masyarakat, dan Ganti kerugian. Yang mana elemen tersebut tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus berjalan secara beriringan.
C. Kebijakan Nonpenal
Kebijakan non penal adalah kebijakan yang lebih bersifat tindakan pencegahan terjadinya kejahatan. Dengan demikian sasarannya adalah menangani faktor-
faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan faktor kriminogen. Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat
tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor–faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor
kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuh-suburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non-penal menduduki posisi
kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik criminal. Posisi kunci dan strategis dalam rangka menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang
menimbulkan kejahatan ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenai “The Prevention on Crime and the Treatment of Offenders”.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktoe kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi
semata-mata dengan “penal”. Di sinilah perbatasan jalur “penal” dan oleh karena itu harus ditunjang dengan jalur “nonpenal”. Salah satu jalur “nonpenal” untuk
mengatasi masalah-masalah sosial seperti dikemukakan di atas adalah lewat jalur “kebijakan Sosial” yang dalam skema G.P. Hoefnagels dimasukkan dalam jalur
“prevention without punishment”.
Ruang lingkup “criminal policy”:
Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau
perancangan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan
ini sangat penting karenan disinyalir dalam berbagai Kongres PBB mengenai the prevention of crime and the treatment of offenders, bahwa pembangun itu bersifat
kriminogen apabila pembangunan itu: • Tidak direncanakan secara rasional, atau direncanakan secara timpang,
tidak memadai tidak seimbang. • Mengabaikan nilai-nilai kulturan dan moral
Criminal policy
Prevention without punishment
Crim. Law application practical
criminology Influencing view of
society in crime and punishment mass
media
Soc. Policy, community planning mental health,
nat. mental health soc. Work child welfare,
administrative civil Adm. Of crime justice
in narrow scene: crim. Legislation, crime.
Jurisprudence, crime process in wide sense,
Sentencing, forensic psychiatry and
psychology, forensic social work, crime
sentence executionand policy statistic
• Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruhintegral
Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapatkan perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat, baik secara individual sebagai
anggota masyarakat maupun kesehatankesejahteraan keluarga termasuk kesejahteraan anak dan remaja. Penggarapan masalah “mental health”, “national
mental health” dan, “child welfare” ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels sebagai salah satu jalur “prevention of crime without punishment”
atau jalur nonpenal. Prof. Sudarto pernah juga mengemukakan bahwa kegiatan Karang Taruna, kegiatan pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat
dengan pendidikan agama merupakan upaya-upaya nonpenal dalam mencegah dan menanggulangu kejahatan.
Penggarapan masalah kesehatan jiwa rohani sebagai bagian integral dari strategi penanggulangan kesehatan, juga menjadi pusat perhatian kongres PBB. Dalam
pertimbangan resolusi No. 3 Kongres ke-6 Tahun 1980, mengenai “Effective Measure to Prevent Crime” antara lain, dinyatakan:
88
- Bahwa pencegahan kejahatan bergantung pada pribadi manusia itu sendiri
- Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada usaha
membangkitkan menaikkan semangat atau jiwa manusia dan usaha memperkuat kembali keyakinan akan kemampuannya untuk berbuat baik.
Setelah mempertimbangkan hal diatas, Resolusi tersebut kemudian menyatakan:
88
Ibid., hal 45
- meminta sekjen PBB agar memusatkan usaha-usaha pencegahan kejahatan
pada usaha memperkuat kembali keyakinan kepercayaan manusia akan kemampuannya untuk mengikuti jalan kebenaran kebaikan.
Dari resolusi diatas jelas terlihat betapa penting dan strategisnya peranan pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan dalam
memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan manusia untuk mengikuti jalan yang kebenaran dan kebaikan. Dengan pendidikan dan penyuluhan agama yang
efektif, tidak hanya diharapkan terbinanya pribadi manusia yang sehat jiwarohaninya tetapi juga terbinanya keluarga yang sehat dan lingkungan sosial
yang sehat. Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti semata-mata kesehatan rohanimental tetapi juga kesehatan budaya
dan nilai-nilai pandangan hidup masyarakat. Disamping upaya-upaya nonpenan dapat ditempuh dengan menyehatkan
masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat sendiri, dapat pula upaya nonpenal itu digali dari
berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu misalnya, media persmedia massa, manfaat kemajuan teknologi dan
pemanfaatan potensi efek-preventif aparat penegak hukum. Perlunya sarana nonpenal diintensifkan dan diefektifkan, di samping beberapa
alasan yang telah dikemukakan di atas, karena masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik
kriminal. Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi- hukum dan orevensi-khusus saja, efektivitas sarana penal masih diragukan atau
setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya,
D. Kebijakan Hukum Pidana dengan Adanya Visum et Repertum