OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA
3.1 OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA
Objek dan daya tarik wisata yang terdapat di Kawasan Pasir Kunci meliputi objek dan daya tarik wisata yang terdapat di RW 11 Kelurahan Pasirjati Kecamatan Ujungberung Kota Bandung. Terdapat beberapa daya tarik primer di lingkungan Kampung Pasir Kunci yaitu Kawasan Seni dan Budaya Pasanggrahan, Kawasan Agrowisata Pasanggrahan, Kawasan Terpadu Manglayang serta Kawasan Agrowisata Cilengkrang. Pengembangan kegiatan pariwisata di Kawasan Pasir Kunci adalah kegiatan yang dikembangkan mengacu pada prinsip ekowisata, yaitu prinsip konservasi, prinsip edukasi, prinsip pemberdayaan masyarakat, prinsip ekonomi dan prinsip wisata. Tema ini lahir disebabkan oleh kondisi kawasan yang berupa pedesaaan, perbukitan, persawahan, kebun masyarakat serta berada di kawasan bandung utara (KBU) yang tetap harus dijaga kelestariannya. Dari besarnya potensi ekowisata di sini, terdapat juga permasalahan klasik yang sering ada di setiap kawasan wisata, yaitu belum optimalnya pengembangan potensi ekowisata itu sendiri.
Selain itu, ada juga permasalahan yang berbeda-beda di tiap objek dan daya tarik ekowisata, seperti kurang terawatnya objek dan daya tarik wisata, prasarana jalan ke objek wisata yang masih kurang baik, kerjasama antar instansi dalam membangun kepariwasataan serta sumber daya manusia dalam pengelolaan destinasi wisata.
3.1.1 Gambaran Umum Kampung Pasir Kunci
Pasir kunci adalah nama daerah perkampungan yang berada di wilayah otonomi Pemerintah Kota Bandung. Tepatnya berada di RW 11 Kelurahan Pasirjati Kecamatan Ujungberung Kota Bandung. Kelurahan Pasirjati Ujungberung terdiri dari 12 Rukun Warga dan 51 Rukun Tetangga. Secara geografis daerah tersebut berada di kaki Gunung Manglayang dan sekaligus sebagai perbatasan
antara kota dan kabupaten Bandung.
Keberadaan lingkungan alamnya yang asri dan banyak terdapat lahan terbuka hijau serta sawah- sawah
yang terbentang membuat kawasan ini memiliki daya tarik wisata alam di kota Bandung. Kelurahan Pasirjati Kecamatan Ujungberung Kota Bandung dibentuk berdasarkan PP No. 16 tahun 1987 tentang perubahan
batas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung dan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 08 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Kelurahan di Lingkungan Pemerintah Kota Bandung, merupakan daerah pemekaran dari Desa
Jatimekar yang kala itu Desa Jatimekar dipecah menjadi 2 yaitu Desa Pasirjati dan Desa Cipanyalu pada tahun 1987 dipecah menjadi 2 (dua) Desa yaitu Desa Pasanggrahan dan Desa Jati Mekar. Kelurahan Pasirjati secara administratif Pemerintah berlokasi di wilayah Kecamatan Ujungberung Kota Bandung, dengan batas wilayah dan tanda batasnya adalah : -
Sebelah Utara : Kab. Bandung -
Sebelah Selatah : Kec. Cinambo -
Sebelah Barat : Kel. Pasirwangi dan Kel. Cigending -
Sebelah Timur : Kab. Bandung dan Kel. Pasanggrahan Kelurahan Pasirjati terletak pada posisi 107º 42’ Bujur Timur dan 6° 54’ Lintang Selatan yang strategis tepat di sisi Utara Bandung Timur dengan panorama alam lereng Gunung Manglayang, berada pada ketinggian sekitar 750 M dari permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 19° C - 24° C dan curah hujan 2400 mm/tahun. Jarak dan waktu tempuh dari kelurahan Pasirjati ke beberapa tempat yaitu : -
Jarak ke Kantor Pemerintah Provinsi
: 10 Km
- Jarak ke Kantor Pemerintah Kota
: 11 Km
- Jarak ke Kantor Pemerintah Kecamatan
: 0,5 Km
- Waktu tempuh ke Pusat Kota Bandung
: 1 Jam
3.1.2 Sejarah dan Riwayat Kampung Wisata Pasir Kunci
Berawal dari sebuah pemikiran salah seorang Warga Negara Indonesia (Asep Gumbira) yang salah satu bagian dari warga masyarakat kota Bandung merasa peduli akan nilai-nilai seni dan budaya serta berupaya menjaga akan kelestariannya agar tidak punah keberadaannya seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman. Hal tersebut sekaligus berupaya membantu Program Pemerintah baik Tingkat Nasional, Provinsi dan Pemerintah Daerah Kota Bandung melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Salah satu bukti nyata akan kepeduliannya yakni dengan membangun sebuah “Padepokan Seni” diatas tanah milik pribadi sebagai tempat berkumpul para Berawal dari sebuah pemikiran salah seorang Warga Negara Indonesia (Asep Gumbira) yang salah satu bagian dari warga masyarakat kota Bandung merasa peduli akan nilai-nilai seni dan budaya serta berupaya menjaga akan kelestariannya agar tidak punah keberadaannya seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman. Hal tersebut sekaligus berupaya membantu Program Pemerintah baik Tingkat Nasional, Provinsi dan Pemerintah Daerah Kota Bandung melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Salah satu bukti nyata akan kepeduliannya yakni dengan membangun sebuah “Padepokan Seni” diatas tanah milik pribadi sebagai tempat berkumpul para
1) Sampai tahun 2007, Kota Bandung belum memiliki Objek Wisata Alam sendiri. Promosi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata merupakan objek wisata alam diluar kota Bandung.
2) Dalam rangka mewujudkan 7 (tujuh) Agenda Prioritas Kota Bandung Bermartabat.
3) Mengoptimalkan pendayagunaan potensi otonomi daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Saerah (PAD) dan taraf hidup masyarakat.
4) Ikut serta membantu Program Pemerintah Provinsi Jawa Barat yakni Program Pengembangan dan Pelestarian Seni Budaya Jawa Barat serta mewujudkan Pariwisata berbasis masyarakat.
Tahun 2010 Kampung Wisata Pasir Kunci dengan luas 1,4 Hektar diusulkan menjadi asset Pemerintah Kota Bandung, dan pada tahun 2011 Kampung wisata pasir kunci resmi menjadi milik Pemerintah Kota Bandung dan menjadi tanggungjawab penuh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung.
3.1.3 Potensi dan Daya Tarik Wisata serta Ekonomi Kreatif Kampung Pasir Kunci
Potensi Daya Tarik wisata yang dapat ada serta dikembangkan dalam rangka pelestarian seni, budaya serta menunjang atraksi wisata adalah sebagai berikut :
A. Kegiatan Seni Sunda
Merupakan kegiatan rutin dari pengurus Kampung Wisata Pasir Kunci dalam upaya pelestarian seni budaya sunda, yakni dengan mengajarkan bentuk-bentuk seni sunda pada anak usia 7-11 tahun. Bentuk kesenian yang diajarkan pada anak (dan merupakan kesenian asli) diantaranya: Buncis, Angklung Ringkung, Tembang serta Benjang. Kegiatan tersebut kini sudah tidak aktif dan vakum (berhenti), dikarenakan tidak adanya program pengembangan pendidikan pelestarian kesenian dan kebudayaan yang berkelanjutan. Perlu adanya dorongan serta dukungan dari Dinas terkait serta Komunitas yang memiliki kepedulian serta komitment dalam pelestarian kesenian dan kebudayaan sunda.
1) Seni Reak
Salah satu jenis seni pertunjukkan di Jawa Barat yang kerap hadir, terutama di ruang terbuka, adalah reak. Seni rakyat ini bisa ditemukan di sekitar Ujung Berung-Bandung, Cileunyi- Bandung, dan Sumedang, Subang, Karawang, dan sekitarnya. Kesenian ini diselenggarakan oleh
masyarakat pada perhelatan Sunatan atau khitan. Kerap pula ditampilkan pada acara-acara panen atau 17 Agustus-an. Reak pun dihadirkan pada acara pernikahan, ulang tahun, peringatan akil baligh dan lainnya. Kesenian ini berupa iring-iringan dengan seperangkat atau sekumpulan istrument etnik sunda, seperti suling, kendang, kentungan, calung. Terlibat juga di dalamnya sinden (penyanyi), kuda lumping (kuda yang sudah dilatih untuk pertunjukkan), sisingaan (patung singa beserta penari), dan penari bertopeng. Penggunaan kata “reak” sebagai nama bagi kesenian ini memang banyak penjelasannya. Sebagian mengatakan bahwa “reak” berasal dari kata “reog”, mirip dengan nama bagi kesenian dari Jawa Timur, terutama “Reog Ponorogo”. Reak maupun Reog, menurut sebagian pandangan berasal dari kata Arab “riyyuq” yang artinya “bagus atau sempurna di akhir” atau khusnul khatimah. Sebagian lagi menyatakan bahwa reak berasal dari kata “leak”, yakni salah satu symbol kekuatan jahat dalam tradisi Hindu-Bali, yang menyimbolkan Batara Kala atau ogoh-ogoh. Tapi untu pelaku seni reak ini, asal-usul nama dan konteks penggunaannya tidaklah menjadi persoalan. Yang penting bagi mereka, reak adalah fakta budaya yang menyangkut media hiburan dan media ekspresi kultural mereka. Dalam komposisi iring-iringan ini, “reak” ditampilkan sebagai topeng yang dikenakan para penari. Kuda lumping memiliki makna “pengendalian kekuatan”. Kuda merepresentasikan kekuatan, mampu dijinakkan dan dikendalikan oleh manusia, serta mampu dilatih untuk melakukan atraksi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan dan kegagahan mampu dijinakkan melalui pendidikan; dan apabila kekuatan itu telah mampu dikendalikan, maka ia akan mampu menunjukkan keindahan dan keluwesan.
Di wilayah Sunda tidak ada binatang berupa singa. Dapat dipastikan bahwa “singa” merupakan “pemodelan” import. Sebagian menyebutkan bahwa “singa” muncul sebagai bentuk pengaruh dari tradisi Cina. Singa dianggap sebagai binatang kuat dan disebut sebagai “raja hutan”. Makna simbolik dari “sisingaan” adalah hampir sama dengan makna bagi kuda lumping, yakni pengendalian kekuatan yang mewujud menjadi keindahan dan keluwesan.
Mistis
Iring-iringan reak biasanya diarak berkeliling dari kampung ke kampung, menelusuri jalan raya. Sebelum iring-iringan dilaksanakan, sang pemimpin reak atau pawang biasanya melakukan ritual khusus, yang terdiri dari “mujasmedi” sambil membacakan mantera-matera, dan membakar kemenyan . Tujuannya adalah upaya untuk meminta keselamatan selama proses reak berlangsung. Setelah ritual awal selesai, dimulailah membunyikan instrumen-instrumen atau tabuh-tabuhan, dengan nada-nada “ritmis” pembukaan. Pengantin sunat didudukkan di atas punggung kuda lumping dan atau sisingaan. Sedangkan, reak [penari bertopeng] ikut bersama mengikuti keduanya, sambil menarikan tarian-tarian. Beberapa penari menyebutkan bahwa tarian-tarian mereka merupakan gerak otomatis atau natural (alami), tergantung pada bawaan “ruh” para leluhur yang merasuki badan dan jiwa mereka. Suara instrumen yang berirama mistis dan nyanyian para sinden sangat nyaring dan dominan terdengar hingga jarak yang cukup jauh. Sinden, yang umumnya terdiri dari dua atau tiga orang, melantunkan beberapa nyanyian sunda, secara bergantian, terutama nyanyian yang biasa dilantunkan dalam tari jaipongan. Tetapi, nyanyian mereka juga diselingi dengan beberapa nyanyian kontemporer, seperti dangdut. Dengan tarian khas kuda lumping dan atau sisingaan, semua iringan mengitari dan mengikuti ke mana keduanya diarahkan. Pada tempat-tempat yang agak luas, kuda lumping dan sisingaan melakukan atraksi tertentu. Sesekali terdapat orang yang kerasukan , yang diklaim kerasukan ruh” atau istilah mereka “jadi” [jadi reak, yakni melebur antara dirinya dengan jiwa atau ruh reak sendiri. Mereka umumnya dalam keadaan tidak sadar disebabkan oleh suara mistis dari bunyi-bunyian instrumen dan penghayatan terhadap tari-tari tertentu yang dimainkan. Di sinilah, sebagian menganggap bahwa “reak” merupakan simbol dari kejahatan, tetapi “kasurupan” atau melebur antara dirinya dengan ruh jahat, dianggap sebagai puncak “ritual”, puncak penyatuan diri, dan puncak ekspresi budaya mereka. Dengan demikian, “jadi” bagi mereka adalah keagungan dan kehebatan. Sebagian menyebutkan kesenian ini berasal dari peninggalan kerajaan Pajajaran. Sedangkan pendapat lainnya Iring-iringan reak biasanya diarak berkeliling dari kampung ke kampung, menelusuri jalan raya. Sebelum iring-iringan dilaksanakan, sang pemimpin reak atau pawang biasanya melakukan ritual khusus, yang terdiri dari “mujasmedi” sambil membacakan mantera-matera, dan membakar kemenyan . Tujuannya adalah upaya untuk meminta keselamatan selama proses reak berlangsung. Setelah ritual awal selesai, dimulailah membunyikan instrumen-instrumen atau tabuh-tabuhan, dengan nada-nada “ritmis” pembukaan. Pengantin sunat didudukkan di atas punggung kuda lumping dan atau sisingaan. Sedangkan, reak [penari bertopeng] ikut bersama mengikuti keduanya, sambil menarikan tarian-tarian. Beberapa penari menyebutkan bahwa tarian-tarian mereka merupakan gerak otomatis atau natural (alami), tergantung pada bawaan “ruh” para leluhur yang merasuki badan dan jiwa mereka. Suara instrumen yang berirama mistis dan nyanyian para sinden sangat nyaring dan dominan terdengar hingga jarak yang cukup jauh. Sinden, yang umumnya terdiri dari dua atau tiga orang, melantunkan beberapa nyanyian sunda, secara bergantian, terutama nyanyian yang biasa dilantunkan dalam tari jaipongan. Tetapi, nyanyian mereka juga diselingi dengan beberapa nyanyian kontemporer, seperti dangdut. Dengan tarian khas kuda lumping dan atau sisingaan, semua iringan mengitari dan mengikuti ke mana keduanya diarahkan. Pada tempat-tempat yang agak luas, kuda lumping dan sisingaan melakukan atraksi tertentu. Sesekali terdapat orang yang kerasukan , yang diklaim kerasukan ruh” atau istilah mereka “jadi” [jadi reak, yakni melebur antara dirinya dengan jiwa atau ruh reak sendiri. Mereka umumnya dalam keadaan tidak sadar disebabkan oleh suara mistis dari bunyi-bunyian instrumen dan penghayatan terhadap tari-tari tertentu yang dimainkan. Di sinilah, sebagian menganggap bahwa “reak” merupakan simbol dari kejahatan, tetapi “kasurupan” atau melebur antara dirinya dengan ruh jahat, dianggap sebagai puncak “ritual”, puncak penyatuan diri, dan puncak ekspresi budaya mereka. Dengan demikian, “jadi” bagi mereka adalah keagungan dan kehebatan. Sebagian menyebutkan kesenian ini berasal dari peninggalan kerajaan Pajajaran. Sedangkan pendapat lainnya
2) Gamelan Salendro
Gamelan salendro: Kata “gamelan” berasal dari kata “Gamel” yang berarti memukul, maka Gamelan diartikan sebagai sekelompok Instrument musik yang dimainkan secara terpadu dalam sebuah kelompok. Gamelan salendro ini bisa
pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan merupakan sebentuk nama alat yang didukung oleh bermacam- macam waditra di dalamnya, yang merupakan satu kesatuan komposisi dalam wujud pergelarannya.
Nama-nama Waditra Gamelan Pelog-Salendro
Adapun waditra-waditra itu tertentu dalam jumlahnya menurut kebutuhan atau teknik dan tradisinya. Waditra-waditranya kebanyakan terdiri dari alat pukul, seperti: dua perangkat saron, peking, demung (panerus), selentem, bonang, rincik, kenong, kenong, kendang, kempul dan gong, rebab, gambang. Dilihat dari segi cara membunyikannya, maka waditra-waditra dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu: alat pukul, alat petik/gesek, alat tiup. Pada gamelan pelog- salendro sangat jarang sekali dipergunakan alat tiup (misalnya suling) karena lagu (melodi) dipercayakan pada rebab. Sebaliknya pada gamelan degung tidak dipergunakan alat gesek
(rebab) karena suling telah berfungsi sebagai pembawa lagu. Bahkan pada pergelaran renteng, suling dan rebab tidak dipergunakan, melodi lagu dibawakan oleh bonang.
Fungsi Waditra Gamelan Pelog Salendro
Komposisi yang dijalin oleh nada-nada waditra gamelan mempunyai tugas-tugas khusus dalam pergelarannya. Sifat-sifat berdialog dalam jalur melodi lagu yang berbeda-beda antar waditra berjalan bersama menuju daerah kenongan dan goongan menjadikan gending suatu kesatuan tabuh yang kaya dalam ragam gending. Dalam hal inilah salah satu unsur yang membentuk ciri husus dalam gending gamelan Sunda.
3) Angklung
Angklung adalah sebuah alat musik tradisional yang terbuat dari bambu, yaitu dua ruas bambu atau lebih dengan ukuran yang
berbeda disusun pada bambu yang lain sebagai penyangga. Cara menggunakan angklung adalah dengan menggoyangkannya. adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian barat.
Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2,
3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
4) Calung
Calung adalah seperangkat alat musik yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara dipukul. Tangga nada yang dipakai adalah tangga nada pentatonis berlaras slendro kemudian dikembangkan kedalam laras pelog. Sejarah alat musik Calung begitu menarik. Pada awalnya, alat musik calung ini berasal dari alat yang digunakan
untuk menghalau burung disawah yang terbuat dari belahan bambu yang disebut kekeprak. Kekeprak dibunyikan dengan cara digerakan dengan air yang jatuh dari pancuran dan digunakan untuk menakut-nakuti Sero, sejenis binatang pemakan ikan peliharaan di kolam atau disawah. Dari kekeprak berkembang menjadi calung dan sekarang ini terdiri atas berbagai bentuk dengan nama yang berbeda, seperti calung gambang, calung gamelan dan calung JingJing.
5) Buncis
Buncis
merupakan seni
pertunjukan
yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara
pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar .
6) Benjang
Benjang
(asli Ujungberung): mempertontonkan ibingan (tarian yang mirip dengan gerakan pencak silat, juga dipertunjukan gerak- gerak perkelahian yang mirip gulat. Seperti
umumnya kesenian
tradisional
Sunda yang selalu mempergunakan
lagu untuk
gerakan-gerakan pemainnya, demikian pula dalam seni benjang, lagu memegang peranan yang cukup penting dalam menampilkan seni benjang. Pemain benjang akan saling mendorong antara dua pemain dengan mempergunakan halu (antan) dalam sebuah lingkaran atau arena, yang terseret ke luar garis lingkaran dalam dogong itu dinyatakan kalah. Dari gerakan dogong tadi kemudian berkembang gerakan serenda, yaitu saling desak dan dorong seperti pemain sumo Jepang anpa alat apa pun. Begitu pula aturannya, yang terdorong ke luar dinyatakan kalah. Dalam gerakan ini yang dipergunakan adalah pundak masing-masing, jadi tidak menggunakan alat apa pun. Selain itu, ada pula yang disebut gerakan mirip bagong (celeng), dan dodombaan yaitu gerakan atau ibing mirip domba yang sedang berkelahi adu tanduk. Benjang sebagai perkembangan dari permainan adu munding (kerbau), lebih mengarah pada permainan gulat. Di dalamnya terdapat gerakan piting (menghimpit) yang dilengkapi dengan gerak-gerak pencak silat. Apabila diperhatikan, bentuk dan gerakan seni benjang ini termasuk seni gulat tradisional. Keunikan benjang adalah musik tradisional Sunda yang menjadi pengiringnya. Seperti halnya pencak silat, penampilan bendjang memang diiringi musik tradisional Sunda, seperti menggunakan kendang pencak dan rebana maupun terompet. Beladiri ini memang berbeda dengan kebanyakan seni beladiri lainnya. Benjang memiliki tingkat risiko cedera lebih tinggi, bahkan jika dibanding
mengiringi
olahraga gulat. Bila gulat lebih menitik beratkan pada kelenturan dan keterampilan mengunci lawan, benjang sebaliknya. Berhasil melumpuhkan lawan dengan cara yang mematikan, dialah pemenangnya. Karena itu, tidak sembarang orang dapat tampil bertarung di arena benjang. Alasannya, selain harus bersedia membuat surat pernyataan untuk tidak melakukan tuntutan apabila mengalami cedera fatal, para pebenjang yang akan tampil tidak cukup hanya mengandalkan keberanian saja, tapi juga keterampilan.
“Seni tradisional Ujungberung yang dikenal dengan nama benjang tercipta sekitar tahun 1906- 1923. Olahraga ini diciptakan oleh H. Hayat atau lebih dikenal dengan nama Anom Haji, putera ketiga dari hartawan bangsa pribumi yang terkenal pada masa itu. Adapun alasan benjang disebut sebagai olahraga asli Ujungberung karena penemunya, tinggal di kampung Warunggede, Desa Cibiru, Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung. Ada dua versi asal-usul nama benjang, yaitu satuan kata ben yang artinya permainan serta kata jang, yang merupakan singkatan dari bujang (pemuda). Pihak yang menang adalah yang dapat membanting lawannya ke tanah, dari silih banting menjadi silih menindih. Yang menang adalah yang dapat menindih lawan yang terlentang menghitung bentang. Gerakan jurus pada seni benjang adalah perpaduan dari jurus ketangkasan di masa lalu, terutama jenis beladiri kontak badan selain silat, seperti, sumo, sampai pada westerlen, judo, gulat, jujitsu, kempo dan karate. Ada yang menarik dari benjang, yakni keharmonisan dan lenturnya gerakan dalam pertandingan, yang dibatasi peraturan, diantaranya tidak boleh mencekik leher lawan, memukul, menyikut, mencubit, menggigit dan menendang lawan, juga memegang kaki baik satu atau keduanya. Pertunjukan benjang biasa digelar di atas lapangan berdiameter minimal 5-9 meter, sebagai arena pertandingan yang berbentuk lingkaran. Diselenggarakan pada malam hari, penerangannya berupa obor bambu atau petromaks, digantung pada tiang bambu
B. “Gebyar Seni Kampung Wisata Pasir Kunci”
Adalah kegiatan atau apresiasi seni sunda yang diselenggarakan di pasir kunci dengan semarak atas kerjasama masyarakat dan Pemerintah Daerah Kota Bandung. Kegiatan ini telah lama berhenti dan mengalami kebuntuan terutama dalam kaitan momentum pelaksanaan acara Gebyar Seni Kampung Pasir Kunci. Idealnya kegiatan tersebut merupakan bentuk manifestasi dari kebudayaan masyarakat dalam merespon keadaan, apresiasi terhadap alam dan lingkungan, para leluhur serta waktu tertentu yang merupakan nilai dasar dari kebudayaan itu sendiri.
C. Kegiatan Wisata Keluarga
Merupakan salah satu kegiatan rutin yang ada di Pasir kunci adalah Wisata keluarga, meliputi : Wisata Kuliner, Wisata Bermain anak-anak, Kolam Renang, Petik Strawberry, Kolam pancing ikan dan lain-lain. Layaknya padepokan, tak hanya nuansa fisik budaya Sunda yang terlihat. Ruh seni coba ditiupkan melalui beragam kegiatan seni yang ditujukan untuk masyarakat umum di sebuah tempat bernama Saung Padepokan.Semisal angklung, calung atau seni bela diri benjang yang menjadi ciri khas masyarakat Ujung Berung. kawasan yang memiliki slogan “Nyawang Bandung Heurin Ku Tangtung” ini terletak di kaki gunung Manglayang di daerah perbukitan indah, nyaman dan asri (daerah sangat hijau). Didalamnya telah disediakan atraksi berupa :
1) Padepokan
Padepokan merupakan bangunan tempat latihan seni yang dibangun
bercirikan
budaya
sunda.Bangunan ini
(Padepokan)
seni dibuat untuk dipergunakan sebagai sarana latihan dan pagelaran para lingkung seni dan paguron khususnya yang berada di Bandung Timur. Disamping itu bersama-sama rekan pengurus di Bidang
dan
peralatan
Seni Budaya berupa melestarikan seni melalui pelatihan anak-anak usia sekolah (7-15 tahun). Adapun jenis seni yang dilatih diantaranya Seni Benjang Helaran (asli Ujungberung), Buncis, Tembang Sunda (Kecapi Suling), Pupuh, Angklung Ringklung, Gamelan salendro dan Calung. Latihan biasanya dilakukan tiga kali dalam seminggu.Selain seni sunda padepokan ini juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan seni lainnya.
2) Panglawungan
Panglawung dibangun sebagai tempat pertemuan para pelaku dan peduli seni. Disamping itu bangunan Panglawung ini dapat dimanfaatkan untuk pertemuan keluarga yang berkunjung ke Kampung Wisata Pasirkunci.
3) Panyawangan
memiliki model seperti Panglawung dibangun menghadap Kota Bandung tiada lain dengan maksud “Nyawang Bandung heurin Ku Tangtung”
Bangunan
ini
(baca: melihat bandung yg padat penduduk) sehingga di waktu malam dapat melihat gemerlapnya lampu.
4) Saung-saung
Saung-saung merupakan bangunan kecil tradisional yang peruntukannya untuk melepas lelah,
bersantai
sambil menikmati
pemandangan
dan bersantap ala sunda.Tiap saung tersebut memiliki kapasitas sekitar 5-8 orang.
alam
5) Lesehan Hese Baleum
Bangunan
sunda tempat menikmati berbagai jenis makanan dan minuman bernuansa tradisional sunda seperti nasi timbel komplit, nasi liwet komplit, ikan asin, ikan bakar/goreng, karedok, sambel “hese baleum”, dan lain
khas
sebagainya.Untuk minumnya tersedia bandrek, bajigur dan jus strawberry dan berbagai jenis makanan ringan seperti kacang, jagung, ubi dan singkong rebus. Semua menu yang disajikan merupakan menu masakan tradisional sebagai bentuk pelestarian budaya Sunda yang akan memberikan kesan tersendiri bagi para pengunjung.
6) Kolam Renang “Icikibung”
Kolam renang yang disediakan ialah untuk
anak-anak
dan
balita. Kolam renang ini bersifat terbuka dengan beratapkan awan dan sumber air dari mata air yang jernih. Di kolam renang tersebut disediakan beberapa permainan seperti seluncuran/perosotan ke air dan guyuran air dari ember ketika terisi cukup penuh dalam rentang waktu tertentu sehingga anak-anak tidak hanya berenang tetapi juga dapat bermain. Dari kolam renang juga dapat terlihat pemandangan kota Bandung sehingga menambah kenikmatan disaat berenang. Untuk dapat berenang cukup dengan biaya Rp. 5.000,- maka wisatawan dapat berenang sepuasnya.
7) Kolam Pemancingan “Clom Giriwil”
Kolam pemancingan berada dekat dengan gerbang masuk yang disekeliling kolam itu terdapat saung- saung untuk menikmati berbagai menu masakan yang telah
pengunjung yang ingin memancing disediakan fasilitas jejer dan koja berikut umpannya. Sistem yang digunakan ialah kilo angkat
disediakan.Bagi
dengan harga Rp. 25.000,-/kg
8) Kamar Penginapan
Bagi para pengunjung yang memiliki kegiatan wisata lebih dari satu hari disediakan penginapan bagi yang ingin menetap beberapa hari.Terdapat dua kamar penginapan dengan harga Rp. 150.000,-/hari untuk
250.000,-/hari untuk dua kamar penginapan. Arsitektur bangunan kamar bergaya tradisional dengan bahan-bahan yang ramah
satu
kamar dan
Rp.
lingkungan sehingga menambah kesan pedesaan yang alami. Kondisi Kamar Penginapan saat ini telah rusak dan tidak dapat dipakai, beberapa bagian telah mengalami kerusakan dengan intensitas parah.
9) Taman Bermain Anak
Terletak di depan fasilitas Padepokan sebuah arena bermain anak- anak yang terdiri dari beberapa jenis permainan seperti ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, dan lain-lain. Sehingga kesenangan tersendiri bagi anak-anaknya. Beberapa fasilitas permainan telah rusak dan tidak bisa dipakai sama sekali.
10) Lahan Parkir
Terdapat dua lahan parkir yang disediakan kawasan ini yaitu lahan parkir setelah gerbang masuk dan dilahan kosong bagian atas kawasan.Untuk lahan parkir setelah gerbang masuk cukup menampung sekitar dua mobil dan sepuluh kendaraan roda dua. Untuk menampung kendaraan yang lebih banyak maka Terdapat dua lahan parkir yang disediakan kawasan ini yaitu lahan parkir setelah gerbang masuk dan dilahan kosong bagian atas kawasan.Untuk lahan parkir setelah gerbang masuk cukup menampung sekitar dua mobil dan sepuluh kendaraan roda dua. Untuk menampung kendaraan yang lebih banyak maka
11) Fasilitas Fisik Lainnya Fasilitas
strawberry, wc dan lain sebagainya. Selain itu terdapat beberapa fasilitas lain yang dimiliki oleh Kampung Wisata Pasir Kunci seperti berbagai jenis tanaman baik tanaman hias, pelindung, maupun tanaman produktif. Sehingga wisatawan dapat melihat langsung proses bercocok tanam dan mendapatkan pengetahuan mengenai tata caranya.
D. Produk Ekonomi Kreatif
1) Budidaya dan Pengolahan Produk Pohon Saeh (Broussonetiapapyryfera Vent)
Broussonetia papyrifera (L.) Vent. Atau Pohon Saeh dalam sebutan Tradisi masyarakat Sunda Merupakan tumbuhan berumah dua, tanaman penghisap, tinggi mencapai
12(-35) m, mengandung lapisan susu, dengan tunas kecil, axiler. Batang berkenyal-kenyal,kulit kayu luar lembut, kulit kayu dalam mengandung serat yang dapat dijalin dan dapat diekstrak pada lapisan yang luas,; ranting rindang, tebal 1.5-3 mm, subtomentose, hirtellous hingga berambut.
Daun berseling,dan tersusun spiral atau berhadapan. -Daun mengubah dan cara spiral mengatur atau subopposite; stipula bebas, semi-amplexicaul, bulat telur, panjang 0.5-1.5 cm, berambut, [yang] sedikit berrusuk, caducous; panjang petiola ( 1-)2-9(-15) cm, subtomentose; helaian daun bulat telur hingga ellips, 5-20 cm x 4-12 cm, rata atau bercuping 5, hampir tidak rata, chartaceous, pangkal bentuk jantung hingga membulat atau agak meruncing, tepi berombak, bergerigi atau bergigi, ujung meruncing atau agak runcing, permukaan atas berambut, permukaan bawah berambut lebih lebat hingga subtomentose pada urat daun. Urat daun lateral 5-9 pasang. Inflorescences jantan soliteer atau biasanya berkelompok pada tunas yang pendek, tandan, pendulous; panjang peduncle 1-2.5 cm, berambut hingga tomentellous; panjang tandan 3-10 cm; perianthium bercuping 4, panjang 1.5-2 mm, berambut; benang sari 4, panjang 3-3.5 mm, panjang anthera sekitar 0.8 mm; bractea 1.5-2.5 mm, berambut. Inflorescences betina capitate, soliter di axil daun atau di bawah daun, panjang pedunkel 0.3-1.5 cm, berambut hingga tomentellous; kepala membulat, diameter 1-1.2 cm; perianthium tubular, panjang sekitar 1 mm, bergigi 4; panjang ovarium sekitar, stigma 1, filiform, panjang 7-10 mm.
Infrutescence sinkarp, agak membulat, diameter 2-2.5 cm, bagian yang berdaging, berisi braktea interfloral, yang biasanya berubah menjadi oranye; buah drupa, dengan pangkal dangkal dan exocarpium putih, endocarpium bulat telur, panjang 2-2.5 mm. Biji kecil, kotiledon datar dan radikel panjang
Manfaat Tumbuhan
Selama berabad - abad, serat kulit kayu bagian dalam digunakan untuk pembuatan kertas dan pabrik tekstil untuk pakaian. Penerapan awalnya dijumpai di Jepang, China, Indo-China, Thailand, Burma (Myanmar), Filipina, Jawa dan Madura, meskipun dengan metode produksi yang berbeda dan kemudian diantara yang lainnya, Indonesia, New Guinea dan Polynesia, dimana pabrik dikenal sbagai pakaian `tapa`. Pabrik tekstil dari tanaman ini digunakan untuk membuat barang-barang seperti sarung, topi, sarung kasur dan tas
Kegunaan Dalam Keadaan Darurat di Hutan (Survival)
Daun dapat digunakan untuk bahan makanan baik dimakan langsung, disayur, ditumis atau dikukus. Pohon ini merupakan tumbuhan tingkat rendah. Ia masih termasuk ke dalam keluarga Moraceae. Diketahui Saeh adalah peninggalan satu-satunya tatar kerajaan sunda yang masih ada. Untuk memperoleh Saeh/kertas daluang (Broussonetiapapyryfera Vent) dibutuhkan bahan baku kulit kayu pohon saeh. Pohon ini merupakan tumbuhan tingkat rendah. Ia masih termasuk ke dalam keluarga Moraceae. Pohon yang tak punya bunga dan buah ini tumbuh di Baemah (Sumatera), pedalaman Sulawesi hingga Pulau Seram, Garut (Jawa Barat), Purwokerto (Jawa Tengah), Ponorogo (Jawa Timur), Pamekasan dan Sumenep (Pulau Madura). Orang Sunda menyebutnya saeh. Orang Madura menyebutnya dhalubang atau dhulubang, sedang orang Sumba menyebutnya kembala. Dahulu, tumbuhan ini ditanam di sekitar masjid agar para santri mudah mengambil dan membuat kertas sendiri untuk keperluan belajarnya. Menurut DR K. Heyne (Peneliti Belanda) dalam buku Tumbuhan Berguna Indonesia, pohon saeh diduga berasal dari negeri Cina. Namun bila mencermati daerah persebarannya, terbukti tanaman ini asli indonesia (tropis). Apalagi mempertimbangkan aspek pemanfaatannya yang
telah dikenal oleh masyarakat tradisional di nusantara sebagai bahan baku kertas jaman kerajaan nusantara. Ada beberapa spesies tanaman yg berbeda yang tersebar terutama yang terdapat di garut yang berbeda dengan di ponorogo (jatim) atau daerah lainnya. Selain itu, tumbuhan yang berkembang biak dengan akar rimpang atau geragih ini sangat baik sebagai bahan baku pembuatan kain tradisional. Menurut Heyne, pakaian kulit kayu ini pada masanya sangat digemari masyarakat kita. Baik kaum perempuan maupun kaum adamnya. Terlebih menjadi pakaian tidur, ia memberikan rasa teduh dan nyaman. Saat ini, masih ada beberapa suku di pedalaman Kalimantan (Dayak), Sumatera (Kubu) dan Sulawesi (Banggai) yang masih memproduksi dan memakai pakaian kulit kayu. Kertas ini terbilang tahan lama, bahkan bisa berumur ratusan tahun. Hal ini terbukti dari fakta kesejarahannya setelah ditemukan beberapa naskah kuno dan perkamen kebudayaan kuno Indonesia di museum-museum di tanah air. Konon, mereka yang menggunakan serat kayu ini menjadi kertas untuk menuliskan tradisi tulis atau mantera-mantera adalah orang-orang suci. Di Bali, kertas Daluang ini hanya boleh digunakan oleh kaum Brahmana, untuk kepentingan upacara ritual masyarakat Hindu sejak abad 3 SM hingga sekarang. Sejarah kertas ini sudah lama ditemukan oleh arkeologi dan ahli sejarah sastra kuno. Awal kertas Daluang ini dikenal berfungsi sebagai alat Bantu kehidupan sehari-hari, pakaian misalnya. Pada abad ke 3 SM ditemukan sebuah “paneupuk” dari batu (penumbuk kulit kayu) di Desa Cariu, Kabupaten Bogor. Masyarakat jaman itu menamakannya “tapa”, yaitu hasil olahan kulit kayu yang ditumbuk untuk kebutuhan sehari-hari masayarakat di sana. Kemudian, di dalam buku Literatur of Java muncul nama Daluang pada jaman kebudayaan Hindu di Nusantara. Kertas Daluang ini saat itu digunakan untuk menuliskan cerita wayang beber dalam bentuk gambar-gambar. Dan kertas Daluang ini juga digunakan sebagai pakaian pelengkap para Pandita Hindu. Pada tahun 1970-an masyarakat Hindu di Bali menggunakan kertas Daluang ini untuk pelaksanaan upacara Ngaben. Daluang di sana menjadi salah satu syarat wajib pelaksanaan upacara Ngaben, telah dikenal oleh masyarakat tradisional di nusantara sebagai bahan baku kertas jaman kerajaan nusantara. Ada beberapa spesies tanaman yg berbeda yang tersebar terutama yang terdapat di garut yang berbeda dengan di ponorogo (jatim) atau daerah lainnya. Selain itu, tumbuhan yang berkembang biak dengan akar rimpang atau geragih ini sangat baik sebagai bahan baku pembuatan kain tradisional. Menurut Heyne, pakaian kulit kayu ini pada masanya sangat digemari masyarakat kita. Baik kaum perempuan maupun kaum adamnya. Terlebih menjadi pakaian tidur, ia memberikan rasa teduh dan nyaman. Saat ini, masih ada beberapa suku di pedalaman Kalimantan (Dayak), Sumatera (Kubu) dan Sulawesi (Banggai) yang masih memproduksi dan memakai pakaian kulit kayu. Kertas ini terbilang tahan lama, bahkan bisa berumur ratusan tahun. Hal ini terbukti dari fakta kesejarahannya setelah ditemukan beberapa naskah kuno dan perkamen kebudayaan kuno Indonesia di museum-museum di tanah air. Konon, mereka yang menggunakan serat kayu ini menjadi kertas untuk menuliskan tradisi tulis atau mantera-mantera adalah orang-orang suci. Di Bali, kertas Daluang ini hanya boleh digunakan oleh kaum Brahmana, untuk kepentingan upacara ritual masyarakat Hindu sejak abad 3 SM hingga sekarang. Sejarah kertas ini sudah lama ditemukan oleh arkeologi dan ahli sejarah sastra kuno. Awal kertas Daluang ini dikenal berfungsi sebagai alat Bantu kehidupan sehari-hari, pakaian misalnya. Pada abad ke 3 SM ditemukan sebuah “paneupuk” dari batu (penumbuk kulit kayu) di Desa Cariu, Kabupaten Bogor. Masyarakat jaman itu menamakannya “tapa”, yaitu hasil olahan kulit kayu yang ditumbuk untuk kebutuhan sehari-hari masayarakat di sana. Kemudian, di dalam buku Literatur of Java muncul nama Daluang pada jaman kebudayaan Hindu di Nusantara. Kertas Daluang ini saat itu digunakan untuk menuliskan cerita wayang beber dalam bentuk gambar-gambar. Dan kertas Daluang ini juga digunakan sebagai pakaian pelengkap para Pandita Hindu. Pada tahun 1970-an masyarakat Hindu di Bali menggunakan kertas Daluang ini untuk pelaksanaan upacara Ngaben. Daluang di sana menjadi salah satu syarat wajib pelaksanaan upacara Ngaben,
Keislaman di Nusantara, fungsi Daluang diganti menjadi medium untuk menuliskan ayat-ayat al- Quran atau karya seni kaligrafi. Hal ini juga terjadi di pondok pesantren Jetis, Jawa Timur, bahwa kertas Daluang digunakan oleh para ulama dan santri untuk menuliskan kitab-kitab.