3. Bagaimana kebijakan hukum pidana dengan adanya Visum et Repertum itu
memberikan perlindungan hukum terhadap korban akibat matinya seseorang?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hubungan kasualitas antara penganiayaan dengan
meninggalnya korban; 2.
Untuk mengetahui kedudukan Visum et Repertum sebagai alat bukti dalam perkara pidana;
3. Untuk mengetahui bagaimana kegunaan Visum et Repertum dalam tindak
pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian; 4.
Untuk mengetahui dengan adanya Visum et Repertum, maka dapat memberikan perlindungan hukum terhadap korban.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan hukum ini adalah: 1.
Secara teori diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ilmu tentang hukum secara umum serta perkembangan ilmu hukum acara
pidana secara khusus. 2.
Manfaat secara praktis dari adanya penulisan hukum ini adalah sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan
Penegak Hukum di kalangan masyarakat, sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan hukum maupun
perkembangan ilmu hukum, dan untuk menambah pengetahuan mengenai
fungsi Visum et Repertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dalam perspektif viktimologi di pengadilan.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan hukum yang berjudul “VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN MATINYA
SESEORANG DILIHAT DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI.” Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi Penulisan hukum
di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta jurnal online Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Jurnal Mahupiki,
belum ada judul yang membahas mengenai Visum et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat dalam
Perspektif Viktimologi. Bila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk penulisan hukum sebelum penulisan hukum
ini, maka hal itu harus dipertanggungjawabkan.
F. Tinjauan Kepustakaan
Visum et Repertum dibuat dan dibutuhkan di dalam kerangka upaya penegakkan hukum dan keadilan, dengan kata lain yang berlaku sebagai konsumen atau
pemakai Visum et Repertum adalah perangkat penegak hukum. Fungsi Visum et Repertum yang digunakan sebagai alat bukti dalam tindak pidana penganiayaan
telah dilakukan penelitian terhadapnya dan sudah banyak diangkat sebagai judul penelitian hukum. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan yang mengangkat
tentang Visum et Repertum antara lain: Mochammad G.R 2011 judul penelitian: PERANAN VISUM ET REPERTUM
DALAM PENYELESAIAN PROSES PERKARA TINDAK PIDANA
PENGANIAYAAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA.
Komala Sari 2014 judul penelitian: FUNGSI VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
1. Tindak Pidana
a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda,
dengan demikian juga WvS Belanda KUHP, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli
hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sekiranya para sarjana Indonesia telah memberikan pendapat mengapa mereka
harus menggunakan istilah yang digunakannya itu sebagai terjemahan dari “Strafbaar” dan “feit” yang kemudian dimajemukkan. Beberapa pendapat tersebut
adalah sebagai berikut: 1
Pendapat Moeljatno dan Ruslan Saleh Setelah membahas beberapa istilah yang telah digunakan untuk terjemahan
strafbaar feit, pilihan beliau jatuh kepada istilah perbuatan pidana dengan alasan dan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut
a Untuk terjemahan strafbaar adalah istilah PIDANA sebagai
singkatan dari YANG DAPAT DIPIDANA b
Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapaan sehari-hari seperti: perbuatan tak senonoh,
perbuatan jahat dan sebagainya dan juga istilah teknis seperti: perbuatan melawan hukum onrechmatige daad.
Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada orang yang melakukan maupun pada
akibatnya, sedangkan perkataan peristiwa tidak menunjukkan, bahwa yang menimbulkan adalah handeling
atau gedraging seseorang, mungkin juga hewan atau alam. Dan perkataan tindak berarti langkah baru dalam bentuk
tindak tindak tanduk atau tingkah laku. 2
Pendapat Utrecht Utrech menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah peristiwa
itu meliputi perbuatan hendelen atau doen, positif atau melalaikan verzuim atau natalen atau niet-doen, negatif maupun akibatnya.
3 Pendapat Satochid
Satochid Kertanegara dalam rangkaian kuliah beliau menganjurkan pemakaian istilah tindak-pidana, karena istilah tindak tindakan, mencakup pengertian
melakukan atau berbuat actieve handeling danatau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan passieve handeling.
Istilah perbuatan berarti melakukan, berbuat actieve handeling tidak mencakup pengertian mengakibatkan tidak melakonkan. Istilah peristiwa, tidak
menunjukkan kepadanya hanya tindakan manusia. Sedangkan terjemahan pidana untuk strafbaar adalah sudah tepat.
7
7
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta; Babinkum TNI, 2012, hal. 203-204.
Sekiranya adalah lebih tepat, untuk menggunakan istilah Tindak Pidana seperti diuraikan Satochid dengan tambahan penjelasan, bahwa istilah tindak-pidana
dipandang diperjanjikan sebagai kependekan dari Tindak-an yang dilakukan oleh manusia untuk mana ia dapat di-Pidana atau pe-Tindak yang dapat di-Pidana.
Kepada istilah tersebut harus dapat diperjanjikan pengertian dalam bentuk perumusan dalam perumusan tersebut harus tercakup semua unsur delik tindak
pidana, atas dasar mana dapat dipidananya petindak yang telah memenuhi unsur tersebut.
8
Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu,
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
9
Pasal 14 konsep rancangan KUHP baru 20062007 mendefenisikan bahwa tindak pidana adalah “perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh
peraturang perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
10
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Berbagai rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum, jika diperhatikan terdiri dari beberapa unsur elemen. Para ahli ada yang
mengemukakan unsur-unsur tindak pidana secara sederhana yang hanya terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif, dan ada pula yang merinci unsur-unsur
tindak pidana yang diambil berdasarkan rumusan undang-undang.
8
Ibid, hal. 204.
9
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan; USU Press, 2009, hal. 80.
10
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP baru, Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2008, hal. 78.
Menurut Moeljatno unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana, adalah:
1. Kelakuan dan akibat perbuatan;
2. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4. Unsur melawan hukum yang objektif;
5. Unsur melawan hukum yang subjektif;
11
Kelima unsur-unsur atau elemen-elemen yang di atas pada dasarnya dapat dikasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur objektif dan unsur
subjektif. Unsur objektif dapat dibagi menjadi: 1.
Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut:
a Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif; dan
b Ommision, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan
negatif. 2.
Akibat perbuatan manusia Hal ini erat hubungannya dengan ajaran kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah
membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milikharta. Atau
kehormatan; 3.
Keadaan keadaan Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas:
a Keadaan pada saat perbuatan dilakukan, dan;
11
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta; Rineka Cipta, 2008, hal. 69.
b Keadaan setelah perbuatan dilakukan
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum, yakni
berkenaan dengan larangan atau perintah. Unsur pokok subjektif tercermin dalam asas pokok hukum pidana, yaitu “tiada
pidana tanpa kesalahan” an act does not make guilty unless the mind is guilty; actus non facit reum nisi mens sit rea. Kesalahan yang dimaksud dalam konteks
ini adalah: 1.
Kesengajaan terdiri dari tiga bentuk, yaitu a
Sengaja sebagai maksud; b
Sengaja sebagai kepastian; c
Sengaja sebahai kemungkinan dolus eventualis. 2.
Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu :
a Tidak berhati-hati;
b Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu
12
D. Hazelwinkel Suringa dalam Sudarto mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yang diambil dalam rumusan undang-undang, yaitu sebagai berikut :
.
1. Dalam setiap delik terdapat unsur tindakperbuatan seseorang;
2. Untuk beberapa delik, undang-undang menyebutkan apa yang
dinamakan akibat konstitutif dan ini terdapat dalam delik materiil;
12
Mohammad Ekaputra, Op.cit, hal. 111-112.
3. Banyak delik memuat unsur-unsur yang bersifat psychisch
misalnya: dengan tujuan dan dolus atau culpa; 4.
Berbagai delik menghendaki adanya keadaan objektif, misalnya delik penghasutan Pasal 160 KUHP, pelanggaran kesusilaan
Pasal 182 KUHP , mabuk Pasal 536 KUHP, mengemis Pasal 504 KUHP. Pada delik-delik tersebut menghendaki keadaan
objektif yaitu “di muka umum” pada delik-delik yang lain ada pula menyebutkan faktor-faktor subjektif, baik yang bersifat
psychisch atau tidak. Faktor subjektif yang bersifat psychisch misalnya terdapat pada Pasal 305 KUHP dan delik membunuh
anak segera setelah anak itu dilahirkan Pasal 341 dan 342 KUHP; 5.
Beberapa delik memuat apa yang disebut dengan ‘syarat tambahan untuk dapat dipidana’ bijkomende voor waarde van strafbaarheid
yang dimaksud adalah: a
Terjadi sesudah terjadinya perbuatan yang diuraikan dalam undang-undang, bisa juga disertai dengan akibat konstitutifnya;
b Justru memberikan sifat dapat dipidananya Pasal 123, 164,
165 KUHP yaitu, dapat ditandai dengan adanya kata “jika……”, misalnya: ada suatu usaha untuk membunuh
Presiden, dan bila ada yang mengetahui dan diam saja, ia dapat dituntut jika betul-betul terjadi maksud tersebut.
6. Sifat melawan hukum juga memegang peranan sebagai unsur delik,
seperti tersebut dalam Pasal 167 KUHP yaitu merusak
ketentraman rumah huisvredebreuk, Pasal 333 KUHP merampas kemerdekaan seseorang, dan Pasal 406 merusak barang.
Sifat melawan hukum itu hanya merupakan unsur dari strafbaarfeit apabila, dalam rumusan delik nyata-nyata disebut. Jika tidak disebutkan, sifat itu bukan unsur
hanya tanda ciri kenmerk saja dari setiap delik, sebab suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana, karena tak dapat dibenarkan oleh hukum atau karena
bertentangan dengan hukum. Barang siapa memenuhi rumusan delik, maka ia berbuat melawan hukum atau ia
melakukan strafbaarfeit, kecuali jika ada hal-hal yang merubah perbuatan yang biasanya tidak dapat diterima menjadi perbuatan yang dapat diterima, atau bahkan
sangat diharapkan. Dalam hal-hal seperti ini maka hilanglah sifat dapat dipidananya feit itu dan menjadi rechtimatig sah.
2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
Penganiayaan dapat kita temui dalam KUHP untuk istilah tindak pidana terhadap tubuh. Tindak pidana terhadap tubuh ditujukan bagi perlindungan kepentingan
hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka tersebut dapat
mengakibatkan kematian. Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada dua macam, yaitu:
a. Kejahatan terhadap tubuh dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang
dimaksudkan ini diberi kualfikasi sebagai penganiayaan, dimuat dalam Bab XX buku II, Pasal 351 s.d. 358 KUHP.
b. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Pasal 359
kematian karena lalai dan 360 Bab XXI KUHP yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka.
Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja penganiayaan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yakni:
a. Penganiayaan biasa
Pemberian kualifikasi sebagai penganiayaan biasa gewone mishandeling yang dapat disebut juga dengan penganiayaan bentuk pokok atau bentuk standart
terhadap ketentuan Pasal 351 sungguh tepat, setidak-tidaknya membedakan dengan bentuk bentuk penganiayaan lainnya.
Dilihat dari sudut cara pembentuk Undang-undang dalam merumuskan penganiayaan, kejahatan ini mempunyai suatu keistimewaan. Jika dalam rumusan
kejahatan-kejahatan lain, pembentuk undang-undang dalam membuat rumusannya dengan menyebut unsur tingkah laku dan unsur-unsur lainnya seperti unsur
kesalahan, melawan hukum atau unsur mengenai obyeknya, mengenai cara melakukannya dan sebagainya, namun dalam kejahatan penganiayaan Pasal 351
ayat 1 ini dirumuskan dengan singkat, yaitu dengan menyebutkan kualifikasinya sebagai penganiayaan. Pasal 351 merumuskan sebagai berikut:
1 Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4500,-. 2
Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
3 Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dihukum penjara
selama-lamanya tujuh tahun.
4 Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan
sengaja. 5
Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dihukum. Kejahatan penganiayaan yang dirumuskan pada ayat 1 hanya memuat kualifikasi
kejahatan dan ancaman pidananya saja, maka dari rumusan itu saja tidak dapat dirinci unsur-unsurnya, yang oleh karena itu juga sekaligus tidak diketahui dengan
jelas tentang pengertiannya.
13
b. Penganiayaan ringan
Kejahatan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan ringan lichte mishandeling oleh undang-undang ialah penganiayaan yang dimuat dalam Pasal
352, yang rumusannya sebagai berikut: 1
– kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda
paling banyak Rp 4.500,- – Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu
terhadap orang yang bekerja kepadanya atau menjadi bawahannya. 2
Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
14
c. Penganiayaan berencana
Pasal 353 mengenai penganiayaan berencana merumuskan sebagai berikut: 1
Penganiayaan dengan rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun;
13
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 8-9.
14
Ibid., hal. 22
2 Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah
dipidana dengan penjara paling lama 7 tahun; 3
Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Kejahatan yang dirumuskan Pasal 353 dalam praktik hukum diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berencana, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan
terlebih dahulu sebelum dilakukan. Direncanakan terlebih dahulu adalah bentuk khusus dari kesengajaan dan merupakan alasan pemberat pidana pada
penganiayaan yang bersifat subjektif.
15
d. Penganiayaan berat
Penganiayaan yang oleh undang-undang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam Pasal 354 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1 Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun;
2 Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 tahun. Perbuatan melukai berat zwar lichamelijk letsel toebrengt atau dapat disebut
juga menjadikan luka berat pada tubuh orang lain, haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan disini haruslah diartikan secara luas, artinya termasuk dalam
ketiga bentuk kesengajaan. Pandangan ini didasarkan pada keterangan yang menyatakan bahwa apabila dalam rumusan tindak pidana dirumuskan unsur
kesengajaan, maka kesengajaan itu harus diartikan ketiga bentuk kesengajaan.
16
15
Ibid., hal. 26-27
16
Ibid., hal. 31-32
e. Penganiayaan berat berencana
Penganiayaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355, yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1 Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun; 2
Jika perbuatan itu menimbulkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Dipandang dari sudut untuk terjadinya penganiayaan berat berencana ini, maka kejahatan ini adalah berupa bentuk gabungan antara penganiayaan berat Pasal
354 ayat 1 dengan penganiayaan berencana Pasal 353 ayat 1, dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana. Kedua
bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentakbersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat
maupun unsur penganiayaan berencana
17
Arrest lainnya memberikan penafsiran secara sempurna seperti arrest Hoge Raad tanggal 10-2-1902 yang menyatakan bahwa “jika menimbulkan luka atau sakit
pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai .
Pengertian penganiayaan yang dianut dalam doktrin tampak dalam arrest Hoge Raad tanggal 25-6-1894 yang menyatakan penganiayaan adalah “dengan sengaja
menimbulkan rasa sakit atau luka. Kesengajaan ini harus dicantumkan dalam surat tuduhan. Berdasarkan pengertian doktrin tersebut, maka perbuatan seperti seorang
guru atau orang tua yang memukul anak adalah termasuk juga pada pengertian penganiayaan.
17
Ibid., hal. 35.
suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya, dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak.
Arrest lainnya tanggal 20-4-1925 menyatakan bahwa “dengan sengaja melukai tubuh orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan, jika maksudnya untuk
mencapai suatu tujuan lain, dan di dalam menggunakan akal itu tidak sadar bahwa ia melewati batas-batas yang wajar”.
3. Pengertian Visum et Repertum
Visum et Repertum sebenarnya bukanlah istilah hukum melainkan istilah dari Ilmu Kedokteran. Dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara juga tidak ditemukan istilah Visum et Repertum, tetapi yang dapat ditemukan adalah keterangan ahli yang dinyatakan dalam persidangan
dalam bentuk baik tulisan maupun dalam bentuk lisan yang disampaikan langsung di persidangan.
Visum et Repertum pertama kali diatur dalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 Pasal 1 dan Pasal 2 yang menyatakan bahwa Visum et Repertum adalah suatu
keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam
perkara-perkara pidana
18
18
Abdul Mun’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Pamulang; Binarupa Aksara, Hal. 11.
. Tercatat pula bahwa peraturan Visum et Repertum di Indonesia pernah diatur dalam Fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarat
Kementrian Kesehatan Publik Indonesia nomor 4 Tahun 1955 tertanggal 13 September 1955 yang mengatur perilah “Bedah Mayat” dengan 2 dua ketentuan
yaitu:
a. Bedah mayat itu bolehmubah hukumnya untuk kepentiangan ilmu
pengetahuan, pendidikan dokter, dan penegak keadilan diantara umat manusia;
b. Membatasi kemubahan ini sekedar darurat saja menurut kadar yang tidak
boleh tidak harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
19
Istilah Visum et Repertum itu sendiri berasal dari bahasa latin yaitu Visum = Something seen, appearance sesuatu yang dapat dilihat et = and dan,
Repertum = invention, find out ditemukan. Jika didefenisikan secara letterlijk lurus, Visum et Repertum berarti “Apa yang dilihat dan ditemukan”.
20
4. Victimologi
Visum et Repertum sebagaimana halnya surat-surat resmi yang dipakai untuk perkara-perkara di pengadilan harus memenuhi ketentuan yang berlaku, dalam hal
ini : Ordonansi Materai 1921 Pasal 23 jo Pasal 31 ayat 2 sub 27, dimana sebagai pengganti materai maka dalam Visum et Repertum dicantumkan kalimat “Pro
Justitia”.
Dikaji dari perspektif teoritis dan normatif terminologi “korban” kejahatan dikenal dalam berbagai dimensi. Ketentuan angka 1 “Declaration of basic
principles of justice for victims of crime and abuse of power” tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan Bangsa Bangsa PBB sesuai Deklarasi Nomor
ARes4034 Tahun 1985 mengklasifikasikan korban menjadi dua yaitu korban kejahatan dan korban akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. Eksplisit Deklarasi
Nomor ARes4034 Tahun 1985 menentukan, bahwa Korban Kejahatan sebagai :
19
R. Soepomo, keterangan Ahli Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Bandung; Mandar Maju, 2002, hal. 97.
20
Ibid., hal 98.
“Korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian baik kerugian fisik maupun mental, penderitaan emosional,
kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-hak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan-
peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos yang
berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat
penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial
21
G. Metode Penelitian
. Viktimologi mencoba memberi pemahaman, mencerahkan permasalahan
kejahatan dengan mempelajari para korban kejahatan, proses viktimisasi dan akibat-akibatnya dalam rangka menciptakan kebijaksanaan dan tindakan
pencegahan dan menekan kejahatan secara lebih bertanggung jawab.
Metode penelitian dalam usaha pengumpulan data atau bahan merupakan suatu syarat yang penting dalam suatu penelitian ilmiah. Untuk melengkapi penulisan
hukum ini agar tujuannya lebih terarah, maka metode penulisan yang digunakan, antara lain:
1. Jenis Penelitian
Penulisan hukum ini agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan maka diperlukan metode penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah
21
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta; Graha Ilmu, 2010, Hal. 43.
penelitian yuridis-normatif, yakni dengan melakukan kajian terhadap bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder
22
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa permasalahan yang dibahas dalam penulisan hukum ini. Kecuali, itu juga diadakan pemeriksaan
yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dari gejala yang
bersangkutan. . Dalam penelitian yuridis-
normatif, penelitian dapat menelusuri explanatoris konsep-konsep yang pernah ada dalam sejarah hukum. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, penelitian ini
menggunakan data sekunder, data yang diperoleh dari buku-buku, artikel-artikel, jurnal, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian.
23
2. Sifat Penelitian
Dilihat dari sifatnya, maka penelitian dalam penulisan hukum ini bersifat penelitian deskriptif. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya
24
. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran
atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
25
Ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta waktu dan tempat penelitian dilakukan, metode penelitian
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta; UI-Press, 2008, Hal., Hal.53
23
Ibid., hal. 43.
24
Ibid., hal. 10.
25
Metodologi Penelitian, sebagaimana dimuat dalam addhintheas.blogspot.in201304metode- penelitian-deskriptif.html?m=1, diakses pada tanggal 17 April 2015 pukul 14.54 WIB.
deskriptif dalam Penulisan hukum ini menggunakan jenis penelitian studi kasus. Studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenan
dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Tujuan dari studi kasus ini adalah memberikan gambaran secara mendetail latar belakang,
sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus. Studi kasus mempunyai keunggulan sebagai suatu studi untuk mendukung studi-studi yang besar di
kemudian hari dan dapat memberikan hipotesis-hipotesis untuk penelitian lanjutan.
26
3. Sumber Data
Penelitian pada umumnya mengenal tiga jenis alat pengumpulan data yaitu wawancara atau interview, studi dokumen atau bahan pustaka, dan pengamatan.
Sumber data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sumber data sekunder yang putusan dari Pengadilan Tinggi dengan nomor register
10Pid2014PT-MDN. Selain itu dalam penulisan hukum ini menggunakan data sekunder yang berupa:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang
merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan hukum ini. Seperti beberapa peraturan perundang-undangan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang, yang
memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku dan pendapat para ahli hukum.
4. Teknik Pengumpulan data
26
Ibid.
Teknik pengumulan data dengan penelitian kepustakaan Library research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau yang disebut
dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan hukum ini antara lain dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun perpustakaan,
artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.
5. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah menggunakan deskriptif analitis yaitu data yang diperoleh kemudian disusun
secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Analisa kualitatif adalah menganalisa
secara lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalah dalam Penulisan hukum ini.
BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR
VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG
A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
Visum et Repertum dapat disebut sebagai keterangan tertulis, yaitu keterangan yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah.
27
a. Visum et Repertum yang dibuat lengkap sekaligus atau difinitif.
Dilihat menurut sifatnya, Visum et Repertum dibagi dalam 3 tiga macam:
b. Visum et Repertum sementara. Misalnya visum yang dibuat bagi korban
yang sementara dirawat dirumah sakit akibat luka-lukanya karena penganiayaan.
c. Visum et Repertum lanjutan. Misalnya visum bagi korban yang luka
tersebut Visum et Repertum sementara kemudian lalu meninggal dirumah sakit ataupun akibat luka-lukanya tersebut korban kemudian dipindahkan
ke rumah sakit dokter lain, melarikan diri, pulang dengan paksa atau meninggal dunia.
28
Pemakaian istilah Visum et Repertum kadang berlainan, namun maksudnya dapat dipahami. R. Soeparmono menjelaskan: seperti Visum et Repertum bagi korban
hidup, yang terjadi oleh karena atau diakibatkan benda tumpul, benda tajam, bahan kimia atau racun, obat pembasmi cair basah atau kering, tembakan senjata
api dari jarak jauh atau dekat, tenggelam, mencoba bunuh diri atau sebagainya, sehingga perlu diobati ataupun dirawat nginap di rumah sakit. Kemudian dalam
27
Sofwan Dahlan, Ilmu Kedokteran Forensik dan Hukum Kesehatan, Semarang; Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro,1993, hal. 15.
28
R. Soepomo, Op.Cit., hal. 99.
hal dibuatkan Visum et Repertum akhir dari suatu hal atau peristiwa dan itu hanya boleh dibuat dokter atau dokter ahli yang mengibati atau menangani semula.
29
Visum et Repertum mempunyai kekuatan pembuktian dalam suatu perkara pidana. R. Atang Ranoemihardja
30
R. Atang Ranoemihardja menjelaskan kekuatan Visum et Repertum dalam
pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Staatsblad 1937 nomor 350 bahwa Visum et Repertum mempunyai daya bukti, sebab yang dimuat dalam
pembuktiannya merupakan kesaksian, karena ia memuat segala sesuatu hal yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan, jadi sama halnya
dengan seseorang yang melihat dan merasakan sendiri, misalnya suatu kecelakaan di tempat peristiwa itu terjadi. Sedangkan kesimpulan Visum et Repertum dibuat
untuk memudahkan bagi jaksa dan hakim, dengan catatan bahwa apabila kesimpulan itu logis maka dapat diterima, sebaliknya bila dianggap tidak logis,
jaksa atau hakim mengambil langkah-langkah lain.
31
a. Pembunuhan dengan sengaja doodslag termasuk pembunuhan anak
dengan sengaja kinderdoodslag yaitu Pasal 338, 339, 341, dan pengguguran kandungan abortus provocatus criminalis yaitu Pasal 347
dan 348 KUHP mengungkapkan beberapa tindak pidana perkara
pidana yang diperkirakan memerlukan adanya Visum et Repertum yaitu:
b. Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu met voorbedachte rade
moord termasuk di dalamnya pembunuhan anak dengan direncanakan kindermoord dan bunuh diri zelf moord Pasal 340, 342, 345 KUHP
29
Ibid.
30
R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman Forensic Science, Bandung; Tarsito, 1991, hal. 25.
31
Ibid., hal. 35.
c. Penganiayaan mishandeling termasuk didalamnya penganiayaan ringan
lichte mishandeling dan penganiayaan berat zware mishandeling yaitu Pasal 351, 352, 353, 355, 356, 358 KUHP
d. Percobaan poging terhadap delik-delik yang tersebut dalam sub a
e. Percobaan poging terhadap delik-delik yang tersebut dalam sub b
f. Makar mati aanslag met het oogmerk : aan het leven te beroven yaitu
Pasal 104 KUHP g.
Kematian karena culpa veroorzaken van den dood door schuld yaitu Pasal 359 KUHP
h. Luka karena culpa veroorzaken van lichamelijk letsel door schuld yaitu
Pasal 360 KUHP i.
Pemerkosaan verkrachting yaitu Pasal 285, 286, 287, 288 KUHP j.
Perjinahan overspel termasuk didalamnya perbuatan cabul ontuchtige handeling dan homosexual yaitu Pasal 284, 289, 290, 294 KUHP.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
Semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang mencabut HIR jo Undang-
undang Nomor 1Drt tahun 1951 jo Ketentuan perihal macam-macam alat bukti yang sah tentang pembuktian dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan
menjadi lebih lengkap, yaitu dengan dimasukkannya secara tegas alat bukti keterangan ahli di dalam Pasal 184 ayat 1 huruf b KUHAP.
Dasar-dasar hukum tentang peranan keterangan ahli pakar itu bagi kelengkapan alat bukti dalam berkas perkara Pro Yustisia dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, amat membantu dalam usaha menambah keyakinan Hakim dalam hal pengambilan keputusan.
Pemeriksaan oleh Hakim di persidangan, suatu berkas pidana, apakah ada atau tidak ada Visum et Repertum, maka perkara yang bersangkutan tetap harus periksa
dan diputus. Kelengkapan Visum et Repertum dalam berkas perkara terdakwa yang diperiksa oleh Hakim, diserahkan kepada Penuntut Umum yang mulai
diserahkan kepadanya berkas perkara Pro Yustia tersebut oleh Penyidik Penuntut Umum memang berusaha untuk membuktikannya dalam sidang agar Majelis
Hakim yakin perihal terbuktinya kesalahan terdakwa tersebut. Beberapa kasus yang diperiksa di pengadilan, Majelis Hakim sendiri tidak mutlah
harus mendasarkan diri pada Visum et Repertum. Kekuatan pembuktian dari Visum et Repertum diserahkan saja pada penilaian Hakim Majelis Hakim.
Penuntut Umum berusaha membuktikan kesalahan Terdakwa dipersidangan, maka dari itu, berarti beban pembuktian bagi perkara pidana ada pada Penuntut
Umum, dalam usaha mencari kebenaran materil, dan Hakim tetap dibatasi pada alat-alat bukti yang diajukan olehnya. Seumpamanya Penuntut Umum tidak
bersedia menambah alat bukti yang hanya minimum, maka Hakim tidak dapat mencari sendiri alat buktu tambahan, sedangkan terdakwa mungkin.
Terdakwa apabila dalam BAP penyidik disitu mengaku, maka BAP Penyidik merupakan surat, yang dapat dipergunakan untuk alat bukti Petunjuk.
32
Hal tersebut diatas sesuai dengan asas Praduga Tidak Bersalah menurut azas hukumAcara Pidana, yaitu bahwa seorang terdakwa pada azasnya harus dianggap
tidak bersalah, sebelum kesalahan tersebut dinyatakan terbukti oleh suatu putusan
32
R. Suparmono,Op. Cit., hal. 131.
Hakim serta telah mempunyai kekuatan hukumyang tetap. Karena itu KUHAP menentukan dalam Pasal 66 KUHAP: Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian. Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa yang diperlukan oleh Hakim dalam
menjatuhkan pidana kepada seseorang adalah: a.
Adanya dua alat bukti yang sah sekurang-kurangnya; b.
Kenyakinan; c.
Bahwa tindak pidana itu benar terjadi; d.
Bahwa terdakwalah yang bersalah berbuat Penjelasan Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa ketentuan tersebut adalah untuk
menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukumbagi seseorang. Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan Hakim cukup didukung satu alat bukti
yang sah. Alat bukti dalam persidangan yang ada dalam suatu berkas perkara dengan hasil-
hasil pemeriksaan yang ada dalam berkas itu, Hakim akan memeriksa, menilai, dan menentukan alat bukti yang ada, apakah dari alat bukti yang ada itu dalam
pemeriksaan di persidangan mempunyai kekuatan pembuktian berdaarkan batas minimum pembuktian seperti ditentukan Pasal 183 KUHAP dan bukan untuk
mencari alat bukti. Didalam dunia ilmu Pasal 183 KUHAP ini dikenal dengan sistemstelsel Negative Wettelijk dalam hukum pembuktian pada acara pidana.
Teori Negative Wettelijk tentang pembuktian menentukan syarat alat bukti, disertai adanya keyakinan yang diperoleh Hakim sebagai undur-unsur yang
memegang peranan penting.
Menurut sistem KUHAP, ketentuan-ketentuan Undang-undang tidak boleh dilanggar, artinya Hakim tidak boleh dan dilarang “melanggar batas minimum
pembuktian” dan Hakim wajib mengikuti dan menaati Pasal 183 jo. Pasal 184 KUHAP.
Contohnya Pasal 185 ayat 2 KUHAP yang menentukan, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya. Hak ini dikenal dengan istilah Unus Testis Nullus Testis seorang saksi bukan saksi.
Pasal 183 KUHAP diperlukan untuk mencapai batas minimum pembuktian guna menentukan terbuktinya kesalahan terdakwa; hal ini untuk menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang Hakim wajib memegang teguh hal tersebut dan dilarang untuk dilanggar.
Dalam KUHAP, Visum et Repertum diatur dalam beberapa Pasal, yaitu: Pasal 120 ayat 1 berbunyi:
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Pasal 133 ayat 1 berbunyi:
Dalam hal penyelidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban, baik luka, keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Ayat 2 berbunyi:
Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat danatau pemeriksaan bedah mayat. Pasal 134 ayat 1 berbunyi:
Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebuh dahulu
kepada keluarga korban. Ayat 2 berbunyi:
Dalam hal keluarga korban tidak keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut. Pasal 135 berbunyi:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat
2 dan Pasal 134 ayat 1 undang-undang ini.
BAB III KEGUNAAN
VISUM ET REPERTUM DALAM MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN
SESEORANG A.
Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti
1. Pengertian Alat Bukti
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubumgannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tundak pidana yang telah dilakukan terdakwa.
33
1 Alat bukti yang sah adalah:
Alat bukti menurut KUHAP adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP yang terdiri dari :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Susunan alat bukti dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP diatas menurut Andi Hamzah
34
33
Hari Sasangka, Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung; CV Mandar Maju, 2003, hal. 11.
34
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika, 2001, hal. 255.
bila dibandingkan dengan Het Herziene Inlands Reglement HIR, diterjemahkan dengan Reglemen Indonesia Baru disingkat RIB yakni hukum
acara pidana yang berlaku sebelum KUHAP, maka ada penambahan alat bukti baru yaitu keterangan ahli.
Alat bukti keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP dijelaskan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya dalam Pasal 186 KUHAP
dinyatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Alat bukti keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP dijelaskan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan ini.
Oleh karena itu dalam Pasal 185 ayat 5 KUHAP ditegaskan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja nukan
merupakan keterangan saksi. Dipertegas dalam penjelasan Pasal 185 ayat 1 KUHAP bahwa dalam keterangan saksi tidak termaksud keterangan yang
diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.
35
Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 KUHAP, baik surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, sebagaimana diatur dalam
Pasal 187 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. kaitannya dengan kekuatan pembuktian dari surat sebagai alat bukti dalam perkara pidana, Andi Hamzah
berpendapat bahwa hanya akte surat otentik yang dapat dipertimbangkan, sedangkan surat dibawah tangan seperti dalam hukum perdata tidak dipakai lagi
dalam hukum acara pidana
36
35
Ibid.,hal. 260.
36
Ibid, hal. 271.
. Akan tetapi dijelaskan lebih lanjut oleh Andi Hamzah bahwa selaras dengan ketentuan Pasal 187 huruf d, maka surat dibawah
tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Contoh keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia saksi
telah menyerahkan uang kepada terdakwa.
37
Ada kalanya sulit dibedakan antara akte dan surat biasa. Di dalam hal ini Hari Sasangka dan Lily Rosita
38
Petunjuk sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 KUHAP. Dijelaskan dalam Pasal 188
ayat 1 KUHAP bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak
pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat 1 KUHAP selanjutnya diatur dalam Pasal 188 ayat 2 KUHAP diperoleh
dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu Wirjono Prodjodikoro dalam Martiman Prodjohamidjojo memberi sindiran pendapatnya
tentang petunjuk ini dengan menyatakan bahwa apa yang disebut petunjuk sebenarnya bukan alat bukti melainkan kesimpulan belaka yang diambil dengan
menjelaskan bahwa : Surat biasa dibuat tanpa maksud dijadikan alat bukti. Jika dikemudian hari
menjadi alat bukti, hak itu merupakan suatu kebetulan saja. Dalam hukum pembuktian sutrat biasa mempunyai nilai pembuktian sebagai alat bukti bebas.
Kecuali ditentukan dalam Pasal 1881 dan Pasal 1883 KUHPerdata. Dalam praktek surat semacam ini sering digunakan untuk menyusun prasangkaan. Sedangkan
akte berbeda dengan surat biasa. Sebuah akte memang sengaja dibuat dengan tujuan sebagai alat bukti.
37
Ibid.
38
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.Cit., Hal. 68.
menggunakan alat-alat bukti sah yang lain, yaitu keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa
39
Proses penegakan hukum dan keadilan itu merupakan usaha ilmiah, dapat dilihat pada Pasal-Pasal yang tercantum di dalam KUHAP, dimana terdapat dalam
bentuk: keterangan ahli, pendapat orang lain, ahli kedokteran kehakiman, dokter, dan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya KUHAP Pasal 187 butir c.
. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 189 ayat
1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 KUHAP. Dijelaskan dalam Pasal 129 ayat 1 KUHAP bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Apabila keterangan terdakwa itu diberikan di luar sidang menurut Pasal 189 ayat
2 KUHAP dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya, akan tetapi di dalam Pasal 189 ayat 3 KUHAP ditegaskan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat digunakan
terhadap dirinya sendiri.
40
2. Visum et Repertum sebagai Alat Bukti
Visum et Repertum yang merupakan surat keterangan dari seorang ahli dokter, termasuk alat bukti surat, sedangkan alat bukti keterangan ahli, ialah apa yang ahli
nyatakan di sidang pengadilan, yang dapat juga sudah diberikan pada waktu
39
Martiman Prodjohamidjojo,Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Bandung; CV Mandar Maju, 2001, Hal. 129.
40
Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik bagi praktisi hukum, Op.Ci,t, Hal. 9.
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima
jabatan atau pekerjaan. Surat sebagaimana disebutkan pada Pasal 184 ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a.
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b. Surat yang dimuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi
pembuktian suatu hal atau sesuatu keadaan; c.
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi daripadanya; d.
Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain Pasal 187 KUHAP
41
Aktivitas seorang dokter ahli sebagaimana disebutkan diatas, dilaksanakan berdasarkan permintaan dari pihak yang berkompeten dengan masalah tersebut.
Visum et Repertum merupakan surat yang dibuat atas sumpah jabatan, yaitu jabatan sebagai dokter, sehingga surat tersebut memiliki keotentikkan.
41
Waluyadi, Op.Cit, hal. 36.
Proses selanjutnya, Visum et Repertum dapat menjadi alat bukti petunjuk, didasarkan oleh karena petunjuk sebagaimana yang diatur dalam Pasal 188 ayat
1 KUHAP hanya dapat diperoleh dari: a.
Keterangan saksi; b.
Surat; c.
Keterangan terdakwa. Kita berkeyakinan bahwa pada proses awalnya Visum et Repertum yang
selanjutnya disebut sebagai alat bukti surat yang untuk memperoleh Visum tersebut berasal dari kesaksian dokter terhadap seorang dengan membaca apa
yang dilihatnya, apa yang didengarnya, dan apa yang ditemukannya, menunjukkan bahwa tersisip didalamnya alat bukti keterangan saksi. Dari
pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan: a.
Untuk adanya Visum et Repertum harus ada terlebih dahulu keterangan saksi;
b. Alat bukti surat sesungguhnya merupakan penjabaran dari Visum et
Repertum c.
Dari alat bukti surat tersebut, dapat diperoleh alat bukti baru, yaitu petunjuk. Dengan demikian, antara keterangan saksi, Visum et Repertum,
alat bukti surat dan petunjuk, merupakan empat serangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
42
Untuk lebih jelas tentang uraian diatas, penulis membuat skema seorang dokter sebagai pembuat Visum et Repertum dan seorang dokter yang menjadi saksi ahli
keterangan ahli dalam membantu tegaknya suatu keadilan.
42
Ibid, hal. 38.
Sekamanya sebagai berikut: Permintaan Visum et Repertum
Membalas Visum et Repertum mengirim ke dokter memeriksa
pengiriman berkas dan VeR melengkapi berkas serta VeR keputusan
keterangan: Polisi sebagai penyidik untuk keperluan penyidikan berdasarkan wewenangnya
mengirim korban dalam hal ini pembunuhan kepada dokter forensik untuk meminta Visum et Repertum sebagai pengganti alat bukti, kemudian dokter
forensik memeriksa korban pembunuhan dan dari hasil pemeriksaannya dibuat dalam bentuk Visum et Repertum selanjutnya hasil Visum tersebut diserahkan
kepada penyidik untuk pemeriksaan pendahuluan. Selanjutnya hasil Visum et Repertum diserahkan kepada jaksa untuk proses penyidangan sebagai alat bukti
surat. Dalam persidangan, apabila visum masih belum dapat menjelaskan dengan baik, maka hakim dapat memanggil dokter ahli forensik untuk hadir di
persidangan sebagai saksi ahli. Dasar-dasar hukum tentang peranan keterangan ahli itu bagi kelengkapan alat
bukti dalam berkas perkara Pro Yustisia dan pemeriksaan di sidang pengadilan, amat membantu dalam usaha untuk menambah keyakinan Hakim dalam
mengambil keputusan. Penyidik
POLRI Dokter
Kehakiman
Jaksa Penuntut
Umum Hakim
Pengadilan Korban
Penganiayaan yang mengakibatkan
kematian
Beberapa kasus yang diperiksa, Majelis Hakim tidak mutlak harus mendasarkan diri pada Visum et Repertum. Bismar Siregar, S.H menuturkan bahwa adanya
Visum et Repertum dari dokter, hendaklah jangan sampai menghambat proses persidangan. Visum et Repertum sebagai alat bukti tidak mengikat hakim. Jika
kalau visum belum ada, jangan sampai menghambat sidang. Visum hanyalah alat bukti tambahan
43
a. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah;
. Oleh karena Penuntut Umum berusaha membuktikan kesalahan Terdakwa
dipersidangan, maka beban pembuktian bagi perkara pidana terdapat pada Penuntut Umum dan KUHAP menentukan dalam Pasal 66: tersangka atau
terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, dalam usaha mencari kebenaran materil, dan Hakim tetap dibatasi pada alat-alat bukti yang diajukan olehnya.
Pasal 183 KUHAP menentukan bahwa yang diperlukan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seorang adalah:
b. Keyakinan;
c. Bahwa tindak pidana itu benar terjadi;
d. Bahwa terdakwalah yang berbuat.
Waluyadi
44
a. memaparkan bahwa dalam teori pembuktian dikenal beberapa sistem
yaitu: Sistem pembuktian positif
43
Ibid, Hal 42.
44
Ibid, hal. 39-42.
; yaitu sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada alat-alat bukti semata, akan mengesampingkan tugas
hakim dalam kaitan dengan upaya menciptakan hukum. Bahkan lebih dari itu, kebenaran dari putusannya pun terdapat peluang untuk tidak sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya. Sebab, dapat saja barang bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan merupakan hasil rekayasa. Tentunya
tetap berpedoman pada asas praduga tak bersalah dengan sifat kemanusiaannya, dokterpun dapat saja memberikan hasil Visum et
Repertum yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi sesungguhnya. Yang demikian itu dapat saja terjadi.
b. Sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada keyakinan hakim
c. ; juga
dirasakan kurang mendukung adanya usaha untuk memperoleh kebenaran materil. Yaitu kebenaran yang selengkap-lengapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu
tindakan pidana telah dilakukan dan siapakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada pertimbangan hakim yang logis
d. ; masih dianggap kurang sesuai dengan pencapaian sebuah kebenaran
materiil hukum. Sebab disamping sistem ini telah meniadakan peranan alat bukti, juga kiranya perlu diingat bahwa pertimbangan yang logis manusia
akan sangat terbatas dalam kaitannya dengan pencapaian sebuah kebenaran.
Sistem pembuktian negatif, yaitu sistem pembuktian yang didasarkan pada keyakinan hakim dan didasarkan pada alat-alat bukti yang dibenarkan oleh
undang-undang. Sungguh pun demikian sistem pembuktian negatif ini,
juga tidak tertutup kemungkinan di dalamnya terdapat logika hakim dan subjektivitas hakim. Akan tetapi setidaknya logika dan subjektivitas hakim
tersebut masih dalam kerangka undang-undang. Artinya, undang-undang akan membatasi pemakaian logika hakim dan kesubjektivitasan hakim
dalam kaitannya dengan keputusan yang hendak diambilnya.
B. Untuk Menentukan Faktor Penyebab dari Tindak Pidana Penganiayaan
yang Mengakibatkan Kematian ataukah Pembunuhan
1. Tindak Pidana Penganiayaan
Tindak pidana penganiayaan di dalam KUHP dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut:
a Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP
b Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP
c Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP
d Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 354 KUHP
e Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 355 KUHP
f Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur
dalam Pasal 356 KUHP. Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap
tubuh. Namun, KUHP sendiri tidak memuat arti dari penganiayaan itu sendiri. Meskipun pengertian penganiayaan tidak termuat dalam KUHP, kita dapat
melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat para sarjana. Menurut M.H. Tirtaamidjaja, Pengertian penganiayaan adalah “Menganiaya ialah
dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dianggap
sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan”
45
a. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa
sakitpenderitaan pada tubuh orang lain; .
Menurut penjelasan Menteri Kehakiman Belanda pada saat merancang pembentukan Pasal 351 KUHP, terdapat dua rumusan yakni:
b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan
tubuh orang lain. DoktrinIlmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukkan dari
Pasal yang bersangkutan sebagaimana yang diterangkan diatas, penganiayaan diartikan sebagai perbuataan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan
rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan yang dengan sengaja
menimbulkan rasa sakit atau luka merupakan sebuah penganiayaan dan pelakunya diancam dengan pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai
cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka terhadap tubuh yang terhadap pelakunya semestinya tidak diancam pidana.
Sebagai contoh dapat kita temukan: a.
Orang tua memukul anaknya karena anak tersebut nakal; b.
Seorang dokter yang melukai tubuh pasien dalam rangka operasi untuk menyembuhkan penyakit.
Disadarinya atau sengaja bahwa dari perbuatan yang sengaja dilakukan, menimbulkan rasa sakit ataupun luka, tetapi bila bukan itu yang menjadi
45
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta; Sinar Grafika, 1999, hal. 5.
tujuannya melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka disini tidak ada penganiayaan. Dengan demikian pada perbuatan yang
mengandung tujuan lain yang patut itu menjadi kehilangan sifat terlarangnya melawan hukum, dan karenanya tidak dipidana.
46
2. Unsur-Unsur Penganiayaan
Orang tua yang memukul anak adalah melaksanakan kewajibannya untuk mendidik anak. Perbuatan dokter melukai pasien dalam rangka operasi, adalah
dalam rangka melaksanaka fungsi dan jabatannya sebagai dokter yang mana fungsi dan jabatannya sebelumnya telah mendapatkan pengesahanizin dari
pemerintah. Keadaan-keadaan inilah yang merupakan syarat menghapuskan sifat melawan
hukumnya perbuatan yang digunakan sebagai alasanpenyebab dari tidak dipidananya orang tua maupun dokter yang melakukan perbuatan tersebut.
Berdasarkan pengertian tindak pidana penganiayaan diatas, maka dirumuskan unsur-unsur penganiayaan sebagai berikut:
a Adanya kesengajaan;
b Adanya perbuatan;
c Adanya akibat perbuatan yang dituju
1 rasa sakit pada tubuh, dan atau
2 luka pada tubuh
d akibat mana menjadi tujuan satu-satunya.
47
46
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh Nyawa, Op.Cit.,hal. 14.
47
Unsur a dan d adalah berupa unsur subjekif kesalahan, unsur b dan c merupakan unsur obyektif. Lihat Adami Chazawi,S.H., Kejahatan Terhadap Tubuh Nyawa, hal 12.
kesengajaan disini berupa sebagai maksud atau opzet als oogmerk, disamping harus ditunjukkan pada perbuatannya, juga harus ditujukan pada akibatnya. Sifat
kesengajaan demikian lebih nyata lagi pada Pasal 351 ayat 4. Secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan
dengan kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai
kemungkinan.
48
Kenyataan bahwa orang telah melakukan tindak pidana yang besar kemungkinan dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu
penganiayaan. Tidak menjadi soal bahwa dalam kasus ini opzet pelaku telah tidak ditujukan untuk menimbulkan perasaaan sangat sakit seperti itu melainkan telah
ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri dari penangkapan oleh seorang pegawai polisi.
Hal tersebut pernah dilakukan Hooge Raad dalam Arrestnya tanggal 15 Januari 1934, yang menyatakan:
49
48
Tongat,Hukum Pidana Materil, Jakarta; Djambatan, 2003, hal. 73.
49
Ibid., hal 74.
Unsur perbuatan, yang dimaksud perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan itu haruslah merupakan aktifitas atau
kegiatan dari manusia dengan menggunakan sebagian anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan
sangatlah bersifat abstrak, karena dengan istilahkata perbuatan saja, maka dalam bentuknya yang konkret tak terbatas wujudnya, yang pada umumnya wujud
perbuatan itu mengandung sifat kekerasan fisik dan harus menimbulkan rasa sakit tubuh atau luka. Artinya penganiayaan itu dapat berupa pemukulan, pencubitan,
mengiris, membacok, dan sebagainya.
Rasa sakit dalam penganiayaan mengandung arti sebagai timbulnya rasa sakit, rasa perih, rasa yang tidak enak, atau penderitaan. Sementara yang dimaksud
dengan luka tidak disebutkan dalam KUHP. KUHP hanya menyebutkan apa yang dimaksud dengan luka berat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 KUHP
tentang macam-macam luka berat yaitu: -
jatuh sakit atau mendapatkan luka yang tidak dapat diharapkan akan segera sembuh secara sempurna, atau yang menimbulkan bahaya maut;
- untuk selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
yang merupakan mata pencaharian; -
kehilangan salah satu pancaindera; -
mendapat cacat berat; -
menderita sakit lumpuh -
terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu -
gugurnya atau terbunuhnya kandungan dari seorang perempuan Dengan memperhatikan rumusan Pasal 90 tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Pasal tersebut tidak memberi rumusan tentang arti luka berat secara umum, atau keadaan-keadaan tertentu pada tubuh manusia yang masuk ke dalam macam luka
berat. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa luka yang mempunyai arti terdapatnya perubahan pada rupa tubuh yang tidak berupa luka-luka berat
sebagaimana tersebut dalam Pasal 90 adalah sebagai luka ringan. Unsur akibat, baik berupa rasa sakit atau luka, dengan unsur perbuatan harus ada
hubungan kausal. Artinya harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku. Tanpa adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan adanya tindak pidana penganiayaan.
Unsur akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan berupa rasa sakit atau luka pada tubuh
itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya si pelaku. Artinya memang pelakulah yang menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka dari perbuatan penganiayaan.
3. Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian
Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah tindak pidana penganiayaan yang mana kematian yang timbul bukanlah merupakan tujuan dari
sipelaku. Tindak pidana ini diatur dalam beberapa Pasal dalam KUHP yaitu: a.
Pasal 351 ayat 3 KUHP yaitu penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian;
b. Pasal 353 ayat 3 KUHP yaitu penganiayaan berencana yang
mengakibatkan kematian; c.
Pasal 354 ayat 2 KUHP yaitu penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian;
d. Pasal 355 ayat 2 KUHP yaitu penganiayaan berat berencana yang
mengakibatkan kematian. 1
a Pasal 351 ayat 3
Unsur-unsur penganiayaan yang mengakibatkan kematian
Jika dilihat unsur-unsur penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 351 ayat 3 KUHP maka kita dapat melihat bahwa unsur-
unsurnya sama dengan penganiayaan dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat 1 KUHP.
Perbedaan yang terletak antara penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian adalah terletak pada akibat yang terjadi. Pada penganiayaan biasa dalam Pasal 351
ayat 1 KUHP yang timbul hanyalah rasa sakit atau luka pada tubuh. Sedangkan penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian dalam Pasak 351 ayat 3 yang
timbul kematian. Namun akibat yang berupa kematian itu bukanlah merupakan akibat yang dituju oleh pelaku.
Meskipun akibat berupa hilangnya nyawa seorang tersebut dalam Pasal 351 ayat 3 KUHP bukan merupakan akibat yang dikehendaki, namun akibat kematian
tersebut harus dapat dibuktikan bahwa akibat kematian itu benar-benar akibat perbuatan si pelaku. Dengan kata lain, antara perbuatan penganiayaan dengan
akibat yang ditimbulkan harus ada hubungan kausal. Dalam hal ini, untuk membuktikan hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan meninggalnya
korban, aparat hukum dapat meminta bantuan kepada orang yang berkompeten, yaitu dokter.
50
b Pasal 353 ayat 3 KUHP
Jika diperhatikan maka penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian seperti yang dimaksud Pasal 353 ayat 3 KUHP adalah penganiayaan yang
menyebabkan kematian seperti yang diatur dalam Pasal 351 ayat 3 KUHP yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu.
Penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian perlu menjadi perhatian bahwa akibat hilangnya nyawa seseorang tidak dikehendaki oleh pelaku. Dalam
hal ini, kesengajaan dan unsur rencana ditujukan terhadap timbulnya rasa sakit pada tubuh, bukan ditujukan kepada hilangnya nyawa seseorang.
50
Ibid. hal 82.
c Pasal 354 ayat 2 KUHP
Jika dilihat unsur-unsur penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 354 ayat 2 KUHP, maka kita dapat melihat bahwa unsur-
unsurnya sama dengan penganiayaan berat dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 354 ayat 1 KUHP. Akan tetapi dalam hal penganiayaan berat
yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, kematiannya bukanlah akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku hanya menghendaki timbulnya luka berat.
d Pasal 355 ayat 2 KUHP
Penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian dalam Pasal 355 ayat 2 KUHP. Faktor pemberat dalam Pasal tersebut adalah dengan timbulnya
kematian. Namun, kematian bukanlah akibat yang dikehendaki sipelaku. Kematian dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan akibat yang tidak dituju
dan tidak direncanakan. 4.
Perbedaan Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian dengan Tindak Pidana Pembunuhan
Untuk mengetahui perbedaan antara Tindak Pidana Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dengan Tindak Pidana Pembunuhan, maka yang perlu
kita perhatikan pada unsur-unsur dari masing-masing tindak pidana tersebut. Adapun yang menjadi unsur penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah:
a. Unsur kesengajaan
b. Unsur perbuatan
c. Unsur akibat perbuatan
d. Unsur akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya.
Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, tujuan si pelaku hanya agar si korban pendapatkan luka atau rasa sakit pada tubuh. Perlu
dicatat, kematian yang timbul disini bukanlah merupakan tujuan pelaku. Namun merupakan akibat lain yang bukan dikehendaki pelaku.
Unsur-unsur dari tindak pidana pembunuhan yang terdapat dalam Pasal 338 KUHP adalah:
a. Unsur subyektif: dengan sengaja.
b. Unsur obyektif: menghilangkan nyawa orang lain;
Menghilangkan nyawa orang lain. Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain harus memenuhi tiga syarat yakni:
a. Adanya wujud perbuatan
b. Adanya suatu kematian orang lain
c. Adanya hubungan sebab dan akibat causal verband antara perbuatan
dengan kematian orang lain
51
Wujud perbuatan diatas tidak menerangkan pada suatu perbuatan tertentu, melainkan bersifat abstrak sehingga wujud perbuatan menghilangkan nyawa cara
merampasnya tidak disebutkan dalam Pasal 338 KUHP dapat berupa bermacam- macam perbuatan seperti memukul, menusuk, membacok, menyembelih,
menembak, menyetrum dengan aliran listrik, menggantung, mencekik, meracun, menenggelamkan, menjatuhkan dari suatu ketinggian, dikurung dengan tidak
diberi makan sampai mati, dan sebagainya. Selain adanya wujud perbuatan, tindak pidana pembunuhan juga mensyaratkan
timbulnya akibat yang berupa hilangnya nyawa orang lain. Artinya pembunuhan
51
Kejahatan Terhadap Nyawa, sebagaimana dimuat dalam www.negarahukum.comkejahatan-
terhadap-nyawa.html , diakses pada tanggal 17 Februari 2015 pukul 20.47 WIB.
itu terjadi setelah nyawa orang lain hilang dan hikangnya nyawa orang lain tersebut adalah tujuan si pelaku.
Pasal 338 ini merupakan tindak pidana materil yang berarti harus terjadi matinya orang lain tersebut, maka timbul masalah waktu antara tindakan itu dengan akibat
matinya orang lain itu. Jawabanya dipecahkan melalui ajaran sebab-akibat. Di tindakan yang melawan hukum itu harus benar-benar dikehendaki sipetindak dan
justru tindakan itulah yang mengakibatkan matinya orang lain itu, bukan tindakan lain.
52
a. Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan matinya
seseorang, tujuan pelaku bukanlah menghilangkan nyawa si korban, sedangkan dalam tindak pidana pembunuhan, tujuan pelaku adalah
menghilangkan nyawa korban. Hal ini dapat dibuktikan dengan niat pelaku untuk membunuh korban.
Dari uraian tersebut dapat ditemukan bahwa perbedaan antara tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dengan tindak pidana pembunuhan
adalah sebagai berikut:
b. Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan matinya
seseorang, antara perbuatan dengan meninggalnya korban mempunyai jangka waktu, artinya korban tidak meninggal seketika perbuatan tersebut
dilakukan, sedangkan dalam tindak pidana pembunuhan, korban mati pada saat itu juga.
C. Kausalitas dari Peristiwa Pidana dengan Meninggalnya Korban