Hikayat Dalam Masyarakat Aceh

Hal diatas memperkuat bahwa dalam roses interkasi, bahasa adalah alat interaksi komunikasi yang menciptakan, menambah dna menyempurnakan proses tersebut. Proses komunikasi yang mengharapkan khalayak atau lawan bicara memahami isipesan yang dikomunikasikan, maka dalam proses tersebut terdapat upaya saling tukar menukar makna atau berbagi makna bersama. Sehingga kedua belah pihak memunyai asumsi dan persepsi yang sama terhadap apa yang diinginkan, dihasilkan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Bahasa mempunyai dan membutuhkan lingkungan untuk berkembang dan manusia mengenal bahasanya semenjak bayi yang dimulai dengan bahasa ibuawal taboo language. Halliday menjelaskan 1993:2 bahwa bahasa mampu menciptakan struktur social dan memunyai peranan sentral dalam kehiduan masyarakat. Melalaui bahasa pola-pola social ditransmisikan kepada pihak lain dan sekaligus individu belajar bertindak sebagai individu, anggota keluarga dan masyatakat. Namun dalam proses interaksi muncul perbedaan dan ketidakseimbangan yang merupakan implikasi struktur social dan system belif masyarakat. Ketidaseimbangan dna ketidakadilan sanagt muncul dalam proses interaksi disebbakan relais dominan struktur atau kelompok social tertentu dalam masyarakat tersebut. Dale Spender 1985 : 3, menjelaskan bahwa bahasa adalah produk kemanusiaan yang merupakan sesuatu yang dciicptakan oleh manusia dan senantiasa dapat dimodifikasi, diubah, ditambah, dikurangi, menguntungkan dan merugikan kelompok tertentu. Ditegaskan bahwa bahasa adalah fakta yang berbicara, yaitu hasil proses interaksi sosial ditengah masyarakat. Atas dasar fakta tersebut bahawa tidak bisa lepas dari sistem masyarakat dimana bahasa tersebut tumbuh dan berkembang. Bahasa yang dipergunakan bukan hanya menghasilkan teks tertulis lisan, melainkan bahsa dalam konsteks ini adalah teks dan sekaligus konsteks yang mengandung makna. Artinya bahasa dan teks merupakan realitas yang tumbuh dari nilai-nilai social, ideology dan sistem kepercayaan suatu masyarakat pengguna bahasa tersebut. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa erat kaitannya dengan ideologi tertentu, maka bahasa sangat mugnkin mengami kontrol sosial dari kelompok sosial tertentu yang juga dominan ditengah masyarakat. Dalam posisi tersebut, bahasa data mempetukarkan struktur social atau sistem sosial dnegan pola-pola dominan suatu pemahaman. Oleh karenanya bahasa merupakan kekuatan dalam praksis social yang mengikat anggota social masyarakat. Kekuatan social tertentu mewarnai proses konstruksi individu, kelompok dan masyarakat.

C. Hikayat Dalam Masyarakat Aceh

Dunia kesusastraan Aceh sudah sejak awal dikenal penduduk Aceh beraksara arab jawoe. Ini bisa dilihat melalui berbagai hikayat yang kemudian menjadi warisan tradisi menulis. Perang yang berkepanjangan membuat masyarakat Aceh berubah total dari dunia menulis ke dunia tutur. Jadi, menurut saya, kurang tepat kalau ada yang mengatakan bahwa masyarakat Aceh lebih menyukai tradisi tutur. Menurut Dr. Ismail Hamid, ahli bahasa dan sastra Indonesia berkebangsaan Malaysia, hikayat itu diambil dari bahasa Arab yang bermakna cerita. Sastra ini ditulis dalam bentuk Arab-Melayu berbahasa Melayu Pasai dan Aceh. Juga menggunakan bahasa Melayu yang jamak dipakai untuk penulisan bidang ilmu pengetahuan, seperti fiqh, tasawuf, dan tauhid. Herman RN, penyuka sastra, bergiat di Gemasastrin dan Teater Nol Unsyiah dalam blognya menyatakan bahwa Hikayat adalah jenis prosa sastra lama yang disusun dalam bentuk Page | 6 berbait, bersajak, berirama ciri hikayat Aceh. Isi atau kisah dalam hikayat meliputi berbagai masalah kehidupan, seperti pelajaran-pelajaran tentang adat, masalah keagamaan, roman- roman duniawi, masalah kemasyarakatan, dan sejumlah peristiwa lainnya. Selain itu, hikayat juga bisa meliputi dongeng-dongeng, legenda, mitos, sage, maupun fabel. Hikayat merupakan jenis karya sastra Aceh yang terbesar, baik dilihat dari jumlah dan keluasan cakupan isinya. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah hikayat Aceh yang pernah ada pernah diciptakan danatau pernah ditulis dan yang masih ditemukan hari ini. Umumnya hikayat pada awalnya diciptakan dalam tradisi lisan, dihafal oleh penciptanya dan oleh orang-orang yang sudah terbiasa mendengarnya. Begitulah tradisi ini berlangsung turun temurun dalam masyarakat Aceh. Upaya penulisan hikayat biasanya dilakukan oleh orang lain yang bukan penciptanya. Akan tetapi ada beberapa hikayat yang memang ditulis sejak awal penciptaannya oleh penciptanya sendiri, meskipun kemudian sering disalin kembali dan dilakukan penambahan di sana-sini oleh orang lain. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita menemukan beberapa pengarang dari suatu hikayat dan kadang-kadang cukup sulit bagi kita untuk mendapatkan informasi siapa pengarang aslinya. Ini kebiasaan yang berlaku dalam budaya tradisi lisan. Hikayat dikenal luas dalam masyarakat Aceh. Ia sudah ada sejak zaman dahulu kala. Mulanya hikayat dimainkan atau bawa dalam bentuk lisan oleh ahli pawang. Karena itu, hikayat sering dikatakan sebagai seni tutur. Kemudian, setelah berkembangnya sastra tulis, hikayat mulai dituliskan, sama seperti jenis sastra lainnya di nusantara. Masa penulisan ini dimulai saat masuknya Islam pertama ke Aceh, diperkirakan abad ke-8 Masehi. Hikayat Aceh berbeda dengan hikayat MelayuIndonesia. Jika hikayat Melayu ditulis dalam bentuk prosa bernarasi, hikayat Aceh, kendati juga tergolong ke dalam bentuk prosa, ia ditulis berbait, bersajak, dan mengikuti rima. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh. Namun, jika dilihat naskah aslinya pada zaman dahulu, hikayat Aceh ditulis dalam bahasa Jawoe Arab Melayu. Sastra dalam hikayat Aceh pengaruhnya dari saj’-syahi bahasa Aceh atau syair. Ini salah satu jenis prosa Arab yang berusaha mendayagunakan potensi morfologis, kombinasi bahasa guna menghasilkan pola-pola rima berirama. Perihal ini tampak pada bentuk lirik dan persamaan bunyinya. Hikayat sangat jauh berbeda dengan riwayat dalam sastra Arab, yang secara harfiah berarti narasi bercerita. Istilah narasi sekarang biasa digunakan secara luas oleh kritikus sastra Arab untuk menyebut novel. Hikayat adalah salah satu jenis sastra Melayu Pasai yang sangat terkenal. Bahkan hikayat merupakan puncak dari keindahan dan keagungan sastra. Menurut Dr Hoesein Djajadiningrat, hikayat mempunyai dua makna, yaitu cerita sejarah dan sebuah bentuk dari kesusastraan Melayu Aceh. Hikayat yang merupakan cerita sejarah, berbentuk prosa dan ditulis dalam bahasa Melayu Pasai yang dalam perjalanannya kemudian terkenal dengan bahasa Melayu Riau atau tulesan Jawou tulisan Jawi. Kebanyakan karya-karya tersebut yang merupakan khazanah perpustakaan Aceh telah musnah dalam masa peperangan selama puluhan tahun antara kerajaan Aceh Darussalam dengan kolonialis Belanda. Banyak pula yang telah diangkut ke negeri Belanda. Berdasarkan kandungan isinya, secara garis besar hikayat dapat dibagi kepada hikayat agama, sejarah, safari, peristiwa, jihad, dan cerita fiktif novel. Adapun yang menjadi ciri khas hikayat-hikayat Aceh, antara lain, dimulai dengan Basmallah, kemudian tokoh-tokoh utama yang bermain dalam hikayat adalah manusia yang taat kepada Allah, berakhlak mulia, berwatak pahlawan, berhati budiman dan berpendidikan agama yang sempurna. Selain menguasai berbagai kitab agama, mereka juga menguasai ilmu hikmat, ilmu mantera, dan ilmu politik. Page | 7 Syair-syair karya sastrawan perang di masa nabi seperti karya Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik dan Abdullah Rawahah telah mempengaruhi sejumlah ulama sastrawan Melayu Pasai dan Aceh, sehingga muncullah kesusastraan epos hikayat jihad yang telah menggemparkan dunia penjajah seperti hikayat Prang Peuringgi. Ini merupakan karya sastra perang yang bertujuan membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh melawan Portugis. Kedua, hikayat Prang Gompeuni, buah karya seorang ulama pahlawan yang bernama Abdul Karim, yang lebih dikenal dengan sebutan Do Karim. Di sini beliau berhasil melukiskan perang Aceh yang heroik pada abad XIX. Juga ada hikayat Prang Sabi karya penyair Teungku Chik Pantee Kulu. Hikayat ini mampu membakar semangat perang sabil. Bentuk sastra dalam hikayat sangat terikat dengan aturan-aturan, yakni padanan kata yang menghasilkan pola berima, bias makna, juga keindahan. Sedangkan riwayat berbentuk karangan bebas, seperti lazimnya bentuk prosa kesusastraan Indonesia modern. Hikayat pada kurun waktu kesustaraan Indonesia modern juga tidak mengalami perubahan, tetapi hikayat- hikayat Aceh pada masa ini ditulis dengan aksara latin, di samping tulisan Arab-Melayu yang masih dipertahankan beberapa penulis tua. Di tahun 1980-an, senikata hikayat Aceh mengalami masa puncak kejayaannya dengan kehadiran beberapa penulis, di antaranya yang paling terkemuka di khalayak masyarakat adalah almarhum Syeikh Rih Krueng Raya, yang menulis beberapa hikayat. Salah satunya yang muncul di tahun 1990-an ialah Seulala Mata Silauan Cahaya Mata dan Madya Hus pada tahun 90-an lewat hikayat Aneuk Jampok. Nab Bahany As menuliskan bahwa orang bijak sering berkata, karya sastra adalah cermin masyarakat pada zamannya. Pernyataan ini benar, karena karya sastra itu lahir melalui proses pemikiran dan penghayatan manusia yang paling dalam terhadap hidup dan kehidupannya. Sedangkan sastrawan sendiri adalah manusia yang tajam pandangannya, yang mampu menangkap setiap gerak kehidupan untuk kemudian dituangkan dalam karyanya. Dengan demikian, karya sastra dapat diartikan sebagai suatu saksi hidup dari segala peristiwa yang pernah terjadi dalam kehidupan manusia. Dengan membaca karya sastra suatu bangsa berarti kita akan mengetahui apa yang dialami dan dirasakan oleh suku bangsa tersebut. Demikian pula dengan kesusastraan Aceh, sastra Aceh adalah cermin masyarakat Aceh itu sendiri. Bangsa lain yang ingin mengetahui masyarakat Aceh secara lebih dekat, salah satunya mereka dapat membaca karya sastra yang dihasilkannya. Secara historis, orang Aceh memang termasuk suku bangsa yang kaya dengan sastranya. Karena orang Aceh mempunyai pembawaan bahwa mereka lebih mudah merasakan pengertian kata-kata bersajak daripada ucapan kalimat biasa. Pengucapan kata-kata bersajak bagi masyarakat Aceh dulu merupakan kebiasaan sehari-hari seperti mereka berbicara biasa. Sehingga karya sastra di Aceh banyak kita temukan dalam bentuk syair narit meupakhok. Cerita-cerita yang digemari penyair Aceh dulu selalu dihafal dalam bentuk syair, bahkan mereka banyak yang membuat karangan- karangan dalam pikirannya kemudian dinyanyikan dalam bentuk hikayat bersajak. Untuk mengetahui bagaimana bentuk dan wujud kesusastraan Aceh, kita tidak bisa lepas dari historis kedaerahan. Sejak agama Islam masuk ke Aceh pada abad pertama hijriah, kesusastraan Aceh telah memegang peranan penting dalam menyebarkan dakwah Islam di Nusantara, dan sejak itu kesusastraan Aceh ikut menyatu dengan ajaran Islam. .Hampir semua karya sastra Aceh ketika itu digunakan untuk kepentingan dakwah Islam. Ini terbukti hampir semua karya sastra Aceh tradisional klasik di dalamnya selalu mengandung pesan-pesan keagamaan. Karenanya tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa kebudayaan Aceh identik dengan kebudayaan Islam, kesenian Aceh identik dengan kesenian Islam, dan kesusastraan Page | 8 Aceh juga sangat relevan dengan wujud kesusastraan Islam. Hal itu wajar, sebab pengaruh ulama di Aceh dulu lebih dominan dalam masyarakat, bahkan para sastrawan Aceh dulu juga terdiri dari ulama-ulama yang tidak sedikit pengaruhnya baik dalam kerajaan maupun dalam kehidupan masyarakat sehari hari. Jika diteliti lebih jauh, semua karya sastra tradisional Aceh adalah hasil buah tangan para ulama yang kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi bahasa Aceh untuk menjadi bahan bacaan rakyat. Semua karya sastra ini selain berisikan tuntunan agama juga mengandung unsur pendidikan dan pengajaran agama Islam. Pengucapan dan penulisan sastra Aceh ini biasanya dilakukan dalam dua bahasa, yakni bahasa Aceh dan bahasa melayu berhuruf huruf Jawi. Pengucapan bahasa melayu dalam penulisan kesusastraan Aceh telah ikut memberikan sumbangan besar bagi perkembangan kesusastraan Indonesia klasik. Karya-karya sastra Aceh semacam itu sekarang sudah jarang ditemukan dalam peredaran. Generasi Aceh sekarang banyak yang tidak mengenal bagaimana bentuk-bentuk karya sastra itu. Kita Cuma mendengar di Aceh dulu pernah lahir pujangga-pujangga besar, tapi kita jarang memperhatikan kebesaran mereka, kita belum pernah memperingati hari Hamzah Fansuri sebagai seorang pujangga terbesar Aceh yang telah diakui dunia. Kita belum terfikir untuk mencari dan mengumpulkan bentuk-bentuk karya sastra Aceh tradisional untuk menerbitkan sebagai bahan bacaan generasi Aceh sekarang ini. Upaya menyelamatkan bahasa dan sastra Aceh ketika itu terus ditempuh beberapa sastrawan Aceh secara serius. Selain mereka menulis buku-buku bahasa Aceh, juga memperjuangkan agar pelajaran bahasa Aceh yang dihapuskan di sekolah-sekolah desar dalam zaman Jepang dapat diizinkan untuk diajarkan kembali pada anak-anak Aceh,.dan yang paling berjasa dalam upaya ini adalah Prof..Dr. Aboebakar Atjeh. Dalam setiap Kongres Bahasa Indonesia saat itu Aboebakar Aceh selalu membicarakan dan mempertahankan kepentingan bahasa dan sastra Aceh sebagai sumber kebudayaan Indonesia.

D. Jenis Sastra Aceh.