Analisis Pola Curah Hujan Bulanan Pada Tiga Tipe Hujan

12 kering. Pada musim peralihan, MIT juga memiliki persentase selisih terkecil yang lebih besar dari Grell. Berdasarkan sebaran selisih curah hujan kedua model terhadap observasi, skema MIT memiliki hasil pendugaan yang lebih baik karena luasan wilayah dengan tingkat keakuratan tinggi -250 sampai 250 lebih besar dari skema Grell, yaitu 38 dari 2125 piksel untuk rata-rata keempat musim. Jumlah piksel dengan selang selisih terkecil pada hasil curah hujan musiman Grell untuk rata-rata keempat musim adalah 26 dari 2125 piksel. Daerah pendugaan yang mempunyai keakuratan tertinggi pada MIT antara lain, bagian Barat Kalimantan, pantai Barat dan Timur Sumatra, bagian tengah Papua, dan beberapa daerah di Jawa. Sedangkan pada Grell, tersebar di daerah pesisir Sumatra, Kalimantan, bagian Utara Sulawesi, bagian Selatan Papua, dan beberapa daerah di Jawa dan Maluku. Skema MIT model iklim regional RegCM4 menduga curah hujan dengan lebih baik pada musim kering JJA dibandingkan musim lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh persentase piksel dengan keakuratan tertinggi yaitu selang -250 mm sampai 250 mm mempunyai nilai yang paling besar diantara musim lainnya, yaitu 43. Sedangkan untuk skema Grell, persentase terbesar untuk keakuratan tertinggi pada musim basah DJF, diikuti oleh musim kering JJA.

4.1.1 Analisis Pola Curah Hujan Bulanan Pada Tiga Tipe Hujan

Pola musiman curah hujan mem- perlihatkan fluktuasi curah hujan dari bulan ke bulan. Fluktuasi tersebut berbeda-beda antar wilayah berdasarkan tinggi rendahnya curah hujan pada bulan-bulan tertentu. Indonesia mempunyai 3 jenis pola curah hujan, yaitu pola monsunal, ekuatorial, dan lokal. Wilayah yang memiliki pola curah hujan monsunal adalah wilayah yang fluktuasi curah hujan bulanannya sangat dipengaruhi oleh monsun, misalnya daerah-daerah di Jawa, Kalimantan bagian Selatan, pantai Timur Sumatra, dan Nusa Tenggara daerah berwarna kuning pada Gambar 8. Wilayah ekuatorial misalnya pada Kalimantan bagian Utara, pantai Barat Sumatra, Sulawesi, dan sebagian besar Papua daerah berwarna hijau pada Gambar 8. Sedangkan yang memiliki pola lokal adalah wilayah-wilayah dengan fluktuasi curah hujan yang unik, sangat berbeda dengan pola monsunal maupun ekuatorial. Wilayah tipe curah hujan lokal diantaranya Pulau-pulau Arafuru, Maluku, dan Sorong daerah berwarna merah atau coklat pada Gambar 8. Analisis pola musiman curah hujan mengambil 3 stasiun yang mewakili masing- masing tipe curah hujan. Ketiga stasiun tersebut Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng 6° 7’ LS dan 106°39’ BT mewakili tipe monsunal, Stasiun Pontianak 3° 5’ LS dan 109° 23’ BT mewakili tipe ekuatorial, dan stasiun Ternate 0° 50’ LS dan 127°25’ BT mewakili tipe lokal. Analisis dilakukan dengan membanding-kan pola curah hujan bulanan tahun 1998 dan 1999 hasil model MIT dan Grell dengan pola musiman curah hujan TRMM. Perbandingan pola musiman curah hujan TRMM, MIT, dan Grell disajikan pada Gambar 9 untuk stasiun Cengkareng, Gambar 10 untuk stasiun Bandara Pontianak, dan Gambar 11 untuk stasiun Ternate. Pola curah hujan bulanan TRMM stasiun Cengkareng tahun 1998 dan 1999 Gambar 9, memperlihatkan curah hujan yang tinggi setiap tahun, tidak pernah berada di bawah 50 mm per bulan. Fluktuasi curah hujan menunjukkan bahwa, pada stasiun Cengkareng curah hujan cenderung tinggi pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Curah hujan rendah pada bulan April sampai Agustus, terlihat pada time series tahun 1999. Penurunan curah hujan [ada pertengahan tahun juga diperlihatkan pada time series tahun 1998, walaupun tidak sejelas pada tahun 1999. Pola curah hujan bulanan TRMM stasiun Cengkareng sesuai dengan pola monsunal yang diwakilinya, yaitu tinggi pada awal dan akhir tahun dan rendah pada pertengahan tahun. Tabel 2 Hasil Analisis Statistik Time Series Curah Hujan Bulanan Hasil Model terhadap TRMM pada Stasiun Cengkareng, Pontianak, dan Ternate Nilai curah hujan bulanan hasil model MIT dan Grell lebih rendah dari curah hujan TRMM di seluruh bulan pada tahun 1998 dan 1999 untuk stasiun Cengkareng. Fluktuasi nilai curah hujan hasil model juga tidak dapat mengikuti fluktuasi curah hujan TRMM. Cengkareng Pontianak Ternate Korelasi 0.14 0.22 0.09 P-Value 0.52 0.30 0.68 RMSE 165 163 172 St. Dev 27880 45703 48206 Korelasi 0.38 0.46 0.23 P-Value 0.07 0.03 0.28 RMSE 170 200 179 St. Dev 26677 40638 26849 MIT- TRMM Grell- TRMM Stasiun 13 Kedua hasil model memperlihatkan curah hujan yang rendah pada awal tahun 1998, kemudian meningkat. Kurva MIT mampu mengikuti sinyal curah hujan tinggi TRMM pada bulan Oktober 1998 dan fluktuasi curah hujan bulan Mei sampai September 1999. Sementara itu, kurva Grell mampu menangkap sinyal curah hujan tinggi TRMM pada bulan Januari 1999 dan mampu mengikuti fluktuasi curah hujan bulan Februari sampai Juni 1999. Hasil analisis statistik Tabel 2 menujukkan bahwa pada stasiun Cengkareng, Grell memiliki korelasi terhadap TRMM yang lebih tinggi dibandingkan MIT dan mempunyai P- Value yang lebih rendah lebih nyata. Grell lebih mampu menggambarkan karakteristik curah hujan monsunal dibandingkan MIT. MIT yang biasanya menduga curah hujan lebih tinggi, menghasilkan pendugaan curah hujan yang lebih rendah dari observasi pada stasiun Cengkareng. Hal ini disebabkan oleh topografi dari lokasi stasiun Cengkareng yang merupakan daerah pesisir. MIT yang sangat sensitif terhadap topografi, menghasilkan pendugaan curah hujan yang rendah pada daerah pesisir pantai dan dataran rendah. Gambar 8 Pola Curah Hujan di Indonesia Sumber: http:www.bmkg.go.id Gambar 9 Pola Curah Hujan Bulanan mm TRMM, MIT, dan Grell Stasiun Cengkareng 14 Gambar 10 Pola Curah Hujan Bulanan mm TRMM, MIT, dan Grell Stasiun Pontianak Gambar 11 Pola Curah Hujan Bulanan mm TRMM, MIT, dan Grell Stasiun Ternate Pola curah hujan stasiun observasi TRMM Pontianak yang mewakili tipe curah hujan ekuatorial menunjukkan nilai curah hujan yang hampir sama tingginya sepanjang tahun, tidak terdapat fluktuasi yang signifikan. Nilai curah hujan tahun 1998 dan 1999 di atas 100 mm untuk setiap bulannya. Pola kurva tersebut sesuai dengan karakteristik curah hujan ekuatorial, yaitu hampir sama tingginya sepanjang tahun. Hasil curah hujan bulanan MIT dan Grell tidak memeperlihatkan pola yang seperti pola curah hujan TRMM. MIT menduga curah hujan jauh lebih tinggi pada bulan Oktober 1998 ketika kurva curah hujan TRMM mengalami penurunan. Hasil curah hujan MIT juga menunjukkan fluktuasi yang signifikan dengan rentang perbedaan curah hujan yang tinggi dari bulan ke bulan. Walaupun tidak terlalu mirip, kurva curah hujan Grell mampu mengikuti fluktuasi kurva curah hujan TRMM. Analisis statistik memperlihatkan bahwa, Grell mempunyai korelasi yang lebih tinggi terhadap TRMM dibandingkan MIT terhadap TRMM Tabel 2dap TRMM pada tipe curah hujan ekuatorial. Selain itu, P-Value Grell-TRMM lebih rendah. Pada stasiun Ternate yang mewakili tipe lokal, nilai curah hujan TRMM tertinggi yaitu pada bulan Januari 1999. Curah hujan hampir merata sepanjang tahun dan tidak terdapat perbedaan peningkatan dan penurunan yang signifikan, kecuali pada bulan Januari dan Februari 1999. Pola curah hujan TRMM yang ditunjukkan sesuai dengan pola curah hujan lokal, yaitu berbeda dari tipe monsunal maupun ekuatorial. Hasil analisis statistik untuk kesesuaian curah hujan bulanan hasil model MIT dan Grell terhadap TRMM memperlihatkan bahwa, kurva Grell lebih mampu mengikuti fluktuasi kurva TRMM, dibuktikan dengan nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan MIT terhadap TRMM Tabel 2. Namun, keduanya mempunyai P- Value yang tidak nyata. Berdasarkan hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa baik MIT 15 maupun Grell tidak mampu menggambarkan karakteristik curah hujan lokal stasiun Ternate. Berdasarkan analisis ketiga daerah yang dibandingkan untuk mewakili masing-masing pola tipe curah hujan di Indonesia, skema Grell lebih mendekati pola observasi dibandingkan MIT pada 2 tipe curah hujan monsunal dan ekuatorial. Analisis pola bulanan curah hujan selama 2 tahun 1998 dan 1999 menunjukkan bahwa, skema Grell lebih merepresentasikan pola curah hujan bulanan untuk masing-masing wilayah di Indonesia menurut tiga tipe curah hujan, ditunjukkan oleh nilai korelasi yang tinggi. Akan tetapi nilai RMSE Grell lebih tinggi yang memperlihatkan hasil simulasi Grell yang cenderung lebih rendah dibanding-kan data observasi dan hasil simulasi MIT. 4.2. Analisis Keragaman Intra-musiman Curah Hujan Hasil Model Analisis keragaman intra-musiman curah hujan dilihat melalui kasus MJO. MJO adalah osilasi atau siklus aliran massa udara yang berulang setiap 30 sampai 60 hari, bahkan mencapai 90 hari yang terjadi di wilayah tropis. Fenomena MJO mempengaruhi anomali curah hujan yang lebih tinggi dari normal. Uap air yang dibawa aliran massa udara MJO meningkatkan keawanan di wilayah yang dilaluinya. Terjadinya MJO dapat dilihat dari nilai indeks RMM 1 dan 2 yang tanggal kejadian dan wilayah fasenya dapat dijelaskan dengan roadmap MJO. Selama tahun 1998 dan 1999, MJO di Indonesia, yaitu pada fase 4 dan 5 kuat pada bulan Mei, September, Oktober, dan November tahun 1998, Januari, April, dan November tahun 1999 Lampiran 3. Untuk mendeteksi adanya sinyal MJO pada time series curah hujan model, terlebih dahulu digunakan data curah hujan observasi TRMM sebagai pembanding untuk nilai indeks RMM 1. Indeks RMM yang digunakan sebagai pembanding pada analisis korelasi hanya RMM 1, karena MJO di Indonesia terjadi ketika RMM 1 bernilai positif, sedangkan RMM 2 menentukan wilayah kejadian MJO untuk fase 4 atau 5. Korelasi antara kejadian MJO dan peningkatan curah hujan diasumsikan sebagai korelasi spontan, artinya ketika terjadi MJO seketika itu terjadi peningkatan curah hujan. Tidak terdapat lag antara fenomena MJO dan anomali curah hujan, karena pengaruh dari MJO adalah adanya peningkatan keawanan pada wilayah yang dilaluinya. Time series TRMM diwakili oleh nilai komponen utama PC. Komponen utama keempat PC 4 dari 5 komponen utama yang dibuat memiliki nilai korelasi yang paling tinggi terhadap indeks RMM 1 Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis statistik tersebut, pola data RMM 1 dapat direpresentasikan oleh PC 4 TRMM yang mewakili 16.5 keragaman curah hujan di Indonesia Gambar 12. RMM 1 positif digunakan untuk menjelaskan kemungkinan lokasi MJO pada fase 4 dan 5 yang meliputi wilayah Indonesia di bagian Barat dan Timur. Tabel 3 Hasil Analisis Statistik PC TRMM dengan Indeks RMM 1 Gambar 12 Persentase Keragaman PCA TRMM Ilustrasi kurva perbandingan indeks RMM dengan PC4 TRMM dapat dilihat pada Gambar 13. Tanda lingkaran menunjukkan kecocokan antara kurva PC4 TRMM dengan indeks RMM 1 dan 2 yang menunjukkan adanya sinyal MJO. Nilai RMM 1 positif, dan RMM 2 positif atau negatif. Nilai curah hujan tinggi pada tanggal-tanggal tersebut dan kurva curah hujan dapat mengikuti naik turunnya siklus MJO. Tabel 4 Hasil Analisis Statistik PC MIT dan Grell dengan PC 4 TRMM PC 1 PC 2 PC 3 PC 4 PC 5 Korelasi 0.12 0.14 0.00 0.37 -0.30 P-Value 0.00 0.00 0.97 0.00 0.00 RMSE 1.32 1.31 1.41 1.12 1.61 Std.Dev 2.44 2.26 3.06 2.29 3.64 RMM 1 TRMM Indeks MJO PC 1 PC 2 PC 3 PC 4 PC 5 Korelasi 0.44 0.30 0.37 0.37 0.35 P-Value 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 RMSE 1.06 1.19 1.12 1.12 1.14 Std.Dev 1.67 1.79 1.67 1.77 2.46 PC 1 PC 2 PC 3 PC 4 PC 5 Korelasi 0.48 0.08 0.12 0.57 0.24 P-Value 0.00 0.06 0.00 0.00 0.00 RMSE 1.72 1.47 1.50 0.93 1.24 Std.Dev 3.41 4.17 3.19 1.36 2.06 MIT Grell TRMM PC4 16 Gambar 13 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 4 TRMM Gambar 14 Hasil Plot PC 4 TRMM dengan PC 1 MIT Gambar 15 Hasil Plot PC 4 TRMM dengan PC 4 Grell a b Gambar 16 Persentase Keragaman PCA MIT a dan Grell b Selanjutnya PC 4 TRMM digunakan sebagai pembanding PC MIT dan Grell untuk mendeteksi sinyal MJO. Pada skema MIT, MJO dapat dideteksi dengan baik oleh PC 1, sedangkan pada skema Grell pada PC 4 karena mempunyai korelasi yang tinggi terhadap PC 4 TRMM Tabel 4. Oleh karena itu, PC 1 MIT dan PC 4 Grell yang digunakan di dalam analisis MJO. Kurva perbandingan PC4 TRMM dengan PC 1 MIT dan PC 4 Grell dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15. Pola time series MIT mampu mengikuti fluktuasi kurva TRMM pada bulan-bulan peralihan dan bulan-bulan kering, tetapi tidak dapat menangkap curah hujan yang tinggi pada bulan basah bulan November sampai Januari 1999, ditandai dengan lingkaran terputus. Sedangkan time series Grell mampu menangkap curah hujan tinggi pada bulan-bulan basah. Kedua kurva time series MIT dan Grell dapat mengikuti pola fluktuasi kurva TRMM dan dapat mendeteksi adanya sinyal MJO ditandai dengan nilai curah hujan yang tinggi pada saat kejadian MJO. Skema MIT lebih dominan dalam merepresentasikan keragaman curah hujan intramusiman dilihat dari besarnya nilai persentase keragaman PCA MIT yang lebih tinggi dibandingkan PCA Grell Gambar 16. MIT pada PC 1 dapat merepresentasikan 29,8 keragaman intramusiman curah hujan, sedangkan Grell pada PC 5 dapat meng- gambarkan 10.7 keragaman curah hujan intramusiman. 4.2.1 Analisis MJO Fase 4 dan 5 Selain fase MJO untuk keseluruhan wilayah di Indonesia, juga dianalisis untuk masing-masing fase, yaitu fase 4 fase 5. Pembagian fase 4 dan 5 ini dengan membagi dua meridional wilayah Indonesia, bagian Barat 95° BT sampai 118° BT dan Timur 118° BT sampai 141° BT. Komponen utama dibuat masing-masing untuk MJO fase 4, yaitu menggunakan data pada wilayah Indonesia Barat, kemudian untuk MJO fase 5 mengguna- kan data pada wilayah Indonesia Timur. Analisis dilakukan untuk masing-masing wilayah fase MJO 4 dan 5 secara terpisah. Pada analisis fase 4 dan 5 MJO, RMM 2 juga digunakan sebagai pembanding terhadap PC TRMM. RMM 2 menjelaskan kejadian MJO pada fase 4 atau 5. Fase 4 MJO terjadi apabila indeks RMM 1 bernilai positif dan indeks RMM 2 bernilai negatif. Hasil analisis statistik untuk MJO fase 4 menunjukkan bahwa PC 2 TRMM dapat merepresentasikan kejadian MJO, karena memiliki nilai korelasi yang cukup tinggi, terhadap indeks RMM 1 dan RMM 2 Tabel 5. PC 2 TRMM dapat menjelaskan 21.3 keragaman curah hujan Gambar 17. Plot indeks RMM 1, RMM 2 dan PC 2 TRMM dapat dilihat pada Gambar 19. Kejadian MJO fase 4 misalnya ditunjukkan oleh lingkaran terputus pada akhir bulan Juni 1998. Kurva memperlihatkan bahwa pada saat tersebut, indeks RMM 1 bernilai positif dan indeks RMM 2 bernilai negatif. Kurva curah hujan tinggi, menunjukkan adanya peningkatan jumlah curah hujan oleh pengaruh MJO pada bulan Juni yang seharusnya memiliki curah hujan rendah. Tabel 5 Hasil Analisis Statistik PC TRMM dengan Indeks RMM 1 Pada MJO Fase 4 Gambar 17 Persentase Keragaman PCA TRMM Pada MJO Fase 4 Tabel 6 Hasil Analisis Statistik PC 2 TRMM dengan PC MIT dan Grell Pada MJO Fase 4 MJO fase 4 pada skema MIT dan Grell, dapat dideteksi dengan baik oleh PC 1 MIT dan PC 2 Grell, berdasarkan kesesuaiannya dengan PC 2 TRMM Tabel 6. Plot kurva PC 1 MIT dan PC 2 Grell dengan PC 2 TRMM pada MJO fase 4 disajikan pada Lampiran 10. PC 1 MIT lebih dominan dalam menjelaskan keragaman curah hujan intra-musiman, karena dapat menjelaskan 36 keragaman curah hujan intramusiman pada time series PCA nya, sedangkan PC 2 Grell dapat menjelaskan 20.7 keragaman curah hujan intra musiman Lampiran 11. PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi -0.04 0.31 -0.09 -0.33 -0.25 P-Value 0.37 0.00 0.02 0.00 0.00 RMSE 1.44 1.17 1.48 1.63 1.58 St. Dev 2.44 2.47 3.35 2.93 3.03 Korelasi -0.47 0.18 0.17 0.01 -0.16 P-Value 0.00 0.00 0.00 0.75 0.00 RMSE 1.71 1.28 1.29 1.40 1.52 St. Dev 3.31 2.62 2.10 2.38 2.61 Indeks MJO TRMM RMM1 RMM2 PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi 0.47 -0.16 0.18 0.35 0.08 P-Value 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 RMSE 1.03 1.52 1.28 1.14 1.36 St. Dev 1.54 2.46 1.97 1.62 2.65 PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi -0.03 0.29 -0.03 0.12 -0.28 P-Value 0.40 0.00 0.50 0.00 0.00 RMSE 1.44 1.60 1.43 1.33 1.60 St. Dev 5.11 3.07 2.44 2.51 4.58 MIT Grell TRMM PC2 Tabel 7 Hasil Analisis Statistik PC TRMM dengan Indeks RMM 1 Pada MJO Fase 5 Gambar 18 Persentase Keragaman PCA TRMM Pada MJO Fase 5 Tabel 8 Hasil Analisis Statistik PC 4 TRMM dengan PC MIT dan Grell Pada MJO Fase 5 MJO fase 5 ditunjukkan oleh nilai indeks RMM 1 positif dan indeks RMM 2 positif. Pada MJO fase 5 yaitu wilayah Indonesia bagian tengah sampai ujung Timur, MJO dapat direpresentasikan oleh PC 4 TRMM karena memiliki nilai korelasi yang tinggi terhadap indeks RMM 1 dan 2 Tabel 7. PC 4 TRMM mampu menjelaskan 14.1 keragaman curah hujan intra-musiman pada fase 5 MJO Gambar 18. Plot indeks RMM dan PC 4 TRMM dapat dilihat pada Gambar 20. PC 4 TRMM selanjutnya digunakan sebagai referensi untuk PC MIT dan Grell dalam kesesuaiannya menangkap sinyal MJO. PC 5 MIT dapat dengan baik menangkap sinyal MJO, dilihat dari nilai korelasinya yang tinggi terhadap PC 4 TRMM dibandingkan PC MIT lainnya. Sedangkan pada skema Grell, PC 3 yang paling sesuai dengan PC 4 TRMM Tabel 8. Kejadian MJO fase 5 pada Gambar 20 ditunjukkan oleh lingkaran terputus. Nilai curah hujan observasi TRMM meningkat ketika terjadi MJO, yaitu indeks RMM 1 positif dan indeks RMM 2 positif, seperti pada bulan April tahun 1998, bulan Februari, dan bulan Agustus tahun 1999. Keawanan meningkat di bagian Timur Indonesia karena penambahan uap air yang dibawa oleh aliran massa udara MJO, sehingga meningkatkan jumlah presipitasi yang terjadi. Plot PC 4 TRMM dengan PC 1 MIT dan PC 3 Grell diperlihatkan pada Lampiran 12. Hasil curah hujan model MIT dan Grell mampu mengikuti fluktuasi curah hujan observasi TRMM. Namun, pada time series PC 4 TRMM tahun 1999 yang mempunyai simpangan tinggi-rendah curah hujan yang cukup besar, kurang dapat diikuti oleh MIT maupun Grell. Gambar 19 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 2 TRMM Pada MJO Fase 4 PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi 0.16 -0.28 0.21 0.33 -0.07 P-Value 0.00 0.00 0.00 0.00 0.10 RMSE 1.29 1.60 1.25 1.63 1.46 St. Dev 2.75 3.86 2.30 3.53 2.91 Korelasi -0.16 0.04 0.17 0.15 0.04 P-Value 0.00 0.32 0.00 0.00 0.35 RMSE 1.52 1.38 1.29 1.52 1.39 St. Dev 2.73 3.02 2.45 3.01 2.83 Indeks MJO TRMM RMM1 RMM2 PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi 0.54 -0.06 0.17 0.24 0.38 P-Value 0.00 0.16 0.00 0.00 0.00 RMSE 1.75 1.45 1.29 1.23 1.12 St. Dev 4.58 3.17 3.33 2.54 2.06 PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 Korelasi 0.09 -0.14 0.47 -0.01 0.21 P-Value 0.03 0.00 0.00 0.77 0.00 RMSE 1.35 1.51 1.03 1.42 1.26 St. Dev 2.94 5.36 1.75 3.17 2.61 MIT Grell TRMM PC4 19 Gambar 20 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 4 TRMM Pada MJO Fase 5 PC 1 MIT yang mewakili MJO fase 5, mampu menjelaskan 35.2 keragaman curah hujan intra-musiman. Sementara itu, PC 3 Grell mampu menjelaskan 10 keragaman curah hujan intra-musiman pada fase 5 MJO Lampiran 13. Berdasarkan hasil analisis fase 4 dan 5 MJO, MIT dianggap lebih dominan menggambarkan keragaman curah hujan intra- musiman di Indonesia dibanding Grell dilihat dari persentase keragaman PC yang lebih tinggi.

4.2.2 Analisis Sebaran Komposit Curah Hujan Fase 4 dan 5 MJO