8 eigenvalue
masing-masing mode
terhadap nilai total eigenvalue dalam persen. PC 1 biasanya menjelaskan
60 dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjut-
nya Johnson 2002, Wilks 2006, Dool 2007. Penelitian ini menggunakan
nilai PC 1 sampai 5 sebagai pembanding dengan indeks RMM
dalam analisis kasus MJO.
b. Normalisasi data RMM, TRMM, MIT, dan Grell,
c. Memfilter data normalisasi TRMM, MIT, dan Grell.
Memfilter data menggunakan metode band-pass filter dengan meng-
hilangkan frekuensi siklus selain MJO, yaitu 30 sampai 80 hari, dan
merata-rata data dalam selang 120 hari. Penggunaan band-pas filter ini
disesuaikan dengan pemfilteran dalam pembuatan indeks RMM 1 dan 2 oleh
Wheeler Wheeler dan Hendon 2004. Penyesuaian metode pemfilteran ini
bertujuan untuk memudahkan dalam melihat kecocokan respon curah
hujan TRMM, MIT, dan Grell terhadap sinyal MJO membanding-
kan dengan indeks RMM. Metode band-pass filter digunakan untuk
menahan frekuensi data pada selang yang dibutuhkan dan menghilangkan
frekuensi di bawah maupun di atas selang. Ilustrasi band-pass filter dapat
dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Ilustrasi Metode Band-pass Filter http:zone.ni.com
8. Analisis kesesuaian indeks MJO dan PCA
TRMM menggunakan analisis korelasi, RMSE, dan standar deviasi,
a. Korelasi
Korelasi menunjukkan nilai ke- eratan diantara dua variabel. Analisis
korelasi dihitung dengan metode korelasi Pearson dengan persamaan
sebagai berikut, Nilai koefisien korelasi Pearson
r berkisar antara -1 sampai 1. Nilai - 1 1 menunjukkan keeratan sempurna
negatif positif. Semakin tinggi nilai korelasi menunjukkan kemampuan
model yang semakin baik Wilks 2006.
b. RMSE Root Mean Square Error RMSE atau disebut juga residual
adalah error dari hasil prediksi ter- hadap nilai yang sebenarnya. RMSE
dihitung menggunakan persamaan berikut,
Keterangan : x
oi
= Nilai yang sebenarnya observasi x
pi
= Nilai dugaan Semakin kecil nilai RMSE
menunjukkan model yang menghasil- kan prediksi yang semakin baik
Wilks 2006. c. Standar deviasi
Analisis kesesuain PCA TRMM dengan PCA MIT dan Grell. Hasil PC
TRMM yang paling sesuai dengan indeks RMM kemudian digunakan
sebagai referensi untuk melihat ke- sesuaian hasil MIT dan Grell terhadap
fase MJO.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Pola Musiman Curah Hujan
Hasil Model terhadap Observasi Keragaman curah hujan musiman di
Indonesia, dibagi ke dalam 4 musim, yaitu DJF Desember-Januari-Februari yang merupakan
musim basah, kemudian MAM Maret-April- Mei musim peralihan basah ke kering, JJA
Juni-Juli-Agustus yang merupakan musim kering, dan musim peralihan dari kering ke
basah, SON September-Oktober-November. Sebaran curah hujan berbeda-beda untuk
keempat musim tersebut. Fluktuasi musiman curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh sirkulasi monsun.
9
Gambar 6 Peta Sebaran Curah Hujan Musiman DJF TRMM, MIT, dan Grell
10 Sebaran curah hujan observasi pada
musim DJF berkisar antara 500-1000 mm. Daerah dengan curah hujan melebihi rata-rata,
yaitu 1000-1500 mm tersebar di daerah tipe monsunal seperti Papua, Jawa Tengah,
Sumatra Selatan, sebagian kecil Kalimantan, dan Sulawesi Gambar 6. Pola sebaran curah
hujan hasil model MIT berbeda dari observasi pada musim DJF. MIT menghasilkan curah
hujan dengan rentang yang sangat tinggi, 0 sampai lebih dari 2000 mm. Curah hujan
musiman yang tinggi 2000 mm tersebar di wilayah datran tinggi seperti di bagian Barat
Pulau Sumatra, Sulawesi, daerah pegunungan es di Papua, dan sebagian kecil di Kalimantan
dan Jawa. Variasi curah hujan antar wilayah pada MITjuga sangat tinggi, terlihat di wilayah
Pulau Jawa dan Sulawesi. Terdapat beberapa wilayah yang mempunyai curah hujan sangat
tinggi yaitu di sekitar puncak gunung dan wilayah dengan curah hujan sangat rendah di
sepanjang pantai. Hasil skema Grell musim DJF juga
menunjukkan sebaran curah hujan yang berbeda dari observasi. Curah hujan Grell rata-
rata berkisar antara 0 sampai 500 mm. Sebaran curah hujan yang lebih tinggi berada di
wilayah pantai, sedangkan curah hujan yang rendah berada pada daratan yang jauh dari laut,
seperti yang terlihat di wilayah Pulau Sumatra. Rentang nilai curah hujan musiman untuk hasil
skema Grell juga sangat tinggi. Terdapat beberapa data pencilan dengan nilai curah
hujan melebihi 1500 mm di ujung Timur Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara.
Berdasarkan pola persebarannya, skema MIT terlihat lebih sensitif terhadap topografi.
Hal ini ditunjukkan oleh curah hujan yang rendah pada daerah pantai dan meningkat
menuju daerah dataran tinggi, sesuai dengan pendekatan yang digunakan pada skema MIT
di dalam menentukan curah hujan.
Gambar 7 Peta Sebaran Selisih Curah Hujan Musiman DJF MIT-TRMM dan Grell-TRMM
11 Tabel 1 Persentase Jumlah Piksel Per Rentang Selisih Curah Hujan Musiman
Pada skema MIT, Cloud water dapat dikonversi langsung menjadi presipitasi pada
awan-awan kumulus, sehingga lebih banyak curah hujan yang terjadi, terutama pada daerah
dataran tinggi yang merupakan daerah pemusa- tan awan kumulus oleh efek orografis. Pada
asumsi skema MIT, awan yang terbentuk bercampur dengan lingkungan dan mengikuti
pergerakannya
yang meningkat
maupun menurun. Oleh karena itu, curah hujan
cenderung rendah
pada daerah
pantai. Sebaliknya, Grell tidak terlalu dipengaruhi
oleh topografi dalam pendugaan curah hujan. Skema Grell adalah default di dalam model
iklim regional RegCM4 untuk daerah lintang tengah yang berupa daratan luas dan topografi
yang lebih homogen, sehingga kurang sesuai untuk daratan maritim tropis seperti Indonesia.
Walaupun mempunyai sebaran curah hujan
yang berbeda
dengan observasi,
mempunyai rentang curah hujan yang sangat tinggi, dan sensitif terhadap topografi, skema
MIT lebih mampu menggambarkan keragaman curah hujan musiman di Indonesia dibanding-
kan skema Grell. Pola sebaran curah hujan MIT lebih mendekati pola observasi daripada
Grell terhadap observasi.
Peta musiman curah hujan MAM, JJA, dan SON Lampiran 6 juga memperlihatkan
hasil yang hampir sama dengan musim DJF. Sebaran curah hujan MIT dan Grell berbeda
dengan curah hujan hasil observasi TRMM. MIT sangat sensitif terhadap topografi dan
mempunyai rentang curah hujan yang tinggi. Grell menghasilkan curah hujan yang rendah,
walaupun terdapat variasi curah hujan yang tinggi pada beberapa wilayah.
Perbandingan hasil pendugaan curah hujan model dengan data observasi TRMM
dapat dilihat pada peta sebaran selisih curah hujan musiman Gambar 7. Pendugaan yang
mendekati data observasi atau mempunyai bias yang kecil berada pada selang selisih -250
sampai 250 mm ditunjukkan oleh warna hijau. Nilai selang ini mempunyai tingkat
kesalahan 25 diasumsikan curah hujan musiman di Indonesia rata-rata 1000 mm.
Untuk musim
DJF, skema
MIT cenderung menghasilkan pendugaan curah
hujan yang lebih tinggi dari curah hujan observasi pada beberapa wilayah seperti
dataran tinggi dan pegunungan. Tetapi hasil pendugaan juga lebih rendah pada beberapa
wilayah lain seperti pada pesisir pantai. Selisih yang sangat besar ditemukan pada beberapa
data pencilan. Lebih banyak terdapat warna biru pada peta MIT-TRMM. Warna biru pada
peta sebaran selisih curah hujan menunjukkan pendugaan curah hujan yang lebih tinggi 250
mm sampai 1000 mm, misalnya pada daerah dataran tinggi maupun jajaran pegunungan di
Indonesia, seperti di sebelah Barat Sumatra, Kalimantan,
beberapa daerah
di Jawa,
Sulawesi, dan tengah Papua. Warna kuning yang menunjukkan pendugaan curah hujan
lebih rendah -1000 mm sampai -250 mm tersebar di daerah-daerah pesisir pulau.
Skema Grell berkebalikan dengan MIT, menghasilkan pendugaan curah hujan yang
lebih rendah dari curah hujan observasi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari lebih banyaknya daerah berwarna kuning pada peta sebaran selisih curah hujan.
Namun,
pada beberapa
daerah, Grell
menghasilkan pendugaan curah hujan yang lebih tinggi, seperti pada kepulauan Nusa
Tenggara. Peta sebaran selisih untuk musim MAM, JJA, dan SON Lampiran 7 juga
memperlihatkan hasil yang tidak berbeda dengan musim DJF.
Sebaran jumlah piksel untuk MIT memusat pada selisih -1000 mm sampai 1000
mm dengan persentase terbesar berada pada selang -250 mm sampai 250 mm Tabel 1.
Skema Grell menduga curah hujan lebih rendah di hampir seluruh wilayah di Indonesia.
Hal ini dibukti-kan dengan persentase jumlah piksel yang memusat pada selisih -1000 mm
sampai 250 mm, tetapi dengan persentase terbanyak pada selang -1000 mm sampai -250
mm Tabel 1.
Pada musim basah DJF persentase jumlah piksel dengan selisih terkecil -250 mm
sampai 250 mm untuk skema MIT sebesar 32.2, 0.5 lebih rendah dari Grell. MIT
memiliki persentase selisih terbesar pada musim kering JJA, yaitu 43. Nilai tersebut
lebih besar 14.6 dari Grell pada musim
DJF MAM
JJA SON
DJF MAM
JJA SON
-1000 1.6
2.2 1.9
1.6 1.4
4.2 3.7
7.6 -1000 sd -250
24.0 25.6
24.7 25.0
61.1 65.9
63.0 72.0
-250 sd 250 32.2
38.7 43.0