BUTUH PENANGANAN SEGERA SEMUA PIHAK
BUTUH PENANGANAN SEGERA SEMUA PIHAK
Tradisi pembuatan kertas daluang ini nyaris ditelan masa dari bumi nusantara. Begitu puladengan keberadaan pohon saeh asli garut. Setelah dilakukan penelusuran literatur akhirnya ditemukan tradisi pembuatan kertas daluang dan masyarakat pendukungnya. Mereka adalah warga kampung Tunggilis, Desa Cimanuk, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut. Meski tak langsung, mereka disebut-sebut sebagai pewaris tradisi itu. Pada tahun 1997 itu, keluarga ini menemukan sekitar 10 batang pohon saeh yang dimiliki pewaris tradisi ini. Mereka juga masih punya golok khusus tebas, golok khusus potong, pisau kujang untuk kulit kayu saeh, tasbih batu 200 biji dan kitab yang diwarisi turun-temurun dan tiga buah pameupeuh sebagai alat produksinya. Pameupeuh adalah sejenis alat pemukul. Alat ini
digunakaan ketika penyamakan kulit kayu. Terbuat dari campuran logam kuningan dan tembaga yang dicor dengan panjang 10 sentimeter dan empat sentimeter. Pada saat itu, mereka hampir tidak pernah membuat kertas daluang baik untuk keperluan sendiri atau pun dipasarkan. Mereka hanya membuatnya berdasar pesanan dan jumlahnya kecil. Dalam pembuatan kertas daluang, sama sekali tak dipakai teknologi yang njelimet. Ia dibuat oleh masyarakat biasa dengan teknologi dan peralatan yang sangat sederhana. Proses pembuatannya dilakukan secara manual dengan cara disamak, diperam dan dijemur di terik matahari. Meski begitu kertas ini amat bijak sebagai salah satu contoh kekayaan kearifan tradisional masyarakat nusantara terutama proses pembuatannya, alat-alat, dan lainnya (tinta) sangat khas/berbeda dibandingkan dengan daerah lain yang menghasilkan kertas pada jamannya, Yang hingga kini jumlahnya tidak diketahui lagi. Diketahui saat ini hanya ada dua daerah saja yang mampu menghasilkan kertas daluang yaitu Ponorogo, diketahui saat ini daerah ponorogo kehilangan pewarisnya dan jenis pohon saeh/daluang asli ponorogo turut hilang. Dengan melestarikan daluang tidak semata melestarikan budaya, sistem pengetahuan dan teknologi tradisional tetapi juga aset negara yang hanya tersisa di beberapa tempat.
Daluang dan Tinta Gentur dalam Tradisi Menulis Masyarakat
Seperti di daerah-daerah lain di Nusantara, bahan yang dijadikan media dalam tradisi menulis di Sunda, pada umumnya dilakukan secara bertahap. Sebelum menggunakan kertas industri sebagai media menulis masyarakat modern, masyarakat Sunda sebelumnya menggunakan daun lontar dan kemudian kertas daluang. KECUALI untuk sekelompok kecil ahli yang mendalami masalah sastra dan kebudayaan, dalam keseharian, daluang selama ini masih dianggap sebagai barang yang masih asing. Jangan pun untuk anak-anak muda, untuk sebagian besar orang tua sekalipun, sangat boleh jadi banyak yang belum mengenalnya.
Padahal, selain daun lontar yang dijadikan media dalam tradisi menulis, kertas daluang merupakan bahan yang banyak digunakan dalam tradisi tulis masyarakat Sunda. Biasanya, penggunaan kertas tersebut dilakukan dengan menggunakan tinta gentur, terutama untuk bahan-bahan atau buku pelajaran keagamaan sejalan dengan masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-17. Pemakaiannya lebih banyak digunakan di lingkungan pesantren dan kebutuhan administrasi lokal. Namun, sejalan dengan makin majunya teknologi dan industri, terutama industri pulp dan kertas, penggunaan kertas daluang makin terdesak karena di samping harganya lebih mahal, produksinya tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Dengan demikian, sejak itu usaha pembuatan kertas tersebut hampir dapat dikatakan tidak ada lagi. Bahkan, orang-orang yang dulu terlibat langsung dalam kerajinan pembuatan kertas tersebut sudah tidak ada lagi yang melanjutkan. Kesadaran akan tingginya kearifan tradisional tersebut barulah belakangan ini dikembangkan lagi, walaupun produksi dan penggunaannya masih sangat terbatas. Misalnya dalam penyelenggaraan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS), panitia secara khusus menggunakan bahan baku kertas tersebut untuk ratusan helai piagam penghargaan. Secara estetika, kertas daluang yang digunakan untuk piagam penghargaan tersebut lebih artistik. Warnanya agak kuning pucat dengan serat-serat sangat halus dengan ketebalan yang bisa diatur sesuai kebutuhan. Misalnya untuk kebutuhan tulis-menulis, ketebalan kertas daluang bisa dibuat sama dengan HVS 80 gram. Tetapi, untuk piagam, bisa lebih tebal lagi sehingga menyerupai kertas yang digunakan untuk map. Seperti halnya tumbuhan tingkat rendah, pohon saeh tidak memiliki bunga dan buah. Sedangkan daunnya menyerupai telapak tangan yang sedang mengembang dan sedikit berbulu. Walaupun ketinggian pohon bisa mencapai empat-enam meter dalam umur tanaman kurang lebih sepuluh bulan, tetapi batang yang tampak dari pohon tersebut sebenarnya merupakan batang semu. Tanaman saeh berkembang biak melalui akar rimpangnya atau geragih. Karena di dalam
akar tersebut terdapat semacam jaringan tumbuh, maka apabila akar tersebut menyembul ke permukaan tanah lalu terkena sinar matahari, akar tersebut akan terangsang berfotosintesis sehingga mengeluarkan tunas baru. USAHA untuk mengenalkan kembali penggunaan kertas daluang dan sekaligus melakukan budi daya tanaman pohon saeh, antara lain dilakukan Kelompok “Bungawari”, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memperoleh dukungan Global Environment Facility UNDP. Tedi Permadi dari Kelompok Bungawari mengungkapkan, di Garut pernah terdapat sekitar 50 hektar tanaman pohon saeh, tetapi kemudian ditebang karena dianggap tidak ekonomis. Di atas lahan kehutanan itu kemudian ditanam pohon pinus. Selain di kawasan tanah kehutanan, ternyata sampai tahun 1997 tanaman tersebut masih ditemukan di Kampung Tunggilis, Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja, Garut. “Jumlahnya antara 20-40 pohon,” katanya. Lalu, dengan bantuan Pusat Antar-Universitas Institut Teknologi Bandung (PAU-ITB), dilakukan percobaan di empat lokasi yang berbeda tingkat ketinggian dan kesuburan tanahnya. Ternyata percobaan penangkaran tanaman pohon saeh di Wanaraja dan Rancakalong (Sumedang) lebih berhasil,” ia mengungkapkan hasil percobaannya. Bahkan, kini sudah tersedia sekitar 2.000 benih yang siap untuk dibudidayakan. Menurut dia, pohon saeh lebih cocok ditanam di atas daerah yang berketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut dengan kondisi letak tanahnya miring dan memiliki sumber air permukaan. Pada lokasi tanah seperti itu, dalam umur satu tahun, tinggi tanaman bisa mencapai lima-enam meter dan setelah tiga tahun mencapai tujuh meter dengan diameter batang sekitar
12 sentimeter. Walaupun pembuatan kertas daluang tergolong sederhana dan tradisional, tetapi tidak banyak yang diketahui bagaimana cara pembuatan kertas tersebut. Dalam percobaan yang dilakukan Kelompok Bungawari, proses pengolahannya mula-mula dilakukan dengan memotong-motong pohon saeh sesuai dengan kebutuhannya. Batang yang sudah dipotong-potong itu kemudian
dikuliti lalu dibuang kulit arinya. Bagian yang tersisa berupa kulit kayu yang bersih kemudian direndam di air bersih selama kurang lebih setengah jam. Kulit kayu yang sudah direndam tersebut kemudian dipukul-pukul dengan menggunakan alat yang disebut pameupeuh di atas bantalan balok kayu pohon nangka sampai mencapai dua kali lipat panjang sebelumnya dan kemudian dicuci dan diperas. Selanjutnya bahan tersebut dilipat secara membujur lalu dipukul- pukul lagi hingga lebarnya mencapai setengah meter dan kemudian dijemur sampai setengah kering. Setelah kering, kemudian direndam lagi lalu diperas dan akhirnya dilipat untuk kemudian dibungkus dengan daun pisang yang masih segar selama lima-enam hari sampai kemudian mengeluarkan lendir. Setelah proses pemeraman, kemudian diratakan di atas papan dan kemudian ditekan beberapa kali dengan menggunakan tempurung kelapa yang bersisir. Lalu, dilanjutkan dengan menggunakan tempurung kelapa yang halus dan diakhiri dengan nangka yang sudah layu. Bahan tersebut kemudian dibentangkan pada sebuah batang pohon pisang dan kemudian dijemur di bawah terik matahari, sampai akhirnya mengering dengan sendirinya. Permukaan yang menempel pada batang pisang tersebut akan halus. Sedangkan permukaan lainnya agak kasar dihaluskan dengan kulit kerang. Menurut Tedi Permadi, satu hal yang belum ditemukan dalam teknik pembuatan kertas daluang adalah, bagaimana membuat kedua halaman kertas tersebut sama halusnya. Selain menggunakan kertas daluang, tradisi menulis dalam masyarakat Sunda dilakukan dengan menggunakan tinta khusus yang dibuat sendiri. Karena pembuatannya dilakukan masyarakat Kampung Gentur, Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, tinta tersebut disebut tinta gentur. Tinta gentur dibuat dibuat dengan menggunakan dua jenis bahan baku utama, yakni jelaga dan beras ketan. Jelaga diperoleh dengan cara membakar minyak tanah di dalam kaleng bekas cat dan kemudian asapnya ditampung dengan menggunakan kaleng yang lebih besar. Jelaga yang sudah terkumpul kemudian dihaluskan di dalam sebuah tempat yang disebut dulang. Bahan baku lainnya berupa beras ketan digarang di atas wajan sampai menjadi arang. Arang beras ketan tersebut kemudian disiram air panas lalu digodok sampai dikuliti lalu dibuang kulit arinya. Bagian yang tersisa berupa kulit kayu yang bersih kemudian direndam di air bersih selama kurang lebih setengah jam. Kulit kayu yang sudah direndam tersebut kemudian dipukul-pukul dengan menggunakan alat yang disebut pameupeuh di atas bantalan balok kayu pohon nangka sampai mencapai dua kali lipat panjang sebelumnya dan kemudian dicuci dan diperas. Selanjutnya bahan tersebut dilipat secara membujur lalu dipukul- pukul lagi hingga lebarnya mencapai setengah meter dan kemudian dijemur sampai setengah kering. Setelah kering, kemudian direndam lagi lalu diperas dan akhirnya dilipat untuk kemudian dibungkus dengan daun pisang yang masih segar selama lima-enam hari sampai kemudian mengeluarkan lendir. Setelah proses pemeraman, kemudian diratakan di atas papan dan kemudian ditekan beberapa kali dengan menggunakan tempurung kelapa yang bersisir. Lalu, dilanjutkan dengan menggunakan tempurung kelapa yang halus dan diakhiri dengan nangka yang sudah layu. Bahan tersebut kemudian dibentangkan pada sebuah batang pohon pisang dan kemudian dijemur di bawah terik matahari, sampai akhirnya mengering dengan sendirinya. Permukaan yang menempel pada batang pisang tersebut akan halus. Sedangkan permukaan lainnya agak kasar dihaluskan dengan kulit kerang. Menurut Tedi Permadi, satu hal yang belum ditemukan dalam teknik pembuatan kertas daluang adalah, bagaimana membuat kedua halaman kertas tersebut sama halusnya. Selain menggunakan kertas daluang, tradisi menulis dalam masyarakat Sunda dilakukan dengan menggunakan tinta khusus yang dibuat sendiri. Karena pembuatannya dilakukan masyarakat Kampung Gentur, Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, tinta tersebut disebut tinta gentur. Tinta gentur dibuat dibuat dengan menggunakan dua jenis bahan baku utama, yakni jelaga dan beras ketan. Jelaga diperoleh dengan cara membakar minyak tanah di dalam kaleng bekas cat dan kemudian asapnya ditampung dengan menggunakan kaleng yang lebih besar. Jelaga yang sudah terkumpul kemudian dihaluskan di dalam sebuah tempat yang disebut dulang. Bahan baku lainnya berupa beras ketan digarang di atas wajan sampai menjadi arang. Arang beras ketan tersebut kemudian disiram air panas lalu digodok sampai
2) Hang Pan (Hang Drum)
Hang drum pertama kali dibuat pada tahun 2001 oleh musisi Perusahaan PANart Ltd asal negeri Switzerland Felix Rohner dan Sabina Schärer yg kemudian langsung di tampilkan pada festival musik Frankfurter Musikmesse 2001. Alat musik yg masuk kedalam kategori alat musik IDIOPHONE ini dibuat dari dua buah lembaran besi khusus yg dibentuk menyerupai bentuk UFO yg dapat menghasilkan suara unik menyerupai suara Piano. HANG dalam bahasa Bernese German berarti "tangan". Jadi
keindahan suara yg dihasilkan oleh alat ini tergantung oleh tangan tangan musisi yg memainkannya. Di Kampung Pasir Kunci terdapat seorang pioneer pembuat Hang Pan (Hang Drum) yaitu Kang Dani, berdomisili tidak jauh dari Asset Lahan Pemkot Bandung yang kini sedang dalam proses perencanaan pembangunan. Kang Dani telah cukup banyak menghasilkan produk intrumen musik Hang Pan yang telah dijual ke berbagai macam segmen pasar baik lokal maupun internasional. Beberapa eksprimen telah dikembangkan melalui kolaborasi dengan alat musik tradisonal diantaranya karinding dan tarawangsa. Kang Dani telah memiliki demotape (rekaman) hasil dari eksperimen nya tersebut. Dia berharap bahwa hasil karyanya dapat menjadi salah satu potensi produk ekonomi kreatif dan atraksi wisata berbasis seni dan kebudayaan dalam rangka pengembangan Kampung Pasir Kunci sebagai Destinasi Wisata. Potensi pengembangan produk alat musik Hangpan (Hang drum) sangatlah besar, ini dapat dibuktikan dengan permintaan (demand) di berbagai situs lokal dan internasional untuk alat musik tersebut yang dihargai setara seharga Rp. 18 juta di pasaran internasional.
3) ROEKITA, Budidaya, Pelatihan dan Pemasaran Produk Pertanian Organik
Roekita (Rumah Organik Kita) adalah suatu komunitas yang dibentuk oleh warga masyarakat Kampung Pasir Kunci dalam menyikapi kerusakan lingkungan terutama lahan pertanian akibat pola pertanian konvensional yang masif dalam penggunaan pupuk kimia. Mulai mengembangkan sejak tahun 2014, Roekita hingga kini telah berhasil memasarkan produk pertanian organiknya ke berbagai macam segment pasar. Visi dari Roekita adalah Menjadi perusahaan unggul penghasil produk pertanian organik yang terbaik. Program kegiatan Roekita meliputi sosialisasi, pemberdayaan, penyuluhan, edukasi-training, penelitian, dan aktifitas kewirausahaan dalam bidang pertanian Organik. Sasaran kegiatan Roekita; masyarakat petani, masyarakat rumahan, instansi pendidikan, dan kelompok-kelompok pemuda yang peduli terhadap lahan pertanian serta yang siap bermitra dengan Roekita serta memiliki kepedulian terhadap kebelanjutan lingkungan. Program dan sasaran yang ditetapkan Roekita dibuat sederhana dan mudah dikelola oleh pihak yang berkeinginan bergabung dalam sistem pengelolaan yang diatur dan dimusyawarahkan secara bersama-sama bersama masyarakat.
okita
rumah organik kita
3.2 PERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN KAWASAN PASIR KUNCI Berdasarkan hasil kuesioner Focus Group Discussion serta pengamatan lapangan dan data instansional, permasalahan pengembangan kepariwisataan di Kecamatan Ujung Berung, khususnya di Kawasan Kampung Pasir Kunci adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan potensi sumber daya wisata kawasan Pasir Kunci belum optimal dikembangkan dikarenakan tidak adanya kelompok penggerak serta keterbatasan sumber daya manusia dan keuangan dalam pengembangannya.
2. Pelestarian Seni dan Budaya melalui Program Pembinaan serta Dukungan berbagai elemen masyarakat menjadi hal yang utama, Produk seni dan budaya ditempatkan sebagai upaya penguatan dan pemberdayaan masyarakat bukan hanya sebagai bagian dari atraksi wisata.
3. Belum adanya penataan kawasan wisata, sementara kawasan yang telah dibangun pun kurang terawat.
4. Prasarana dan akses jalan ke lokasi objek dan daya tarik wisata masih kurang baik (hanya cukup untuk satu lajur kendaraan roda 4), serta transportasi umum belum mendukung.
5. Kelengkapan sarana pendukung di objek dan daya tarik wisata masih kurang, dan yang ada pun kurang terawat.
6. Komunikasi/informasi mengenai keberadaan dan kondisi objek wisata masih sering kurang optimal/akurat.
7. Masyarakat sekitar yang belum sadar wisata; kesadaran untuk mensukseskan pariwisata masih kurang; belum mencerminkan masyarakat yang ramah dan terbuka kepada wisatawan
8. Penanganan keselamatan pengunjung di objek dan daya tarik wisata masih kurang, karena keterbatasan anggaran.
9. Keterbatasan anggaran untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana penunjang kepariwisataan.
10. Pemasaran dan promosi pariwisata yang belum berkembang dengan baik.
3.3 PASAR WISATAWAN Kawasan Kampung Pasir Kunci memiliki potensi pasar wisatawan domestik yang cukup besar. Hal ini disebabkan antara lain karakteristik Kawasan Ekowisata Pasir Kunci yang unik dan khas sehingga memberikan pengalaman berwisata yang berbeda dengan yang lain. Potensi objek dan daya tarik wisata yang terdapat di Kawasan Pasir Kunci menawarkan nuansa “kembali ke alam“ dengan cara memanfaatkan setting alam Pasir Kunci khususnya alam pedesaan, pesawahan,
pegunungan dan sungai.
Pasar wisatawan eksisting Kawasan Ekowisata Pasir Kunci antara lain wisatawan lokal dan regional, terutama wisatawan yang berasal dari kawasan ujung berung dan Kota Bandung dengan tujuan wisata kuliner serta menikmati keindahan panorama alam. Tidak adanya strategi Diversifikasi serta Multiplikasi Produk Wisata dalam pengembangan destinasi, menyebabkan tingkat kunjungan rendah sehingga secara perhitungan bisnis merugi.
3.4 POTENSI PASAR WISATAWAN Potensi pasar wisatawan Kawasan Pasir Kunci secara umum adalah jumlah penduduk Kota Bandung. Potensi pasar yang besar ini merupakan peluang yang sangat potensial dalam pengembangan pariwisata Kawasan Pasir Kunci. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.