Rumusan Masalah Manfaat Penelitian Peraturan Perudang-Undangan Tentang Distribusi Antibiotika

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah tingkatn pengetahuan tentang antibiotika akan berpengaruh terhadap penggunaan antibiotika di kalangan mahasiswa non medis USU? 2. Apakah tingkat pengetahuan akan mengakibatkan terjadinya pengguna salahan antibiotika tidak sesuai indikasi, tidak sesuai dosis, tidak tepat cara, dan lama pemakaian di kalangan mahasiswa non medis USU? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Memperoleh data tingkat pengetahuan tentang penggunaan antibiotika di kalangan mahasiswa non medis Universitas Sumatera Utara.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kesesuaian indikasi antibiotika. 2. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kesesuaian contoh penyakit yang menggunakan antibiotika 3. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kesesuaian dosis antibiotika 4. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kesesuaian cara pemilihan antibiotika 5. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kesesuaian resistensi antibiotika 6. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kesesuaian penghentian antibiotika 7. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kesesuaian efek samping antibiotika. 8. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kesesuaian kontraindikasi antibiotika Universitas Sumatera Utara 9. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tempat penyimpanan antibiotika.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Data dan informasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk penelitian berikutnya. 2. Sebagai informasi kepada masyarakat khususnya mahasiswa non medis di USU mengapa pembatasan antibiotika dilakukan. 3. Sebagai informasi kepada Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan POM Kota Medan dan instansi yang terkait untuk lebih mengawasi distribusi antibiotika secara bebas, agar pihak apotek melaksanakan peraturan yang telah berlaku. Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANTIBIOTIKA 2.1.1 Definisi Antibiotika Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat membasmi mikroba jenis lain. Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksis bagi hospes Setiabudy, 2008.

2.1.2 Aktivitas dan Spektrum Antibiotika

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Obat- obat bakteriostatik bekerja dengan mencegah pertumbuhan kuman, tidak membunuhnya, sehingga pembasmian kuman sangat tergantung kepada daya tahan tubuh penderita. Sedangkan antibiotika yang bakterisid, secara aktif membunuh kuman. Selain dari sifat aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua kelompok, yaitu antibiotika berpektrum sempit, seperti benzil penisilin dan streptomisin, dan berspektrum luas seperti tetrasiklin dan kloramfenikol. Hal ini dikarenakan sifat antimikroba dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Umpamanya, penisilin G bersifat aktif terhadap bakteri Gram-positif, sedangkan bakteri Gram-negatif pada umumnya tidak peka resisten terhadap penisilin G; tetrasiklin memiliki sifat sebaliknya Setiabudy, 2008. Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Mekanisme Kerja Antibiotika

Pemusnahan mikroba dengan antimikroba yang bersifat bakteriostatik masih tergantung dari kesanggupan reaksi daya tahan tubuh hospes. Berdasarkan mekanisme kerja atau tempat kerjanya, antibiotika dibagi dalam lima kelompok, yaitu Setiabdudy, 2008: 1. Antibiotika yang menghambat metabolisme sel mikroba Antibiotika yang termasuk dalam kelompok ini seperti, : sulfonamide, trimetoprim, asam p-aminosalisilat PAS dan sulfon. Antibiotika yang menghambat metabolisme sel mikroba ini menggunakan aktivitas bakteriostatik. Kuman patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam amino benzoate PABA untuk kebutuhan hidupnya. Apabila sulfonamide menang bersaing dengan PABA dalam pembentukan asam folat, maka terbentuk analog asam folat yang fungsional. Akibatnya, kehidupan mikroba akan terganggu. 2. Antibiotika yang menghambat sintesis dinding sel mikroba Antibiotika yang termasuk dalam kelompok ini seperti,: penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin. Antibiotika yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat sintesis enzim atau inaktivasi enzim, sehingga menyebabkan hilangnya viabilitas dan sering menyebabkan lisis. Dinding sel bakteri menentukan bentuk karakteristik dan berfungsi melindungi bagian dalam sel terhadap perubahan tekanan osmotik dan kondisi lingkungan lainnya. Dinding sel bakteri terdiri dari beberapa lapisan. Pada bakteri Gram-positif struktur dinding selnya relatif sederhana, sedangkan bakteri Gram-negatif relatif lebih kompleks. Dinding sel bakteri Gram-positif tersusun atas lapisan peptidoglikan relatif tebal, dikelilingi lapisan teichoic acid dan beberapa spesies mempunyai lapisan polisakarida. Dinding sel bakteri gram negatif mempunyai lapisan peptidoglikan relatif tipis, dikelilingi lapisan lipoporotein, lipopolisakarida, fosfolipid, dan beberapa protein. Peptidoglikan pada kedua jenis bakteri merupakan komponen yang menentukan rigiditas pada Gram-positif dan berperan pada integritas Gram-negatif. Oleh karena itu, Universitas Sumatera Utara gangguan pada sintesis komponen ini dapat menyebabkan sel lisis dan kematian sel. Sel selama mensintesis peptidoglikan memerlukan enzim hidrolase dan sintase. Untuk menjaga sintesis supaya normal, kegiatan kedua enzim ini harus seimbang satu sama lain. 3. Antibiotika yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba Antibiotika yang termasuk dalam kelompok ini seperti, : polimiksin, kolistin, amfoterisin B, nistatin. Di bawah dinding sel bakteri adalah lapisan membran sel lipoprotein. Membran ini mempunyai sifat permeabilitas selektif dan berfungsi mengontrol keluar masuknya substansi dari luar ke dalam sel, serta pemeliharaan tekanan osmotik internal dan ekskresi waste products. Selain itu membran sel juga berkaitan dengan replikasi DNA dan sintesis dinding sel. 4. Antibiotika yang menghambat sintesis protein sel mikroba Antibiotika yang termasuk dalam kelompok ini seperti, : golongan aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol. Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di dalam ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA. Berdasarkan koefisien sedimentasinya, ribosom dikelompokkan ke dalam 3 grup: A. Ribosom 80s, terdapat pada sel eukariot. Partikel ini terdiri dari subunit 60s dan 40s. B. Ribosom 70s, yang terdapat pada sel prokariot dan eukariot. Partikel ini terdiri dari subunit 50s dan 30s. C. Ribosom 55s, hanya terdapat pada mitokondria mamalia dan menyerupai ribosom bakteri baik fungsi maupun kepekaannya terhadap antibiotika. Streptomisin berikatan dengan komponen ribosom 30s dan menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan non fungsional bagi sel mikroba. Universitas Sumatera Utara 5. Antibiotika yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba Antibiotika yang termasuk ke dalam kelompok ini seperti, : rifampisin dan golongan kuinolon. Pada umumnya hanya digunakan sebagai obat antikanker , tetapi beberapa obat dalam kelompok terakhir ini dapat pula digunakaan sebagai antivirus. Asam nukleat merupakan bagian yang sangat vital bagi perkembangbiakan sel.

2.1.4 Resistensi Antibiotika A. Mekanisme Resistensi

Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antibiotika. Sifat ini bisa merupakan suatu mekanisme alamiah untuk tetap bertahan hidup.Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme berikut Jawet, 1997: 1. Mikroba mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika Contoh: Stafilokoki yang resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta- laktamase, yang merusak obat tersebut. Beta-laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-negatif. 2. Mikroba mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Contoh: Tetrasiklin tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten. 3. Mikroba mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat Contoh: Resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya atau perubahan protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang rentan. 4. Mikroba mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat. Contoh: Beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PAB ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat menggunkaan asam folat yang telah dibentuk. Universitas Sumatera Utara 5. Mikroba mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Contoh: beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA.

B. Faktor Pemicu Resistensi Antibiotika

Dampak negatif akibat penggunaan antibiotika yang tidak rasional adalah resistensi kuman terhadap banyak obat multidrug-resistance . Hal ini mengakibatkan pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun mortalitas pasien, dan peningkatan biaya kesehatan Directorate General of Medical Care Ministry of Health Republic of Indonesia, 2005.Faktor-faktor yang mempermudah berkembangnya resistensi kuman terhadap antibiotika adalah Staf Pengajar Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1. Penggunaan antibiotika yang sering 2. Penggunaan antibiotika yang irasional 3. Penggunaan antibiotika baru yang berlebihan 4. Penggunaan antibiotika dalam waktu yang lama

2.1.5. Epidemilogi Kejadian Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotika

Prevalensi resitensi antibiotika dari Streptococcus pneumoniae dalam penelitian PROTEKT Prospective Resistant Organism Tracking and Epidemiology for the Ketolide Telithromycin tahun 1999-2000, terdapat 3362 pneumococcus yang resitensi terhadap penicillin G sekitar 22,1 dengan tingkat tertinggi ditemukan di Asia 53,4, Prancis 46,2 dan Spanyol 42,1. Resitensi juga terjadi pada Erythromycin A sekitar 31,1 dengan tingkat tertinggi ditemukan di Asia 79,6, Prancis 57,6, Hungaria 55,6 dan Italia 42,9. Resistensi Fluoroquinolone biasanya rendah 1, walaupun 14,3 dari 70 yang diisolasi dari Hongkong resistensi terhadap levofloxacin dan moxifloxacin Felmingham, 2002. Universitas Sumatera Utara

2.1.6. Penyalahgunaan Antibiotika di Kalangan Masyarakat

Resistensi antibiotika merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti penyalahgunaan antibiotika. Penyalahgunaan antibiotika pada dasarnya dipengaruhi oleh pengetahuan , komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien, tingkat ekonomi, karakteristik dari sistem kesehatan suatu negara, dan peraturan lingkungan. Jika dilihat dari faktor pasien, hal yang mendasari terjadinya penyalahgunaan antibiotika dikarenakan banyak pasien percaya bahwa keluaran obat baru lebih baik dibandingkan obat keluaran lama. Di negara-negara berkembang, antibiotika dibeli dalam dosis tunggal dan penghentian antibiotika dilakukan jika pasien merasa lebih baik atas penyakit yang dideritanya. Pembelian antibiotika secara bebas yang dilakukan oleh pasien juga dipengaruhi oleh praktik pemasaran kepada konsumen melalui televisi, radio, media cetak, dan internet. Sehingga antibiotika dengan mudah didapatkan di apotek ataupun pasar. Pengobatan sendiri dengan menggunakan antibiotika, tidak hanya terjadi di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Selebihnya di negara-negara Eropa masih ditemukan prevalensi yang tinggi terhadap pengobatan sendiri dengan antibiotika WHO, 2001

2.1.7. Epidemiologi Pengobatan Sendiri dengan Antibiotika

Pengobatan sendiri dengan antibiotika, tidak hanya terjadi di negara- negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Di Amerika Serikat, beberapa studi menunjukkan bahwa pengobatan sendiri dengan antibiotika dapat ditemukan dari pembelian antibiotika tanpa resep di apotek. Sebagai contoh, di Lingkungan Hispanik New York City, antibiotika dapat dibeli tanpa resep dokter. Di negara-negara bagian Eropa, pengobatan sendiri dengan antibiotika ditemuka n di Spanyol, Yunani, Rusia, dan Malta Al-Azzam, 2007. Universitas Sumatera Utara

2.1.8. Prinsip Penggunaan Antibiotika Secara Rasional

Antibiotika hanya bekerja untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Penggunaan antibiotika secara rasional diartikan sebagai pemberian antibiotika yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis, dan waspada terhadap efek samping antibiotika yang dalam arti konkritnya adalah Kimin, 2009: 1. Pemberian resep yang tepat atau sesuai indikasi 2. Penggunaan dosis yang tepat 3. Lama pemberian obat yang tepat 4. Interval pemberian obat yang tepat 5. Aman pada pemberiannya 6. Terjangkau oleh penderita Terapi dengan antibiotika merupakan terapi kausal untuk melawan kuman penyebab infeksi. Keputusan untuk memberikan antibiotika pada penderita, harus didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Apakah gejala dan keluhan yang dialami penderita disebabkan oleh suatu infeksi ? Untuk memastikan hal ini diperlukan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan hasil-hasil pemeriksaan tambahan. 2. Kuman apakah yang paling sering menjadi penyebabnya ? Berdasarkan pada pengetahuan tentang penyakit-penyakit infeksi dapat dibuat daftar kemungkinan kuman-kuman penyebab, misalnya keluhan-keluhan penderita, organ-organ yang terserang dan apakah infeksi berasal dari masyarakat atau rumah sakit. Langkah berikutnya adalah menentukan apakah pemeriksaan mikrobiologi diperlukan atau tidak. Pada penderita dengan infeksi berat di rumah sakit, pemeriksaan mikrobiologi merupakan suatu keharusan. Pengecatan gram dari spesimen yang diambil dengan tepat dapat memberikan identifikasi awal sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas kuman. Universitas Sumatera Utara 3. Dapatkah kuman penyebab diobati dengan antibiotik ? Infeksi yang terjadi mungkin terletak di tempat yang tidak terjangkau oleh antibiotik pada konsentrasi yang cukup, misalnya pada protesis sendi. 3. Apakah benar-benar diperlukan antibiotik untuk melawan infeksi tersebut? Beberapa infeksi bakteri seperti furunkel, impetigo dan ulkus dekubitus tidak memerlukan pemberian antibiotik. 5.Antibiotik apakah yang harus dipilih dan bagaimana cara pemberiannya? Dasar pemikiran dalam memilih antibiotik adalah sensitivitas dari dugaan kuman penyebab, efektivitas antibiotik, keamanan, bisa didapat serta sesuai dengan standar pengobatan, risiko terjadinya resistensi, dan harga antibiotik. 6.Bagaimana menentukan dosis dan lama pemberian hal ini berdasarkan Pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat tersebut ? Besar dosis yang diberikan tergantung dari jenis infeksi dan penetrasi obat ke tempat infeksi. Sedangkan lama pemberian tergantung pada respon klinis, mikrobiologis, ataupun radiologis. 7. Bagaimana dengan follow up penderita ? Penderita harus dievaluasi apakah ada perbaikan atau tidak dan dilihat adakah komplikasi. Selain itu diperiksa juga apakah antibiotik perlu diganti oleh karena efek samping atau interaksi dengan obat lain. Informasi terbaru dari infeksi atau kuman penyebab menjadi dasar untuk mengubah cara pemberian atau mengubah antibiotik yang lebih tepat.

2.2. Peraturan Perudang-Undangan Tentang Distribusi Antibiotika

Di Indonesia, juga telah dilakukan beberapa usaha untuk mengatasi dampak resistensi antibiotika akibat pengobatan sendiri dengan antibiotika yang dilakukan di kalangan masyarakat. Salah satu dari usaha tersebut adalah di berlakukannya undang-undang yang mengatur tentang penjualan antibiotika yang diatur di dalam Universitas Sumatera Utara undang-undang obat keras St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949, pada pasal 3 ayat 1. Antibiotika termasuk salah satu jenis obat-obat keras, hal ini terdapat dalam pasal 1 ayat 1a yang berbunyi: “Obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan, dan lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak , yang dtetapkan oleh Secretaris Vaan Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid, menurut ketentuan pasal 2 ayat 1 “Sec. V. St mempunyai wewenang untuk menetapkan bahan-bahan sebagai obat- obat keras dan ayat 2 “ Penetapan ini dijalankan dengan menempatkan bahan- bahan itu pada suatu daftar Gobat-obat berbahaya atau daftar W peringatan. Peraturan mengenai distribusi obat tertulis dalam Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 1. Pasal 3 1 Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari bahan-bahan G, demikian pula memiliki bahan – bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan pemakain pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagang-pedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker , yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan. 2 Penyerahan dari bahan –bahan G , yang menyimpang dari resep Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang, larangan ini tidak berlaku bagi penyerahan-penyerahan kepada Pedagang –pedagang Besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter Gigi dan Dokter-dokter Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan- penyerahan menurut ketentuan pada Pasal 7 ayat 5 .

2.4. Pengetahuan