2.4. Diagnosis PPOK
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat
penyakit. 2.4.1. Anamnesis
a. Faktor Risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia biasanya usia pertengahan, dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi
tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan
riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan
Indeks Brinkman IB, yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat
ringan 0-200, sedang 200-600, dan berat 600 GOLD, 2015
b. Gejala
PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan
dan penyakit paru kronik lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat menegakkan diagnosis Jindal dan Gupta, 2004
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut COPD Health Center, 2010 :
a. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi
sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.
b. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk.
Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.
c. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga
sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1
Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah
beberapa menit 4
Sesak bila mandi atau berpakaian Tabel 2.1 Skala Sesak British Medical Research Council MRC
d. Mengi
Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan oleh penyempitan saluran pernapasan dengan aposisi dinding saluran pernapasan.
Suara tersebut dihasilkan oleh vibrasi dinding saluran pernapasan dengan jaringan sekitarnya. Karena secara umum saluran pernapasan lebih sempit pada saat
ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih jelas pada saat fase ekspirasi. Pada pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi polifonik merupakan
jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien PPOK. Terdapat suara jamak simultan dengan berbagai nada yang terjadi pada fase ekspirasi dan menunjukan
penyakit saluran pernafasan yang difus Sylvia dan Lorraine, 2006
e. Ronkhi
Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup-letup yang terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Ronkhi mencerminkan adanya
letupan mendadak jalan nafas kecil yang sebelumnya tertutup. Ronkhi juga dapat disebabkan oleh penutupan jalan nafas regional dikarenakan penimbunan mucus
pada saluran nafas. Pada pasien PPOK dapat pula terjadi ronhki meskipun bukan gejala khas dari PPOK Sylvia dan Lorraine, 2006
f. Penurunan Aktivitas Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional dan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang terbatas pada penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada penderita
PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan malnutrisi kronis Sylvia dan Lorraine, 2006
Dinyatakan PPOK secara klinis apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik
dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua Sciurba, 2004
2.4.2. Pemeriksaan Fisik
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi paru yang signifikan Badgett et al, 2003. Pada pemeriksaan fisik seringkali
tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat
sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan hal-hal sebagai berikut: 1. Inspeksi
a. Bentuk dada: barrel chest dada seperti tong
b. Terdapat cara bernapas purse lips breathing seperti orang meniup
c. Terlihat penggunaan dan hipertrofi pembesaran otot bantu nafas
d. Pelebaran sela iga
e. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher
dan edema tungkai f.
Penampilan pink puffer atau blue bloater 2. Palpasi
a. Fremitus melemah
b. Sela iga melebar
3. Perkusi a. Hipersonor
4. Auskultasi a.
Fremitus melemah, b.
Suara nafas vesikuler melemah atau normal c.
Ekspirasi memanjang d.
Mengi biasanya timbul pada eksaserbasi e.
Ronki Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed
– lips breathing. Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
Pursed - lips breathing Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO
yang terjadi pada gagal napas kronik GOLD, 2015
2.4.3. Pemeriksaan Penunjang 2.4.3.1. Pemeriksaan Spirometri
Spirometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara
obyektif kapasitasfungsi paru ventilasi pada pasien dengan indikasi medis. Alat yang digunakan disebut spirometer Miller et. al, 2005.
Prinsip spirometri adalah mengukur kecepatan perubahan volume udara di paru-paru selama pernafasan yang dipaksakan atau disebut forced volume capacity
FVC. Prosedur yang paling umum digunakan adalah subyek menarik nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan selengkap mungkin. Nilai
FVC dibandingkan terhadap nilai normal dan nilai prediksi berdasarkan usia, tinggi badan dan jenis kelamin.
Langkah pemeriksaan Spirometri, Siapkan alat spirometer, dan kalibrasi harus dilakukan sebelum pemeriksaan. Pasien harus dalam keadaan sehat, tidak
ada flu atau infeksi saluran napas bagian atas dan hati-hati pada penderita asma karena dapat memicu serangan asma. Pasien harus menghindari memakai pakaian
yang ketat dan makan makanan berat dalam waktu 2 jam. Pasien juga tidak harus merokok dalam waktu 1 jam dan menkonsumsi alkohol dalam waktu 4 jam.
Masukkan data yang diperlukan , yaitu umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan ras untuk megetahui nilai prediksi. Beri pentunjuk dan demonstrasikan
manuver pada pasien, yaitu pernafasan melalui mulut, tanpa ada udara lewat hidung dan celah bibir yang mengatup mouth piece. Pasien dalam posisi duduk
atau berdiri, lakukan pernapasan biaa tiga kali berturut-turut, dan langsung menghisap sekuat dan sebanyak mungkin udara ke dalam paru-paru, dan
kemudian dengan cepat dan sekuat-kuatnya dihembuskan udara melalui mouth piece. Manuver dilakukan 3 kali untuk mendapatkan hasil terbaik.
Namun sebelum dilakukan spirometri, terhadap pasien dilakukan anamnesa, pengukuran tinggi badan dan berat badan. Pada spirometer terdapat
nilai prediksi untuk orang Asia berdasarkan umur dan tinggi badan. Bila nilai prediksi tidak sesuai dengan standar Indonesia, maka dilakukan penyesuaian nilai
prediksi menggunakan standar Indonesia. Volume udara yang dihasilkan akan dibuat presentase pencapaian terhadap angka prediksi. Spirometri dapat dilakukan
dalam bentuk social vital capacity SVC atau forced vital capacity FVC. Pada SCV, pasien diminta bernafas secara normal 3 kali mouthpiece sudah terpasang
di mulut sebelum menarik nafas dalam-dalam dan dihembuskan secara maksimal. Pada FVC, pasien diminta menarik nafas dalam-dalam sebelum mouth piece
dimasukkan ke mulut dan dihembuskan secara maksimal Miller et. al, 2005. Pengukuran fungsi paru yang dilaporkan:
a. Forced Vital Capacity FVC adalah jumlah udara yang dapat di
keluarkan secara paksa setelah inspirasi maksimal, dan di ukur dalam liter b.
Forced expiratoy volume in one second FEV1 adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan dalam satu detik, di ukur dalam liter. Bersama dengan
FCV merupakan indikator utama fungsi paru c.
FEV1FVC merupakan rasio FEV1SCV. Pada orang sehat nilai normalnya sekitar 75
– 80 d.
Peak expiratory flow PEF merupakan kecepatan pergerakan udara keluar dari paru pada awal ekspirasi, di ukur dalam literdetik.
e. Forced expiratory flow FEF merupakan kecepatan rata-rata aliran
udara keluar dari paru selama pertengahan pernafasan. Sering juga di sebut sebagai MMEF Maximal Mid-Expiratory Flow.
Klasifikasi gangguan ventilasi nilai prediksi : a.
Gangguan restriksi : Vital Capacity VC 80 nilai prediksi; FVC 80 nilai prediksi
b. Gangguan obstruksi : FEV1 80 nilai prediksi; FEV1FVC 75
nilai prediksi c.
Gangguan restriksi dan obstruksi : FVC 80 nilai prediksi; FEV1FVC 75 nilai prediksi.
Bentuk spirogram adalah hasil dari spirometri. Beberapa hal yang menyebabkan spirogram tidak memenuhi syarat :
a. Terburu-buru atau penarikan nafas yang salah b. Batuk
c. Terminasi lebih awal d. Tertutupnya glotis
e. Ekspirasi yang bervariasi f. Kebocoran
Setiap pengukuran sebaiknya dilakukan minimal 3 kali. Kriteria hasil spirogram yang reprodusibel setelah 3 kali ekspirasi adalah dua nilai FVC dan
FEV1 dari 3 ekspirasi yang dilakukan menunjukkan variasiperbedaan yang minimal perbedaan kurang dari 5 atau 100 mL Miller et. al, 2005.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease GOLD 2015, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK berdasarkan GOLD 2015
2.4.3.2. Pemeriksaan Penunjang lain
Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun beberapa tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada
harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan dan computed tomography untuk memonitor
kanker paru-paru. Hitung darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia. Hal ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan
ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga,
dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen tambahan Stephens dan Yew, 2008.
2.5. Penatalaksanaan PPOK
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah
mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien,
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian PDPI, 2010 Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan
kebiasaan merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat
irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan merupakan pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti
kortikosteroid, antibiotik dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat slow release atau obat berefek panjang long acting PDPI, 2010
Macam-macam bronkodilator : a.
Golongan β– 2 agonis. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
berat. Mekanisme kerja :
melalui stimulasi reseptor β
2
di trachea dan bronkus, yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan
adenosintrifosat ATP yang kaya energi menjadi cyclic-adenosin mononosphat cAMP dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-proses dalam
sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa efek bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh sel mast.
b. Golongan antikolinergik.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir maksimal 4 kaliperhari .
Mekanisme kerja : Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor b
2
dari sistem adrenergis terhambat, maka sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat
bronchokonstriksi. Antikolinergik memblok reseptor muskarinik dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronkus, hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi
dominan dengan efek bronkodilatasi. c.
Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis. Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebihs ederhana dan mempermudah penderita.
d. Golongan xantin.
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak pelega napas, bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasiakut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah. Mekanisme kerja : Daya bronkorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade
reseptor adenosin. Selain itu, teofilin seperti kromoglikat mencegah meningkatnya hiperektivitas.
2.6. COPD Assessment Test CAT