Makna Sampah Bagi Masyarakat Kampung Badur di Bantaran Sungai Deli

karena keahlian masyarakat yang minim untuk mengelola sampah menjadi kreasi yang bernilai ekonomis dan dapat dimanfaatkan. Melihat kondisi pemukiman Kampung Badur yang terlihat kumuh dan tidak layak untuk dihuni, berbagai Lembaga dan Pemerintah Kota juga sering mensosialisasikan mengenai bahaya tinggal di bantaran sungai. Respon masyarakat dari sosialisasi tersebut juga tidak mengubah pola pikir masyarakat untuk pindah dari tempat tinggal tersebut ke daerah yang lebih aman dan nyaman untuk dihuni. Masyarakat Kampung Badur tetap memilih tinggal di bantaran Sungai Deli karena mereka merasa mudah dalam mencari rezeki di daerah perkotaan.

4.5 Makna Sampah Bagi Masyarakat Kampung Badur di Bantaran Sungai Deli

Bagi masyarakat Kampung Badur di Bantaran Sungai Deli sampah adalah material atau sisa-sisa barang yang tidak dipakai, kotor, serta dapat menimbulkan bau yang dapat mengganggu indera penciuman mereka. Hampir semua masyarakat Kampung Badur melihat sebagai material yang tidak bernilai, sehingga sampah harus dibuang dengan cara yang sudah biasa dianggap praktis mereka lakukan yaitu membuang sampah ke Sungai Deli. Kaum perempuan yang lebih banyak membuang sampah ke sungai dari hasil aktifitas rumah tangga sehari-hari. Sedangkan kaum laki-laki hanya membuang sampah yang sering dikonsumsi seperti sampah bungkus rokok. Salah satu keluarga di Kampung Badur yang bekerja sebagai Pemulung menganggap sampah adalah material yang berharga, yang memiliki nilai Universitas Sumatera Utara ekonomis. Sampah-sampah dari hasil aktifitas warga Badur sehari-hari bagi keluarga Pemulung ini dikumpulkan selama satu bulan kemudian dijual ke tempat penampungan barang bekasbotot. Hasil dari penjualan sampah dan barang bekas yang sebagian dibersihkan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga Pemulung tersebut sehari-hari. Tidak hanya mengumpulkan sampah dan barang bekas di lingkungan tempat tinggalnya, keluarga Pemulung tersebut juga mengumpulkan sampah dan barang bekas di daerah warkop Elisabeth setiap harinya. Berikut wawancara dengan Ibu Pemulung memaknai sampah: “Kalau warga disini merasa sampah gak ada nilainya, bagi Ibu sampah sangat bernilai. Dari sampahlah ibu bisa makan dan cukup lah untuk kebutuhan sehari-hari. Setiap hari Ibu mengumpulkan sampah-sampah yang bisa dijual, nanti sebulan sekali Ibu jual ke penampungan barang bekas. Ya.. hasilnya lumayan lah, biasanya Ibu dapat 1juta. Kalau sampah yang gak bisa dijual dan dibuang ke sungai hanya sampah daun dan sisa makanan aja.” Roswati, 60 Disisi lain, makna sampah bagi kriteria keluarga Pedagang dari hasil wawancara dapat dilihat sebagai berikut: “Sampah menurut Ibu barang kotor, bau seperti dari sisa-sisa jualan Ibu yang tidak berguna lagi jadi harus dibuang. Kalau bagi Ibu sampah ya gak ada nilainya lah, namanya sampah pasti kotor, bau, mau diapain lagi ya langsung dibuang aja.” Ani, 40 Dan berikut wawancara dengan warga yang berjualan makanan ringan: “Ibu menganggap sampah itu ya.. kayak sampah plastik, daun- daun, dan sisa makanan yang tidak berguna dan harus dibuang. Sampah dari jualan Ibu ya banyak yang berjenis plastik dan memang sampah bisa menjadi berguna kalau diolah, tapi warga disini gak ada keahliannya mendaur ulang sampah gitu.” Tiur, 47 Dari hasil wawancara dengan warga Kampung Badur yang kriteria keluarga Pedagang, dapat disimpulkan bahwa keduanya memaknai sampah Universitas Sumatera Utara sebagai jenis barang yang sudah tidak dapat digunakan lagi dan tidak memiliki nilai sama sekali. Terutama dalam kegiatan sehari-harinya berjualan, tentu volume sampah yang dihasilkan sehari-harinya lebih banyak. Namun salah satu diantaranya mengaku bahwa sampah bisa diolah menjadi barang yang bernilai, akan tetapi karena minimnya keterampilan untuk mengolah sampah menjadi hasil yang bisa bernilai menjadikan sampah tetap dimaknai sebagai material yang tidak berguna. Wawancara dengan informan lainnya, yaitu dengan kriteria keluarga yang aktif dalam kegiatan PKK Pembinaan Kesejahteraan Keluarga. Dapat dilihat bagaimana makna sampah bagi mereka sebagai berikut: “Kalau bagi Saya sampah tidak bernilai, bisa jadi bernilai kalau sampah didaur ulang jadi barang yang bisa dipakai. Sempat diajarkan sama BLH dan mahasiswa waktu itu, tapi karena saya dan yang lain gak ada keahlian, jadi gak diteruskan. Gak tau juga mau dijual kemana, jadi hasil dari daur ulang waktu itu kami pake sendiri aja. Memang dari sampah daur ulang itu bisa mengajarkan sama kami, dan bermanfaat juga lah untuk mengurangi sampah yang dibuang ke sungai. Tapi karena masyarakat disini berpikir kalau sampah daur ulang itu susah untuk dijual jadi gak diteruskan lagi.” Ana, 54 Informan ibu anggota PKK lainnya mengungkapkan sebagai berikut: “Kalau Ibu sampah itu ya... sisa-sisa yang kotor dan tidak bisa dipakai lagi. Pernah mahasiswa ngajari kami buat kreasi dari sampah, tapi sebentar aja. Pernah juga membuat pupuk, menanam sayuran seperti kangkung dalam pot. Hasilnya memang bisa dimanfaatkan untuk kami, tapi selanjutnya kami buat seperti itu lagi hanyut disapu sama banjir, jadi kami gak buat lagi tanaman-tanaman itu disini. Kami kan juga ada kegiatan lain.” Yul, 44 Dari hasil pernyataan kedua informan, keduanya sama-sama memaknai sampah sebagai barang yang tidak bisa dipakai lagi dan harus dibuang. Mereka juga menyatakan sampah bisa bernilai jika sampah itu diolah menjadi material yang bisa dimanfaatkan. Sampah bisa bermakna kalau ada yang memperdayakan Universitas Sumatera Utara mereka, karena jika mereka dibantu dalam kegiatan mengelola sampah di lingkungannya, mereka akan ikut serta dalam kegiatan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat akan melakukan tindakan jika diperdayakan oleh lembaga atau pemerintah. Bukan karena kesadaran mereka untuk mengatasi masalah sampah di lingkungan mereka sendiri. Berikutnya wawancara mengenai makna sampah dengan informan kriteria Ibu Rumah Tangga: “Menurut saya sampah itu barang yang tidak berguna lagi, jadi dibuang lah kalau sampah udah menumpuk. Saya setiap hari buang sampah ke sungai aja, karena biar praktis, setelah dibuang ke sungai kan sampah mengalir dibawa air gak nampak lagi. Memang pernah disediakan “tong sampah”, ya.. dampaknya lumayan juga untuk mengurangi banjir, tapi karena masyarakat disini semua buang sampah ke sungai, jadi balik lagi kebiasaan buang sampah ke sungai. Banjir udah menjadi hal yang biasa buat kami yang tinggal disini.” Ade, 30 ”Sampah itu bagi saya seperti kotoran yang menyebabkan bau tidak sedap dan harus dibuang. Setiap hari saya buang sampah ke sungai, semua warga disini buang sampah kesungai. Memang udah seperti itu kebiasaan warga disini.” Armiyati, 40 Dari wawancara informan kriteria Ibu Rumah Tangga, makna sampah bagi kedua informan juga sebagai material yang tidak ada gunanya dan tidak bisa dimanfaatkan lagi, yang merupakan hasil dari sisa-sisa kegiatan rumah tangga sehari-hari. Kehadiran sampah dari hasil kegiatan sehari-hari sangat mengganggu bagi mereka, karena bersifat kotor dan terkadang juga menimbulkan bau tidak sedap. Sehingga sampah-sampah yang ada setiap hari akan dikumpulkan mereka dan dengan cara yang mudah sampah dibuang ke sungai. Makna dan perilaku masyarakat Kampung Badur terhadap sampah dengan tidak memikirkan keselamatan lingkungan mencerminkan minimnya kesadaran masyarakat dan tidak menghargai alam yang memberikan manfaat bagi Universitas Sumatera Utara masyarakat sekitarnya. Dari perilaku masyarakat terhadap sampah yang semena- mena membuang ke sungai, menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri juga Pemerintah lingkungan setempat seperti Kepala Lingkungan dan Kepala Kelurahan yang harus menyadarkan masyarakat untuk tidak membuang sampah ke Sungai Deli dan menjelaskan dampak yang timbul akibat perilaku masyarakat itu sendiri. Makna sampah dilihat dari aspek Kepercayaan bagi umat Islam terdapat dalam slogan “Kebersihan adalah Sebagian Dari pada Iman”. Jika manusia memiliki fondasi iman yang kuat, maka kesadaran akan lingkungan yang bersih akan tercipta. Berikut hasil wawancara informan yang mengungkapkan: “Dari agama Islam diajarkan untuk hidup bersih dan menghargai lingkungan dengan menjaga dari berbagai perilaku yang dapat merusak lingkungan. Saya rasa semua agama juga mengajarkan untuk menjaga kebersihan lingkunga. Hanya saja bagaimana kesadaran manusia itu sendiri dalam mengatasi masalah sampah di lingkunganya. Tentu saja fondasi dari kesadaran itu sendiri beradasarkan dari iman manusianya. Kesadaran manusia dalam kegiatan bergotong-royong juga dapat menyadarkan manusia lainnya. Tetapi karena masyarakat Badur rendah kesadarannya, maka masalah sampah tidak akan teratasi.” Karim, 57 Sedangkan informan yang beragama Kristen menyatakan: “kalau di agama saya tidak ada ajaran untuk kebersihan, tergantung imannya sama kesadarannya aja. Dengan slogan ‘kebersihan sebagian dari pada iman’ itu saya rasa sudah berlaku untuk umum. Tergantung manusianya saja kalau ingin hidup bersih pasti lingkungannya juga bersih.” Evlin, 29 Berikut wawancara mengenai makna sampah dari dilihat dari segi suku: “Dari suku Aceh, saya masih mempercayai nilai-nilai kebersihan yang diajarkan dari nenek saya seperti ‘jangan menyapu malam hari dan jangan buang sampah, sampah dikumpulkan pada malam hari hingga besok pagi baru Universitas Sumatera Utara dibuang’. Saya masih percaya dengan nilai-nilai itu yang katanya tidak baik kalau membuang sampah malam hari.” Nurmala, 49 Tanggapan Kepala Lingkungan dan Kepala Kelurahan melihat masyarakat Kampung Badur dalam memaknai sampah dan cermin perilaku masyarakat dapat dilihat dari penjelasan sebagai berikut: “Saya lihat masyarakat Badur memaknai sampah hanya sebatas sampah yang tidak berguna dan tidak ada nilainya sama sekali. Terlihat dari perilaku mereka yang kurang peduli terhadap sampah. Saya sering meninjau ke Kampung Badur dan sering mengingatkan masyarakat untuk selalu tertib membuang sampah ke tempat pembuangan sampah yang sudah disediakan Pemko di Kampung Aur, bukan ke Sungai Deli. Tetapi masyrakatnya terkadang sulit disadarkan dalam mengatasi sampah. Kegiatan gotong-royong juga terkadang dilakukan dari Kelurahan, meskipun belum rutin jadwalnya. Tetapi masyarakatnya hanya bergerak kegiatan kebersihan lingkungan kalau digerakkan, kalau dengan kesadaran sendiri itu sangat minim. Padahal masyarakat masih memanfaatkan sungai untuk mandi, mencuci, dan buang air. Melihat kondisi mereka sangat miris rasanya, tetapi yang bisa merubah lingkungannya tetap dari kesadaran diri mereka sendiri. Padahal mereka juga sudah pernah diperdayakan oleh mahasiswa dalam mendaur ulang sampah dan membuat pupuk, namun tidak berlanjut lagi. Dari lingkungan kotor dan bau seperti itu tak jarang masyarakat terkena penyakit seperti TB, diare, dan gatal-gatal pada kulit. Sudah seperti itu pun mereka tetap berperilaku segaimana biasanya. Mereka sudah melekat dengan kondisi lingkungan yang seperti itu.” Emi, 47 Kemudian Kepala Kelurahan juga mengungkapkan pendapatnya mengenai masyarakat Kampung Badur dalam memaknai dan berperilaku terhadap sampah: “Menurut saya masyarakat Kampung Badur memaknai sampah itu hanya kumpulan material yang sama sekali tidak berguna, sehingga semena-mena sampah dibuang ke Sungai Deli. Kegiatan mendaur-ulang sampah oleh ibu-ubu PKK juga pernah dilakukan, tetapi tidak berlangsung lama, kemauan masyarakatnya dan kesadaran masyarakat terhadap sampah itu sangat minim, masyarakat cenderung tidak bergerak untuk mengurangi sampah di sungai. Dalam hal ini Pemerintah Kota Universitas Sumatera Utara juga sudah sering mensosialisasikan mengenai kebersihan lingkungan sekaligus menyadarkan masyarakat untuk berperilaku yang bersih untuk kebaikan masyarakat sendiri. Pemerintah juga mengingatkan bahaya yang akan terjadi jika masyarakat tinggal dengan jangka panjang di bantaran Sungai Deli. Tetapi masyarakat merasa egois dan tidak berpikir untuk jangka panjang resiko mereka tinggal daerah yang kumuh seperti itu. Lingkungan kumuh itu tercermin dari perilaku masyrakatnya yang minim akan kesadaran untuk menciptakan lingkungan yang bersih. Tempat sampah yang sudah disediakan juga hanya bersifat sementara di lingkungan tersebut, tetap saja mereka membuang sampah ke sungai semaunya. Gotong-royong juga tetap berjalan, tetapi tetap masyarakatnya susah diatur. Masyarakat juga manja dengan bantuan yang sering diberi oleh Pemerintah, dan dari PTPN IV yang sering memberikan dana dan sembako untuk masyarakat Kampung Badur, sehingga masyarakat selalu bergantung dengan bantuan yang selalu diberi Pemerintah jika banjir menghampiri rumah mereka. Jadi intinya lingkungan yang bersih dari sampah dan tidak membuang sampah ke sungai itu harus dari kesadaran manusianya sendiri. Saya merasa miris melihat kondisi seperti itu.” Fadlin, 55 Dapat diberi kesimpulkan dari hasil wawancara dengan Kepala lingkungan dan Kepala Kelurahan menggambarkan masyarakat Kampung Badur dalam memaknai sampah sama sekali material yang tidak memiliki arti sehingga masyarakat berperilaku membuang sampah ke Sungai deli. Minimnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan membuat masyarakat bertindak semena-mena terhadap sampah, tanpa berpikir sampah akan memiliki nilai dengan cara mendaur-ulang menjadi benda yang bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomis. Seperti yang sudah dilakukan oleh masyarakat yang diperdayakan oleh Badan Lingkungan Hidup dan mahasiswa. Masyarakat Kampung Badur harus selalu diingatkan untuk membuang sampah pada tempat yang telah disediakan dan harus terus diperdayakan untuk mengubah pola pikir mereka terhadap sampah dan menjadi masyarakat yang sadar untuk melestarikan lingkungan sekitarnya. Universitas Sumatera Utara Dari keseluruhan wawancara terhadap informan yaitu: Pemulung, Pedagang, Ibu Rumah Tangga, Ibu-ibu PKK aktif lingkungan. Dan informan biasa yang menaungi masyarakat Kampung Badur seperti Kepala Lingkungan dan Kepala Kelurahan, maka dapat diberi kesimpulan bahwa hanya bagi keluarga Pemulung saja sampah memiliki makna yang bernilai ekonomis. Bagi tiga keluarga lainnya masing-masing menanggap sampah sebagai material yang tidak bernilai dan harus dimusnahkan dengan cenderung dibuang ke sungai. Membuang sampah ke sungai dianggap sebagai cara praktis untuk menangani sampah dari lingkungan mereka. Dengan makna yang demikian tercermin masyarakat Kampung Badur yang kurang peduli dengan kondisi lingkungan yang lebih bersih dan nyaman. Selain itu dampak banjir yang terjadi akibat perilaku masyarakat yang tidak henti membuang sampah ke sungai, dimaknai masyarakat Kampung Badur sebagai anugerah yang tetap disyukuri. Seringnya bencana banjir yang menghampiri rumah-rumah masyarakat membuat masyarakat terbiasa dengan kondisi seperti itu, selain itu masyarakat juga merasa bencana banjir yang sudah pernah menghampiri rumah mereka membuat masyarakat semakin erat tali persaudaraannya. Mereka bahkan tidak menganggap banjir sebagai kondisi yang membahayakan. Perilaku membuang sampah ke sungai ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Kampung Badur. Masyarakat Badur merasa sudah sedikit mengurangi volume sampah di Sungai Deli dengan menimbun sampah di tanah yang sudah mereka alokasikan. Masyarakat luar yang melintasi jembatan Sungai Deli ternyata setiap harinya membuang sampah ke sungai dengan berbagai jenis sampah. Bahkan pada kenyataannya yang membuang sampah ke Sungai Deli tersebut Universitas Sumatera Utara adalah masyarakat kaya yang tinggal di daerah elite perkotaan. Artinya, minimnya kesadaran untuk tidak membuang sampah ke Sungai Deli tidak hanya tercermin pada masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh saja, dengan pengetahuan dan pendidikan yang rendah. Tetapi kesadaran untuk tidak membuang sampah ke Sungai Deli juga berlaku pada masyarakat elite yang sering membuang sampah ke Sungai Deli. Dengan demikian dapat diberi kesimpulan bahwa pendidikan yang tinggi dan materi yang berlimpah juga menjamin perilaku masyarakat yang peduli lingkungan. Hal ini semakin membuat masyarakat merasa sama dengan masyarakat lain yang memiliki kebiasaan membuang sampah di Sungai Deli. Keterbatasan masyarakat Badur untuk melarang masyarakat luar membuang sampah ke Sungai Deli dan kesadaran masyarakat itu sendiri membuat kondisi sampah di sungai semakin bertambah. Dan semakin sulit untuk mengatasi masalah sampah di Sungai Deli.

4.6 Cara Pengelolaan Sampah Masyarakat Kampung Badur di Bantaran Sungai Deli

Dokumen yang terkait

Jarak Sosial Masyarakat Elite dan Masyarakat Pinggiran/Kumuh”( studi deskriptif di Jl. Badur, Lingkungan 10 Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

28 118 112

Jarak Sosial Masyarakat Elite dan Masyarakat Pinggiran/Kumuh”( studi deskriptif di Jl. Badur, Lingkungan 10 Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

2 36 112

STRATEGI BERTAHAN HIDUP (STUDI KASUS MASYARAKAT DI KAWASAN BANTARAN SUNGAI KELURAHAN HAMDAN, KECAMATAN MEDAN MAIMUN, KOTA MEDAN).

4 13 28

Jarak Sosial Masyarakat Elite dan Masyarakat Pinggiran Kumuh”( studi deskriptif di Jl. Badur, Lingkungan 10 Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 9

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 9

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 1

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 9

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 7

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 2

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 5