Analisis Sebaran Komposit Curah Hujan Fase 4 dan 5 MJO

19 Gambar 20 Hasil Plot Indeks RMM 1, RMM 2, dan PC 4 TRMM Pada MJO Fase 5 PC 1 MIT yang mewakili MJO fase 5, mampu menjelaskan 35.2 keragaman curah hujan intra-musiman. Sementara itu, PC 3 Grell mampu menjelaskan 10 keragaman curah hujan intra-musiman pada fase 5 MJO Lampiran 13. Berdasarkan hasil analisis fase 4 dan 5 MJO, MIT dianggap lebih dominan menggambarkan keragaman curah hujan intra- musiman di Indonesia dibanding Grell dilihat dari persentase keragaman PC yang lebih tinggi.

4.2.2 Analisis Sebaran Komposit Curah Hujan Fase 4 dan 5 MJO

Selain analisis kesesuaian time series curah hujan MIT dan Grell terhadap indeks RMM, untuk mengetahui kemampuan model menggambarkan keragaman curah hujan intra- musiman, yaitu kasus MJO, juga dilakukan analisis sebaran komposit curah hujan. Analisis dilakukan menggunakan peta komposit yang dibuat dari rata-rata curah hujan harian pada fase kejadian MJO. seperti yang telah dilakukan oleh Hidayat dan Kizu 2010 mengenai pengaruh MJO di Indonesia pada musim hujan. Peta sebaran komposit curah hujan memperlihatkan sebaran curah hujan pada tiap- tiap fase MJO. Nilai curah hujan tinggi dan terpusat pada wilayah fase MJO. Komposit curah hujan dibuat dengan merata-ratakan curah hujan pada saat terjadinya fase MJO yang dilihat dari roadmap MJO Tabel 9. Ketika MJO berada pada fase 4, anomali angin zonal terpusat pada bagian Barat Indonesia, sehingga kewanan cenderung tinggi diikuti dengan curah hujan yang juga tinggi. Sementara itu, ketika terjadi fase 5 MJO, maka curah hujan cenderung tinggi dan terpusat di bagian Timur Indonesia. Tabel 9 Tanggal Kejadian Fase MJO di Indonesia Tahun 1998 dan 1999 4 5 13 -16 Apr 16 - 24 Mei 10 - 15 Mei 1 - 8 Okt 6 - 10 Jun 9 - 15 Nov 20 - 30 Sep 10 -12 Des 24 -25 Jan 26 - 28 Jan 12 - 15 Apr 31 Okt 21 - 22 Jul 1 - 5 Nov 27 - 30 Okt 10 - 16 Des 1 - 9 Des Fase MJO di Indonesia 1998 1999 20 Gambar 21 Sebaran Curah Hujan Komposit TRMM, MIT, dan Grell Pada MJO Fase 4 21 Gambar 22 Sebaran Curah Hujan Komposit TRMM, MIT, dan Grell Pada MJO Fase 5 Berdasarkan peta sebaran komposit curah hujan, MIT dan Grell hanya mampu meliputi wilayah daratan, sementara curah hujan di atas lautan tidak dapat diduga nilainya rendah atau 0 mm karena skema parameterisasi transfer fluks antara lautan dan atmosfer yang digunakan, yaitu Zeng Zeng et al. 1998. Parameterisasi tiap skema berdampak pada hasil yang berbeda-beda dalam simulasi. Peta komposit curah hujan memperlihat- kan bahwa sebaran curah hujan tinggi pada data observasi TRMM memusat di bagian Barat Indonesia Sumatra, dan Kalimantan bagian Barat untuk fase 4 Gambar 21 dan bagian Timur Indonesia Sulawesi, Maluku, dan Papua Barat untuk fase 5 Gambar 22. Sebaran curah hujan ini sesuai dengan pengaruh MJO yaitu berada pada wilayah Barat ketika MJO berada pada fase 4 dan memusat di wilayah Timur ketika siklus MJO berada pada fase 5, ditandai oleh lingkaran hitam dengan garis terputus. Hasil peta komposit curah hujan MIT mengikuti sebaran komposit curah hujan TRMM pada fase 4 MJO Gambar 21, yaitu memusat pada wilayah Indonesia bagian Barat, seperti Kalimantan Barat dan sebagian Sumatra. Tetapi, curah hujan juga tinggi pada daerah dataran tinggi di Sulawesi, Jawa, dan Papua. Sebaran komposit curah hujan Grell memperlihatkan hasil yang berbeda, tidak tampak pemusatan curah hujan tinggi pada bagian Barat Indonesia, bahkan curah hujan rendah merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sesuai pada tanggal kejadian MJO pada Tabel 8, pada tahun 1998 dan 1999, MJO di Indonesia untuk fase 4 lebih sering terjadi pada bulan-bulan peralihan dan bulan-bulan kering, dimana pendugaan curah hujan skema Grell kurang baik berdasarkan analisis musiman curah hujan. Sebaran komposit curah hujan MIT pada fase 5 MJO Gambar 22 tidak memusat pada bagian Timur Indonesia untuk nilai curah hujan tinggi. Curah hujan tinggi berada pada daerah dataran tinggi dan pegunungan, seperti yang telihat di daerah Sulawesi dan Papua. Sebaran komposit curah hujan Grell juga berbeda dengan sebaran komposit curah hujan TRMM, tidak terdapat pemusatan curah hujan tinggi pada bagian Timur dan cenderung rendah merata di seluruh wilayah Indonesia, seperti pada MJO fase 4. Analisis sebaran komposit curah hujan menunjukkan bahwa MIT lebih mampu mengikuti sebaran komposit curah hujan TRMM dibandingkan Grell, walaupun tidak terlalu sama. Nilai curah hujan MIT jauh lebih tinggi pada beberapa wilayah, dan lebih rendah pada wilayah lainnya. Sebaliknya Grell, seperti yang dijelaskan pada analisis musiman curah hujan, menduga curah hujan lebih rendah hampir di seluruh wilayah Indonesia.

V. SIMPULAN DAN SARAN