faktadata semacam itu sengaja dikemukakan seakan-akan tidak pernah adaterjadi, padahal tidak lain dari pada suatu khayalan atau suatu perandaian saja.
Contoh, karena C menghina D, lalu D memukul C dan pemukulan itu mengakibatkan matinya C. Pemukulan itu merupakan sebab dari matinya C.
Pihak terdakwa akan menggunakan delik penghinaan C sebagai penyebab dari terjadinya pemukulan dan kemudian sebagai salah satu dasar untuk meniadakan
sifat melawan hukum dari pemukulan tersebut, atau setidak-tidaknya untuk memperingan pertanggungjawaban D. Penuntut umum sebaliknya menyoroti delik
penghinaan tersebut sebagai suatu tindak pidana tersendiri. Selanjutnya penghinaan yang dilakukan oleh si C adalah sebagai motif atau dorongan bagi D
untuk melakukan pemukulan tersebut yang dalam hal ini dinilai sebagai penentuanpembuktian tingkat kesalahan dari D.
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DENGAN ADANYA
VISUM ET REPERTUM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KORBAN AKIBAT MATINYA SESEORANG A.
Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” Inggris atau “politiek” Belanda. Bertolak dari kedia istilah asing ini, maka istilah “kebijakan
hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “kriminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”
61
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu : .
62
61
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:Perkembangan Penyusunan KonsepKUHP Baru ,Op.Cit, hal. 22.
62
Ibid., hal. 1.
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b.
Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dan aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; serta
c. Dalam arti paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen, ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan – badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma – norma
sentral dari masyarakat. Dalam rumusan yang lebih singkat, Sudarto menyatakan bahwa kebijakan atau
politik kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”.
63
Defenisi ini diambil dari defenisi Marc Ancel yang
merumuskan sebagai “the rational organization of the control crime by society”.
64
Bertolak dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels
mengemukakan bahwa “Kriminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”.
65
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum
66
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat. adalah:
b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
63
Ibid., hal. 3
64
Ibid.
65
Ibid.,
66
Ibid., hal. 22.
biasa digunakan untuk mengekspersikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Bertolak dari pengertian demikian, Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau
menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana
mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Usaha dan kebijakan untuk
membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik
hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan
pengertian “penanggulangan kejahatan hukum pidana”. Pada dasarnya kebijakan atau politik kriminal adalah bagian dari kebijakan atau
politik sosial. Kebijakan sosial ini bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare dan melindungi masyarakat social defence. Maka
dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.
Dapat dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik social. Secara skema dapat digambarkan sebagai berikut:
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat, bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:
a. Ada keterpaduan integralitas antara politik kriminal dan politik sosial;
b. Ada keterpaduan integralitas antara upaya penanggulangan kejahatan
dengan “penal” dan “non penal”. Hukum pidana itu bukan saja terdiri dari hukum materil saja, karena disamping
hukum pidana materil tersebut kita mengenal juga siapa yang disebut hukum pidana formal atau biasa disebut sebagai hukum acara pidana, yang di negara kita
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981. Barda Nawawi Arif mengemukakan pola hubungan antara Penal Policy dengan
upaya penanggulangan kejahatan, beliau mengemukakan bahwa, pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus digunakan dengan pendekatan integral dan ada
keseimbangan antara “penal” dan “non penal”.
B. Kebijakan Penal