DASAR HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT PERATURAN

Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa permohonan pengesahan danatau pengangkatan anak yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan khusus pengesahanpengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan, pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya. 47 Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum hanya didapat setelah memperoleh putusan pengadilan. 48 Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu kepada hukum terapannya. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing ternyata tidak mencukupi, namun ada beberapa peraturan hukum 47 Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 28. 48 Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 28. yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, misalnya: 1. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdataBW yang ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa. 2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI SEMA Nomor 2 Tahun 1979 tertanggal 7 April 1979, tentang Pengangkatan Anak yang mengatur prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan danatau permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan. 3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 2 tahun 1979, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983. 4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41HUKKEPVII1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 14 Juni 1984. 5. Bab VIII, Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2002. 6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI SEMA Nomor 3 Tahun 2005, tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005, setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing untuk mengangktanya sebagai anak angkat oleh LSM dan Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak tersebut. 7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama Islam di bidang:”… Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”. 8. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lam sampai sekarang. 43

BAB III PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK

PENGADILAN NEGERI DENPASAR

A. SEJARAH PENGADILAN NEGERI DENPASAR

Jauh sebelum dikuasai oleh Pemerintah Belanda, Bali terdiri dari sembilan Kerajaan kecil- kecil yaitu: Buleleng, Jembrana, Bangli, Tabanan, Karangasem, Gianyar, Mengwi, Klungkung dan Badung. Raja tertinggi dari semua Kerajaan ini adalah raja Klungkung yang terkenal dengan sebutan Dewa Agung Klungkung, Pada akhir abad ke XIX tinggallah 8 kerajaan karena Mengwi telah ditaklukan oleh Badung, berturut-turut dalam peperangan 1814, 1880, dan terakhir 1892. Peristiwa yang paling penting dalam sejarah Kabupaten Badung adalah Puputan Badung yaitu, perang habis-habisan sampai tetes darah yang terakhir melawan Penjajah Belanda. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Kamis Kliwon tahun Caka: 1828 20 September 1906 saat dimana Badung jatuh ke tangan belanda. 49 DARI TAHUN 1906 s.d 1942 Ketika pemerintahan berada ditangan penjajah Belanda, Daerah Badung merupakan suatu Onderafdeling yang dikepalai oleh seorang Asistent Resident yang berkedudukan di Denpasar. Dengan adanya Zustelling berstuurder tanggal 1 juli 1938. Pemerintah menjadi Zelf berstuurnd Landskap kerajaan, dikepalai 49 www.pn-denpasar.go.id seorang Raja dengan gelar Tjokorda Negara Badung Staasblad Hindia Belanda 1938, No. 529, berada di bawah dewan yang bernama Paruman Agung yang diketuai oleh Resident van Bali en Lombok yang berkedudukan di Singaraja. Pemerintahan seperti ini berlangsung sampai tahun 1942. DARI TAHUN 1942 s.d 1945 Tidak terjadi perubahan Pemerintahan yang Prinsipil selama masa pendudukan Bala tentara Jepang, hanya gelar Tjokorda Negara Badung dirubah dan diganti menjadi Badung Sutjo. Dengan lahirnya Undang-undang No. 1 tahun 1957, tentang pokok pemerintahan Daerah, maka dihapuskan kedudukan semua kerajaan menjadi Daerah Tk II Badung dan Daerah Bali sendiri menjadi Daerah Tk I. Sejak pemerintah Belanda sampai dengan pemerintah Jepang yang pada waktu itu juga berkuasa di Bali, di daerah hukum pengadilan Negeri Denpasar yang meliputi wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Denpasar dan Badung, badan peradilannnya adalah Pengadilan Swapraja , yang disebut Majelis Kerta di Denpasar atau “Raad Van Kerta” yang langsung diketuai oleh Kepala Swapraja yang disebut dalam istilah Belanda “de self bestuurder” dan kemudian pada waktu pemerintahan Jepang dai Nippon disebut dengan istilah “Syuco”. Setelah kemerdekaan RI RI- RIS disebutkan“RajaKetua Dewan Pemerintah swapraja”. Pada tahun 1951 dengan berlakunya undang-undang No. I Tahun 1951 dengan dihapuskannya Pengadilan-pengadilan Swapraja, daerah Swanantra di Bali maupun daerah-daerah lainnya di wilayah Republik Indonesia, maka dibentuklah Pengadilan-pengadilan Negeri salah satunya Pengadilan Negeri Denpasar.

B. YURISDIKSI PENGADILAN NEGERI DENPASAR

1. Kewenangan Absolut Pengadilan Negeri

Didalam pasal 50 UU No. 8 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang bahwasanya menyatakan “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingk at pertama.” Jadi dapat diberikan sebuah kesimpulan dasar bahwa semua perkara pidana maupun perdata menjadi kewenangan Peradilan Umum asas lex generalis. 50 Akan tetapi ada ketentuan lain dalam undang-undang yang menetukan bahwa terhadap perkara-perkara tertentu menjadi kewenangan peradilan dalam lingkungan peradilan khusus yang dinamakan dengan Asas Lex Specialis. Maka apabila kedua asas tersebut berhadapan maka secara lex specialis asas ketentuan khusus tersebutlah yang lebih di utamakan. 51 Kewenangan absolut Peradilan Negeriumum yang telah di atur dalam pasal 50 dan pasal 51 UU Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, hanya berwenang mengadili perkara: 50 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, “Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia”…..h. 1 Lihat juga Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktiaan, dan Putusan Pengadila n”, Jakarta: Sinar Grafika, 2010 189 51 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, “Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia”…..h. 1