4.3.3 Perjuangan Tokoh Enong terhadap Pendidikan
Murniati 2004:17 mengatakan “Pendidikan merupakan bagian dari usaha pembudayaan
manusia. Karena itu, pendidikan tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh budaya yang berkembang di masyarakat”. Kebudayaan pada dasarnya berbeda-beda di setiap daerah sehingga
cenderung memunculkan pemahaman yang berbeda-beda mengenai pentingnya pendidikan bagi setiap manusia. Secara umum budaya di Indonesia masih bergantung pada cara lama, yakni
terutama dalam hal pendidikan pada umumnya masih mengutamakan kaum laki-laki dibandingkan dengan kaum perempuan.
Penggambaran pengarang mengenai tokoh Enong mampu mengubah pola pemikiran perempuan-perempuan lainnya. Enong mampu menunjukkan eksistensi dirinya melalui belajar
bahasa Inggris tanpa memperoleh ilmu dari sekolah. Pemerolehan ilmu secara otodidak ternyata mampu mengasah pengetahuan seseorang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ilmu
dapat diperoleh di mana saja asalkan setiap pribadi bersungguh-sungguh untuk mengetahui sesuatu. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Enong duduk di kelas enam SD dan merupakan siswa yang cerdas. Ia selalu menjadi juara kelas. Pelajaran favoritnya bahasa Inggris dan cita-citanya ingin
menjadi guru seperti Bu Nizam. DPB, hlm. 10 Melalui mimpi-mimpi seseorang termotivasi untuk meraih sesuatu yang telah diangan-
angankan tersebut. Enong, seorang gadis pendulang timah yang memiliki mimpi menjadi guru bahasa Inggris seperti ibu Nizam, tetap berusaha mewujudkan mimpinya itu. Hal ini dapat dilihat
dari kutipan berikut. “Aku akan bekerja dulu di Tanjong Pandan. Kalau dapat uang, nanti aku akan
kursus bahasa Inggris,” semangatnya meluap. Mendengar itu, teman- temannya malah makin deras tangisnya.DPB, hlm. 31
Universitas Sumatera Utara
Enong tetap membawa kamus pemberian ayahnya ke mana pun ia pergi. Setiap kali menemukan kata-kata baru Enong langsung mencatatnya ke dalam buku catatannya. Ketekunan
Enong membaca dan mencatat arti kosa kata asing itu menuntunnya sampai menemukan tempat kursus bahasa Inggris. Niatnya untuk belajar semakin bertambah dan cita-citanya menjadi guru
bahasa Inggris semakin nyata. Hal ini dapat dilihat pada cuplikan berikut.
Saat itu ia tengah repot membolak-balik halaman sebuah kamus. Aku kesulitan menahan tawa melihat judul kamus itu: Kamus Bahasa Inggris Satu
Miliar: 1.000.000.000 Kata. Hebat betul. Kening Enong berkerut. Agaknya ia tak berhasil menemukan kata yang ia cari. Ia meletakkan kamus itu di atas
meja loket, lalu mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Ia membuka buku yang kumal itu, mencari-cari halaman tertentu, dan menemukannya. Ia
mengeja sebuah kata yang tertulis di situ, seakan meyakinkan dirinya agar tidak salah melihat rangkaian huruf, kemudian mulai mencari-cari lagi di
dalam kamus tadi. Karena sangat dekat denganku, dapat kulihat kata di halaman buku yang kumal itu: wound. Matanya yang polos berbinar-binar.
Aku terseret semangatnya. Ia mengeluarkan pensil dari dalam tas. Di halaman buku yang kumal tadi, di belakang kata wound, ia menulis luka. Kemudian, ia
mengeluarkan sepucuk surat dari dalam tasnya. Pertemuan dengan Enong berlanjut dengan obrolan panjang tentang minatnya akan bahasa Inggris. Ia
memperlihatkan padaku berbagai macam katalog yang didapatnya dari Tuan Pos. Aku terkesan akan semangat dan jiwa humornya. Aku diserbu energi
positif perempuan itu.DPB, hlm. 117 – 120
Kegigihan Enong belajar bahasa Inggris dapat dilihat juga dari kutipan berikut. Enong senang tak terbilang. Mimpi lamanya untuk kursus bahasa
Inggris akhirnya akan menjadi kenyataan. Hari itu ia memperlihatkan kemajuannya berbahasa Inggris dengan menerangkan bahwa melalui Kamus
Satu Miliar Kata-nya ia telah tahu arti semua kata Inggris di kaleng bekas susu yang biasa dipakainya untuk menyimpan timah hasil dulangannya. Cukup
mengesankan kemampuannya itu karena paling tidak ia sudah tahu bahwa susu itu berasal dari sapi. Ia sudah tak sabar ingin sampai ke tempat kursus bahasa
Inggris itu. Tak lama kemudian, aku melihat banyak anak muda berkumpul di depan sebuah rumah toko. Sebuah plang nama tampak di sana: Trendy English
Course. Solution For Your Future. Kami bergegas.DPB, hlm. 132 dan 134
Pendidikan dan cita-cita telah membuat Enong mempunyai modal simbolik yang lebih daripada gadis-gadis lain di Belitung. Pendidikan dan cita-cita tersebut bukanlah suatu kekuatan
Universitas Sumatera Utara
tandingan, kekuatan yang bersifat negatif, melainkan merupakan suatu kekuatan tambahan yang menjadikan Enong sebagai perempuan yang berbeda dengan perempuan lainnya. Perbedaan
mendasarnaya adalah kemiskinan dan paksaan nasib tidak menjadikannya sebagai perempuan yang lemah dan pasrah pada nasib serta tidak memiliki harapan akan masa depan yang lebih baik
dari yang sebelumnya. Murniati2004: 17 juga mengatakan,
Kebangkitan perempuan yang sudah berabad-abad ditandai dengan perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan yang tidak adil.
Sejak perempuan sadar bahwa dirinya sebagai manusia diperlakukan tidak adil maka mereka memberontak. Namun, karena gerakan pembodohan perempuan
juga sudah berjalan berabad-abad maka usaha kebangkitan perempuan melalui pendidikan membutuhkan waktu yang lama pula. Upaya peningkatan
pengetahuan perempuan melalui pendidikan ini akan terhambat apabila pihak- pihak yang menyelenggarakan pendidikan perempuan tidak mempunyai visi
yang sama atau bahkan bertentangan. Pengertian di atas menjelaskan bahwa perkembangan perempuan tergantung pada sistem
pemerintahan yang berlaku. Kesadaran pribadi untuk memberontak ketidakadilan yang terjadi dianggap kurang berpotensi untuk mewujudkan keadilan yang diharapkan. Hal itu didukung oleh
minimnya perempuan yang mendapatkan pendidikan baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga.
Minimnya pendidikan yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, Enong membuktikan bahwa perempuan dapat berprestasi tanpa harus mengecap pendidikan di bangku sekolah.
Kelulusannya menamatkan kursus bahasa Inggris dengan nilai yang memuaskan merupakan harga yang tepat untuk membayar kemandirian dan kerja kerasnya selama ini. Hal ini dapat
dilihat dalam kutipan berikut ini. “Lulusan terbaik kelima,” kata Bu Indri. Ia menunda menyebutkan namanya,
mungkin karena sangat istimewa. Wajahnya tegang bercampur gembira. “Maryamah binti Zamzami”
Universitas Sumatera Utara
Enong menutup mulutnya. Matanya terbelalak. Ia sangat terkejut mendengar namanya disebut Bu Indri. Serta-merta para hadirin, seluruhnya tanpa
terkecuali, bertepuk tangan. Lebih meriah dari sambutan mereka untuk lulusan-lulusan terbaik sebelumnya. Bu Indri berkali-kali memanggil
Maryamah agar maju ke muka untuk menerima piagam. Maryamah bangkit dan melangkah menuju podium. Ia menerima piagam itu dengan
pandangan tak percaya bahwa ia telah menjadi salah satu lulusan terpuji. Lebih istimewa lagi, Bu Indri memberi kesempatan padanya untuk berpidato.
Maryamah tampak ragu. Ia tak pernah berpidato, bahkan tak pernah berbicara di depan mikrofon, tapi kemudian ia menghampiri mikrofon itu, diam sebentar,
lalu berkata, “Sacrifice, honesty, freedom.”
Itu saja, lalu ia mundur. Seluruh hadirin serentak berdiri dan bertepuk tangan untuknya. Tepuk tangan yang sangat panjang, tak henti-henti. Maryamah
menghapus air matanya dengan ujung jilbabnya.CDG, hlm. 28 – 30 Perjuangan yang dilalui dengan banyaknya rintangan pada dasarnya akan menghasilkan
buah yang sangat membahagiakan diri sendiri dan orang-orang di sekitar. Setiap orang yang melihat hasil dari kesuksesan itu pasti menyadari bahwa proses yang dilalui bukanlah mudah.
Begitu pula yang dialami Enong dalam mewujudkan cita-cita masa kecilnya. Kepergian ayahnya tidak menjadikan keluarga mereka hancur dan tidak juga mematikan cita-cita Enong selama ini.
Tiga kata yang menjadikan semangat Enong untuk berjuang, yakni “Sacrifice, honesty, freedom” terus memacu dirinya untuk bertahan hidup. Berkat pengorbanan, kejujuran, dan
kebebasan Enong mampu menunjukkan bahwa seorang perempuan dapat berbuat banyak dan menjadikan apa yang tidak mungkin menjadi mungkin selama tekad dan semangat dalam dirinya
sejalan dengan usaha yang dilakukan. Oleh karena itu, filosofi yang menyatakan bahwa perempuan itu harus bergantung pada laki-laki telah ditumbangkan oleh eksistensi Enong dalam
mewujudkan cita-citanya.
Universitas Sumatera Utara
BAB V SIMPULAN DAN SARAN