BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mewujudkan kebenaran dan keadilan setiap orang atau kelompok masyarakat dimanapun berada, baik secara naluri maupun rasio pada dasarnya memiliki
pandangan dan kehendak yang sama, yaitu bahwa orang yang melakukan kesalahan harus dihukum, sedangkan orang yang tidak bersalah harus dibebaskan
atau harus tidak dihukum. Logika hukum seperti ini adalah selaras dengan cita- cita konstitusi dan naluri serta akal sehat manusia dalam mencari kebenaran dan
keadilan yang hakiki. Namun demikian, seiring dengan dinamika kehidupan dan perkembangan peradaban manusia, cara pandangan dalam mewujudkan kebenaran
dan keadilan pun mengalami perubahan-perubahan yang mendasar sesuai dengan tingkat pikiran dan pemahaman manusia tentang hukum itu sendiri.
Tujuan hukum acara pidana sebagaimana yang kita ketahui adalah berupaya untuk mencari dan menemukan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Hal
tersebut senada dengan yang disebutkan oleh Van Bemmelen dalam bukunya “Strafordering Leerbook Van Het Nederlandsch Straf Procesrecht” Undang-
undang di Belanda yang memuat tentang hukum acara pidana bahwa yang terpenting dalam hukum acara pidana adalah mencari kebenaran.
1
1
Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung; Mandar Maju, 1999, hal. 15.
Upaya mencari kebenaran materil ini menjadi salah satu perbedaan antara hukum pidana dengan
hukum perdata. Dalam hukum acara perdata kebenaran yang akan dicapai adalah kebenaran formal yaitu kebenaran yang didasarkan pada formalitas hukum,
sementara hukum acara pidana tidak hanya berdasarkan pada formalitas hukum
semata, tapi juga harus ditunjang dengan penggunaan formalitas hukum tersebut di sidang pengadilan dan fakta yang ditemukan dalam sidang pengadilan menjadi
bahan masukan bagi hakim dalam memutus perkara. Hukum acara pidana mengandung beberapa pihak yang terlibat didalamnya yaitu:
1. Polisi;
2. Jaksa dan;
3. Hakim.
Hal-hal tersebut inilah yang nantinya diharapkan dapat mewujudkan tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri dengan menerapkan secara jujur dan tepat
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana KUHAP dalam suatu perkara pidana hingga siapa saja yang melakukan kejahatan mendapatkan
hukuman dan sebaliknya yang tidak bersalah terbebaskan dari hukuman. Seperti yang kita ketahui dalam Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Acara
Pidana KUHAP mencantumkan 5 lima alat bukti, yaitu : 1.
Keterangan saksi 2.
Keterangan ahli 3.
Surat 4.
Petunjuk 5.
Keterangan terdakwa Pengupayaan mencapai kebenaran materil dalam setiap perkara pidana salah satu
jalannya adalah mengoptimalkan alat bukti. Oleh karena itu alat bukti dalam hukum acara pidana memegang peranan penting dalam membantu tugas utama
penyidik untuk mencapai tujuan penyidikan suatu perkara pidana. Titik sentral
dalam tindakan penyidikan ini adalah mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindak pidana.
2
Berdasarkan hasil pemeriksaan ahli forensik inilah selanjutnya dapat diketahui apakah luka, tidak sehat, atau matinya seseorang tersebut diakibatkan oleh tindak
pidana atau tidak. Sutomo Tjokronegoro mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Pengetahuan Kedokteran Kehakiman adalah penggunaan ilmu
kedokteran untuk kepentingan pengadilan. Salah satu tindak pidana yang sulit dilakukan pembuktian terhadapnya adalah
tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Tindak pidana ini harus ditelaah bagaimana seseorang itu meninggal apakah
langsung seketika meninggal atau memerlukan waktu yang lama lalu orang tersebut meninggal. Upaya mencari dan menemukan kebenaran mengenai suatu
perbuatan tindak pidana kejahatan yang menyebabkan luka, terganggunya kesehatan dan matinya seseorang di dalam proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di pengadilan, maka Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim juga harus memiliki pengetahuan di bidang lain, yakni Ilmu Pengetahuan Kedokteran
Kehakiman. Jelas ilmu pengetahuan hukum tidak bisa mengungkap permasalahan itu secara detail, karena hal tersebut diluar jangkauannya. Ilmu Kedokteran
Kehakiman berperan dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara sesuatu perbuatan dengan akibat yang ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang
menimbulkan akibat luka pada tubuh atau yang menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya seseorang, dimana terdapat akibat-
akibat tersebut patut diduga telah terjadi tindak pidana.
3
2
Ibid, hal. 43
3
Ibid, hal. 1-2
Artinya, bahwa ilmu pengetahuan
kedokteran kehakiman sangan berperan dalam membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, dalam segala soal yang hanyalah dapat dipecahkan dengan ilmu
kedokteran kehakiman. Ilmu Pengetahuan Kedokteran Kehakiman ini berperan untuk membantu dunia
peradilan dalam berbagai peristiwa seperti terlukanya seseorang, terganggunya kesehatan seseorang, matinya seseorang, aborsi, kejahatan seksual, maupun kasus
malpraktik dokter. Untuk itu diperlukan bantuan dari seorang ahli dalam memecahkan persoalan tersebut.
Bantuan ahli ini dinyatakan dalam KUHAP yang terdapat dalam Pasal 133 ayat 1 yang menyatakan:
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahlinya.”
Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli kedokteran kehakiman atas korban atau barang bukti diserahkan oleh penyidik dan ahli tersebut akan
membuat laporan dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukannya dan kesimpulan para ahli berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Salah satu alat bukti yang dapat digunakan penyidik untuk mengungkapkan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal
dunia adalah alat bukti surat. Penggunaan alat bukti surat memang jenisnya banyak, salah satu diantaranya adalah laporan dalam bentuk tertulis yang dibuat
oleh para ahli kedokteran kehakiman atau dikenal lagi dengan istilah Visum et Repertum.
Visum et Repertum memang tidak dicantumkan dalam KUHAP secara tegas, namun dapat dijelaskan bahwa Visum et Repertum merupakan surat
keterangan ahli yang dibuat oleh dokter; sesuai dengan kesepakatan yang dibuat
antara IKAHI dan IDI tahun 1986 di Jakarta, yaitu untuk membedakan dengan surat keterangan dari ahli lainnya.
4
Suatu tindak pidana yang terjadi dipastikan akan menimbulkan korban kejahatan. Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 2014,
5
Dikaji dari perspektif Ilmu Viktimologi pengertian korban dapat diklasifikasikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian luas korban diartikan sebagai orang
yang menderita atau dirugikan akibat pelanggaran baik bersifat pelanggaran hukum pidana penal maupun diluar hukum pidana non penal atau dapat juga
termasuk korban penyalahgunaan kekuasaan victim abuse of power. Sedangkan pengertian korban dalam artian sempit dapat diartikan sebagai victim of crime
yaitu korban kejahatan yang diatur di dalam ketentuan pidana. Dari perspektif Ilmu Viktimologi ini pada hakikatnya korban tersebut hanya berorientasi kepada
dimensi akibat perbuatan manusia, sehingga di luar aspek tersebut misalnya seperti akibat bencana alam, bukanlah merupakan objek kajian dari Ilmu
Viktimologi. Pasal 1 ayat 3 menyatakan:
“Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, danatau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
6
4
Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta; Sagung Seto,2009, hal. 10
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan Korban.
6
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, Bandung; CV Mandar Maju, 2010, hal. 1-2
Korban sebagai pihak yang dirugikan dalam ranah ketentuan hukum relatif terabaikan serta terpinggirkan sehingga perhatian kepada korban semakin jauh
dari peradilan pidana yang oleh Sthepen Schafer dikatakan sebagai cinderella dari
hukum pidana. Selain itu pula maka Robert Reif melihat juga kurangnya perhatian terhadap korban dalam proses peradilan pidana dengan mengemukakan:
“Suatu masalah dalam hukum pidana, selalu mereduksi ‘apa yang dilakukan terhadap penjahat’ tidak seorangpun bertanya ‘apa yang dapat dilakukan terhadap
korban’. Setiap orang berasumsi cara yang terbaik untuk membantu korban adalah menangkap penjahat sebagai pemikiran bahwa pelaku adalah sumber penderitaan
korban”. Konteks tersebut menegaskan perlindungan terhadap korban kejahatan juga tak
kalah penting eksistensinya. Pada asasnya dapat dikatakan penderitaan korban akibat suatu kejahatan belumlah berakhir dengan penjatuhan dan selesainya
hukuman kepada pelaku. Korban dalam hal ini semestinya mendapat perlindungan terhadap hak-haknya. Tidak jarang dalam setiap persidangan hanya hak si
terdakwa saja yang diperhatikan, namun hak-hak korban hampir tidak diperhatikan.
Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil Visum et Repertum dalam pengungkapan suatu kasus penganiayaan yang mengakibatkan matinya
orang dan fungsi visum itu sendiri sebagai alat bukti terhadap hak-hak korban, hal tersebut melatarbelakangi untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam
penulisan hukum ini dengan judul : VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN MATINYA
SESEORANG DILIHAT DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI. B.
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas pada penulisan hukum ini, antara lain: 1.
Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur Visum et Repertum dalam tindak pidana yang dilakukan seseorang?
2. Bagaimana fungsi kegunaan Visum et Repertum itu dalam mengungkap
suatu tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian seseorang?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana dengan adanya Visum et Repertum itu
memberikan perlindungan hukum terhadap korban akibat matinya seseorang?
C. Tujuan Penulisan