Fungsi dan Tujuan Pendidikan Akhlak

c. Menanamkan keimanan kepada Allah pencipta alam, dan kepada malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab dan hari akhirat berdasar pada paham kesadaran dan perasaan. d. Menanamkan iman yang kuat kepada Allah pada diri mereka perasaan keagamaan, semangat keagamaan dan akhlak pada diri mereka dan menyuburkan hati mereka dengan rasa cinta, zikir, takwa, dan takut kepada Allah. Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Nur Uhbiyati membagi tujuan-tujuan pendidikan Islam itu kepada: 30 a. Mempersiapkan seseorang dari segi keagamaan. b. Menyiapkan seseorang dari segi akhlak c. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial. d. Menyiapkan seseorang dari vokalsinal atau pekerjaan e. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran. f. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian. Jalaluddin mengutip dari pendapat Muhammad Omar al-Toumy al- Syaibany menjelaskan, bahwa tujuan Pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al- karimah al-syaibany, 1979. Tujuan ini sama dan sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan, yaitu “membimbing manusia agar bera khlak mulia” al-hadits. Kemudian akhlak mulia dimaksud, diharapkan tercermin dari sikap dan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan sesama makhluk Allah, serta lingkungannya. 31 Samsul Nizar mengutip dari pandangan HAMKA menjelaskan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta 30 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997, h. 53 31 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h.92 mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya. 32 Oleh karena pendidikan Islam bertujuan pokok pada pembinaan akhlak mulia, maka sistem moral islami yang ditumbuhkembangkan dalam proses kependidikan adalah norma yang berorientasi kepada nilai-nilai islami. Sistem moral Islami itu menurut Sayyid Abul A’la Al-Madudi adalah memiliki ciri-ciri yang sempurna, berbeda dengan sistem moral non-Islam. Ciri-ciri tersebut terletak pada tiga hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut: 33 a. Keridaan Allah merupakan tujuan hidup muslim. Dan keridaan Allah ini menjadi sumber standar moral yang tinggi dan menjadi jalan bagi evolusi moral kemanusiaan. b. Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa ditegakkan di atas moral islami sehingga moralitas islami berkuasa penuh atas semua urusan kehidupan manusia, sedang hawa nafsu tidak diberi kesempatan menguasai kehidupan manusia. c. Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan yang didasarkan atas norma-norma kebajikan dan jauh dari kejahatan. Ia memerintahkan perbuatan yang makruf dan menjauhi kemungkaran, bahkan manusia dituntut agar menegakkan keadilan dan menumpas kejahatan dalam segala bentuknya. 32 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2007, h. 117 33 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, Cet. ke- 5, h. 128 Sehubungan dengan Akhlak Islam, Drs. Salihun A. Nasir menyebutkan bahwa Akhlak Islam berkisar pada: 34 a. Tujuan hidup setiap muslim, ialah menghambakan dirinya kepada Allah, untuk mencapai keridaan-Nya, hidup sejahtera lahir dan batin, dalam kehidupan masa kini maupun yang akan datang. b. Dengan keyakinannya terhadap kebenaran wahyu Allah dan sunah Rasul-Nya, membawa konsekuensi logis, sebagai standart dan pedoman utama bagi setiap moral muslim. Ia memberi sangsi terhadap moral dalam kecintaan dan kekuatannya kepada Allah tanpa perasaan adanya tekanan-tekanan dari luar. c. Keyakinannya akan hari kemudianpembalasan, mendorong manusia berbuat baik dan berusaha menjadi manusia sebaik mungkin, dengan segala pengabdiannya kepada Allah. d. Islam bukan moral yang baru, yang bertentangan dengan ajaran dan jiwa Islam, berasaskan dari Al- Qur’an dan Al-Hadits, diinterpretasikan oleh para ulama mujtahid. e. Ajaran akhlak Islam meliputi segala segi hidup dan kehidupan manusia berdasarkan asas kebaikan dan bebas dari segala kejahatan. Islam tidak hanya mengajarkan tetapi menegakkannya, dengan janji dan sangsi Ilahi yang Maha Adil. Menurut Muhammad ‘Athijah Al-Abrasjy, Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Tapi ini tidak berarti bahwa kita tidak mementingkan pendidikan jasmani atau akal atau ilmu ataupun segi-segi praktis lainnya tetapi artinya ialah bahwa kita memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak seperti juga segi-segi lainnya. 35 34 Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997, Cet. ke-1, h. 151 35 Muhammad ‘Athijah Al-Abrasjy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.h. 15 Tujuan akhir setiap ibadah adalah pembinaan takwa. Bertakwa mengandung arti melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan segala larangan agama. Ini berarti menjauhi perbuatan-perbuatan jahat dan melakukan perbuatan-perbuatan baik akhlakul karimah. Perintah Allah ditujukan kepada perbuatan-perbuatan baik dan larangan berbuat jahat akhlakul madzmumah. Orang bertakwa berarti orang yang berakhlak mulia, berbuat baik dan berbudi luhur. Shalat erat hubungannya dengan latihan akhlak baik, difirmankan Allah dalam Surah Al-Ankabut:                    “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah shalat adalah lebih besar keutamaannya dari ibadah-ibadah lain. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. QS. Al-Ankabut 29: 45 Ibadah puasa erat hubungannya dengan latihan akhlak baik untuk membentuk kepribadian seseorang. Allah berfirman:                “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa ”. QS. Al-Baqarah 2: 183 Dengan berpuasa dapat menjadi manusia takwa, yaitu menjauhi perbuatan jahat dan melakukan perbuatan baik. Jadi, puasa itu bukan sekedar mencegah makan dan minum saja melainkan juga menahan diri dari ucapan-ucapan dan perbuatan yang tidak baik. 36 Zakat dapat mensucikan diri bagi si pemberi zakat. Zakat disebut juga sedekah. Sedekah dapat berupa ucapan yang mengajak kebaikan, memberi senyum kepada sesama manusia, menjauhkan diri dari perbuatan buruk, menuntun orang yang lemah penglihatan ke tempat yang dituju. Semua perbuatan tersebut disebut akhlak yang baik. Demikian juga dengan ibadah haji. Sewaktu orang mengerjakan ibadah haji, tidak boleh bertengkar, tidak boleh berbuat jahat. Dalam pergaulannya tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor. 37 Pelajaran akhlak bertujuan mengetahui perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik dan yang buruk agar manusia dapat memegang teguh sifat-sifat yang baik dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang jahat sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan di masyarakat, di mana tidak ada benci-membenci. Oleh karena itu pelajaran akhlak bertujuan hendak mendudukkan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna serta membedakannya dengan makhluk-makhluk lainnya. Akhlak bertujuan menjadikan manusia orang yang berkelakuan baik terhadap Tuhan, manusia dan lingkungannya. 38 Yatimin Abdullah mengutip dari pendapat Al-Ghazali menjelaskan, bahwa ketinggian akhlak merupakan kebaikan tertinggi. Kebaikan-kebaikan dalam kehidupan semuanya bersumber pada empat macam: 39 36 M.Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al- Qur’an, Jakarta: Amzah, 2007, h. 6 37 Ibid 38 Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994, Cet. ke- 2, h. 55 39 M.Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al- Qur’an, Jakarta: Amzah, 2007, h. 6 1. Kebaikan jiwa, yaitu pokok-pokok keutamaan yang sudah berulang kali disebutkan, yaitu ilmu, bijaksana, suci diri, berani, dan adil. 2. Kebaikan dan keutamaan badan. Ada empat macam, yakni sehat, kuat, tampan, dan usia panjang. 3. Kebaikan eksternal al-kharijiah, seluruhnya ada empat macam, yaitu harta, keluarga, pangkat, dan nama baik kehormatan. 4. Kebaikan bimbingan taufik-hidayah, juga ada empat macam, yaitu petunjuk Allah, bimbingan Allah, pelurusan, dan penguatannya. Jadi tujuan akhlak diharapkan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat bagi pelakunya sesuai ajaran Al- qur’an dan hadis. Ketinggian akhlak terletak pada hati yang sejahtera qalbun salim dan pada ketenteraman hati rahatul qalbi. 40

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak

Menurut H.M. Arifin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umunya, yaitu ada tiga aliran : 41 1. Aliran Nativisme. Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. 2. Aliran empirisme. Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan. 3. Aliran konvergensi. Menurut aliran ini pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan. 40 M.Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al- Qur’an, Jakarta: Amzah, 2007, h. 6 41 Abuddin Nata, Akhlak tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, h. 167 Aliran yang ketiga, yaitu aliran konvergensi tampak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat dan hadis di bawah ini:                  “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. QS. Al-Nahl, 16:78 Ayat di atas memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan. Kesesuaian teori konvergensi tersebut di atas, juga sejalan dengan hadits berikut, dari Abu Hurairah Rasulullah SAW. bersabda : “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan membawa fithrah rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran, maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”. HR. Bukhari 42 Ayat dan hadis tersebut di atas selain menggambarkan adanya teori konvergensi juga menunjukkan dengan jelas bahwa pelaksana utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua. Itulah sebabnya orang tua, khususnya ibu mendapat gelar sebagai madrasah, yakni tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan. 43 42 Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ju’fy, Al-Jami’ Ash-Shahih Al- Mukhtashar Juz 6, Beirut: Daru Ibnu Kastir, 1987, h. 465 43 Abuddin Nata, Akhlak tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, h. 169 M. Yatimin Abdullah menyatakan “bahwa tingkah laku, insting dan naluri, pola dasar bawaan, nafsu dan adat kebiasaan serta lingkungan merupakan aspek- aspek yang dapat mempengaruhi akhlak seseorang”. 44 Menurut Prof. DR. Hamka yang dikutip oleh Asmaran As., ada beberapa hal yang mendorong manusia berbuat baik untuk bekal di akhirat nanti, yaitu : 45 1. Mengharapkan pahala dan sorga, menakuti azab dan neraka. Itulah tingkatan orang awam. 2. Mengharap pujian Tuhan dan takut celaNya. Itulah martabat orang yang saleh. 3. Mengharap keredhaan Allah semata-mata. Itulah martabat nabi-nabi dan rasul-rasul, orang shiddiq dan orang-orang syuhada. Dan itulah martabat yang paling tinggi dan mulia. Awam menurut istilah agama Islam adalah yang tidak baik agamanya. Maka barangsiapa yang tidak mengetahui Tauhid, halal-haram, perintah dan larangan Allah, tidak melaksanakan shalat, maka dia awam baik dia dari golongan tidak terpelajar hingga terpelajar, dari yang bukan pejabat hingga yang pejabat, sekalipun ia menjabat pimpinan paling tinggi, paling kaya, dan paling berwibawa. 46 Orang awam memandang, Allah mungkin itu sekadar majikan dan mereka buruh. 47 Oleh karena itu, ketika orang awam melakukan perbuatan baik, yang ada dalam hati mereka hanya karena keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah dan keinginan untuk masuk surga-Nya dan ketakutan mereka pada azab dan takut akan masuk dalam neraka-Nya. 44 M.Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Pespektif Al- Qur’an, Jakarta: Amzah, 20017, h. 75 45 Ibid 46 Abu Hafshah Abdurrahman al-Buthoni, Mendakwahi Orang Awam, 2013, h. 4, imnasution.files.wordpress.com201307mendakwahi-orang-awam.pdf 47 A Mustofa Bisri, Puasa bagi Orang Awam, 2006, http:www.suaramerdeka.comharian060930nas04.htm Orang saleh adalah orang yang taat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah agama. Seorang muslim yang saleh akan memelihara perasaan takut kepada Allah. Dia selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. oleh karena itu, ketika mereka melakukan perbuatan baik, yang mereka harapkan hanya pujian dari Allah. Mereka tidak lagi memikirkan pahala dan surga dari-Nya. Sedangkan untuk martabat para nabi-nabi dan rasul-rasul, orang shiddiq dan orang-orang syuhada, ia beribadah dan berbuat baik sama sekali tidak mengharapkan surga. Ia beribadah semata-mata karena cintanya kepada Allah. Ia tidak berharap mendapatkan apapun selain ridha Allah. Ia merasa bahwa sangatlah tidak pantas mengharap surga sebagai balasan dari ibadah dan kebaikan yang telah mereka lakukan. Dan yang lebih penting lagi bagi mereka adalah sampai saat ini mereka masih punya hutang yang luar biasa besar kepada Allah. Hutang yang membuat mereka merasa tidak pantas untuk mendapat pinjaman yang lain sebelum mereka berhasil melunasi hutang-hutang ini. Bahkan untuk hutang yang pertama ini pun mereka tidak yakin akan mampu membayarnya. Yang dimaksud dalam hutang pertama disini adalah hutang cinta Allah kepada mereka. 48 Al-Ghazali dalam bukunya minhajul abidin ada 4 rintangan yang bisa menghalangi seseorang dalam berbuat baik atau beribadah kepada Allah. diantaranya: 49 1. Dunia dan isinya, yang dimaksud dengan dunia disini yaitu semua yang tidak bermanfaat untuk akhirat. 2. Manusia, selain membimbing kita dalam beribadah, terkadang manusia menghalangi dan membawa kita kepada kejahatan dan kebinasaan. Sebab, kebanyakan dari mereka hanya mengetahui kehidupan dunia secara lahiriyah. Untuk akhirat, mereka lalai dan tidak memikirkannya. 48 Arvan Pradiansyah, You Are Not Alone : 31 Renungan tentang Tuhan dan Kebahagiaan, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2010, Cet. ke- 3, h.141-142 49 Imam Al- Ghazali, Wasiat Imam Ghazali Minhajul Abidin, Cairo: Mustafa Al-Babi Al-Halabi Wa Auladih, 1337, h. 74 3. Setan adalah musuh manusia yang paling nyata, ia menggoda manusia melalui batinnya untuk berbuat jahat dan menjauhi Allah swt. 4. Nafsu ada kalanya baik muthmainnah dan ada kalanya buruk amarah, akan tetapi nafsu cenderung mengarah kepada keburukan. Manusia adalah makhluk hidup, dalam hidupnya membutuhkan sandang, pangan dan papan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia membutuhkan dunia dan isinya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus hati-hati agar jiwa dan raga tidak sepenuhnya cinta dunia. Manusia adalah makhluk sosial berarti manusia tidak bisa hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, dalam hal ini manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam bersosialisasi manusia juga harus hati-hati karena manusia bisa memalingkan manusia lain dari ibadah. Dalam menjalankan kehidupan di dunia ini, baik dalam hal mencari rezeki maupun dalam hal bersosialisasi, manusia akan mengalami godaan-godaan, yaitu godaan setan. Diantaranya: 1. Setan menggoda manusia agar tidak mau mengakui keterlibatan Allah dalam urusan rizki sehingga manusia selalu merasakan kesusahan saat ia bekerja. 2. Setan memperlihatkan banyaknya kebutuhan hidup manusia agar manusia selalu merasa kekurangan. 3. Setan memperlihatkan kepada orang keburukan orang lain agar mereka tidak mau saling tolong menolong satu sama lain. 4. Setan menanam benih kebencian dalam kesadaran manusia agar satu sama lain saling bermusuhan dalam kehidupan duniawi ini. Oleh karena itu manusia harus memerangi dan mengalahkan setan, karena setan adalah musuh nyata yang menyesatkan, darinya tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dan perdamaian, sebab setan akan puas jika mampu membinasakan manusia. Selanjutnya adalah hawa nafsu, hawa nafsu adalah musuh yang sangat mencelakakan dan sukar dihindari, karena