Hakayat Perang Sabi dan Metamorphosis Masyarakat Aceh

Anda memiliki penilaian negatif pada diri Anda sendiri. Anda tidak merasa cukup baik dengan apapun yang Anda miliki dan merasa tidak mampu mencapai suatu apapun yang berharga. Jika hal ini terus berlanjut, maka Anda akan menuntun diri Anda sendiri ke arah kelemahan emosional. Anda mungkin akan mengalami depresi atau kecemasan secara ajeg, kekecewaan emosional yang lebih parah dan kualitasnya mungkin mengarah ke keangkuhan dan ke keegoisan. Anda telah menciptakan suatu penghancuran-diri. Ubahlah dan kembangkan konsep-diri Anda, langkah-langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep diri yang positif :

1. Bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri

2. Hargailah diri sendiri 3. Jangan memusuhi diri sendiri 4. Berpikir positif dan rasional Ad. 2 Konsep-diri Positif Anda memiliki penilaian POSITIF pada diri Anda sendiri. Anda mengenal diri Anda secara baik. Anda memiliki penerimaan diri yang kualitasnya lebih mungkin mengarah ke kerendahan hati dan ke kedermawanan. Anda dapat menyimpan informasi tentang diri sendiri – informasi negatif maupun positif. Anda seorang yang optimis, penuh percaya diri, dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Anda menganggap hidup adalah suatu proses penemuan. Anda berharap kehidupan dapat membuat diri Anda senang, dapat memberikan kejutan, dan memberikan imbalan. Dengan menerima semua keadaan diri Anda maka Anda juga dapat menerima semua keadaan orang lain.

F. Hakayat Perang Sabi dan Metamorphosis Masyarakat Aceh

Dalam masyarakat Aceh kita akan menjumpai sejumlah karya sastra dari zaman lampau. Diantara karya sastra itu ialah hikayat. Hikayat ditulis hampir seluruhnya berbentuk puisi dengan menggunakan huruf Arab-Melayu tetapi tetap dalam teks berbahasa Aceh. Ditinjau dari segi masyarakat Aceh, hikayat tidaklah dipandang sebagai karya fiksi yang utuh. Hikayat dan cerita rakyat semacam itu lebih berat dipandang sebagai suatu peristiwa kehidupan yang benar-benar ada daripada sebagai buah pikiran pengarangnya. Juga, isi kandungan hikayat dianggap mewakili sekelumit peristiwa kehidupan sosial Aceh sehingga amat mempengaruhi tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial, kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya.[6] Page | 22 Fungsi dan posisi hikayat dalam bidang agama tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai kebiasaan yang telah berkembang dari dulu. Bahwa masyarakat Aceh dalam kurun sejarah yang cukup panjang amat menyenangi karya sastra semacam hikayat. Baik orang-orang besar, apakah tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan, semuanya tergila-gila kepada hikayat. [7] Mencermati makna daripada ungkapan di atas, betapa hikayat sebagai karya sastra telah mengikat masyarakat Aceh sebagai penikmat sastranya pada masanya. Dengan kata lain, kecendrungan ini memegang peranan penting di Aceh karena hikayat sebagai “hasil produksi” dalam bentuk karya sastra telah dapat memenuhi selera rakyat Aceh sebagai “konsumennya”. Ditinjau dari segi penerimaan masyarakat Aceh, syiar Islam melalui hikayat membuka jalan yang cukup aman. Dikatakan demikian karena cara ini di satu pihak relevan dengan alam pikiran dan semangat masyarakat dewasa itu. Secara perlahan tapi pasti hikayat mengusung misi perubahan pola pikir masyarakat dalam beragama dan berbudaya dengan jalan tenang dan damai. Hingga kehidupan bermasyarakat dan berbudaya dari Hinduisme kepada Islam tidaklah mengalami kegoncangan karena sebagian dari nilai-nilai yang dibawa hikayat ada yang tetap mempertahankan ajaran Hinduisme. Keadaan ini dapat dipahami dengan alasan agar hikayat bisa menjadi media syiar Islam yang tepat untuk memperluas dakwah secara mudah. Hikayat menjadi satu-satunya media yang sangat disenangi masyarakat ketika itu. Dari ulasan tersebut nampak kepada kita, hikayat mencoba menjembatani dua macam kehidupan beragama dan berbudaya yang cukup berbeda. Mencari arah perubahan kehidupan sosial dan budaya dari suasana Hinduisme kepada suasana penuh keislaman. Maka, sejak itu adat budaya asal Hindu mulai ditantang dengan perlahan. Dan, peranan hikayat terus mengalihkannya secara sehat dimulai dari kebiasaan-kebiasaan hidup cara Hindu menuju cara hidup Islam. Maka kemudian hikayat menjadi semacam sumber nilai-nilai yang terus berinteraksi dengan masyarakat dalam proses yang cukup panjang.[8] Langkah awal yang ditempuh oleh muballigh-muballigh Islam dalam menyampaikan dakwahnya melalui hikayat adalah dengan tetap mempertahankan sebagian isi hikayat dari nilai- nilai lama yaitu Hinduisme, kemudian disisipkan unsur-unsur nilai baru sedikit demi sedikit yaitu Islam dan kebudayaannya. Manifestasi tindakan ini semacam mendukung kedua macam nilai- nilai agama dan budaya yang ada. Sebagai contoh konkritnya ada di dalam Hikayat Maleem Diwa yang hampir seluruh isinya diwarnai oleh Hinduisme. Tokoh Maleem Diwa didalamnya, yang oleh masyarakat Aceh dewasa itu dipandang sebagai orang keramat, disisipkan sebagai gure meunasah dalam penyamarannya di kayangan. Sisipan ini amatlah kecil dan halus namun sarat nilai misi dakwah didalamnya. Tokoh Maleem Diwa hanya disebutkan menyamar sebagai guru mengaji Al-Qur’an di meunasahsuraulanggar. Ini bermakna Maleem Diwa belum bisa dikatakan benar-benar menganut agama Islam. Perubahan-perubahan yang cukup signifikan sangat diharapkan terjadi disini sehingga meskipun sisipan itu amat kecil, namun membuka peluang jalan ke arah keraguan pembaca dan pendengar hikayat. Selanjutnya, akibat dari keragu-raguan itu akan timbul rentetan pertanyaan kritis dan radikal, misalnya apakah Maleem Diwa ini memeluk agama Hindu atau Islam? Dan sebagainya. Akan tetapi, unsur islamisasi yang dimasukkan ke dalam Hikayat Maleem Diwa belum cukup kokoh. Disamping karena Maleem Diwa masih merupakan tokoh dari agama Hindu, eksistensinya pun tidak begitu jelas di mata masyarakat. Maka, hikayat lain masih harus diciptakan untuk membawa posisi Islam dan kebudayaannya dalam gambaran yang lebih tinggi daripada posisi Hindu. Dengan pertimbangan semacam itulah timbul suatu inovasi dan kreativitas seni bercerita dan menulis dalam hikayat. Harapannya, variasi hikayat dalam Page | 23 kehidupan beragama akan menggiring anggota masyarakat sebagai pembaca dan pendengarnya bisa menangkap pesan-pesan keislaman secara utuh. Dari ungkapan hikayat tersebut memperlihatkan betapa kuatnya suatu perkataan yang didasarkan kepada keyakinan terhadap Islam. Selain dua hikayat tersebut masih banyak lagi cerita hikayat lainnya yang mendukung unsur-unsur islamisasi dan meruntuhkan keyakinan agama awal. Memang pada esensinya hikayat harus mampu menggambarkan kelebihan konsep-konsep Islam dalam kehidupan sosial dan budaya. Inilah syarat penting untuk menimbulkan pembaharuan yang hendak dicapaiHikayat sebagai media syiar Islam atau islamisasi melalui hikayat mendapat posisi tersendiri dalam masyarakat Aceh. Baik hikayat sebagai karya sastra maupun media syiar Islam sama-sama menghendaki penghayatan dan pemahaman yang bisa meresap ke dalam kalbu manusia. Hikayat sebagaimana karya sastra pada umumnya memiliki kata-kata yang meninggalkan kesan-kesan dan perasaan, sama halnya seperti sendi-sendi agama Islam yang menuntut penghayatan dan keyakinan di dalam hati. Pengaruh hikayat terkadang mencapai sesuatu yang jauh, mendalam dan mengkristal di nurani manusia. Sebagaimana Hikayat Prang Sabi mengambil posisi penting sebagai motif perlawanan rakyat Aceh menentang kolonial Belanda. Unsur-unsur agamis dimasukkan sebagai dasar ideologi perang Sabil dengan kemasan menarik dan dalam gaya bahasa atraktif sehingga menggugah kesadaran rakyat Aceh untuk melawan ketertindasan. Berikut kutipan beberapa baris syair dalam Hikayat Prang sabi karya Teungku Syik Pante Kulu alih aksara Anzib 1964 halaman 17: HIKAYAT PRANG SABI - Teuku Chik Pante Kulu Salam alaikom walaikom teungku meutuah Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe Amanah nabi...ya nabi hana meu ubah-meu ubah Syuruga indah...ya Allah pahala prang sabi Ureueng syahid la syahid bek ta khun mat Beuthat beutan...ya Allah nyawoung lam badan Ban sar keunung la keunung senjata kaf la kaf Keunan datang...ya Allah pemuda seudang Djimat kipah la kipah saboh bak jaroe Jipreh judo woe ya Allah dalam prang sabi Gugur disinan-disinan neuba u dalam-u dalam Neupuduk sajan ya Allah ateuh kurusi Ija puteh la puteh geusampoh darah Ija mirah...ya Allah geusampoh gaki Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan Wat tapandang...ya Allah seunang lam hatee Darah nyang ha-nyi nyang ha-nyi gadôh di badan Geuganto le tuhan...ya Allah deungan kasturi Page | 24 Di kamoe Aceh la Aceh darah peujuang-peujuang Neubi beu mayang...ya Allah Aceh mulia Subhanallah wahdahu wabi hamdihi Khalikul badri wa laili adza wa jalla Ulon peujoe poe sidroe poe syukur keu rabbi ya aini Keu kamoe neubri beusuci Aceh mulia Tajak prang meusoh beureuntoh dum sitre nabi Yang meu ungkhi ke rabbi keu poe yang esa Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe roh Syuruga tan roeh rugoe roh bala neuraka Soe-soe nyang tem prang cit meunang meutuwah teubuh Syuruga that roeh nyang leusoeh neubri keugata Lindong gata sigala nyang muhajidin mursalin Jeut-jeut mukim ikeulim Aceh mulia Nyang meubahagia seujahtera syahid dalam prang Allah peulang dendayang budiadari Oeh kasiwa-sirawa syahid dalam prang dan seunang Dji peurap rijang peutamông syuruga tinggi Budiyadari meuriti di dong dji pandang Di cut abang jak meucang dalam prang sabi Oh ka judo teungku syahid dalam prang dan seunang Pengaruh hikayat ini selama perang berlangsung telah melahirkan banyak pejuang yang umumnya mereka tewas di medan-medan pertempuran. Diantaranya yang cukup terkenal ialah Teungku Imeum Lueng bata, Teungku Ibrahim Lamnga suami pertama Cut Nyak Dhien, tewas 1878, Tuanku Hasyim Banta Muda, Panglima Polem Mahmud Cut Banta, Panglima Polem Ibrahim Muda Kuala, Teungku Chiek Di Tiro Muhammad Saman, Teungku Chiek Muhammad Amin Tiro, Teungku Panglima Nyak Makam dipenggal kepalanya, 1896, Teungku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Teungku Fakinah dan masih banyak lagi.[11] Hikayat Prang Sabi tersebut memperlihatkan sesungguhnya sejarah perjuangan rakyat Aceh tempo dulu telah mengabadikan bagaimana hikayat dan agama Islam telah mempunyai arti tersendiri dalam sejarah kehidupan rakyat Aceh. Kebanggaan mereka karenanya mengurat akar dalam-dalam dan memiliki catatan historis yang sangat panjang dan membanggakan. Hikayat tidak bias lepas dari proses metamorphosis mastarakat Aceh baik sebagai individu, anggota kelomok maupun anggota masyarakayu. Dalam hal ini, Tengku Muda Bali Serambi Indonesia………. menyatakan bahwa “Sebagian besar masyarakat Aceh sudah melupakan hikayat. Banyak yang sudah tak mengenalnya,” kata seniman hikayat Aceh Tengku Muda Balia. Dalam lima bulan terakhir, Tengku Muda Balia sedikit sekali memperoleh undangan untuk tampil. Page | 25 Hikayat Prang Sabi adalah sebuah hikayat yang diciptakan atau dikarang oleh Tgk Chik pante kulu yang merupakan sebuah syair kepahlawanan yang membentuk suatu irama dan nada yang sangat heroik yang membangkitkan semangat para pejuang Aceh dari zaman penjajahan portugis sampai zaman penjajahan Belanda hingga zaman TNA berperang dengan TNI. Menurut Hikayat Prang Sabi adalah salah satu inspirator besar dalam menentukan perjuangan rakyat Aceh. Memang sejak dulu bangsa Aceh sangat akrab dengan syair-syair perjuangan Islam, sajak-sajak akan sebuah hakikat keadilan. Hikayat ini selalu diperdengarkan ke setiap telinga anak-anak aceh, laki-laki, perempuan, tua muda, besar kecil dari zaman ke zaman dalam sejarah Aceh sepanjang Abad. Aceh adalah negeri yang paling ditakuti oleh Portugis dan sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda sejak tahun 1873 serta Jepang. Beribu macam taktik perang yang digunakan oleh para penjajah tetapi tidak dapat menguasai Aceh yang unggul dengan taktik perang gerilyanya. Sejarah mencatat bahwa perang kolonial di Aceh adalah yang paling alot, paling lama, dan paling banyak memakan biaya perang dan korban jiwa penjajah. Atas perintah Teuku Cik Di Tiro tahun 1881 di gubahlah syair Hikayat Prang Sabi oleh Teuku Chik Pante Kulu. Dan setiap akan berperang maka dibacakanlah syair itu di sawyah-sawyah menasah, di bacakan di desa-desa untuk mengobarkan semangat jihad ke masyarakat. Perang Aceh seakan tidak pernah selesai dan ini menyebabkan pihak Belanda kehilangan pikirannya untuk menerapkan taktik degi tujuan menguasai Aceh. Salah satu alasan kuatnya semangat orang Aceh dalam berperang melawan penjajaghan adalah karena selalu dibacakan hikayat pran sabi yang memperdengarkan nilai-nilai perjuangan di jalan Allah SWT, janji Allah akan mati syahid dan syurga bagi siapapu yang berperang melawan kpa Beulanda. Akhirnya Belanda memilih untuk mengirimkan seorang inteektual mereka untuk mempelajari pikiran dna perilaku orang Aceh yaitu Snouck Hurgronje yang disusupkan untuk mempelajari kebudayaan Aceh menemukan jalan pikiran, sikap dan perilaku rakyat Aceh. Snouck Hurgronje ditugaskan untuk mempelajari orang Aceh dnegan cara menjadi muslim dan bergaul dengan para ulama dan masayarakat. Temuan selamam beberapa lama hidup bersama orang Aceh kemudian dilaporkan kepada Pihak Belanda. Atas dasar pengetahuan tersebut, Belanda berupaya mengatur strategi unutk memecah belah orang Aceh dna sekaligus melmah kekuatan orang Aceh. Belanda mengguakan strategi memecah belah anntara para ulama sebagai kekuatan masyarakat dan kekuatan terbesare dalam perjuangan Acegh dnegan kaum penguasa atau Uleebalang. Tak cukup dengan catatan itu, Snouck kemudian membuat buku, De Atjehers, yang memaparkan secara lengkap struktur masyarakat Aceh, kebudayaan, sampai posisi ulama. Segera buku itu menjadi terkenal, bahkan mendapat pujian dari para orientalis sebagai karya yang secara lengkap mengupas kebudayaan Islam di Aceh. Bagi Belanda, karya itu menjadi rujukan untuk menyusun taktik menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Dan terbukti, Aceh pun kemudian mulai dapat dikalahkan. dalam buku Aceh, …. Salah satu bagian paling penting dari Hikayat Prang Sabi adalah pendahuluan atau mukadimah. Bagian yang juga berbentuk syair ini menunjukkan secara jelas tujuan ditulisnya Hikajat Prang Sabi, dalam hubungannya dengan perang melawan Belanda. Setelah diawali dengan puji-pujian kepada Allah pencipta semesta alam, syair-syair pada mukadimah berlanjut pada seruan untuk perang Sabil. Juga disebutkan satu pahala yang dapat diperoleh bagi mereka yang berjihad dalam perang Sabil. Salah satu pahala yang akan diterima mereka yang mati Page | 26 syahid dalam perang tersebut adalah akan bertemu dengan dara-dara dari surga Bidadari . Hikayat Aceh merupakan perpaduan antara seni syair tutur dengan lagu. Dalam pertunjukan seni, pemain hikayat biasanya memadukannya dengan alat musik tiup sebagai repertoar. Syair hikayat berisi nasihat, agama, kisah peperangan, budaya Aceh, dan kisah-kisah lain. Lebih lanjut menurut Muda, hikayat adalah seni tutur asli Aceh yang diduga sudah ada sebelum Islam masuk ke Aceh. Pada masa persebaran Islam, hikayat menjadi media dakwah. Lalu, pada masa penjajahan Belanda, hikayat menjadi alat pengobar semangat juang masyarakat Aceh melawan penjajah. Pada masa konflik, banyak masyarakat yang tak berani memanggungkan hikayat karena takut.. Wina Syafwina dalam artikelnya Hikayat, Nafas Sstra Aceh dari zaman ke Zaman, 23 April 2010 menjelaskan peran hikayat dalam konstruksi berbicara tentang sastra Aceh, orang pasti akan langsung teringat akan Hamzah Fanshuri dengan Syair Perahu yang sufi atau Hikayat Prang Sabil-nya Tgk Chik Pante Kulu yang mampu membakar semangat rakyat Aceh untuk mempertahankan tanah kelahirannya dari penjajahan Belanda. Walau sebenarnya sastra Aceh tidak hanya itu. Ada banyak karya sastra yang bertebaran di Aceh. Baik itu dalam bahasa Aceh ataupun dalam bahasa-bahasa lain yang ada di Aceh.Ada sekitar sepuluh bahasa dan suku bangsa di Aceh. Aceh adalah suku terbesar yang mendiami wilayah pesisir. Selain itu ada suku Gayo, Aneuk Jamee, Tamiang, Kluet dan seterusnya. Bahasa Aceh adalah bahasa yang paling banyak penggunanya. Sayangnya, hanya sedikit karya-karya dalam bahasa daerah ini yang terekspos atau terpublikasi. Sastra sudah integral dalam masyarakat Aceh. Sastra merupakan bagian yang tidka terpisahkan daman konstruksi dna perubahan atau ,mmetamorphosis masyarakat dan bangsa Aceh. Untuk memhami perkembangan dna perubahan masyarakat Aceh yang berkaitan dangn sastra hilkayat, maka dapat dilihat dengan kpKeberadaan sastra di Aceh bisa dibagi dalam beberapa periode, yaitu zaman kerajaan dan perang Aceh, zaman kemerdekaan, masa konflik, dan pasca tsunami. Awal keberadaan sastra di Aceh bisa dilihat jauh sebelum Indonesia ada, yaitu sekitar abad ke-13, pada saat Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Ada banyak karya sastra berupa kitab-kitab, hikayat dan sastra tutur. Karya tulisan umumnya menggunakan tulisan Jawi, bahasa Melayu dan Arab. Sedangkan sastra lisan umumnya menggunakan bahasa daerah karena lebih komunikatif saat berkomunikasi langsung dengan pendengarnya. Pada zaman ini, ada beberapa karya legendaris dari Aceh yang mendunia. Karya-karya ini punya kekuatan dan ciri khas tersendiri. •Hikayat adalah karya yang menonjol pada zaman ini. Hikayat-hikayat yang memiliki kekuatan dan bertahan sampai sekarang, antara lain adalah Syair perahuHamzah Fanshuri, •Bustanul as salatin Nuruddin Arraniry, dan Hikayat Prang Sabil Tgk Chik Pante Kulu. Selain itu juga ada Hikayat Malem Dagang, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Putroe Bungsu dan beberapa hikayat yang tidak diketahui penulisnya. Karya sastra tulisan lebih sedikit dibandingkan dengan karya sastra tutur. Karya sastra tutur ini lebih merakyat dan berkembang pesat. Hikayat yang tidak ditulis tetapi dituturkan secara spontan dan dihafalkan cukup banyak. Hampir semua orang di Aceh pandai bertutur secara spontan. Seperti Seorang ibu bersyair atau membacakan hikayat saat menidurkan anaknya, penari menyanyikan syair dan hikayat secara spontan saat menari, para pedagang obat keliling bersyair saat menjual obatnya di depan umum, shalawat-shalawat dan hikayat para rasul Page | 27 diajarkan oleh para teungku ulama, guru agama, pemimpin pasantren saat mengajarkan para santri. Hikayat dan sastra tutur tumbuh dan berkembang begitu saja di mana-mana di Aceh. Para sastrawan legendaris pada masa ini, memiliki kekuatan dan karakter tersendiri. Hamzah Fanshuri 1575-1625, misalnya. Seorang penyair sufi yang karya-karyanya jauh melampaui zamannya, sehingga dianggap sesat oleh mereka-mereka yang menafsirkannya secara berbeda. Sehingga banyak karya-karyanya yang dibakar atas perintah Nurrudin Arraniry, pemuka agama pada masa itu. Salah satu kitab yang ditulisnya “Syarab al-asyiqin” atau “Minuman segala orang yang berahi”Tgk Syekh Abdurrauf al Singkili atau lebih dikenal dengan Tgk Syiah Kuala yang namanya kemudian dijadikan nama universitas negeri di Aceh juga banyak menuliskan kitab-kitab pendidikan dan agama yang berisikan syair-syair ma’rifat. Dalam paper ini yang menjadi focus adalah hikayat Tgk Chik Pante Kulu, seorang ulama besar. Dia menuliskan Hikayat Prang Sabil. Hikayat ini sangat dikenal dan merakyat dalam bentuk tutur. Kekuatan kata-katanya mampu menggerakkan orang Aceh untuk mati syahid melawan kaphe Beulanda.Para sastrawan legendaris ini semuanya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dan menguasai beberapa bahasa. Hikayat Perang Sabi menjadi hikayat yang dibacakan dalam masa-masa erang dan perjuangan Aceh sepanjang masa. Ada masa kerajaan dan erang Aceh, hikayat perang sbai memang khusus diciptakan oleh Tgk. Chek Pante Kulu dengan tujuan untuk membangkitkan semnagan juang orang Aceh dalam eperangan melawan kaphe beulanda. Hikayat ini menjadi pembangkit semangat orang Aceh untuk terus berjuang untuk mempertahan tanah dan marwah orang Aceh. Berperang melawan kaphe beulanda adalah erlawanan menlawan orang kafir yang mengganggu Aceh dan Islam. Dalam Hikayat erang Sabi dikibarkan janji-janji bahwa perang melawan Aceh adalah perang melawan orang kafir kaphe Beulanda dan itu adalah gerakan syihad yang tidak perlu gentar karena perjuangan melawan orang kafir adalah erjuangan yang snagat dimualaikan oleh Allah. Dan siapaun yang meninggal dalam eperangan melawan orang kafir adalah mati syahid dan hadiahnya sesuai janji Allah dalam Al-Quran adalah mati syahid. Tidak ada hal yang lebih indah selain kematian memperoleh syurga Allah SWT. Dan Hikayat Perang Sabi saat itu telah membentuk karakter orang Aceh yang rela mati syahid demi melawan kaphe Belanda. Perjuangan melawan kekafiran adalah perjuangan yang harus didukung oleh semua masyarakat. Dalam zaman perang Aceh, ibu-ibu dengan suka rela menyerahkan anak-anak mereka untuk berjuang dan berperang melawan Belanda. Hilkayat perang sabi dibacakan secara tutur keada selururh orang aceh mellaui meunsah-meunasah dan pertemuan-pertemuan. Semangat perjuangan muncul dalam orang Aceh sebagai perjuangan untuk mempertahan agama, karena melawan Aceh artinya melawan Islam yang menjadi agama orang Aceh. HIkatar perang sbai juga dinyanyikan oleh ara ibu-ibu dalam menimang anak-anak mereka dan hal itu merupakan proses konstruksi orang Aceh yang kemudian mengalami methamorphosis menjadi manusia yang sangat tidka menyukai orang kafir yang dalam hal ini kaphe Beulanda karena ingin merusak Aceh. Orang Aceh umumnya menjadi orang yang berpegang teguh dengan nilai-nilai Islam sehingga kemuidan muncul penyatuan dalam masyarakat Aceh antara nilai-nilai agama dan budaya sebagai bagian dari pembentukan masyarakat Aceh hingga saat ini. Dua abad terlampaui, sastra Aceh terus berkembang dan hikayat terus lahir di mana- mana. Bentuk sastra modern yang berasal dari barat juga mulai menampakkan pengaruhnya dalam karya sastra di Aceh. Banyak sastrawan yang melahirkan karya tulisan. Lebih banyak dari abad sebelumnya. Namun tidak ada satu pun karya yang mendunia yang lahir pada saat ini. Ada Page | 28 beberapa sastrawan yang cukup dikenal di nusantara Indonesia dan dunia melayu. Salah satu yang paling menonjol dan banyak berkarya dan berperan dalam membangkitkan sastra dan pendidikan di Aceh adalah A Hasjmy. Tokoh-tokoh sastra dan Hikayat Aceh seerti TA Talsya, A Rivai Nasution, Agam Wispi, T. Iskandar, Tgk Adnan PMTOH, Mak Lapee dan lain-lain. Dua nama yang terakhir Tgk. Adnan PMTOH dan Mak Lapee adalah tokoh teater tutur. Tgk Adnan PMTOH, sang troubadour, menggabungkan kemampuannya berhikayat, monolog, musik dan teater. Ketika ia bertutur, orang sanggup duduk sampai pagi mendengarkan kisahnya. Cerita yang paling sering disajikannya adalah Hikayat Malem Dagang. Cerita hikayat pada masa kemerdekaan terutama masa Orde Baru banyak diisi dengan ajakan ikut membangun acah atau berdasarkan program-program pemerintah. Mas aini Hilayar erang Sabi sekan tinggal sejarah saja. Namun semangat hikayat perang sabi masih melekat dalam proses kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Hal itu ditandai dengan masih teta digunakan syair-syair dengan nilai-nilai keagaammman dna perjuangan walau dnegan bahasa yang berbeda dalam proses konstruksi masyarakat Aceh. Para Ibu-ibu masih menggunakan syair-syair hikayat llagu-lagu Aceh dalam mendiidk anak-anak mereka sebagaimana dialami oleh penulis sendiri. Kemudian dalam masa konflik Aceh Angkatan setelah ini atau angkatan 80-an, Helmi hass, Doel CP Allisah, Fikar W Eda, Wiratmadinata, Nurdin F Joes, Sulaiman Tripa, Mustafa Ismail, Arafat Nur, Harun Al Rasyid, Saiful Bahri, Musmarwan Abdullah, M Nasir AG, AA Manggeng, Agus Nur Amal,.D Kemalawati, Nani HS, Wina SW1, Faridha, Faridah, Rianda dan Virsevenny. Sebelum konflik memuncak, potret tanah kelahiran dan nafas alam banyak terekam dalam karya-karya sastra yang ada. Ketika konflik memuncak, rekaman tangis, amarah, pemberontakan dan semangat mengalir dalam syair-syair ataupun karya-karya yang ada. Hikayat dan pengaruh hikayat masih terasa, namun karya-karya sastra modern lebih mendominasi. Dalam era ini Hikayat erang Sabi kembali mencuat dan menjadi syair yang dibacakan oleh para aktivis dan pejuang Aceh dalam aktivitas mereka. Hikayat Perang sabi menjadi nilai- nilai yang tetap diyakini dalam prose skonstruksi masyarakat Aceh walaupun perubahan- erubahan baru mulai muncul terutama disebabkan hal-hal baru yang datang. Karya satra besar hamper tidak ada masa ini. Sehingga secara umum masyaraka Aceh mengalami dan melakukan banyak perubahan dalam kehidupan mereka. Kemudian dalam masa Aceh pascatsunami dan sekarang, bukan hanya menghancurkan Aceh, namun juga membawa pergi sejumlah besar asset budaya dan seniman di Aceh. Maskirbi, M Nurgani Asyik, Virsevenny, Siti Aisyah dan beberapa nama lain ikut hilang bersama ombak. Begitu juga Pusat Informasi dan Dokumentasi Aceh PDIA yang menyimpan dokumen-dokumen sastra dan budaya, Kantor DKA dan LAKA ikut lenyap dibawa tsunami. Aceh dan Indonesia kehilangan banyak. Namun bencana ini juga membawa perubahan besar bagi perkembangan sastra di Aceh. Orang-orang mulai melirik dan ingin tahu lebih banyak tentang karya-karya sastra di Aceh. Apalagi setelah banyak dari karya-karya tersebut dipublikasikan. Penerbit lokal pun mulai bermunculan. Kehausan para penulis Aceh untuk menerbitkan karyanya, akhirnya terobati juga. Karya-karya hikayat masih terus lahir dan dipublikasi. Tetapi dibandingkan karya-karya sastra lain, hikayat seperti dinomorduakan. Pengenalan hikayat di sekolah-sekolah hampir tidak ada, para penulis hikayat sulit sekali mempublikasikan karyanya. Akhirnya mereka mempublikasikannya sendiri dan mengedarkannya dalam kalangan terbatas. Namun, di hati masyarakat, hikayat tetap mendapat tempat walaupun tidak sekuat di masa lalu. Hikayat yang dituturkan secara lisan terus tumbuh di seluruh pelosok Aceh. Ada banyak hikayat baru yang Page | 29 dilahirkan, namun kurang mendapat perhatian dari peneliti, padahal mungkin di antaranya ada hikayat-hikayat bagus yang punya kekuatan seperti yang dituliskan Hamzah Fanshuri. Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh sastrawan Aceh. Agar karyanya mendapat tempat di daerahnya sendiri, khususnya di kalangan generasi penerus, para sastrawan mulai turun ke sekolah-sekolah dan memperkenalkan karya-karyanya. Buku-buku pun mulai dijadikan bacaan di sekolah. Hikayat mas aini tiidka lagi menjadi hal yang utama karena beragam erubahan yang terjadi terutama karena pengaruh informasi dari luar Aceh termausk medi amassa. Perubahan tersebut memang tidka mungkin dihilangkan karena ada era ini Aceh menjadi daerah yang snagat terbuka dnegan bergaam peradaban asing. Masyarakat Aceh mengalami proses konstruksi melalui perpaduan antara agama dan adat istiadat. Perpaduan kedua undur tersebut menjadi kekuatan dalam proses konstruksi dan metamorphosis orang Aceh. Sebagaimana yang dikenal dalam sejarah Aceh bahwa Agama dan Budaya adalah dua undur yang harus slaing mendukung dalam proses pengemabnagn orang Aceh. Artinya selama iuni kesluruh proses konstruksi Aceh tidak mungkin terlepas dari kedua undur tersebut. Proses konstruksi orang Aceh berlangsung secara terbuka dan mandiri dalam masyarakat Aceh. Artinya setiap komponen atau unsur bersama-sama membicarakan, mendiskusikan dan mencarikan solusi atau pemecahan atas persoalan yang muncul ditengah masyarakat. Proses social tersebut juga terkonstruksi melalui komunikasi social masyarakat Aceh yang bersifat ‘egaliter’. Salah satu represnetasi nilai-nilaihikayat dalam kehiduan Aceh adalah perpaduan antara fungsi mesjid dan meunasah. Meunsah sebagai wadah yang ada pada setiap gamong desa di Aceh meruakan tempat dimana hiukayat dituturkan dna disosialisasikan kepada masyarakat Ace. Roses konsytruksi ini mulai dari level ertama dalam masyarakat Aceh yaitu desa dengan wadah meunasah sebagai learning center atau community center . Sebagaimana dijelaskan juga oleh Badruzzaman 2007 bahwa meunasah dan mesjid adalah dua hal yang menarik dalam sistem budaya adat Aceh. Kedua lembaga ini merupakan simbollogo identitas keacehan yang telah berkontribusi fungsinya membangun pola dasar SDM masyarakat menjadi satu kekuatan semangat yang monumental, historis, herois dan sakralis. Fungsi lembaga ini memiliki muatan nilai-nilai aspiratif, energis, Islamis, menjadi sumber inspiratif, semangat masyarakat membangun penegakan keadilan dan kemakmuran serta menentang kedhaliman dan penjajahan. Fungsi-fungsi meunasah bagi masyarakat Aceh selama ini adalah: 1. Fungsi Meunasah, sebagai : · Tempat ibadahshalat berjamaah · Dakwah dan diskusi · Musyawarahmufakat · Penyelesaian sengketadamai · Pengembangan kreasi seni · Pembinaan dan posko generasi muda · Forum asah terampilolahraga · Pusat ibukotapemerintahan gampong Badruzzaman, 2002: 3-7 , sedangkan 2. Fungsi Mesjid, sebagai : · Tempat ibadahJum’at · Pengajian pendidikan · Musyawarahpenyelesaian sengketadamai · Dakwah · Pusat kajian dan sebaran ilmu Page | 30 · Acara pernikahan · Simbol persatuan dan kesatuan umat Badruzzaman, 2002: 54 Meunasah merupakan simbol budaya proses komunikasi sosial masyarakat Aceh yang keberadaannya terdapat di setiap gampong di Aceh. Artinya, meunasah telah menjadi simbol kekuatan sosial budaya bahkan agama masyarakat Aceh. Berdasarkan realitas dan fungsi meunasah selama ini, meunasah merupakan pusat pengendalian tatanan kehidupan agama dan budaya dalam masyarakat Aceh. . Fungsi Meunasah di Aceh sejak belasan tahun yang lalu telah digunakan sebagai pusat pendidikan, tempat musyawarahmufakat, pengembangan seni dalail khairat, meudrah, meurukon, meudaruh, olah raga dan lain sebagainya. Dengan berfungsinya Meunasah seperti ini, maka hampir semua aspirasi masyarakat dapat tertampung dan terealisasi dalam kehidupan praktis. Fungsi meunasah menjadi sentral pembangunan masyarakat social communication. Integrasi fungsi lembaga-lembaga ini melahirkan: Adat ngon agama lagee zat ngon sifeut, sehingga dapat diarahkan membangun suatu visi: Dengan adat dan syariat, melahirkan aspirasi dan spirit mewujudkan kesejahteraan masyarakat, melalui tatanan equilibrium pembangunan dunia akhirat. Kedua lembaga itu, dapat memerankan Misinya untuk mengkaji, membina dan mendaya gunakan adat istiadat dan syariat sebagai aset kebudayaan Aceh, dalam berbagai format implimentasi program kegiatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat yang aman damai,adil dan mensejahterakan. Qanun Tata Laksana Gampong Aceh, 2007. Hubungan meunasah dengan mesjid dalam patron simbol budaya adat Aceh, telah dimaknai dengan narit maja hadih maja” Agama ngon Adat hukom , lagei zat ngon sifeut ”. Meunasah adalah sentral pengendali proses interaksi sosial masyarakat, karena saling membutuhkan kesejahteraan sesama manusia dalam komunitas gampong antar gampong, sehingga melahirkan adat, adat istiadat dan tatanan adat. sebagai lembaga pendidikan, meunasah dipimpin oleh seorang teungku atau kiyai dalam bahasa Jawa. Teungku tersebut pada umumnya adalah lulusan dari pendidikan sistem dayah pesantren. Imeum meunasah adalah pembantu utama keuchik kepala desa dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan dan pengajian. Badruzzaman, 2007: 15. Sesudah belajar di dayah beberapa tahun, mempelajari hukum-hukum Islam, keterampilan dasar dalam memberikan pelayanan agama ke dalam masyarakat, seperti menjadi imam dalam shalat, menjadi pemimpin dalam membaca do’a bersama dan lain-lain, barulah seseorang sudah dapat menjadi teungku dan mengajar di meunasah. Meunasah selalu terletak di gampong-gampong atau desa-desa. Muenasah mengambarkan masyarakat Aceh yang menempatkan meunasah dan mesjid sebagai sentral dalam pembangunan. Menurut Badruzzaman, 2007:65 menjelaskan bahwa fungsi meunasah menjadi sentral pembangunan masyarakat social communication dan fungsi mesjid menjadi sentral komunikasi two traffic communications, hablum minallah dan hablum minannas. Dalam pandangan peneliti, di sebagian tempat di gampong Aceh, meunasah bukan hanya sebagi sentral pembangunan Aceh dalam bidang sosial, namun juga meunasah juga berfungsi sebagai sentral pendidikan agama dan sosial budaya pada tingkat gampong. Integrasi fungsi lembaga-lembaga ini melahirkan : Adat ngon agama lagee zat ngon sifeut, sehingga dapat diarahkan membangun suatu Visi : Dengan adat dan syariat, melahirkan aspirasi dan spirit mewujudkan kesejahteraan masyarakat, melalui tatanan equilibrium pembangunan dunia akhirat. Pada dasarnya menurut Badruzzaman, Kedua lembaga itu, yaitu meunasah dan mesjid dapat memerankan misinya untuk mengkaji, membina dan mendaya gunakan adat istiadat dan syariat sebagai aset kebudayaan Aceh, dalam berbagai format implimentasi program kegiatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat yang aman damai. Lebih lanjut Badruzzaman menyatakan bahwa hubungan meunasah dengan mesjid dalam patron simbol budaya adat Aceh, telah dimaknai dengan narit maja hadih maja ” Agama ngon Adat hukom , lagei zat Page | 31 ngon sifeut ”. Meunasah adalah sentral pengendali proses interaksi sosial masyarakat, karena saling membutuhkan kesejahteraan sesama manusia dalam komunitas gampong antar gampong, sehingga melahirkan adat, adat istiadat dan tatanan adat. Bahkan meunasah berfungsi juga sebagai wadah pemeliharaan adat istiadat Aceh. Peran Meunasah surau dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh begitu penting dan menjadi kekuatan dalam ketahanan sosial budaya. Meunasah menurut Siswono artikel Aceh Institute, 2010 dianggap sebagai universitas. Dalam proses social masyarakat gampong, terdapat suatu tradisi yang diwajibkan kepada kaum pria pemuda umumnya tidur di Meunasah. Demikian juga dengan tamu yang datang ke kampung juga tidur di Meunasah. Dengan kata lain meunasah merupakan lembaga yang terdapat dalam sistem masyarakat aceh yang memiliki peran yang sangat kuat dan mengakar dalam pembentukan masyarakat Aceh. Meunasah adalah kekuatan masyarakat Aceh, identitas masyarakat yang jika hilang akan menghilangkan identitas masyarakat Aceh. Oleh karena itu konstribusi meunasah terhadap peradaban Aceh sangat besar, atau dapat dikatakan bahwa meunasah adalah peradaban masyarakat itu sendiri, tanpa meunasah, maka masyarakat Aceh akan kehilangan karakter orang Aceh yang selama ini menjadi kekuatan bagi Aceh. Artinya, meunasah telah berperan dengan fungsi-fungsi yang ada dengan sangat kuat dan mengakar dalam semua sektor masyarakat Aceh, termasuk dalam proses pembentukan peradaban masyarakat Aceh. Seluruh nilai, norma, dan perilaku social masyarakat Aceh melalui proses konstruksi melalui meunasah. Salah satu pengembangan nilai dan tradisi social masyarakat Aceh mellaui meunsah telah membentuk adat dan budaya Aceh yang sangat kuat dan terintegral dalam proses social budaya setiap masyarakat Aceh. Adat dan budaya Aceh adalah bagian dari sistem masyarakat yang sangat melekat dalam masyarakat Aceh. Mempelajari adat dan budaya yang merupakan landasan filosofis sebuah etnis dapat menjelaskan pola pikir dan prilaku yang melingkupi anggota sebuah group atau komunitas. Berbicara mengenai adat dan budaya orang Aceh berarti sedang menjelaskankan keterkaitan dan keterpaduan budaya dengan nilai-nilai agama yang dianut masyarakatnya, yaitu Islam. Sedangkan adat istiadat : berupa kebiasaan seremonial upacara, prilaku ritualitas, estetika keindahan, apresiasi seni tari, seni suara, seni lukis, relief motif bangunan pisik, pakaian dan makanan bernilai ritual dan komersial . Sedangkan nilai normatif prilaku tatanan hukum adat , yaitu materi norma aturan dan bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran yang berlaku untuk ketertiban masyarakat : “ Geu pageu lampoeh ngon kawat, geu pageu nanggroe ngon adat “, “ Ureung majeulih hantom kanjai, ureung tawakal hantom binasa “ Taduk ta muproe ta mupakat, pat-pat nyang silap tawoe bak punca “Tanoh leumik keubeu meukubang, leumoh goe parang goeb panglima”” Salah bak hukom raya akibat, salah bak adat malee bak donya ” Badruzzaman Ismail, Ketua MAA NAD. Dalam tradisi kumulatif kehidupan keagamaan orang Aceh dapat dilihat bahwa agama merupakan salah satu kekuatan sosial. Apapun usaha yang hendak dilakukan seperti pelaksanaan pembangunan, supaya dapat berhasil baik bilamana keuchik dan teungku meunasah serta perangkat adat lainnya bersatu kata dalam perbuatan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Badruzzaman Ismail, Ketua Majlis Adat Aceh MAA Propinsi NAD 2007 menyatakan bahwa ketangguhan pemerintahannya saat itu, karena dilatar belakangi kemampuannya membangun suatu kultur dan struktur tatanan masyarakat Aceh menjadi salah satu segmen peradaban manusia civilization of human right , yang tersimpul dalam nilai-nilai filosofi, narit maja : ” Adat ngon hukom agama, lagei zat ngon sifeut ” yang struktur implimentasinya disimpulkan dalam ” Adat bak Poe teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana ” Narit maja ini menurut Badruzzaman selama ini menjadi sumber pijak kreasi budaya Aceh yang dalam masyarakatnya lebih dikenal dengan motto adat : Adat ngon hukom agama lagei zat ngon sifeut, sebagai way of life landasan filosofis dalam bentuk “adat adat istiadat “ Penamaan adat dalam konteks budaya keacehan, memberi makna budaya Aceh dijiwai oleh nilai-nilai Islami yang tak boleh lepas sebagai akar tunggalnya untuk berkreasi membangun Page | 32 tataruang kehidupan masyarakat menuju kebahagiaan dunia dan akhirat menangkap kebahagiaan kembali kemasa depan . Dalam hubungan inilah maka budaya adat Aceh, melahirkan action building dalam bentuk : adat istiadat dan nilai-nilai normatif hukum adat Adat atau uruf adalah tradisi atau kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara berulang- ulang dalam kurun waktu yang relatif lama.. Atau praktek yang sudah menjadi tradisi yang selalu dipakai: baik untuk kebiasaan individual maupun kelompok. Kebiasaan individual yang dilakukan oleh seseorang secara pribadi pada sikap sikapnya, seperti kebiasaan tidur, makan, jenis makanannya, perbuatan dan kebiasaan perbuatannya. Sedangkan kebiasaan kelompok berarti kebiasaan yang dilakukan oleh suatu komunitas atau mayoritas, baik berupa perbuatan- perbuatan yang secara sadar ataupun yang tidak berasal dari kehendak pilihan mereka. Perbuatan tersebut bisa berupa kebiasaan terpuji maupun tercela. Kurdi, 41 Keberadaan ‘uruf kadang-kadang dapat dijadikan rujukan dalam meutuskan perkara-perkara yang berkaitan dengan sosial budaya kemasyarakatan selama adat atau uruf itu dikenal dan diakui oleh masyarakat banyak. Kurdi, 43 Berdasarkan pemikiran tersebut, adat dan ‘uruf atau kebiasaan dalam masyarakat Aceh dapat diterima menjadi landasan hukum sosial karena uruf yang diterapkan diputuskan berdasarkan pertimbangan agama Islam yang merupakan agama yang dianut oleh orang Aceh, artinya selama adat dan uruf tersebut tidak tercela atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka ‘uruf’ dapat diterapkan sebagai landasan hukum bagi masyarakat. Orang Aceh di era reformasi cenderung berubah seperti : 1. Tidak teguh pada nilai-nilai ke-acehan 2. Mulai meninggalkan tradisi ke-acehan yaitu kesimbangan antara agama dan budaya 3. Cenderung mengadipsi budaya hubungan bersifat ordinat-subordinat, yang mana sebelum bersifat egaliter. 4. Mulai menggunakan niulai-nilai baru dari luar Aceh yang mereka anggap modern. 5. Meninggalkan pendidikan dasar di meunasah dan dayah sebagai wadah pendidikan orang Aceh. Hikayat Perang sabi mengandung nilai-nilai moral dan janji bahw amati dalam perang adalah mati syahid dengan hadiah syurgadari Allah SWT. Besarnya pengaruh Hikayat dijelaskan oleh Paul Van’t Veer, seorang penulis Belanda dalam bukunya Perang Aceh bahwa hikayat menjadi bacaan wajib sebelum perang di Aceh dan berdar dengan sangat masyhur Alfian, 1999:168. Hikayat dalam masyarakat Aceh dituliskan juga oleh Teungku Nyak Ahmad dari Gampong Cot Paleue, Pidie HPS, Coc, Or, 8036, 1984: 111 yang berbunyi : Yang memerangi kafir dalam perang Sabil sabi Niat mempertinggi kebenaran agama Kalimah Allah agama Islam Kafir jahaman isi neraka Sabilillah dinamai perang Tuhan akhirnya berikan syurga Mengikuti suruhan sampai ajal Pahala kelak sangat sempurna Page | 33 Menurut T. Alfian Ibrahim 1999: 169 menyatakan bahwa makna hikayat-hikayat Perang Sabil terbagi menjagi tiga kategori, yaitu : 1. Yang berisi anjuran untuk berperang sabil dengan menunjukkan pahala, keuntungan dan kebahagian yang akan diraih. 2. Yang berisikan berita menegenai tokoh atau keadaan peran peperangan di suatu tempat ynag patut disampaikan kepada masyarakat untuk mendorong semangat orang-orang muslimin yang sedang berjihat. 3. Yang mencakup kedua-duanya. Adapun harapan yang disampaikan dalam hikayat Perang Sabil adalah : 1. Diampuni oleh Allah Ta’ala semua diosanya. 2. Mendapat tempat dalam surge dengan perbagai kenikmatan. 3. Kuburnya menjadi luas dan akan sentoso didalamnya 4. Luput dari bahaya kiamat 5. Di dalam surge diberikan pakaian yang indah disertai pertama-pertama. 6. Memperoleh istri bidadarisatu mahligai berjumlah 72 orang 7. Diampuni oleh Tuhan dosa 70 kerabat dari orang yang mati syahid. Hikayat Perang Sabil juga mengandung ajakan untuk berjuang di jalan Allah,mempertahankan agama Allah kepada seluruh masyarakat Aceh. Perjuangan dalam Perang Sabil adalah fardhu ‘ain, hal ini sebagaimana terdapat dalam syair-syair Hikayat Perng Sabil berikut ini : Waktu kafir menduduki negeri Semua kita wajib berperang Jangan diam bersunyi diri Di dalam negeri bersenang-senang Diwaktu itu hokum fardhu ‘ain Harus yakin seperti sembahyang Wajib kerjakan setiap waktu Kalau tidak begitu dosa hai abang Tak sempurna sembahyang puasa Jika tak mara ke medan perang Fakir, miskin, kecil dan besar Tua, muda, pria dan perempuan Yang sanggup melawankafir Walaupun dia budaknya orang Hukum fardhu ‘ain di pundak kita Meski tak sempat lunaskan hutang Wajib harta disumbangkan Kepada siapa yang mau berperang Page | 34 Beberapa baik Hikayat Peran Sabil lainnya : Baik wanita dan pria Semuanya, tua dan muda Akil balig, kanak-kanak Menuruti ijmak ikut serta Saleh, fasik, alim, jahil Wajib semua berperan serta Raja, rakyat, uleebalang Wajib berperang sama rata Kafir yang menyerang Negeri kita Wajib di sini lawan segera Haram lari, wajib melawan Fardhu ‘ain ke atas kita

G. Perubahan Karakter Orang Aceh