pengembangan program di posyandu. 2 Pelatihan Dana Sehat, agar di desa tersebut dapat tumbuh Dana Sehat yang kuat dengan cakupan anggota minimal
50 KK atau lebih. 4.
Posyandu mandiri yaitu posyandu yang sudah dapat melakukan kegiatan secara teratur, cakupan 5 program utama sudah bagus, ada program tambahan dan dana
sehat telah menjangkau lebih dari 50 KK. Intervensinya adalah pembinaan dana sehat, yaitu diarahkan agar dana sehat tersebut menggunakan prinsip jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat JPKM.
2.2 Pemanfaatan Posyandu
Menurut Supriyanto 1998 dalam Azwar 2002 bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah penggunaan pelayanan yang telah diterima pada tempat
atau pemberi pelayanan kesehatan. Sedangkan pelayanan kesehatan sendiri adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara bersama-sama dalam suatu organisasi
untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok, keluarga, dan ataupun
masyarakat. Pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam penelitian ini pemanfaatan posyandu
merupakan sebuah bentuk perilaku kesehatan health behavior. Skiner dalam Notoatmodjo 2010 bahwa perilaku kesehatan health behavior yaitu respon
seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit kesehatan seperti lingkungan, makanan minuman, dan pelayanan kesehatan. Jadi perilaku
Universitas Sumatera Utara
kesehatan adalah semua aktifitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati observable maupun tidak dapat diamati unobservable yang berkaitan dengan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Tindakan ibu membawa balita ke posyandu merupakan sebuah perilaku kesehatan yang dapat diamati observable.
Notoatmodjo 2010 juga menjelaskan bahwa perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha seeorang untuk
memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit atau usaha untuk penyembuhan bila sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari perilaku
pencegahan penyakit, perilaku peningkatan kesehatan dan perilaku gizi makanan dan minuman.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan
adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan.
3. Perilaku kesehatan lingkungan yaitu bagaimana seseorang mengelola
lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakat.
Green 1980 dalam Notoatmodjo 2010 menyebutkan bahwa perilaku terbentuk dari 3 faktor yaitu 1 faktor predisposisi predisposing factors yang
terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya 2 faktor pendukung enabling factors yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan, dan sebagainya
Universitas Sumatera Utara
3 faktor pendorong reinforcing factors yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas lain. Perilaku kesehatan individu ditentukan oleh
pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dari yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku petugas kesehatan akan mendukung dan
memperkuat terbentuknya perilaku. Ibu balita tidak memanfaatkan posyandu dapat disebabkan tidak atau belum mengetahui manfaat posyandu bagi anaknya
predisposing factors atau karena jarak rumah dengan posyandu yang jauh enabling factors
atau bisa juga karena perilaku petugas kesehatan reinforcing factors. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang
lain. Misalnya seorang ibu akan memanfaatkan posyandu untuk kesehatan anaknya setelah melihat ibu balita lain yang memanfaatkan posyandu memiliki balita yang
sehat. Pengetahuan berpengaruh terhadap praktek atau tindakan seseorang. Pengetahuan ibu yang baik tentang manfaat posyandu untuk kesehatan anak
berkontribusi terhadap tindakan ibu untuk membawa balita ke posyandu dan ibu balita melakukan tindakan memanfaatkan posyandu Notoatmodjo, 2010.
Teori WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok yaitu 1 pemikiran dan perasaan
thoughs and feeling yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, kepercayaan- kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek kesehatan 2 orang
penting sebagai referensi. Orang-orang yang dianggap penting sering disebut kelompok referensi reference group. Bila tokoh masyarakat membawa balitanya ke
posyandu maka masyarakat yang lain juga akan memanfaatkan jasa posyandu untuk
Universitas Sumatera Utara
memantau pertumbuhan balitanya. Perilaku yang ditampilkan oleh kelompok referensi akan ditiru oleh pengikutnya 3 sumber-sumber daya resources, sumber
daya ini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Sumber daya yang ada memungkinkan ibu balita mampu memanfaatkan posyandu 4 budaya culture,
kebudayaan merupakan suatu pola hidup yang dihasilkan dari perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan pengguunaan sumber-sumber dalam masyarakat dan
menghasilkan Notoatmodjo, 2010. Demikian halnya dengan ibu balita tidak memanfaatkan posyandu karena
tidak percaya terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan di posyandu, tidak mampu untuk membayar, takut pada petugas, atau mungkin tidak tahu fungsi
posyandu. Penelitian Anderson dan Andersen 1972, Mc Kinlay 1972 dan Aday
Eichhorn 1972 seperti dikutip Kresno 2008 mengenai penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan lebih
dimanfaatkan oleh orang yang berusia sangat muda anak-anak dan berusia tua. Yamin 2003 dalam penelitiannya tentang analisis perbedaan faktor yang
berkontribusi terhadap pemanfaatan posyandu oleh pengunjung rutin dan tidak rutin dalam konteks keperawatan komunitas di wilayah Kecamatan Limus Nunggal, Baros
dan Cikundul Kota Sukabumi menemukan bahwa usia ibu 30 tahun memiliki tingkat pemanfaatan posyandu yang lebih tinggi dibanding usia ibu
≤ 3 0 tahun,
terdapat perbedaan yang bermakna antara usia ibu 30 tahun dan ≤ 30 tahun dalam
pemanfaatan posyandu.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Anderson dan Andersen 1972 dan Aday Eichhorn 1972 dalam Kresno 2008 bahwa seseorang yang mendapat pendidikan formal biasanya lebih
banyak mengunjungi ahli kesehatan. Juarsa 2004 dalam penelitiannya yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan penimbangan balita di posyandu
wilayah Kabupaten Pandeglang menemukan bahwa ibu dengan pendidikan rendah lebih tinggi frekuensinya menimbang balita ke posyandu dibanding ibu dengan
pendidikan sedang dan tinggi. Tetapi tidak ada hubungan secara bermakna antara pendidikan ibu balita dengan cakupan penimbangan balita.
Sihotang dkk 1989, Asrijanti 1990, Susetyo 2002, dan Sambas 2002 dalam Juarsa 2004 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
pendidikan dengan cakupan penimbangan balita di posyandu. Yamin 2003 menemukan bahwa kelompok ibu dengan pendidikan rendah mempunyai tingkat
pemanfaatan posyandu yang lebih tinggi dibanding kelompok ibu dengan pendidikan menengah dan tinggi, tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna tingkat
pendidikan ibu dalam pemanfaatan posyandu. Pradianti 1989 dalam Kresno 2008 membuktikan bahwa faktor pekerjaan
status pekerjaan ibu berhubungan signifikan dengan penggunaan posyandu. Yamin 2003 juga membuktikan bahwa ibu tidak bekerja memiliki tingkat pemanfaatan
posyandu lebih tinggi dibanding ibu bekerja, tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ibu tidak bekerja dan ibu bekerja dalam pemanfaatan posyandu.
Kelompok ibu dengan jumlah balita 1 orang mempunyai tingkat pemanfaatan posyandu yang lebih tinggi dibanding kelompok ibu dengan jumlah balita 1 orang.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok tersebut dalam melaksanakan kunjungan rutin atau tidak rutin. Kelompok ibu dengan
penilaian terhadap kader baik memiliki tingkat pemanfaatan posyandu yang lebih tinggi dibanding kelompok ibu dengan penilaian kader yang kurang, tetapi tidak
terdapat perbedaan yang bermakna dalam pemanfaatan posyandu diantara kedua kelompok tersebut. Kelengkapan fasilitas posyandu juga memengaruhi tindakan ibu
dalam memanfaatkan posyandu, terdapat perbedaan yang bermakna dalam pemanfaatan posyandu antara ibu yang menilai fasilitas posyandu yang lengkap
dengan ibu yang menilai fasilitas posyandu kurang lengkap. Yamin 2003 menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu
maka tingkat pemanfaatan posyandu juga akan semakin tinggi. Namun dukungan keluarga yang kurang dalam pemanfaatan posyandu tidak berbeda dengan dukungan
keluarga yang baik. Dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan posyandu oleh ibu balita akan semakin tinggi bila ibu memiliki pengetahuan yang tinggi tentang posyandu.
Adanya dukungan dari keluarga dalam penelitian ini adalah suami akan memengaruhi tindakan ibu dalam memanfaatkan posyandu untuk meningkatkan kesehatan keluarga
khususnya balita. Perilaku ibu dalam memanfaatkan posyandu akan langgeng bila didasari oleh pengetahuan ibu yang baik dan diperkuat oleh adanya dukungan suami
dalam bentuk dukungan nyata, dukungan emosional, maupun dukungan informatif. Posyandu sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang dibentuk dari,
untuk dan oleh masyarakat diharapkan dapat mendeteksi adanya penyimpangan pertumbuhan anak sehingga dapat diintervensi sedini mungkin sebagai upaya
Universitas Sumatera Utara
preventif gizi buruk. Balita merupakan kelompok yang sangat rawan terhadap gizi kurang maupun gizi buruk. Ibu-ibu yang punya balita tidak akan bertindak
memanfaatkan posyandu untuk pelayanan kesehatan balita termasuk menimbang secara teratur bila ibu tidak merasa bahwa anaknya menderita penyakit gizi kurang
atau gizi buruk. Salah satu upaya mencegah gizi kurang atau gizi buruk adalah melakukan deteksi dini pertambahan berat badan anak secara teratur setiap bulannya
ke fasilitas kesehatan termasuk posyandu.
2.3 Hubungan Pengetahuan dengan Pemanfaatan Posyandu