5.2 Hubungan Dukungan Suami dengan Tingkat Pemanfaatan Posyandu
Dari sebaran responden dalam distribusi frekuensi ditemukan bahwa 60,8 responden dengan dukungan suami tinggi. Secara persentase tingkat pemanfaatan
posyandu lebih tinggi pada kelompok yang memperoleh dukungan suami tinggi dibanding responden dengan dukungan suami rendah. Penelitian Yamin 2003 di
wilayah Puskesmas Limus Nunggal, Baros dan Cikundul Kota Sukabumi mendapatkan 72,4 responden memiliki dukungan keluarga yang baik dalam
memanfaatkan posyandu. Penelitian Mardiati 2010 di Kabupaten Tenggarong mendapatkan bahwa ibu balita yang menggunakan posyandu memperoleh dukungan
dari suami maupun keluarga dalam bentuk anjuran atau nasehat untuk membawa balitanya ke posyandu.
Dari hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan tingkat pemanfaatan posyandu dengan nilai p = 0,003
α=0,05. Artinya antara dukungan suami tinggi dan dukungan suami rendah terdapat perbedaan dalam pemanfaatan posyandu.
Hasil uji multivariat juga terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan tingkat pemanfaatan posyandu dengan nilai p = 0,007 OR = 0,22
dengan 95 CI=0,07-0,66. Kemungkinan ibu yang memperoleh dukungan suami rendah untuk memanfaatkan posyandu kurang 22100 kali lebih tinggi dibanding
memanfaatkan posyandu baik atau cukup pada kelompok ibu yang memperoleh
Universitas Sumatera Utara
dukungan suami tinggi setelah dikontrol dengan variabel pengetahuan, jumlah balita dan pendidikan.
Bambang 1992 di Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Cipondoh, dan penelitian Wilangsari 2010 di Kelurahan Gemah Semarang mengemukakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan partisipasi untuk menimbang balita di posyandu. Penelitian Juarsa 2004 di Kabupaten Pandeglang
juga mendapatkan ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan cakupan penimbangan balita.
Suami sebagai orang paling dekat dengan ibu memengaruhi tindakan ibu dalam memanfaatkan posyandu untuk meningkatkan kesehatan balita. Keinginan
untuk memiliki anak yang sehat, akan mendorong ibu untuk memanfaatkan posyandu. Suami memberi kepercayaan kepada ibu untuk mengasuh balita.
Responden yang mayoritas adalah tidak bekerja meningkatkan rasa kepercayaan suami untuk mengasuh balita dengan baik karena ibu punya waktu banyak untuk
membawa balita ke posyandu. Kepercayaan yang diberikan oleh suami merupakan bentuk dukungan emosional yang diperoleh ibu untuk menguatkan terbentuknya
tindakan memanfaatkan posyandu setelah terlebih dahulu ibu tahu tentang posyandu itu sendiri. Ibu tidak bekerja mempunyai waktu yang lebih leluasa untuk membawa
balita ke posyandu. Proporsi tingkat pemanfaatan posyandu baik dengan dukungan suami rendah
sebanyak 3 dari 11 responden. Hal ini disebabkan adanya pemahaman suami yang kurang baik tentang posyandu bahwa balita yang sehat dan gemuk tidak perlu dibawa
Universitas Sumatera Utara
ke posyandu. Sekalipun dukungan emosional berupa perhatian, pujian, kepercayaan, empati, dan pemberian semangat kepada ibu untuk membawa balita ke posyandu,
tetapi tatkala balita dalam kondisi gemuk dan sehat suami melarang ibu untuk membawa balita ke posyandu. Kondisi ini merupakan hal yang salah. Posyandu
merupakan tempat deteksi dini pertumbuhan dan perkembangan balita tanpa memandang status gizi balita. Balita dengan status gizi baik tetap dipantau
pertumbuhannya terlebih balita dengan status gizi kurang atau status gizi lebih. Pemahaman suami tentang posyandu perlu ditingkatkan, sehingga suami sebagai
kepala keluarga tidak membuat keputusan yang salah dalam perawatan kesehatan anak khususnya dalam pemanfaatan posyandu.
Sekalipun dukungan suami mayoritas adalah tinggi, lebih dari separuh responden mengatakan bahwa suami tidak bersedia untuk mengantar ke posyandu.
Hal ini disebabkan para suami lebih fokus untuk bekerja mencari nafkah daripada mengantar ibu dan balita ke posyandu. Adanya suatu rumor dalam masyarakat bahwa
urusan anak adalah bagian istri, suami mempunyai tugas lain yang lebih terhormat yaitu mencari nafkah bagi keluarga, memperlebar gap pembagian tugas dalam
keluarga. Hasil ini memberi gambaran kepada kita bahwa dukungan suami merupakan
salah satu faktor yang memengaruhi tindakan ibu dalam memanfaatkan posyandu. Dukungan suami yang tinggi akan memberi peluang lebih besar kepada ibu untuk
memanfaatkan posyandu. Sebaliknya dukungan suami yang rendah merupakan faktor penghambat bagi ibu dalam memanfaatkan posyandu. Artinya asosiasi antara
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan dan dukungan suami merupakan prasyarat bagi kemungkinan perubahan perilaku ibu balita dalam memanfaatkan posyandu sebagai sarana perawatan
kesehatan anaknya. Suami tidak melarang ibu untuk membawa balita ke posyandu merupakan
suatu bentuk dukungan emosional yang sangat berarti bagi ibu dalam tindakannya untuk memanfaatkan posyandu. Peluang ini diperkuat oleh tersedianya sarana
penimbangan di posyandu dan sikap kader yang positif. Perlu peningkatan pengetahuan suami tentang posyandu untuk meningkatkan dukungan suami terhadap
pemanfaatan posyandu, mengingat suami merupakan pengambil keputusan dalam keluarga.
5.3 Hubungan Pendidikan dengan Tingkat Pemanfaatan Posyandu
Pada analisis univariat didapat bahwa 54,4 responden memiliki latar belakang pendidikan rendah. Penelitian Thaha 1990 di Kotamadya Ujung Pandang
melaporkan bahwa pendidikan ibu rendah sebesar 60,5, penelitian Yamin 2003 di wilayah Puskesmas Limus Nunggal, Baros, dan Cikundul Kota Sukabumi
mendapatkan pendidikan ibu rendah sebesar 61, penelitian Juarsa 2004 di Pandeglang melaporkan bahwa pendidikan ibu balita rendah sebesar 64,1,
penelitian Bambang 1992 di Cibungbulang dan Cipondoh mendapatkan partisipasi penimbangan balita rendah pada ibu dengan pendidikan rendah sebesar 66,7.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan tingkat pemanfaatan posyandu p = 0,001 yang berarti
Universitas Sumatera Utara
pendidikan rendah atau tinggi memengaruhi tindakan ibu dalam memanfaatkan posyandu. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Bambang 1992, Juarsa
2004 yang menyatakan pendidikan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan penimbangan balita di posyandu. Perbedaan ini dapat disebabkan jumlah
sampel yang berbeda maupun pendekatan yang digunakan juga berbeda. Analisis multivariat menerangkan bahwa pendidikan rendah memiliki
hubungan yang signifikan dengan tingkat pemanfaatan posyandu p = 0,001, OR 13,85 dengan 95 CI=2,67-71,89 artinya kemungkinan ibu dengan pendidikan
rendah untuk memanfaatkan posyandu kurang 13,85 kali lebih tinggi dibanding memanfaatkan posyandu baik atau cukup pada kelompok ibu dengan pendidikan
tinggi setelah dikontrol dengan variabel pengetahuan, dukungan suami, dan jumlah balita. Pendidikan sedang memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat
pemanfaatan posyandu p = 0,001 OR 29,61 dengan 95 CI=5,10-171,76. Kemungkinan ibu berpendidikan sedang untuk memanfaatkan posyandu tingkat
kurang 29,61 kali lebih tinggi dibanding memanfaatkan posyandu tingkat baik atau cukup pada kelompok ibu dengan pendidikan tinggi setelah dikontrol dengan variabel
pengetahuan, dukungan suami dan jumlah balita. Pada analisis multivariat penelitian ini, pendidikan merupakan variabel yang
paling dominan berhubungan dengan tingkat pemanfaatan posyandu karena mempunyai OR yang paling tinggi dan pada analisis bivariat variabel pendidikan
berhubungan secara signifikan dengan tingkat pemanfaatan posyandu. Semakin
Universitas Sumatera Utara
rendah tingkat pendidikan ibu maka semakin besar peluang untuk memanfaatkan posyandu baik.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Soeryoto 2001, Sihotang 1998, Asrijanti 1990, Susetyo 2002, Sambas 2002 dan Harianto 1992 dalam Juarsa 2004
terdapat hubungan yang signifikan antara latar belakang pendidikan ibu dengan penimbangan balita.
Ibu berpendidikan rendah mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan posyandu disebabkan ibu berpendidikan rendah lazimnya sebagai ibu rumah tangga,
jadi mempunyai kesempatan dan waktu untuk membawa balitanya ke posyandu. Tetapi hal ini perlu didukung oleh suami baik dalam bentuk dukungan nyata,
dukungan informasi, maupun dukungan emosional. Selain faktor pendidikan ibu, jumlah balita yang dimiliki akan memengaruhi ibu dalam memanfaatkan posyandu
untuk memantau pertumbuhan maupun perkembangan balitanya. Ibu dengan jumlah balita 1 orang dengan pendidikan ibu rendah, dan didukung oleh suami maka
tindakan pemanfaatan posyandu juga potensial akan meningkat. Sebaliknya ibu dengan pendidikan tinggi lazimnya akan bekerja di luar rumah
maka kesempatan ibu untuk membawa balita ke posyandu akan lebih kecil kemungkinannya. Karena jadwal pelaksanaan posyandu dilakan pada pagi hari jam
kerja. Ibu dengan pendidikan tinggi juga lebih cenderung untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan yang lebih tinggi nilainya dimata masyarakat seperti praktek
dokter, rumah sakit, maupun dokter keluarga. Maka kunjungan ibu berpendidikan tinggi dengan status bekerja lebih kecil kemungkinannya memanfaatkan posyandu.
Universitas Sumatera Utara
5.4 Hubungan Jumlah Balita dengan Tingkat Pemanfaatan Posyandu