Keragaman Genetik Ikan Tuna Sirip Kuning
Selain itu ukuran populasi yang besar juga dapat melindungi terjadinya penurunan populasi, karena meski adanya tekanan penangkapan secara berkala terhadap ikan
tuna sirip kuning namun ukuran populasi dalam jumlah yang besar masih tersedia dan menyebar di perairan antar samudera atau perairan lokal pada suatu negara.
Populasi yang menyebar secara luas mengakibatkan penangkapan ikan tuna hanya pada sub populasi yang berjumlah kecil pada suatu perairan. Proses perpindahan
atau migrasi antar perairan membutuhkan waktu yang cukup lama karena biasanya ikan bergerak mencari makanan di wilayah sekitar terlebih dahulu. Berbagai
penjelasan diatas juga didukung hasil penelitian Ely et al 2005 menemukan terdapat sub populasi tuna sirip kuning di Samudera Atlantik. Hal yang sama juga
ditemukan spesies ikan tuna lainnya lain seperti Grewe dan Hamptom 1998 mengkaji 800 sampel tuna mata besar dengan menggunakan analisis mtDNA dan
DNA mikrosatelit menemukan terdapat sub populasi di dalam populasi ikan tuna mata besar di Samudera Pasifik yang tersebar secara luas, kemudian Nugraha
2009 dalam penelitianya genetika populasi ikan tuna mata besar T. obesus di Benoa Bali dimana sampel dikumpulkan di perairan Samudera Hindia selatan
Jawa dan Nusa Tenggara terdapat lima sub kelompok diperairan yang terbagi atas dua populasi yang terbagi menjadi populasi Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik. Martinez et al 2006 menjelaskan bahwa ditemukan dua clade tuna mata besar diperairan Samudera Atlantik dan dua pola genetik yang berbeda, hasil
penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Bremer et al
1998 dimana terdapat tiga populasi ikan tuna di dunia yakni populasi ikan tuna di Samudera Atlantik dan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik.
Chiang et al 2008 melakukan penelitian pada empat lokasi di daerah Samudera Hindia dan memperlihatkan bahwa tidak adanya perbedaan genetik yang nyata
pada populasi ikan tuna mata besar di Samudera Hindia, kemudian Chiang et al 2006 dalam penelitiannya menemukan tuna mata besar pada Pasifik Barat
merupakan satu populasi panmictik tunggal.
Faktor kedua adalah kemampuan migrasi yang tinggi dimana migrasi menyebabkan terjadinya pertemuan antar populasi yang besar, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya perkawinan silang dan memungkinkan adanya aliran gen gen flow antar populasi yang berbeda, dengan demikian akan mempengaruhi
tingkat keragaman genetik ikan tuna dalam kurun waktu tertentu. Hal ini memungkinkan karena jalur migrasi ikan tuna yang bergerak dari Samudera
Pasifik kemudian bermigrasi masuk ke Indonesia khusunya perairan Laut Maluku, Laut Seram dan Laut Banda sehingga memungkinkan terjadi perkawinan antar
populasi. Pertemuan ini menyebabkan terjadinya aliran gen gen flow didalam dan antar populasi. Aktivitas migrasi ikan tuna ini didukung oleh Nishida et al
1998 yang menggunakan metode penanda Tagging dan menemukan bahwa beberapa spesies ikan tuna melakukan perjalanan jauh lintas Samudera.
Kemampuan migrasi ikan tuna yang tinggi dan ukuran populasi yang besar memberikan peluang untuk bertemu dan mengakibatkan terjadi persilangan
genetik Grant 1985; Palumbi 1994; Wild 1994; Ely et al 2005. Durand et al 2005 menyebutkan bahwa terdapat populasi ikan tuna dari dua kelompok
berbeda di perairan dunia yakni dari Samudera Atlantik dan Indo-Pasifik bertemu di bagian selatan laut Afrika dan pertemuan ini menimbulkan gerombolan
populasi yang besar, selanjutnya Gonzales et al 2008 terjadi perkawinan antara populasi ikan tuna yang berbeda pada lokasi di bagian selatan Samudera Atlantik.
Ikan tuna mempunyai mobilitas tinggi yang memberikan pengaruh terhadap proses transfer genetik antar populasi, penjelasan ini didukung oleh Scoles dan
Graves 1993 yang menyebutkan bahwa secara umum terdapat aliran gen yang terjadi antar populasi.
Nilai keragaman genetik ikan tuna yang tinggi menunjukan bahwa tuna memiliki tingkat keragaman genetik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
ikan laut lainya seperti yang disajikan pada Tabel 5. Perbedaan nilai keragaman genetik ini mungkin diakibatkan oleh sifat migrasi dan penyebaran tuna yang
tinggi dan bergerombol sehingga memberikan peluang bertemu dengan kelompok lain di berbagai perairan, dibandingkan ikan kerapu, kakap, malalugis, ikan karang
dan ikan anggoli yang relative hidup dalam kelompok dan hanya berada di wilayah tertentu serta kemampuan migrasi yang rendah. Penjelasan ini didukung
oleh Zardoya et al 2004 yang mengatakan bahwa keragaman haplotipe yang tinggi pada sebagian besar spesies tuna merupakan tipe pola genetik ikan famili
scrombridae. Sedangkan Wild 1994 mengatakan bahwa tingkat migrasi ikan tuna lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan air laut yang lain sehingga
memberikan peluang adanya pertemuan dan persilangan dengan populasi yang lain semakin besar. Selain itu Moria et al 2009 menambahkan bahwa sifat
migrasi ikan tuna yang bergerombol cenderung menghasilkan nilai keragaman genetik yang tinggi dibandingkan dengan ikan kerapu dan kakap yang relative
hidup dalam kelompok dan wilayah tertentu. Grant 1985 mengatakan bahwa ikan laut yang memiliki sifat migrasi, memijah spontan atau telur dan larvanya
bersifat pelagik berpengaruh terhadap pengurangan penghayutan genetik random genetic drift
dan rendahnya divergen antar populasi. Vinas 2004b mengatakan bahwa beberapa peristiwa memperlihatkan bahwa adanya perbedaan ekologi,
tingkah laku dan rekrutmen diri membuat mekanisme perubahan genetik menjadi berbeda.
Tabel 5. Perbandingan keragaman genetik ikan tuna dengan spesies ikan laut
lainnya. Spesies
Keragaman genetic
Sumber Tuna sirip kuning Thunnus albacares
0.990 Akbar 2014
Tuna mata besar Thunnus obesus 0.999
Chiang et al 2008 bluefin tuna Thunnus thynnus thynnus
0.991 Carlsson et al
2004 Cakalang Katsuwonus pelamis
0.910 Dammannaggoda
2007 Layang Cypselurus opisthopus
0.189 Fahri 2001
Anggoli Pristipomoides multidens 0.007-0.417
Wigati et al 2003 Kakap merah sebae Lutjanus sp
0.099 Permana et al
2003 Ikan karang Family pomacanthidae dan
chaetodontida 0.197- 0.467
Affonso dan Galetti 2007
Malalugis Decapterus macarellus 0.369
Zamroni 2012 Kerapu bebek Cromileptes altivelis
0.774-0.794 Sembiring et al
2013
Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik, hal ini disebabkan karena setiap gen memiliki respon yang berbeda-
beda terhadap kondisi lingkungan. Kehadiran berbagai macam gen pada individu di dalam populasi memberikan peluang untuk tahan terhadap berbagai perubahan
lingkungan yang ada. Sebagaimana dijelaskan oleh Hartl dan Jones 1998 bahwa keragaman genetik yang tinggi di dalam populasi ikan dapat melindungi dari
berbagai gangguan lingkungan, hal ini diperkuat oleh pernyataan Soelistyawati 1996 bahwa proses perpindahan materi genetik antar populasi yang berbeda
lokasi mempengaruhi keragaman genetik.
Hasil analisis keragaman genetik dari 41 individu ikan tuna sirip kuning pada kedua perairan ditemukan 33 haplotipe spesifik dan 7 haplotipe yang sama
serta 1 haplotipe berada pada dua individu yang berbeda lokasi. Wu et al 2010 yang menemukan 111 total haplotipe yang berbeda dari total 124 sampel. Niwa et
al
2003 juga menemukan distribusi haplotipe total 28 yang di analisis, terdapat 18 haplotipe spesifik pada setiap individu, 8 haplotipe terdapat pada dua individu
dan 1 haplotipe menyebar di empat individu. Semakin beragam tipe komposit haplotipe tingkat keragaman genetik populasi genetik pada satu populasi akan
semakin tinggi dan begitu juga sebaliknya Smith et al 1981.
Tingginya keragaman genetik dan haplotipe spesifik yang beragam memberikan gambaran bahwa belum terjadi perubahan struktur genetik pada
populasi ikan tuna di Maluku Utara dan Ambon karena masih mempunyai variasi gen yang beragaman. Walaupun diketahui bahwa sumberdaya ikan tuna adalah
spesies yang dijadikan ikan target dalam operasi penangkapan dan telah lama dieksploitasi karena memiliki nilai komersil yang tinggi. Meskipun demikian
kegiatan penangkapan tidak bisa dibiarkan secara terus menurus karena dapat mempengaruhi struktur populasi yang berakibat turunnya keragaman genetik
suatu spesies. Hal ini memberikan padangan bahwa perlu adanya strategi untuk melindungi keanekaragaman hayati diperlukan melalui konservasi genetik dengan
penegakan regulasi dan upaya pengendalian tangkapan ikan berdasarkan kategori ukuran, karena keragaman hayati mencakup segala aspek yang meliputi
keragaman habitat, komunitas, populasi dan jenis. Perbedaan genetik ini dianggap penting dibanding jenis dan ekosistem, hal ini disebabkan karena sumber daya
genetik merupakan kunci penting bagi suatu jenis untuk bertahan hidup sampai generasi berikutnya. Krisis biodiversitas atau keragaman hayati dimulai dari
semakin menurunnya tingkat keragaman genetik dari suatu jenis.
Hasil yang ditemukan dapat menjelaskan bahwa kedua kelompok tuna sirip kuning ini memiliki kemampuan beradaptasi yang baik terhadap perubahan
lingkungan yang terjadi sewaktu-waktu. Taylor dan Aarsen 1988 menjelaskan bahwa spesies dengan kemampuan beradaptasi yang baik akan menghasilkan
variasi fenotip dan genotip guna merespon terhadap perubahan kondisi lingkungan sehingga individu dapat bertahan hidup dan berkembang baik. Keanekaragaman
penting untuk keberlanjutan sumberdaya alam pada masa depan termasuk pada sektor sumber daya ikan tuna sirip kuning dan perikanan komersil. Menurut
Frankham 1999 kehilangan keragaman genetik akan mengurangi kemampuan spesies tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, lebih lanjut
Hughes et al 2008 menjelaskan keragaman genetik mempunyai dampak potensial secara langsung maupun tidak terhadap individu, spesies, populasi,
komunitas dan ekosistem. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Leary et al 1985
bahwa keragaman genetik yang rendah berakibat negatif terhadap sifat penting dalam makhluk hidup seperti kecilnya sintasan suatu organisme, berkurangnya
pertumbuhan, keragaman ukuran serta turunnya kemampuan adaptasi. 3.2. Struktur Populasi Ikan Tuna Sirip Kuning
Analisis struktur populasi meliputi jarak genetik, analisis Fixation Index Fst dan jaringan haplotipe. Hasil analisis ditemukan jarak genetik dalam populasi
Maluku Utara adalah 0.022, dalam populasi Ambon sebesar 0.019 dan jarak genetik dalam kedua populasi yaitu 0.021 Tabel 6. Sedangkan hasil analisis
jarak genetik antar populasi Maluku Utara dengan Ambon adalah 0.021. Kedekatan hubungan kekerabatan antar populasi mungkin disebabkan karena
antar populasi mempunyai asal-usul induk yang sama Iskandar et al 2010. Perbandingan jarak genetik populasi Perairan Maluku dan Samudera Hindia
diperoleh jarak genetik yakni 0.121 Tabel 7. Keseluruhan hasil yang diperoleh menunjukan bahwa semua populasi berkerabat dekat. Hasil ini mirip yang
diperoleh Dammannagoda 2007 di perairan Sri Lanka dan Samudera Hindia, Scoles dan Graves 1993 di Samudera Pasifik juga menemukan tidak ada
differensiasi genetik signifikan antara tuna sirip kuning pada dua lokasi yang berbeda. Hasil analisis ini didukung oleh pernyataan Gonzales et al 2008 yang
mengatakan bahwa terdapat aliran gen antar populasi ikan tuna pada kawasan Indo-Pasifik. Michels et al 2001 mengatakan populasi yang tersebar dan terpisah
secara geografis memiliki hubungan struktur genetik dan terjadi aliran gen gene flow
, sedangkan Palumbi 2003 menyebutkan bahwa populasi yang berdekatan secara morfologi tetapi terpisah secara geografis kemungkinan adanya kedekatan
genetik antar keduanya. Presentasi nilai jarak genetik menjelaskan bahwa dari 517 pasangan basa bp yang diperoleh hanya terdapat 21 pasangan basa yang berbeda
antara populasi Maluku Utara dan Ambon, 22 pasangan basa yang berbeda dalam populasi Maluku Utara. Semakin kecil nilai jarak genetik antar individu didalam
maupun antar populasi, maka semakin dekat kedekatan genetik Koh et al 1999.
Tabel 6. Jarak genetik dalam populasi tuna sirip kuning. Jarak Genetik
Lokasi Maluku Utara
Ambon Semua
populasi Dalam Populasi Maluku Utara
0.022 -
- Ambon
- 0.019
- Semua populasi
- -
0.021 Antar populasi
Maluku Utara -
0.021 -
Ambon -
- -
Tabel 7. Jarak genetik antar populasi tuna sirip kuning Perairan Maluku dengan Samudera Hindia
Jarak Genetik Lokasi
Perairan Maluku Samudera Hindia
Dalam populasi Perairan Maluku
0.021 -
Samudera Hindia -
0.282 Antara populasi
Perairan Maluku -
0.121 Samudera Hindia
- -
Secara keseluruhan hasil penelitian yang diperoleh menjelaskan bahwa ikan sirip kuning yang tersebar pada kedua wilayah memiliki jarak genetik yang dekat
antar satu dengan yang lain. Kedekatan genetik pada populasi Maluku Utara dan Ambon pada populasi tuna sirip kuning memberikan dugaan bahwa kedua
populasi tersebut berasal dari kelompok keturanan yang sama. Selain itu tingginya mobilitas migrasi pada kedua populasi mengakibatkan terjadinya aliran gen gene
flow
. Mayr 1970 menyatakan bahwa suatu populasi yang memiliki tingkat hubungan kekerabatan yang tinggi mempunyai banyak persamaan morfologi dan
genetik akibat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Analisis fiksasi indeks Fst ikan tuna sirip kuning T.albaceres
menunjukan tidak terdapat diferensiasi genetik antara populasi Maluku Utara dan Ambon, hal yang sama juga ditemukan pada populasi Samudera Hindia Tabel 8.
Hasil analisis menunjukan nilai Fst populasi tuna sirip kuning Maluku Utara dengan Ambon adalah 0.562, populasi Ambon dengan Samudera Hindia sebesar
0.906 dan Maluku Utara dengan Samudera Hindia adalah 0.931. Nilai Fst yang besar menjelaskan bahwa terjadi aliran gen antar populasi yang sangat tinggi.
Besarnya aliran gen kemungkinan disebabkan karena ketiga populasi saling memberikan pengaruh terhadap aliran genetik antar populasi. Selain itu tingginya
aliran gen yang masuk kedalam populasi per generasi turut mempengaruhi kedekatan genetik kedua populasi. Letak geografis antar kedua lokasi yang
berdekatan yakni hanya 241 mil turut berpengaruh terhadap besarnya aliran gen yang masuk dalam dan antar populasi. Mulyasari et al 2010 menjelaskan bahwa
populasi dengan tingkat differensiasi yang rendah, mungkin disebabkan oleh banyaknya kesamaan genetik antar populasi. Deferensiasi genetik yang rendah
pada populasi tuna baik didalam dan diantara populasi di Samudera Pasifik dan Hindia, karena terjadi pertemuan terus menerus circumtropical dan berbagai
tempat pemijahan yang cocok Bremer et al 1998; Grewe and Hampton 1998; Chow et al 2000; Appleyard et al 2002; Durand et al 2005; Chiang et al 2008; Wu
et al
2010; Suman et al 2014. Tingkat aliran gen yang rendah pada beberapa ikan per generasi cukup untuk mencegah diferensiasi genetik dengan pergeseran
genetik Hauser dan Ward 1998.
Tabel 8. Analisis uji jarak berpasangan Fst pada tiga populasi tuna sirip kuning F
ST
Lokasi S.Hindia
Ambon Maluku Utara
Tuna sirip kuning
Samudera Hindia
- -
- Ambon
0.906 -
- Maluku Utara
0.931 0.562
- Analisis distribusi haplotipe memperlihatkan adanya hubungan diantara
haplotipe pada ikan tuna sirip kuning Gambar 4. Distribusi haplotipe menunjukkan terjadi pencampuran haplotipe yang berbeda dan semua lokasi
jaringan haplotipe menyebar ke seluruh individu, sehingga gagal untuk menunjukkan pengelompokan Clade antara lokasi geografis yang berbeda.
Secara keseluruhan hasil yang ditemukan memperlihatkan bahwa haplotipe mtDNA dominan didistribusikan ke seluruh sampel ikan tuna sirip kuning.
Terlebih lagi, distribusi haplotipe diikuti oleh nilai-nilai fiksasi indeks Fst sangat
tinggi dan jarak genetik. Semua ini menunjukkan bahwa tuna sirip kuning Maluku Utara dan Ambon merupakan populasi panmiksia.
Heterogenitas yang diamati diantara populasi Maluku Utara dan Ambon adalah sirip kuning serupa dengan beberapa spesies ikan tuna lainya yang
ditangkap dari lautan yang berbeda Chiang et al 2006; Santos et al 2010; Suman et al
2014. Pencampuran individu antar dua populasi dari spesies di wilayah ini sangat dimungkinkan karena tingginya mobilitas spesies, pola arus yang berlaku
dan distribusi dispersal larva Wyrtki 1961. Graves 1996 mengemukakan bahwa beberapa ikan pelagis seperti cakalang, albacore, tuna mata besar dan sirip
kuning telah menunjukkan ruang pemisah yang kecil baik di dalam dan antara cekungan laut karena terjadinya pertemuan terus-menerus. Ward 1995
menjelaskan untuk menunjukkan perbedaan populasi rendah, migrasi yang melibatkan beberapa individu per generasi dapat merupakan kunci untuk
menghasilkan homogenitas genetik yang jauh.
Gambar 4. Jaringan distribusi haplotipe untuk ikan tuna sirip kuning Thunnus albacares
di Perairan Maluku Utara dan Ambon. Perairan Maluku Utara = bulat kuning, Ambon = bulat merah mudah.
Kedudukan geografis pada kedua lokasi yang tidak begitu jauh, namun terhalang oleh beberapa pulau tidak membatasi distribusi ikan tuna sirip kuning,
sehingga dapat dijelaskan bahwa ikan tuna tidak memiliki batas distribusi secara geografis. Wijana dan Mahardika 2010 menyebutkan ikan tuna umumnya dapat
bermigrasi pada jarak yang sangat jauh karena ikan ini mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan perairan laut, kemudian pada musim
dingin mereka bermigrasi dari daerah perairan beriklim dinginsedang ke perairan tropis.
60 40
Maluku Utara Ambon
Selain kemampuan migrasi yang dimiliki, faktor oseanografie khususnya arus turut membantu ikan tuna saat bermigrasi, ini disebabkan karena spesies ini
cenderung bermigrasi mengikuti arus. Arus lintas Indonesia Arlindo merupakan arus yang melintasi perairan Indonesia yang mengalir dari Samudera Pasifik ke
Samudera Hindia akibat perbedaan tekanan dan paras laut antar kedua Samudera Gordon 2005. Lebih lanjut dikatakan bahwa Arlindo membawa massa air
Samudera Pasifik memasuki perairan Indonesia melalui dua jalur, yaitu jalur barat yang masuk melalui Laut Sulawesi lalu ke Selat Makassar, Laut Flores, dan ke
Laut Banda. Jalur kedua adalah jalur timur yang melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera kemudia masuk ke Laut Banda setelah itu Massa air ini akan keluar
menuju Samudera Hindia terutama melalui Laut Timor. Jalur keluar lainnya melalui Selat Ombai, yaitu selat antara Alor dan Timor, serta melalui Selat
Lombok Gambar 5. Suman et al 2013 mengatakan bahwa terdapat dua genetik ikan tuna mata besar yang berbeda di perairan Samudera Hindia disekitar perairan
Sumatera dihuni oleh populasi ikan tuna mata besar asal Samudera Hindia sedangkan Selatan Jawa dan Nusa Tenggara dihuni oleh populasi ikan tuna mata
besar asal samudera Pasifik. Lebih lanjut Suman et al 2014 menjelaskan bahwa proses ini memungkinan terjadi karena populasi tuna mata besar yang berasal dari
Samudera Pasifik beruaya masuk mengikuti arus lintas Indonesia Arlindo yang melewati Laut Maluku, Laut Halmahera dan masuk ke Laut Seram kemudian
bertemu di Laut Banda serta masuk ke Lombok hingga menembus perairan Samudera Hindia.
Gambar 5. Sirkulasi Arus Lintas Indonesia Arlindo Gordon 2005 Arus berperan penting dalam pendistribusian genetik dan pertukaran gen
antar populasi berbeda lokasi. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Gaylord dan Gaines 2000 bahwa arus laut dapat mempengaruhi distribusi populasi dan
struktur genetika ikan. Gordon dan Fine 1996 mengungkapkan bahwa pertukaran arus antar Indo-pasifik melewati perairan Indonesia lewat Arus Lintas
Indonesia Arlindo. Pergerakan arus ini membantu proses pertukaran gen terjadi antar populasi pada daerah tropis di perairan Indo-Pasifik menyebabkan terjadi
kedekatan genetik antar populasi, dengan demikian memberikan peluang ikan tuna bertemu diperairan dengan jumlah populasi yang besar dan dari berbeda lokasi.
Pertemuan populasi ikan tuna dalam jumlah besar membawa pengaruh pada aliran
gen gene flow karena setiap populasi yang bertemu dan memungkinkan terjadinya perkawinan antar populasi interpopulasi. Mitarai et al 2009
menjelaskan bahwa dua tempat yang jauh dapat terhubung oleh arus yang kuat. White et al 2010 melaporkan bahwa ada pengaruh oseanografie dalam
penyebaran spesies dari suatu lokasi ke lokasi yang lainnya dan mengubah suatu pola genetik dalam populasi maupun spesies. Grant 1985 mengatakan bahwa
ikan laut yang memiliki sifat migrasi, memijah spontan atau telur dan larvanya bersifat pelagik berpengaruh terhadap pengurangan random genetic drift dan
rendahnya divergen antar populasi. Miyabe 1995 melaporkan bahwa ikan tuna mata besar melakukan ruaya secara silang antara negara, kemudian Gilg dan
Hilbish 2003 menyebutkan dua lokasi yang berdekatan mungkin jarang bertukar migran jika terletak di sisi yang berbeda dari front oseanografi.
Struktur populasi DNA yang diperoleh pada lokasi penelitian yang terletak pada kawasan Indonesia bagian yakni Maluku Utara dan Ambon disajikan dalam
bentuk dalam peta. Warna yang sama didalam gambar menunjukkan hubungan kekerabatan antar populasi ikan Gambar 6.
Gambar 6. Struktur populasi genetik tuna sirip kuning diperairan Maluku Utara
dan Ambon, Indonesia. Selain karena faktor oseanografi, kesuburan perairan juga merupakan salah
satu faktor yang mendorong ikan bermigrasi jauh sepanjang tahun dan memicu adanya pertemuan satu lokasi dari dua populasi yang berbeda. Lucas et al 2001
menyebutkan bahwa migrasi disebabkan karena sekresi kelenjar hormon yang merangsang ikan untuk memperoleh makanan dan habibat hidup yang cocok.
Realino et al 2006 berdasarkan kajian klorofil melporkan secara umum
konsentrasi klorofil terdapat pada perairan Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Banda dan Laut Seram yang merupakan wilayah territorial Maluku Utara dan
Ambon Gambar 7. Perairan Laut Banda, Laut Halmahera, Laut Seram dan bagian selatan Laut Maluku cenderung lebih subur dari pada perairan Samudera
Pasifik dan utara pulau Sulawesi. Perairan seperti ini dijadikan sebagai daerah migrasi dan mencari makanan oleh ikan tuna karena mempunyai tingkat
kesuburan dan menyediakan sumber makanan.
Proses sejarah geologi kepulauan Maluku Utara di masa lampau juga memberikan peran terhadap variasi genetik pada ikan. Dimana pembentukan
kepulauan Maluku diakibatkan oleh tumbukan antar kerak yang mengakibatkan peleburan batuan, sehingga menyebabkan lelehan batuan muncul ke permukaan
melalui rekahan kemudian membentuk busur gunung api ditepi benua Setiadi dan Hamidy 2006. Kemunculan kepulauan ini mengakibatkan terjadinya isolasi
organisme yang panjang. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kelompok populasi dengan genetik yang berbeda, sehingga mengakibatkan munculnya variasi genetik
antar populasi. Sebagaimana yang dikatakan Hall 1998 bahwa isolasi yang panjang dan rumitnya pembentukan pulau ini secara geologi telah memberikan
fenomena menarik tehadap jenis fauna yang menghuni pulau Halmahera. De jong 1998 mengatakan bahwa secara geologi antara Pulau Halmahera dan Seram
sangat berbeda, dimana Pulau Halmahera secara geografis mengarah ke bagian timur sedangkan Pulau Seram menjulur ke bagian barat Indonesia, hal ini
diperkuat oleh berbedanya komposisi jenis spesies yang berada di teriestrial laut dan daratan. Saunders et al 1986 dan Borsa 2003 bahwa variasi kondisi
lingkungan diduga dapat menimbulkan variabilitas genetika pada ikan laut, perubahan struktur genetik.
Gambar 7. Kesuburan rata-rata perairan laut musiman pada tahun 2004-2006 Realino et al 2006.