Latar Belakang Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mewujudkan kebenaran dan keadilan setiap orang atau kelompok masyarakat dimanapun berada, baik secara naluri maupun rasio pada dasarnya memiliki pandangan dan kehendak yang sama, yaitu bahwa orang yang melakukan kesalahan harus dihukum, sedangkan orang yang tidak bersalah harus dibebaskan atau harus tidak dihukum. Logika hukum seperti ini adalah selaras dengan cita- cita konstitusi dan naluri serta akal sehat manusia dalam mencari kebenaran dan keadilan yang hakiki. Namun demikian, seiring dengan dinamika kehidupan dan perkembangan peradaban manusia, cara pandangan dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan pun mengalami perubahan-perubahan yang mendasar sesuai dengan tingkat pikiran dan pemahaman manusia tentang hukum itu sendiri. Tujuan hukum acara pidana sebagaimana yang kita ketahui adalah berupaya untuk mencari dan menemukan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan oleh Van Bemmelen dalam bukunya “Strafordering Leerbook Van Het Nederlandsch Straf Procesrecht” Undang- undang di Belanda yang memuat tentang hukum acara pidana bahwa yang terpenting dalam hukum acara pidana adalah mencari kebenaran. 1 1 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung; Mandar Maju, 1999, hal. 15. Upaya mencari kebenaran materil ini menjadi salah satu perbedaan antara hukum pidana dengan hukum perdata. Dalam hukum acara perdata kebenaran yang akan dicapai adalah kebenaran formal yaitu kebenaran yang didasarkan pada formalitas hukum, sementara hukum acara pidana tidak hanya berdasarkan pada formalitas hukum semata, tapi juga harus ditunjang dengan penggunaan formalitas hukum tersebut di sidang pengadilan dan fakta yang ditemukan dalam sidang pengadilan menjadi bahan masukan bagi hakim dalam memutus perkara. Hukum acara pidana mengandung beberapa pihak yang terlibat didalamnya yaitu: 1. Polisi; 2. Jaksa dan; 3. Hakim. Hal-hal tersebut inilah yang nantinya diharapkan dapat mewujudkan tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri dengan menerapkan secara jujur dan tepat ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana KUHAP dalam suatu perkara pidana hingga siapa saja yang melakukan kejahatan mendapatkan hukuman dan sebaliknya yang tidak bersalah terbebaskan dari hukuman. Seperti yang kita ketahui dalam Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Acara Pidana KUHAP mencantumkan 5 lima alat bukti, yaitu : 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa Pengupayaan mencapai kebenaran materil dalam setiap perkara pidana salah satu jalannya adalah mengoptimalkan alat bukti. Oleh karena itu alat bukti dalam hukum acara pidana memegang peranan penting dalam membantu tugas utama penyidik untuk mencapai tujuan penyidikan suatu perkara pidana. Titik sentral dalam tindakan penyidikan ini adalah mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindak pidana. 2 Berdasarkan hasil pemeriksaan ahli forensik inilah selanjutnya dapat diketahui apakah luka, tidak sehat, atau matinya seseorang tersebut diakibatkan oleh tindak pidana atau tidak. Sutomo Tjokronegoro mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Pengetahuan Kedokteran Kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan pengadilan. Salah satu tindak pidana yang sulit dilakukan pembuktian terhadapnya adalah tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Tindak pidana ini harus ditelaah bagaimana seseorang itu meninggal apakah langsung seketika meninggal atau memerlukan waktu yang lama lalu orang tersebut meninggal. Upaya mencari dan menemukan kebenaran mengenai suatu perbuatan tindak pidana kejahatan yang menyebabkan luka, terganggunya kesehatan dan matinya seseorang di dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, maka Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim juga harus memiliki pengetahuan di bidang lain, yakni Ilmu Pengetahuan Kedokteran Kehakiman. Jelas ilmu pengetahuan hukum tidak bisa mengungkap permasalahan itu secara detail, karena hal tersebut diluar jangkauannya. Ilmu Kedokteran Kehakiman berperan dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara sesuatu perbuatan dengan akibat yang ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh atau yang menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya seseorang, dimana terdapat akibat- akibat tersebut patut diduga telah terjadi tindak pidana. 3 2 Ibid, hal. 43 3 Ibid, hal. 1-2 Artinya, bahwa ilmu pengetahuan kedokteran kehakiman sangan berperan dalam membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, dalam segala soal yang hanyalah dapat dipecahkan dengan ilmu kedokteran kehakiman. Ilmu Pengetahuan Kedokteran Kehakiman ini berperan untuk membantu dunia peradilan dalam berbagai peristiwa seperti terlukanya seseorang, terganggunya kesehatan seseorang, matinya seseorang, aborsi, kejahatan seksual, maupun kasus malpraktik dokter. Untuk itu diperlukan bantuan dari seorang ahli dalam memecahkan persoalan tersebut. Bantuan ahli ini dinyatakan dalam KUHAP yang terdapat dalam Pasal 133 ayat 1 yang menyatakan: “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahlinya.” Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli kedokteran kehakiman atas korban atau barang bukti diserahkan oleh penyidik dan ahli tersebut akan membuat laporan dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukannya dan kesimpulan para ahli berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang telah dimilikinya. Salah satu alat bukti yang dapat digunakan penyidik untuk mengungkapkan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal dunia adalah alat bukti surat. Penggunaan alat bukti surat memang jenisnya banyak, salah satu diantaranya adalah laporan dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh para ahli kedokteran kehakiman atau dikenal lagi dengan istilah Visum et Repertum. Visum et Repertum memang tidak dicantumkan dalam KUHAP secara tegas, namun dapat dijelaskan bahwa Visum et Repertum merupakan surat keterangan ahli yang dibuat oleh dokter; sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara IKAHI dan IDI tahun 1986 di Jakarta, yaitu untuk membedakan dengan surat keterangan dari ahli lainnya. 4 Suatu tindak pidana yang terjadi dipastikan akan menimbulkan korban kejahatan. Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 2014, 5 Dikaji dari perspektif Ilmu Viktimologi pengertian korban dapat diklasifikasikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian luas korban diartikan sebagai orang yang menderita atau dirugikan akibat pelanggaran baik bersifat pelanggaran hukum pidana penal maupun diluar hukum pidana non penal atau dapat juga termasuk korban penyalahgunaan kekuasaan victim abuse of power. Sedangkan pengertian korban dalam artian sempit dapat diartikan sebagai victim of crime yaitu korban kejahatan yang diatur di dalam ketentuan pidana. Dari perspektif Ilmu Viktimologi ini pada hakikatnya korban tersebut hanya berorientasi kepada dimensi akibat perbuatan manusia, sehingga di luar aspek tersebut misalnya seperti akibat bencana alam, bukanlah merupakan objek kajian dari Ilmu Viktimologi. Pasal 1 ayat 3 menyatakan: “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, danatau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. 6 4 Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta; Sagung Seto,2009, hal. 10 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan Korban. 6 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, Bandung; CV Mandar Maju, 2010, hal. 1-2 Korban sebagai pihak yang dirugikan dalam ranah ketentuan hukum relatif terabaikan serta terpinggirkan sehingga perhatian kepada korban semakin jauh dari peradilan pidana yang oleh Sthepen Schafer dikatakan sebagai cinderella dari hukum pidana. Selain itu pula maka Robert Reif melihat juga kurangnya perhatian terhadap korban dalam proses peradilan pidana dengan mengemukakan: “Suatu masalah dalam hukum pidana, selalu mereduksi ‘apa yang dilakukan terhadap penjahat’ tidak seorangpun bertanya ‘apa yang dapat dilakukan terhadap korban’. Setiap orang berasumsi cara yang terbaik untuk membantu korban adalah menangkap penjahat sebagai pemikiran bahwa pelaku adalah sumber penderitaan korban”. Konteks tersebut menegaskan perlindungan terhadap korban kejahatan juga tak kalah penting eksistensinya. Pada asasnya dapat dikatakan penderitaan korban akibat suatu kejahatan belumlah berakhir dengan penjatuhan dan selesainya hukuman kepada pelaku. Korban dalam hal ini semestinya mendapat perlindungan terhadap hak-haknya. Tidak jarang dalam setiap persidangan hanya hak si terdakwa saja yang diperhatikan, namun hak-hak korban hampir tidak diperhatikan. Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil Visum et Repertum dalam pengungkapan suatu kasus penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang dan fungsi visum itu sendiri sebagai alat bukti terhadap hak-hak korban, hal tersebut melatarbelakangi untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan hukum ini dengan judul : VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN MATINYA SESEORANG DILIHAT DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI. B. Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang akan dibahas pada penulisan hukum ini, antara lain: 1. Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur Visum et Repertum dalam tindak pidana yang dilakukan seseorang? 2. Bagaimana fungsi kegunaan Visum et Repertum itu dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian seseorang? 3. Bagaimana kebijakan hukum pidana dengan adanya Visum et Repertum itu memberikan perlindungan hukum terhadap korban akibat matinya seseorang?

C. Tujuan Penulisan

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

1 112 102

Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

3 51 120

Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Event Organizer Terhadap Tindak Pidana Kelalaian Yang Menyebabkan Meninggalnya Orang Dalam Konser Musik (Studi Putusan NO.713/Pid.B/2008/PN.Bdg)

2 78 95

Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Menggunakan Racun

6 88 85

Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur ( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn )

3 73 99

Peranan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 1243/Pid B/2006/PN-LP)

5 97 118

Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn

0 36 90

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia - Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang

0 0 7

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

0 0 25

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

0 2 11