3 lainnya, antara lain formula yang dapat
mengkonversi langsung cloud water menjadi presipitasi di dalam awan-awan kumulus.
Skema MIT adalah yang paling kompleks dan menghasilkan lebih banyak presipitasi pada
wilayah daratan, terutama terjadinya presipitasi tunggal yang sangat intensif. Skema Grell
menghasilkan nilai presipitasi yang rendah pada lautan tropis. Penggabungan dua jenis
skema dalam simulasi dapat meningkatkan performa model, misalnya menggunakan
skema MIT untuk lautan dan Grell untuk wilayah daratan Giorgi et al. 2011.
Proses konveksi dan pembentukan hujan di setiap wilayah berbeda-beda, dipengaruhi
oleh letak lintang, sebaran daratan dan lautan, serta topografi. Pendekatan proses konveksi
tidak sama hasilnya untuk setiap wilayah, dalam
arti lain,
masing-masing skema
konveksi dapat memberikan hasil yang berbeda-beda untuk wilyah kajian yang
berbeda. Oleh karena itu, diperlukan kajian untuk mengetahui kesesuaian wilayah kajian
dengan skema konveksi yang akan digunakan untuk simulasi. Penelitian terkait kajian
sensitivitas skema konveksi antara lain dilakukan oleh Jie et al. 2007 menggunakan
RegCM3 di wilayah meridian Range Gorge, China
Barat Daya.
Kajian tersebut
menunjukkan bahwa skema Kuo mampu merepresentasikan curah hujan lebih baik pada
musim panas dibandingkan skema lainnya. Sementara itu, pada bulan mei, skema Grell-
FC yang lebih mampu meng-gambarkan curah hujan wilayah Range Gorge. Kemudian Zanis
et al. 2008 yang juga menguji kemampuan model RegCM3 terhadap karakteristik iklim,
tetapi untuk wilayah Eropa.
2.2. MJO Madden Julian Oscillation
Osilasi Madden-Julian Madden Julian Oscillation, MJO pertama kali ditemukan oleh
Roland Madden dan Paul Julian pada tahun 1971 dengan menganalisis data tekanan udara
selama 10 tahun di daerah Canton Island 2.8°LS, 171.7° BB. Madden dan Julian
menemukan anomali angin zonal
yang bergerak dari Samudra Hindia ke Pasifik Barat
sampai Amerika Selatan dan berulang setiap 40-50 hari Madden dan Julian 1994.
MJO ditujukan untuk osilasi atau aliran udara yang berulang setiap 30-60 hari atau 40-
50 hari, bahkan sampai 90 hari di daerah tropis Gottschalk et al. 2010. MJO terjadi hampir di
seluruh troposfer wilayah tropis, tetapi lebih terlihat di daerah Samudra Hindia dan Pasifik
Barat. Cakupan wilayah MJO diperlihatkan pada Lampiran 2. Propagasi angin Baratan
pada peristiwa MJO disebabkan oleh pengaruh gelombang Kelvin. MJO berdampak terhadap
keragaman kecepatan dan arah angin, suhu permukaan laut, keawanan, dan curah hujan
Zhang 2005.
Kejadian MJO dapat dideteksi dari nilai Outgoing Longwave Radiation OLR yang
terukur pada
sensor inframerah satelit.
Sebagian besar hujan di wilayah tropis terjadi karena proses konveksi yang menghasilkan
jenis awan konveksi dengan suhu yang sangat rendah
pada puncaknya.
Puncak awan
konveksi ini mengemisikan sedikit radiasi gelombang panjang, sehingga keragaman OLR
dapat menunjukkan kejadian MJO, yaitu tingginya penutupan awan akibat penambahan
uap air dari massa udara yang dibawa oleh MJO Zhang 2005.
Siklus MJO dapat dilihat dari nilai indeks Realtime Multivariate MJO RMM, yaitu
RMM 1 dan 2. RMM adalah nilai Empirical Orthogonal Function EOF atau komponen
utama dari integrasi kecepatan angin zonal pada ketinggian 200 hPa dan 850 hPa data re-
analisis NOAA dengan OLR yang diukur dari satelit NOAA berorbit polar. Integrasi kedua
parameter cuaca ini kemudian difilter meng- gunakan metode band-pass filter dengan
menghilangkan siklus selain 30-80 hari dan merata-ratakan data dalam selang 120 hari.
Analisis komponen utama atau EOF dibuat dari hasil filter dan mengambil EOF 1 dan 2
sebagai nilai indeks RMM 1 dan 2. RMM 1 mampu menjelaskan 12.8 keragaman data
dan RMM 2 12.2 Wheeler dan Hendon 2004.
Gambar 2 Roadmap Fase MJO Sumber: Wheeler dan Hendon 2004
Roadmap MJO merupakan hasil plot nilai RMM 1 dan 2 pada tanggal tertentu yang
4 kemudian dihubungkan dengan garis sehingga
membentuk siklus. Roadmap MJO menunjuk- kan tempat kejadian MJO yang dibagi menjadi
8 fase Gottschalk et al. 2010. Kedelapan fase tersebut menunjukkan wilayah yang dilewati
MJO, yaitu Samudra Hindia untuk fase 2 dan 3, Benua Maritim fase 4 dan 5, Pasifik Barat
fase 6 dan 7, dan belahan Bumi bagian Barat serta Afrika untuk fase 1 dan 8 Gambar 2.
Lingkaran di tengah diagram adalah posisi MJO lemah, apabila garis semakin jauh dari
pusat diagram, maka pengaruh MJO semakin kuat di daerah tersebut. Roadmap MJO untuk
tahun 1998 dan 1999 per tiga bulan disajikan di dalam Lampiran 3.
MJO mempengaruhi keragaman curah hujan di wilayah yang dilaluinya. Aliran massa
udara MJO membawa uap air yang meningkat- kan keawanan, sehingga menghasilkan anomali
curah hujan yang lebih tinggi dari curah hujan normal Zhang et al. 2009. Pergerakan MJO
dari fase 1 sampai 8 diperlihatkan pada Gambar 3 Gottschalck et al. 2010.
Indonesia termasuk di dalam fase ke 4 dan ke 5 MJO, yaitu pada nilai indeks RMM 1
positif dan positif atau negatif untuk indeks RMM 2. Nilai indeks RMM 2 negatif
menunjukkan terjadinya MJO pada fase 4 yaitu wilayah Indonesia bagian Barat, dan positif
pada fase 5 yaitu Indonesia bagian Timur. Namun, kejadian MJO fase 3 dan 6 juga
masih berpengaruh terhadap keragaman curah hujan di Indonesia.
Pengaruh MJO terhadap curah hujan dapat dilihat dari nilai curah hujan yang lebih
tinggi dari normal pada time series curah hujan. Data curah hujan dapat diperoleh dari
satelit maupun
hasil simulasi
model. Kemampuan hasil simulasi model menangkap
anomali curah hujan seperti MJO juga menentukan kualitas model dalam meng-
gambarkan karakteristik iklim wilayah yang dikaji, khususnya curah hujan. Simulasi model
iklim dalam mendeteksi MJO antara lain dilakukan oleh Kim et al. 2009 dan
Subrahmanian et al. 2011. Kim et al. 2009 menggunakan hasil simulasi 8 jenis GCM, 3
AOGCM, dan 5 uncoupled GCM untuk mendeteksi adanya sinyal MJO pada time
series curah hujan. Sementara Subramanian et al. 2011, menggunakan hasil curah hujan
Community Climate System Model 4 CCSM4 dalam analisis kejadian MJO di wilayah tropis
Samudra Hindia hingga Samudra Pasifik.
Gambar 3 Fase MJO 1 Sampai 8 Sumber: Gottschalck et al. 2010
2.3. Produk TRMM 3B42