Kebijakan Nonpenal Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

masyarakat, dan Ganti kerugian. Yang mana elemen tersebut tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus berjalan secara beriringan.

C. Kebijakan Nonpenal

Kebijakan non penal adalah kebijakan yang lebih bersifat tindakan pencegahan terjadinya kejahatan. Dengan demikian sasarannya adalah menangani faktor- faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan faktor kriminogen. Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor–faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non-penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik criminal. Posisi kunci dan strategis dalam rangka menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenai “The Prevention on Crime and the Treatment of Offenders”. Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktoe kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan “penal”. Di sinilah perbatasan jalur “penal” dan oleh karena itu harus ditunjang dengan jalur “nonpenal”. Salah satu jalur “nonpenal” untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti dikemukakan di atas adalah lewat jalur “kebijakan Sosial” yang dalam skema G.P. Hoefnagels dimasukkan dalam jalur “prevention without punishment”. Ruang lingkup “criminal policy”: Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perancangan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting karenan disinyalir dalam berbagai Kongres PBB mengenai the prevention of crime and the treatment of offenders, bahwa pembangun itu bersifat kriminogen apabila pembangunan itu: • Tidak direncanakan secara rasional, atau direncanakan secara timpang, tidak memadai tidak seimbang. • Mengabaikan nilai-nilai kulturan dan moral Criminal policy Prevention without punishment Crim. Law application practical criminology Influencing view of society in crime and punishment mass media Soc. Policy, community planning mental health, nat. mental health soc. Work child welfare, administrative civil Adm. Of crime justice in narrow scene: crim. Legislation, crime. Jurisprudence, crime process in wide sense, Sentencing, forensic psychiatry and psychology, forensic social work, crime sentence executionand policy statistic • Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruhintegral Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapatkan perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat, baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatankesejahteraan keluarga termasuk kesejahteraan anak dan remaja. Penggarapan masalah “mental health”, “national mental health” dan, “child welfare” ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels sebagai salah satu jalur “prevention of crime without punishment” atau jalur nonpenal. Prof. Sudarto pernah juga mengemukakan bahwa kegiatan Karang Taruna, kegiatan pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama merupakan upaya-upaya nonpenal dalam mencegah dan menanggulangu kejahatan. Penggarapan masalah kesehatan jiwa rohani sebagai bagian integral dari strategi penanggulangan kesehatan, juga menjadi pusat perhatian kongres PBB. Dalam pertimbangan resolusi No. 3 Kongres ke-6 Tahun 1980, mengenai “Effective Measure to Prevent Crime” antara lain, dinyatakan: 88 - Bahwa pencegahan kejahatan bergantung pada pribadi manusia itu sendiri - Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada usaha membangkitkan menaikkan semangat atau jiwa manusia dan usaha memperkuat kembali keyakinan akan kemampuannya untuk berbuat baik. Setelah mempertimbangkan hal diatas, Resolusi tersebut kemudian menyatakan: 88 Ibid., hal 45 - meminta sekjen PBB agar memusatkan usaha-usaha pencegahan kejahatan pada usaha memperkuat kembali keyakinan kepercayaan manusia akan kemampuannya untuk mengikuti jalan kebenaran kebaikan. Dari resolusi diatas jelas terlihat betapa penting dan strategisnya peranan pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan manusia untuk mengikuti jalan yang kebenaran dan kebaikan. Dengan pendidikan dan penyuluhan agama yang efektif, tidak hanya diharapkan terbinanya pribadi manusia yang sehat jiwarohaninya tetapi juga terbinanya keluarga yang sehat dan lingkungan sosial yang sehat. Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti semata-mata kesehatan rohanimental tetapi juga kesehatan budaya dan nilai-nilai pandangan hidup masyarakat. Disamping upaya-upaya nonpenan dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat sendiri, dapat pula upaya nonpenal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu misalnya, media persmedia massa, manfaat kemajuan teknologi dan pemanfaatan potensi efek-preventif aparat penegak hukum. Perlunya sarana nonpenal diintensifkan dan diefektifkan, di samping beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas, karena masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal. Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi- hukum dan orevensi-khusus saja, efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya,

D. Kebijakan Hukum Pidana dengan Adanya Visum et Repertum

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

1 112 102

Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

3 51 120

Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Event Organizer Terhadap Tindak Pidana Kelalaian Yang Menyebabkan Meninggalnya Orang Dalam Konser Musik (Studi Putusan NO.713/Pid.B/2008/PN.Bdg)

2 78 95

Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Menggunakan Racun

6 88 85

Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur ( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn )

3 73 99

Peranan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 1243/Pid B/2006/PN-LP)

5 97 118

Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn

0 36 90

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia - Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang

0 0 7

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

0 0 25

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

0 2 11