait tentang pendapatan dan keuangan desa diatur melalui perda sehingga secara legal formal pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan.

e. Pencantuman Perubahan Desa Menjadi Kelurahan