DASAR HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT ISLAM

kepadanya. 33 Setelah Zaid dewasa, nabi menikahkan Zaid dengan Zainab binti Jahsy. Setelah nabi Muhammad SAW menjadi rasul, turun surat al-Ahzab ayat 4, 5, dan 40 yang pada intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan saling mewarisi seperti yang telah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat bahwa ayat itu turun berkenaan dengan peristiwa Zaid bin Haritsah. 34 Melalui peristiwa asbab an- nuzul ayat Al-Quran tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh dilakukan, karena nabi Muhammad SAW telah melakukannya, tetapi pengangkatan anak tersebut tidak mengubah status nasab seseorang, karena Allah SWT telah menyatakannya dalam Al-Quran bahwa status nasab Zaid tidak boleh dinisbahkan kepada nabi Muhammad SAW. 35 Dalam peristiwa selanjutnya, ternyata rumah tangga Zaid dan Zainab mengalami ketidakharmonisan. Zaid bin Haritsah meminta izin kepada nabi Muhammad SAW untuk menceraikan istrinya, tetapi nabi Muhammad SAW bersabda: “Peliharalah istrimu, jangan kau ceraikan, dan bertakwalah engkau 33 Al-Qurthubi dan juga Ibn Katsir, dalam Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam. 34 Al-Qurtubi dan Ibn Katsir, dalam Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam. 35 Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam. kepada Allah SWT ”. Setelah Zaid tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangganya, maka nabi Muhammad SAW memperkenankan perceraian mereka. 36 Setelah Zainab melewati masa iddah, Allah SWT memerintahkan nabi Muhammad SAW untuk mengawini Zainab, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 37:                                                    ٣٧ “Dan ingatlah, ketika kamu berkata kepada orang yang telah Allah SWT melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu juga telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah SWT”, sedangkan kamu menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah SWT akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah SWT yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya menceraikannya, Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan dengan istrinya. Dan adalah ketetapan Allah SWT itu pasti terjadi.” Perkawinan nabi Muhammad SAW dengan bekas istri anak angkatnya ini menegaskan bahwa adanya hubungan pengangkatan anak tidak serta-merta menciptakan hubungan nasab yang mengakibatkan statusnya sama dengan anak 36 Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2004, hlm. 26. kandung, karena menikahi bekas istri anak angkat itu dibolehkan, sedangkan menikahi bekas istri anak kandung diharamkan untuk selama-lamanya. 37 Menurut Zakaria Ahmad Al-Barry, mengangkat anak yang sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk keberlangsungan hidupnya tanpa berakibat hukum seperti pengangkatan anak pada zaman jahiliah adalah menjadi tanggung jawab masyarakat secara kolektif dan dilakukan oleh beberapa orang sebagai fardhu kifayah. Hukumnya berubah menjadi fardhu „ain apabila seseorang menemukan anak terlantar atau terbuang di tempat yang sangat membahayakan nyawan anak itu, karena sesungguhnya jiwa manusia berhak dijaga dan dipelihara. 38 Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pengangkatan anak pada Maret 1984 mengemukakan sebagai berikut: 1. Islam mengakui keturunan nasab yang sah ialah anak yang lahir dari perkawinan pernikahan. 2. Mengangkat anak dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan nasab dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syariat Islam. 3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, 37 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 108. 38 Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2004, hlm. 30-31. mengasuh, dan mendidik mereka dengan penuh kasih saying seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal salih yang dianjurkan oleh agama Islam. 4. Pengangkatan anak Indonesia oleh warga negara asing selain bertentangan dengan UUD 1945 juga merendahkan martabat bangsa. 39 39 Dep. Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaran Haji, Jakarta, 2003, hlm. 178.

D. DASAR HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT PERATURAN

INDONESIA Pengaturan pengangkatan anak di Indonesia dalam perundang-undangan beberapa kali mengalami kegagalan karena adanya perbedaan mendasar mengenai konsepsi pengangkatan anak. Rancangan Undang-Undang RUU yang ada berdasarkan konsepsi pengangkatan anak menurut Staatsblad 1917 Nomor 129 dan tradisi pengangkatan anak zaman jahiliah yang berbeda dengan konsepsi pengangkatan anak menurut hukum Islam. Namun, beberapa hal mendasar mengenai pengangkatan anak yang selaras dengan hukum Islam mulai masuk dalam perundang-undangan, yaitu Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41. 40 Pengaturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan telah mengalami kemajuan dibandingkan keberadaan lembaga pengangkatan anak. Ketentuan pengangkatan anak tidak mengenal diskriminasi laki-laki atau perempuan bagi calon orang tua angkat maupun calon anak angkat. Pengaturan lembaga pengangkatan anak merupakan upaya agar setiap anak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia. Ada beberapa hal penting 40 Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 41. mengenai penagturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan yang patut diketengahkan, yaitu: - Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 41 - Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.42 - Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.43 - Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir ultimum remedium.44 - Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya menegenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya, dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.45 - Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak. 46 41 Pasal 39 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 42 Pasal 39 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 43 Pasal 39 Ayat 4 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 44 Pasal 39 ayat 4 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 45 Pasal 40 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 46 Pasal 41 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa permohonan pengesahan danatau pengangkatan anak yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan khusus pengesahanpengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan, pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya. 47 Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum hanya didapat setelah memperoleh putusan pengadilan. 48 Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu kepada hukum terapannya. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing ternyata tidak mencukupi, namun ada beberapa peraturan hukum 47 Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 28. 48 Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 28.