1,14 Penerimaan Hibah B. Belanja Negara

7 mendalam In depth interview dengan anggota BPK RI, Sekjen DPR RI, KPK, dan ICW. Penelitian ini menggunakan dasar ilmu ekonomi politik mengenai korupsi dan aktivitas ekonomi perburuan rente. TINJAUAN PUSTAKA Ekonomi Politik Menurut James A. Caporaso dan David P. Levine ekonomi politik pada pendekatan ekonomi terhadap politik adalah: 9 “Ilmu yang menelaah hubungan antara wilayah ekonomi dengan wilayah politik atau antara sub-sistem ekonomi dengan sub-sitem politik. Dengan kata lain, menurut pendekatan ekonomi terhadap politik, ekonomi politik bukan lah sebuah telaah tentang apa yang akan terjadi ketika wilayah ekonomi bertemu dengan wilayah politik melainkan ekonomi politik berarti penerapan penalaran ekonomi terhadap proses- proses politik.” Ekonomi politik pada awalnya terbentuk karena adanya perbedaan teoritis antara ilmu politik dengan ilmu ekonomi. Ekonomi dan politik merujuk pada suatu kegiatan yang berbeda namun bukan berarti ekonomi disini dapat dijalankan secara praktis 10 dan masih memiliki pengaruh satu dengan yang lainnya. Sebelum berkembangnya ilmu ekonomi seperti saat ini, ilmu ekonomi merupakan hasil turunan dari ilmu ekonomi politk. Terdapat perbedaan antara ilmu ekonomi politik dengan ilmu ekonomi murni, dimana pada ilmu ekonomi politik suatu kekuasaan dapat mempengaruhi suatu masyarakat dalam suatu tujuan ekonomi sedangkan dalam ilmu ekonomi murni suatu kekuasaan yang berada dalam masyarakat bersifat given 11 . Pada pendekatan Ekonomi politik baru, negara dipandang dapat mengakibatkan kegagalan government failure. Pendekatan ini melihat adanya perilaku para petinngi seperti politisi dan birokrat untuk mementingkan diri sendiri, dalam hal ini memperkaya diri sendiri dengan menggunakan alokasi sumber daya publik dalam pasar politik salah satunya dengan melalui lobi. 12 . Perilaku manusia pada pendekatan ini diasumsikan sebagai makhluk yang akan terus memaksimalkan manfaat dan berupaya untuk menghubungkan antara tujuan yang ingin dicapainya dengan cara-cara dalam pencapaian tujuan tersebut. 13 9 James A Caporaso dan David P Levine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik. Diterjemahkan oleh: Suraji. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 305 10 Praktis tersebut adalah diamati secara teoritis seolah-olah ia memiliki keswadayaan dalam pengertian moral, politik, atau intelektual. Martin Staniland. “Apakah Ekonomi Politik Itu? Sebuah Studi Teori Sosial dan Keterbelakangan” Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, h. 16. 11 Ahmad Erani Yustika. 2012. “Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan”. Jakarta: Erlangga, h. 98 12 Ibid., h.102 13 Martin Staniland. Op.cit., h.51 8 Pengertian ekonomi disini adalah pengambilan keputusan non pasar dengan utamanya adalah kegiatan-kegiatan pemerintah, sedangkan pengertian sistem politik disini sebagai analog pasar. Para ekonom dalam pengambilan keputusan ekonomi nya disini harus melibatkan intervensi pemerintah. William C. Mitchell mengatakan: 14 “Sistem politik hendaknya dipandang tidak hanya sebagai mekanisme- mekanisme pilihan pengambilan keputusan-keputusan ekonomi yang berdampak pada ekonomi pribadi, namun juga sebagai hak ekonomi- ekonomi sendiri untuk membuat keputusan tentang anggaran atau produksi dan distribusi barang- barang dan jasa publik.” Pendekatan ekonomi politik baru tersebut digunakan dalam penelitian ini, dimana adanya agen-agen yang berusaha untuk mendapatkan keuntungan berupa rente ekonomi dengan memanfaatkan lobi kepada pemerintah sehingga dapat mengakibatkan kegagalan pemerintah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN Untuk mencapai tujuan negara selayaknya bangsa yang merdeka dalam rangka pembangunan, pemerintah menyusun rancangan target dan sasaran yang tertuang dalam kerangka pembangunan nasional 15 . Kerangka pembangunan nasional juga dilengkapi dengan rencana keuangan. Menurut Pasal 1 ayat 7 UU Nomor 17 Tahun 2003, APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR. 16 APBN memiliki peran strategis untuk melaksanakan fungsi-fungsi ekonomi pemerintah yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi digunakan untuk mengalokasikan anggaran pemerintah dalam pembangunan nasional, fungsi distribusi digunakan untuk mendistribusikan pendapatan dan subsidi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan fungsi stabilisasi digunakan untuk menjaga kestabilan dan akselerasi kinerja ekonomi, sehingga diharapkan perekonomian tetap berada pada kondisi produktif, efisiensi, dan stabil. 17 Penyusunan APBN sendiri dalam pelaksanaannya sesuai dengan Pasal 23 Undang-Undang Dasar UUD 1945 amandemen keempat 18 . APBN merupakan pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk kemakmuran rakyat. APBN diajukan oleh Presiden yang kemudian dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. 14 Op.cit., h.52-53 15 Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014. Jakarta: Republik Indonesia, h.1-1. 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara 17 Op.cit., 18 Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan belanja Negara 2014. Jakarta: Republik Indonesia, h.1-5 9 Proses dan mekanisme penyiapan, penyusunan, dan pembahasan APBN mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD 19 . Struktur APBN sendri terdiri atas sumber pendapatan dan Belanja Negara 20 Tabel 3. Tabel 3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pendapatan Dalam Negeri Belanja Negara

I. Penerimaan Perpajakan

a. Pendapatan Pajak Dalam Negeri 1. Pendapatan Pajak Penghasilan a. Pendapatan PPh Migas b. PendapatanPPh Nonmigas 2. PertambahanPajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 3. Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan 4. Pendapatan BPHTB 5. Pendapatan Cukai 6. Pendapatan Pajak Lainnya b. Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional 1. Pendapatan Bea Masuk 2. Pendapatan Bea Keluar

II. Penerimaan Negara Bukan Pajak

a. Penerimaan Sumber Daya Alam 1. Pendapatan SDA Migas a. Pendapatan Minyak Bumi b. Pendapatan Gas Bumi 2. Pendapatan SDA Nonmigas a. Pendapatan Pertambangan umum b. Pendapatan Kehutanan c. Pendekatan Perikanan d. Pendapatan Panas Bumi b. Pendapatan Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU III. Penerimaan Hibah

a. Belanja Pemerintah:

1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. PembayaranBunga Utang 5. Subsidi 6. Belanja Hibah 7. Bantuan Sosial 8. Belanja Lain-lain

b. Belanja Transfer ke daerah:

1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus 3. Dana Penyesuaian Sumber: Kementerian Keuangan dalam Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 , 2014. Korupsi Korupsi menurut definisi adalah penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. 21 Korupsi menurut Transperency Internasional adalah perilaku pejabat publik dimana mereka menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain 19 Ibid., 20 Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan belanja Negara 2014. Jakarta: Republik Indonesia, h.1-5 21 Jeremy Pope, 2007. “Strategi Memberantas Korupsi” Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, h. 30 10 yang memiliki kedekatan dengan melanggar aturan dan undang-undang yang berlaku. 22 Dalam korupsi administrasi, korupsi dibagi menjadi dua yaitu korupsi sesuai peraturan yang berlaku dan korupsi melanggar peraturan yang berlaku. Korupsi sesuai peraturan yang berlaku terjadi dimana pejabat melakukan tugas secara ilegal dan sesuai dengan kewajibannya yang sudah diatur oleh undang- undang untuk memperkaya diri sediri. Korupsi melanggar peraturan yang berlaku terjadi ketika suap diberikan kepada para pejabat untuk mendapatkan pelayanan dimana pelayanan pejabat tersebut dilarang menurut undang-undang yang berlaku. 23 Korupsi pada pemerintahan saat ini sudah bukan menjadi hal yang tabu, korupsi dalam pemerintah identik dengan suap menyuap untuk mendapatkan kontrak pengadaan barang dan jasa. Hal ini terjadi karena pada pengadaan barang dan jasa peluang untuk terjadinya korupsi sangat besar, dengan modus memarkup nilai. Dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan Negara. Korupsi dilihat dari aspek karateristiknya merupakan tindak pidana yang bersifat sistematis yang dapat menimbulkan penderitaan bagi masyarakat, dapat merusa nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan dapat menghambat pembangunan. 24 Luo 2005 selanjutnya menyatakan bahwa: “orang yang sedang disuap tentu harus bertindak sebagai agen bagi individu lain atau organisasi karena tujuan suap adalah untuk mendorong dia untuk menempatkan sendiri kepentingan tujuan organisasi dimana dia bekerja ” 25 . Secara teori, korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut 26 : C = M + D – A Keterangan: C : Corruption Korupsi M : Monopoly Power Kekuasaan Monopoli D : Discretion by officials Wewenang pejabat A : Accountability Akuntabilitas Dari rumus tersebut dapat dijelaskan adanya korupsi diakibatkan tidak adanya akuntabilitas pada seseorang pemegang monopoli atas barang atau jasa yang bisa memutuskan siapa yang berhak mendapatkan barang atau jasa tersebut dan berapa banyaknya, hal ini dilakukan dengan menggunakan kewenangan seorang pejabat. 22 Ibid.,h.7 23 Ibid.,h.8 24 DR. Mu hammad Yusuf , “Miskinkan Koruptor Pembuktian Terbalik Solusi Jitu Yang Terabaikan” Jakarta: Pustaka Juanda Tigalima, h.43. 25 Soma P, Ren K, An Institutional Theory Perspective on Corruption: The Case of a Developing Democrac, Journal Financial Accountability Management, February 0267-4424, 2014. 26 Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris, “Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah” Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h.29 11 Menurut Didin S Damanhuri, korupsi dibagi menjadi tujuh bagian yaitu: 27 transaktive kolusi, extortive memeras, investive suap, nepotisme, outogenic dilakukan seorang diri, supportive bias kekuasaan dan defensive 9keterpaksaan. Menurut perspektif hukum 28 , definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentukjenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketiga puluh bentukjenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kerugian keuangan negara: - Pasal 2 - Pasal 3 2. Suap-menyuap: - Pasal 5 ayat 1 huruf a - Pasal 5 ayat 1 huruf b - Pasal 5 ayat 2 - Pasal 12 huruf a - Pasal 12 huruf b - Pasal 11 - Pasal 6 ayat 1 huruf a - Pasal 6 ayat 1 huruf b - Pasal 6 ayat 2 - Pasal 12 huruf c - Pasal 12 huruf d 3. Penggelapan dalam jabatan: - Pasal 8 - Pasal 9 - Pasal 10 huruf a - Pasal 10 huruf b - Pasal 10 huruf c 4. Pemerasan: - Pasal 12 huruf e - Pasal 12 huruf g - Pasal 12 huruf h 5. Perbuatan curang: - Pasal 7 ayat 1 huruf a - Pasal 7 ayat 1 huruf b - Pasal 7 ayat 1 huruf c - Pasal 7 ayat 1 huruf d - Pasal 7 ayat 2 - Pasal 12 huruf h 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan: - Pasal 12 huruf i 7. Gratifikasi: 27 Didin S Damanhuri., Ekonomi Politik Alternatif, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, h. 124 28 Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, Jakarta: KPK, 2006, h. 15-17. 12 - Pasal 12 B jo, Pasal 12 Pada Pembangunan lanjutan P3SON Hambalang, sebagai salah satu proyek pembangunan Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan menggunakan anggaran APBN memiliki indikasi korupsi sesuai dengan pasal diatas, sehingga dapat diteliti dan ditemukan solusi untuk penggunanaan anggaran APBN pada proyek pembangunan Kementerian sesuai dengan tujuan awal pembangunan. Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa Pengadaan barang dan jasa harus dilaksanakan dengan menerapkan prinsip-prinsip pengadaan barangjasa yaitu prinsip efisiensi, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adiltidak diskriminatif dan akuntabel 29 yang akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengadaan barangjasa karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dari segi administrasi, teknis dan keuangan. Menurut beberapa pasal mengenai pengadaan barang dan jasa, pengadaan barangjasa adalah kegiatan yang memperoleh pengadaan barangjasa yang dilakukan oleh KementerianLembagaSatuan Kerja Perangkat DaerahInstitusi dimana dalam prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan hingga diselesaikannya seluruh kegiatan untuk mendapatkan barangjasa. dimana kegiatan tersebut dibiayai oleh APBNAPBD, dalam pelaksanaannya bisa dilakukan secara swakelola maupun oleh penyedia barangjasa. 30 Tabel 4 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3 Langkah 4 Pemerintah mengumumkan proses lelang dalam hal ini lelang tender Peserta lelang mengajukan penawaran untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah menilai penawaran peserta lelang dan menentukan pemenang lelang Pemenang lelang melaksanakan kontrak Sumber: Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah, 2005. Beberapa langkah pengadaan barang dan jasa pemerintah yang harus dilakukan untuk tersedia proses pengadaan barang dan jasa yaitu dimulai dari pengumuman lelang, dalam pengumuman tersebut pemerintah mengumumkan berapa jumlah yang dibutuhkan oleh pemerintah. Langkah kedua peserta lelang perusahaan memasukkan penawaran kepada pemerintah sesuai dengan 29 Pasal 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 30 Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010, dan Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 13 spesifikasi dokumen yang sudah ditetapkan oleh panitia pengadaan barang dan jasa, selanjutnya pemerintah mengevaluasi dokumen perserta lelang yang kemudian menentukan pemenang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan pemerintah dan kemudian antara panitia pengadaan barang dan jasa dengan pemenang lelang melakukan tanda tangan kontrak dan kemudian perusahaan tersebut menjalankan kontraknya 31 Tabel 4. Aktivitas Perburuan Rente Ekonomi Rente pada dasarnya adalah bentuk pendapatan berupa laba, upah dan sewa, dalam ekonomi, rente disni dimaknai secara netral 32 . Konsep rent seeking dalam teori ekonomi klasik dimaknai postif sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi secara simultan 33 dan pelaku ekonomi mendapatkan imbalan dari pendapatan tersebut secara wajar. Aktivitas perburuan rente mempunyai pengaruh terhadap keberlanjutan sebuah pembangunan. Di Negara berkembang sendiripun praktek perburuan rente sering dijumpai. Menurut Anne O Krueger 34 : “In many market oriented economies, goverment restrictions upon economic activity are pervasive facts of life. These restrictions give rise to rents of a variety of forms, and people often compete for the rents. Sometimes, such competition is perfectly legal. In other instances, rent seeking takes other forms, such as bribery, corruption, smuggling, and black markets.” Pada ekonomi yang berorientasi pasar, pembatasan yang dilakukan pemerintah pada kegiatan ekonomi dapat menembus fakta. Pembatasan atau halangan ini menimbulkan tindak sewa atau rente dari berbagai bentuk, dan orang-orang saling bersaing untuk kegiatan tersebut. Terkadang jenis persaingan ini dilegalkan. Dalam contoh lainnya kegiatan perburuhan rente ini dapat dilihat dalam bentuk lain, seperti penyogokan, korupsi, penyelundupan, dan pasar gelap. Dalam literatur ekonomi politik, konsep rent seeking tidak bermakna netral. Perburuan rente dimaknai sebagai perilaku setiap kelompok pelaku usahapemerintah untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mudah dengan memanfaatkan hak milik publik dan fasilitas negara pemerintah. 35 Pemanfaaatan kedekatan dengan penguasa politik seperti lobi dan suap untuk mendapatkan tujuan akumulasi modal dengan merubah regulasi yang dapat menguntungkan 31 Robert klitgard, “Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h. 137-138 32 Febri Diansyah. 2009. “Senjakala Pemberantasan Korupsi; Memangkas Akar Korupsi dari Pengadilan Tipikor. Jurnal konstitusi, Volume 6 Nomor 2, Juli2009, h. 17 33 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi Malang: Penerbit Erlangga, 2010, h. 107 34 Anne O Krueger. 1974. The Political Economy of The Rent Seeking Society. Vol 64 No. 3, June 1974, h.291 35 Febri Diansyah op.cit, h. 18