12 kering. Pada musim peralihan, MIT juga
memiliki persentase selisih terkecil yang lebih besar dari Grell.
Berdasarkan sebaran selisih curah hujan kedua model terhadap observasi, skema MIT
memiliki hasil pendugaan yang lebih baik karena
luasan wilayah
dengan tingkat
keakuratan tinggi -250 sampai 250 lebih besar dari skema Grell, yaitu 38 dari 2125
piksel untuk rata-rata keempat musim. Jumlah piksel dengan selang selisih terkecil pada hasil
curah hujan musiman Grell untuk rata-rata keempat musim adalah 26 dari 2125 piksel.
Daerah
pendugaan yang
mempunyai keakuratan tertinggi pada MIT antara lain,
bagian Barat Kalimantan, pantai Barat dan Timur Sumatra, bagian tengah Papua, dan
beberapa daerah di Jawa. Sedangkan pada Grell, tersebar di daerah pesisir Sumatra,
Kalimantan, bagian Utara Sulawesi, bagian Selatan Papua, dan beberapa daerah di Jawa
dan Maluku.
Skema MIT model iklim regional RegCM4 menduga curah hujan dengan lebih
baik pada musim kering JJA dibandingkan musim lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh
persentase piksel dengan keakuratan tertinggi yaitu selang -250 mm sampai 250 mm
mempunyai nilai yang paling besar diantara musim lainnya, yaitu 43. Sedangkan untuk
skema Grell, persentase terbesar untuk keakuratan tertinggi pada musim basah DJF,
diikuti oleh musim kering JJA.
4.1.1 Analisis Pola Curah Hujan Bulanan Pada Tiga Tipe Hujan
Pola musiman
curah hujan mem-
perlihatkan fluktuasi curah hujan dari bulan ke bulan. Fluktuasi tersebut berbeda-beda antar
wilayah berdasarkan tinggi rendahnya curah hujan pada bulan-bulan tertentu. Indonesia
mempunyai 3 jenis pola curah hujan, yaitu pola monsunal, ekuatorial, dan lokal. Wilayah yang
memiliki pola curah hujan monsunal adalah wilayah yang fluktuasi curah hujan bulanannya
sangat dipengaruhi oleh monsun, misalnya daerah-daerah di Jawa, Kalimantan bagian
Selatan, pantai Timur Sumatra, dan Nusa Tenggara daerah berwarna kuning pada
Gambar 8. Wilayah ekuatorial misalnya pada Kalimantan bagian Utara, pantai Barat
Sumatra, Sulawesi, dan sebagian besar Papua daerah berwarna hijau pada Gambar 8.
Sedangkan yang memiliki pola lokal adalah wilayah-wilayah dengan fluktuasi curah hujan
yang unik, sangat berbeda dengan pola monsunal maupun ekuatorial. Wilayah tipe
curah hujan lokal diantaranya Pulau-pulau Arafuru,
Maluku, dan
Sorong daerah
berwarna merah atau coklat pada Gambar 8. Analisis pola musiman curah hujan
mengambil 3 stasiun yang mewakili masing- masing tipe curah hujan. Ketiga stasiun
tersebut Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng 6°
7’ LS dan 106°39’ BT mewakili tipe monsunal, Stasiun Pontianak 3°
5’ LS dan 109°
23’ BT mewakili tipe ekuatorial, dan stasiun Ternate 0°
50’ LS dan 127°25’ BT mewakili tipe lokal. Analisis dilakukan dengan
membanding-kan pola curah hujan bulanan tahun 1998 dan 1999 hasil model MIT dan
Grell dengan pola musiman curah hujan TRMM. Perbandingan pola musiman curah
hujan TRMM, MIT, dan Grell disajikan pada Gambar 9 untuk stasiun Cengkareng, Gambar
10 untuk stasiun Bandara Pontianak, dan Gambar 11 untuk stasiun Ternate.
Pola curah hujan bulanan TRMM stasiun Cengkareng tahun 1998 dan 1999 Gambar 9,
memperlihatkan curah hujan yang tinggi setiap tahun, tidak pernah berada di bawah 50 mm
per bulan. Fluktuasi curah hujan menunjukkan bahwa, pada stasiun Cengkareng curah hujan
cenderung tinggi pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Curah hujan rendah pada
bulan April sampai Agustus, terlihat pada time series tahun 1999. Penurunan curah hujan [ada
pertengahan tahun juga diperlihatkan pada time series tahun 1998, walaupun tidak sejelas pada
tahun 1999. Pola curah hujan bulanan TRMM stasiun Cengkareng sesuai dengan pola
monsunal yang diwakilinya, yaitu tinggi pada awal dan akhir tahun dan rendah pada
pertengahan tahun. Tabel 2 Hasil Analisis Statistik Time Series
Curah Hujan Bulanan Hasil Model terhadap
TRMM pada
Stasiun Cengkareng, Pontianak, dan Ternate
Nilai curah hujan bulanan hasil model MIT dan Grell lebih rendah dari curah hujan
TRMM di seluruh bulan pada tahun 1998 dan 1999 untuk stasiun Cengkareng. Fluktuasi nilai
curah hujan hasil model juga tidak dapat mengikuti fluktuasi curah hujan TRMM.
Cengkareng Pontianak
Ternate Korelasi
0.14 0.22
0.09 P-Value
0.52 0.30
0.68 RMSE
165 163
172 St. Dev
27880 45703
48206 Korelasi
0.38 0.46
0.23 P-Value
0.07 0.03
0.28 RMSE
170 200
179 St. Dev
26677 40638
26849 MIT-
TRMM Grell-
TRMM Stasiun
13 Kedua hasil model memperlihatkan curah
hujan yang rendah pada awal tahun 1998, kemudian meningkat. Kurva MIT mampu
mengikuti sinyal curah hujan tinggi TRMM pada bulan Oktober 1998 dan fluktuasi curah
hujan bulan Mei sampai September 1999. Sementara itu, kurva Grell mampu menangkap
sinyal curah hujan tinggi TRMM pada bulan Januari 1999 dan mampu mengikuti fluktuasi
curah hujan bulan Februari sampai Juni 1999. Hasil analisis statistik Tabel 2 menujukkan
bahwa pada stasiun Cengkareng, Grell memiliki korelasi terhadap TRMM yang lebih
tinggi dibandingkan MIT dan mempunyai P- Value yang lebih rendah lebih nyata. Grell
lebih mampu menggambarkan karakteristik curah hujan monsunal dibandingkan MIT.
MIT yang biasanya menduga curah hujan lebih tinggi, menghasilkan pendugaan curah
hujan yang lebih rendah dari observasi pada stasiun Cengkareng. Hal ini disebabkan oleh
topografi dari lokasi stasiun Cengkareng yang merupakan daerah pesisir. MIT yang sangat
sensitif terhadap topografi, menghasilkan pendugaan curah hujan yang rendah pada
daerah pesisir pantai dan dataran rendah.
Gambar 8 Pola Curah Hujan di Indonesia Sumber: http:www.bmkg.go.id
Gambar 9 Pola Curah Hujan Bulanan mm TRMM, MIT, dan Grell Stasiun Cengkareng
14
Gambar 10 Pola Curah Hujan Bulanan mm TRMM, MIT, dan Grell Stasiun Pontianak
Gambar 11 Pola Curah Hujan Bulanan mm TRMM, MIT, dan Grell Stasiun Ternate Pola curah hujan stasiun observasi
TRMM Pontianak yang mewakili tipe curah hujan ekuatorial menunjukkan nilai curah
hujan yang hampir sama tingginya sepanjang tahun, tidak terdapat fluktuasi yang signifikan.
Nilai curah hujan tahun 1998 dan 1999 di atas 100 mm untuk setiap bulannya. Pola kurva
tersebut sesuai dengan karakteristik curah hujan ekuatorial, yaitu hampir sama tingginya
sepanjang tahun. Hasil curah hujan bulanan MIT dan Grell tidak memeperlihatkan pola
yang seperti pola curah hujan TRMM. MIT menduga curah hujan jauh lebih tinggi pada
bulan Oktober 1998 ketika kurva curah hujan TRMM mengalami penurunan. Hasil curah
hujan MIT juga menunjukkan fluktuasi yang signifikan dengan rentang perbedaan curah
hujan yang tinggi dari bulan ke bulan. Walaupun tidak terlalu mirip, kurva curah
hujan Grell mampu mengikuti fluktuasi kurva curah hujan TRMM.
Analisis statistik
memperlihatkan bahwa, Grell mempunyai korelasi yang lebih tinggi terhadap TRMM
dibandingkan MIT terhadap TRMM Tabel 2dap TRMM pada tipe curah hujan
ekuatorial. Selain itu, P-Value Grell-TRMM lebih rendah.
Pada stasiun Ternate yang mewakili tipe lokal, nilai curah hujan TRMM tertinggi yaitu
pada bulan Januari 1999. Curah hujan hampir merata sepanjang tahun dan tidak terdapat
perbedaan peningkatan dan penurunan yang signifikan, kecuali pada bulan Januari dan
Februari 1999. Pola curah hujan TRMM yang ditunjukkan sesuai dengan pola curah hujan
lokal, yaitu berbeda dari tipe monsunal maupun ekuatorial. Hasil analisis statistik
untuk kesesuaian curah hujan bulanan hasil model MIT dan Grell terhadap TRMM
memperlihatkan bahwa, kurva Grell lebih mampu mengikuti fluktuasi kurva TRMM,
dibuktikan dengan nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan MIT terhadap TRMM
Tabel 2. Namun, keduanya mempunyai P- Value yang tidak nyata. Berdasarkan hasil
analisis, dapat dinyatakan bahwa baik MIT
15 maupun Grell tidak mampu menggambarkan
karakteristik curah hujan lokal stasiun Ternate. Berdasarkan analisis ketiga daerah yang
dibandingkan untuk mewakili masing-masing pola tipe curah hujan di Indonesia, skema
Grell lebih
mendekati pola
observasi dibandingkan MIT pada 2 tipe curah hujan
monsunal dan ekuatorial. Analisis pola bulanan curah hujan selama 2 tahun 1998 dan
1999 menunjukkan bahwa, skema Grell lebih merepresentasikan pola curah hujan bulanan
untuk masing-masing wilayah di Indonesia menurut tiga tipe curah hujan, ditunjukkan
oleh nilai korelasi yang tinggi. Akan tetapi nilai
RMSE Grell
lebih tinggi
yang memperlihatkan hasil simulasi Grell yang
cenderung lebih rendah dibanding-kan data observasi dan hasil simulasi MIT.
4.2.
Analisis Keragaman Intra-musiman Curah Hujan Hasil Model
Analisis keragaman intra-musiman curah hujan dilihat melalui kasus MJO. MJO adalah
osilasi atau siklus aliran massa udara yang berulang setiap 30 sampai 60 hari, bahkan
mencapai 90 hari yang terjadi di wilayah tropis. Fenomena MJO mempengaruhi anomali
curah hujan yang lebih tinggi dari normal. Uap air yang dibawa aliran massa udara MJO
meningkatkan keawanan di wilayah yang dilaluinya.
Terjadinya MJO dapat dilihat dari nilai indeks RMM 1 dan 2 yang tanggal kejadian
dan wilayah fasenya dapat dijelaskan dengan roadmap MJO. Selama tahun 1998 dan 1999,
MJO di Indonesia, yaitu pada fase 4 dan 5 kuat pada bulan Mei, September, Oktober, dan
November tahun 1998, Januari, April, dan November tahun 1999 Lampiran 3.
Untuk mendeteksi adanya sinyal MJO pada time series curah hujan model, terlebih
dahulu digunakan data curah hujan observasi TRMM sebagai pembanding untuk nilai indeks
RMM 1. Indeks RMM yang digunakan sebagai pembanding pada analisis korelasi hanya
RMM 1, karena MJO di Indonesia terjadi ketika RMM 1 bernilai positif, sedangkan
RMM 2 menentukan wilayah kejadian MJO untuk fase 4 atau 5. Korelasi antara kejadian
MJO dan peningkatan curah hujan diasumsikan sebagai korelasi spontan, artinya ketika terjadi
MJO seketika itu terjadi peningkatan curah hujan. Tidak terdapat lag antara fenomena
MJO dan anomali curah hujan, karena pengaruh dari MJO adalah adanya peningkatan
keawanan pada wilayah yang dilaluinya.
Time series TRMM diwakili oleh nilai komponen utama PC. Komponen utama
keempat PC 4 dari 5 komponen utama yang dibuat memiliki nilai korelasi yang paling
tinggi terhadap indeks RMM 1 Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis statistik tersebut,
pola data RMM 1 dapat direpresentasikan oleh PC 4 TRMM yang mewakili 16.5 keragaman
curah hujan di Indonesia Gambar 12. RMM 1 positif
digunakan untuk
menjelaskan kemungkinan lokasi MJO pada fase 4 dan 5
yang meliputi wilayah Indonesia di bagian Barat dan Timur.
Tabel 3 Hasil Analisis Statistik PC TRMM
dengan Indeks RMM 1
Gambar 12 Persentase Keragaman PCA TRMM
Ilustrasi kurva perbandingan indeks RMM dengan PC4 TRMM dapat dilihat pada
Gambar 13. Tanda lingkaran menunjukkan kecocokan antara kurva PC4 TRMM dengan
indeks RMM 1 dan 2 yang menunjukkan adanya sinyal MJO. Nilai RMM 1 positif, dan
RMM 2 positif atau negatif. Nilai curah hujan tinggi pada tanggal-tanggal tersebut dan kurva
curah hujan dapat mengikuti naik turunnya siklus MJO.
Tabel 4 Hasil Analisis Statistik PC MIT dan
Grell dengan PC 4 TRMM
PC 1 PC 2
PC 3 PC 4
PC 5 Korelasi
0.12 0.14
0.00 0.37
-0.30 P-Value
0.00 0.00
0.97 0.00
0.00 RMSE
1.32 1.31
1.41 1.12
1.61 Std.Dev
2.44 2.26
3.06 2.29
3.64 RMM 1
TRMM Indeks MJO
PC 1 PC 2
PC 3 PC 4
PC 5 Korelasi
0.44 0.30
0.37 0.37
0.35 P-Value
0.00 0.00
0.00 0.00
0.00 RMSE
1.06 1.19
1.12 1.12
1.14 Std.Dev
1.67 1.79
1.67 1.77
2.46 PC 1
PC 2 PC 3
PC 4 PC 5
Korelasi 0.48
0.08 0.12
0.57 0.24
P-Value 0.00
0.06 0.00
0.00 0.00
RMSE 1.72
1.47 1.50
0.93 1.24
Std.Dev 3.41
4.17 3.19
1.36 2.06
MIT
Grell TRMM
PC4
16
Gambar 13 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 4 TRMM
Gambar 14 Hasil Plot PC 4 TRMM dengan PC 1 MIT
Gambar 15 Hasil Plot PC 4 TRMM dengan PC 4 Grell
a b
Gambar 16 Persentase Keragaman PCA MIT a dan Grell b Selanjutnya PC 4 TRMM digunakan
sebagai pembanding PC MIT dan Grell untuk mendeteksi sinyal MJO. Pada skema MIT,
MJO dapat dideteksi dengan baik oleh PC 1, sedangkan pada skema Grell pada PC 4 karena
mempunyai korelasi yang tinggi terhadap PC 4 TRMM Tabel 4. Oleh karena itu, PC 1 MIT
dan PC 4 Grell yang digunakan di dalam analisis MJO.
Kurva perbandingan PC4 TRMM dengan PC 1 MIT dan PC 4 Grell dapat dilihat pada
Gambar 14 dan 15. Pola time series MIT mampu mengikuti fluktuasi kurva TRMM pada
bulan-bulan peralihan dan bulan-bulan kering, tetapi tidak dapat menangkap curah hujan yang
tinggi pada bulan basah bulan November sampai Januari 1999, ditandai dengan
lingkaran terputus. Sedangkan time series Grell mampu menangkap curah hujan tinggi pada
bulan-bulan basah.
Kedua kurva time series MIT dan Grell dapat mengikuti pola fluktuasi kurva TRMM
dan dapat mendeteksi adanya sinyal MJO ditandai dengan nilai curah hujan yang tinggi
pada saat kejadian MJO. Skema MIT lebih dominan dalam merepresentasikan keragaman
curah hujan intramusiman dilihat dari besarnya nilai persentase keragaman PCA MIT yang
lebih tinggi dibandingkan PCA Grell Gambar 16. MIT pada PC 1 dapat merepresentasikan
29,8 keragaman intramusiman curah hujan, sedangkan Grell pada PC 5 dapat meng-
gambarkan 10.7 keragaman curah hujan intramusiman.
4.2.1 Analisis MJO Fase 4 dan 5
Selain fase MJO untuk keseluruhan wilayah di Indonesia, juga dianalisis untuk
masing-masing fase, yaitu fase 4 fase 5. Pembagian fase 4 dan 5 ini dengan membagi
dua meridional wilayah Indonesia, bagian Barat 95° BT sampai 118° BT dan Timur
118° BT sampai 141° BT. Komponen utama dibuat masing-masing untuk MJO fase 4, yaitu
menggunakan data pada wilayah Indonesia Barat, kemudian untuk MJO fase 5 mengguna-
kan data pada wilayah Indonesia Timur. Analisis dilakukan untuk masing-masing
wilayah fase MJO 4 dan 5 secara terpisah.
Pada analisis fase 4 dan 5 MJO, RMM 2 juga digunakan sebagai pembanding terhadap
PC TRMM. RMM 2 menjelaskan kejadian MJO pada fase 4 atau 5. Fase 4 MJO terjadi
apabila indeks RMM 1 bernilai positif dan indeks RMM 2 bernilai negatif. Hasil analisis
statistik untuk MJO fase 4 menunjukkan bahwa PC 2 TRMM dapat merepresentasikan
kejadian MJO, karena memiliki nilai korelasi yang cukup tinggi, terhadap indeks RMM 1
dan RMM 2 Tabel 5. PC 2 TRMM dapat menjelaskan 21.3 keragaman curah hujan
Gambar 17. Plot indeks RMM 1, RMM 2 dan PC 2 TRMM dapat dilihat pada Gambar 19.
Kejadian MJO fase 4 misalnya ditunjukkan oleh lingkaran terputus pada akhir bulan Juni
1998. Kurva memperlihatkan bahwa pada saat tersebut, indeks RMM 1 bernilai positif dan
indeks RMM 2 bernilai negatif. Kurva curah hujan tinggi, menunjukkan adanya peningkatan
jumlah curah hujan oleh pengaruh MJO pada bulan Juni yang seharusnya memiliki curah
hujan rendah. Tabel 5 Hasil Analisis Statistik PC TRMM
dengan Indeks RMM 1 Pada MJO Fase 4
Gambar 17 Persentase Keragaman PCA TRMM Pada MJO Fase 4
Tabel 6 Hasil Analisis Statistik PC 2 TRMM dengan PC MIT dan Grell Pada MJO
Fase 4
MJO fase 4 pada skema MIT dan Grell, dapat dideteksi dengan baik oleh PC 1 MIT
dan PC 2 Grell, berdasarkan kesesuaiannya dengan PC 2 TRMM Tabel 6. Plot kurva PC
1 MIT dan PC 2 Grell dengan PC 2 TRMM pada MJO fase 4 disajikan pada Lampiran 10.
PC 1 MIT lebih dominan dalam menjelaskan keragaman curah hujan intra-musiman, karena
dapat menjelaskan 36 keragaman curah hujan intramusiman pada time series PCA nya,
sedangkan PC 2 Grell dapat menjelaskan 20.7 keragaman curah hujan intra musiman
Lampiran 11.
PC1 PC2
PC3 PC4
PC5 Korelasi
-0.04 0.31
-0.09 -0.33
-0.25 P-Value
0.37 0.00
0.02 0.00
0.00 RMSE
1.44 1.17
1.48 1.63
1.58 St. Dev
2.44 2.47
3.35 2.93
3.03 Korelasi
-0.47 0.18
0.17 0.01
-0.16 P-Value
0.00 0.00
0.00 0.75
0.00 RMSE
1.71 1.28
1.29 1.40
1.52 St. Dev
3.31 2.62
2.10 2.38
2.61 Indeks MJO
TRMM RMM1
RMM2
PC1 PC2
PC3 PC4
PC5 Korelasi
0.47 -0.16
0.18 0.35
0.08 P-Value
0.00 0.00
0.00 0.00
0.06 RMSE
1.03 1.52
1.28 1.14
1.36 St. Dev
1.54 2.46
1.97 1.62
2.65 PC1
PC2 PC3
PC4 PC5
Korelasi -0.03
0.29 -0.03
0.12 -0.28
P-Value 0.40
0.00 0.50
0.00 0.00
RMSE 1.44
1.60 1.43
1.33 1.60
St. Dev 5.11
3.07 2.44
2.51 4.58
MIT
Grell TRMM
PC2
Tabel 7 Hasil Analisis Statistik PC TRMM dengan Indeks RMM 1 Pada MJO
Fase 5
Gambar 18 Persentase Keragaman PCA TRMM Pada MJO Fase 5
Tabel 8 Hasil Analisis Statistik PC 4 TRMM dengan PC MIT dan Grell Pada MJO
Fase 5 MJO fase 5 ditunjukkan oleh nilai indeks
RMM 1 positif dan indeks RMM 2 positif. Pada MJO fase 5 yaitu wilayah Indonesia
bagian tengah sampai ujung Timur, MJO dapat direpresentasikan oleh PC 4 TRMM karena
memiliki nilai korelasi yang tinggi terhadap indeks RMM 1 dan 2 Tabel 7. PC 4 TRMM
mampu menjelaskan 14.1 keragaman curah hujan intra-musiman pada fase 5 MJO
Gambar 18. Plot indeks RMM dan PC 4 TRMM dapat dilihat pada Gambar 20.
PC 4 TRMM selanjutnya digunakan sebagai referensi untuk PC MIT dan Grell
dalam kesesuaiannya menangkap sinyal MJO. PC 5 MIT dapat dengan baik menangkap
sinyal MJO, dilihat dari nilai korelasinya yang tinggi terhadap PC 4 TRMM dibandingkan PC
MIT lainnya. Sedangkan pada skema Grell, PC 3 yang paling sesuai dengan PC 4 TRMM
Tabel 8.
Kejadian MJO fase 5 pada Gambar 20 ditunjukkan oleh lingkaran terputus. Nilai
curah hujan observasi TRMM meningkat ketika terjadi MJO, yaitu indeks RMM 1
positif dan indeks RMM 2 positif, seperti pada bulan April tahun 1998, bulan Februari, dan
bulan
Agustus tahun
1999. Keawanan
meningkat di bagian Timur Indonesia karena penambahan uap air yang dibawa oleh aliran
massa udara MJO, sehingga meningkatkan jumlah presipitasi yang terjadi.
Plot PC 4 TRMM dengan PC 1 MIT dan PC 3 Grell diperlihatkan pada Lampiran 12.
Hasil curah hujan model MIT dan Grell mampu mengikuti fluktuasi curah hujan
observasi TRMM. Namun, pada time series PC 4 TRMM tahun 1999 yang mempunyai
simpangan tinggi-rendah curah hujan yang cukup besar, kurang dapat diikuti oleh MIT
maupun Grell.
Gambar 19 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 2 TRMM Pada MJO Fase 4
PC1 PC2
PC3 PC4
PC5 Korelasi
0.16 -0.28
0.21 0.33
-0.07 P-Value
0.00 0.00
0.00 0.00
0.10 RMSE
1.29 1.60
1.25 1.63
1.46 St. Dev
2.75 3.86
2.30 3.53
2.91 Korelasi
-0.16 0.04
0.17 0.15
0.04 P-Value
0.00 0.32
0.00 0.00
0.35 RMSE
1.52 1.38
1.29 1.52
1.39 St. Dev
2.73 3.02
2.45 3.01
2.83 Indeks MJO
TRMM RMM1
RMM2
PC1 PC2
PC3 PC4
PC5 Korelasi
0.54 -0.06
0.17 0.24
0.38 P-Value
0.00 0.16
0.00 0.00
0.00 RMSE
1.75 1.45
1.29 1.23
1.12 St. Dev
4.58 3.17
3.33 2.54
2.06 PC1
PC2 PC3
PC4 PC5
Korelasi 0.09
-0.14 0.47
-0.01 0.21
P-Value 0.03
0.00 0.00
0.77 0.00
RMSE 1.35
1.51 1.03
1.42 1.26
St. Dev 2.94
5.36 1.75
3.17 2.61
MIT
Grell TRMM
PC4
19
Gambar 20 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 4 TRMM Pada MJO Fase 5 PC 1 MIT yang mewakili MJO fase 5,
mampu menjelaskan 35.2 keragaman curah hujan intra-musiman. Sementara itu, PC 3
Grell mampu menjelaskan 10 keragaman curah hujan intra-musiman pada fase 5 MJO
Lampiran 13. Berdasarkan hasil analisis fase 4 dan 5 MJO, MIT dianggap lebih dominan
menggambarkan keragaman curah hujan intra- musiman di Indonesia dibanding Grell dilihat
dari persentase keragaman PC yang lebih tinggi.
4.2.2 Analisis Sebaran Komposit Curah Hujan Fase 4 dan 5 MJO