Sampah yang dibuang Bu Roswati ke Sungai Deli adalah sampah sisa makanan saja. Setiap harinya Bu Roswati masih membuang sampah ke Sungai
Deli. Ia juga menggunakan air Sungai Deli sehari-hari untuk mencuci, buang air, dan mandi. Menurutnya, semua warga Kampung Badur masih berperilaku
membuang sampah ke sungai, dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Bu Roswati merasa sangat nyaman tinggal di Kampung Badur karena cukup mudah
baginya untuk mengais rezeki.
4. Profil Informan Keempat
Nama : Yulmawati
Usia : 44 Tahun
Pekerjaan : Berjualan Sarapan dan GorenganKetua Pokja 3 PKK
Suku : Minang
Bu Yulmawati yang sering disebut dengan Bu Yul ini merupakan warga Kampung Badur yang sudah 39 tahun tinggal lamanya. Kegiatannya sehari-hari
adalah berjualan sarapan dan gorengan dari pagi sampai siang hari. Bu Yul mengatakan sampah adalah sisa-sisa yang kotor dan tidak bisa dipakai lagi.
Biasanya Bu Yul membuang sampah di tempat sampahnya sendiri yang ada dirumahnya dan setelah sampah menumpuk dibuang ke sungai. Ia mengatakan
dahulunya kelompok mahasiswa menyumbangkan tempat sampah untuk warga Kampung Badur yang dibagi menjadi sampah organik dan sampah anorganik.
Tetapi hal itu berjalan sementara saja, hanya sekitar 3 bulan saja. Seterusnya warga Kampung Badur kembali membuang sampah ke Sungai Deli. Menurutnya,
tidak ada yang melarang warga Badur membuang sampah kesungai. Jadi selama
Universitas Sumatera Utara
tidak ada yang melarang, mereka tetap berperilaku membuang sampah ke sungai. Kegiatan gotong royong juga dilakukan oleh masyarakat, tetapi kegiatan itu tidak
terus-menurus rutin dilakukan jika ada imbalan masyarakat Badur akan ikut berpartisipasi.
Kegiatan yang pernah dilakukan oleh mahasiswa untuk melestarikan lingkungan di Kampung Badur seperti membuat pupuk, menamam tanaman, itu
juga hanya sesaat saja. Karena pada saat hujan deras turun hingga banjir mengenai rumah warga Kampung Badur, tanaman yang dibuat oleh warga habis disapu air.
Sehingga masyarakat Kampung Badur tidak bersemangat lagi melakukan kegiatan menanam dan membuat pupuk kembali.
Banjir yang terjadi menurut Bu Yul adalah karena sifat manusia yang tidak peduli pada lingkungan dan kurangnya kesadaran untuk hidup yang lebih baik.
Padahal masyarakat Badur masih menggunakan air Sungai Deli. Akan tetapi untuk kegiatan memasak dan minum mereka menggunakan air PDAM yang sudah
ada di Badur. Dahulu PDAM hanya ada di dua titik saja, bagi masyarakat yang ingin memakai air PDAM dikenakan biaya sesuai kebutuhan mereka. Biasanya
warga Badur membayar sekitar 4.000 hingga 10.000 rupiah. Pembayaran tersebut diserahkan kepada warga yang tinggal dekat dengan PDAM tersebut. Tetapi
sekarang sebagian rumah warga sudah ada masing-masing saluran air PDAM.
5. Profil Informan Kelima
Nama : Sukarman
Universitas Sumatera Utara
Usia : 52 Tahun
Pekerjaan : Penjual Burger
Suku : Jawa
Pak Sukarman adalah salah satu warga Kampung Badur yang sudah sejak tahun 1992. Rumah yang ditempatinya saat ini adalah rumah dari peninggalan
orang tua istrinya. Kegiatan Pak Sukarman sehari-harinya adalah berdagang menjual burger di daerah jalan Multatuli Medan, mulai dari sore hingga malam
hari dengan dibantu istri. Penghasilan dari berjualan burger tersebut bisa membiayai pendidikan tiga orang anaknya hingga ke Perguruan Tinggi.
Makna sampah bagi Pak Sukarman hanya sekedar sampah yang kotor dan bau, dan harus segera dibuang dan tidak ada nilai dari sampah itu. Cara Pak
Sukarman dalam mengelola sampah dengan dibuang dan dibakar. Terkadang ia dan istrinya membuang sampah ke tong sampah yang disediakan oleh PTPN IV di
depan kantor tersebut. Makna sampah dilihat dari aspek etnis Jawa menurut Pak Sukarman tidak ada, karena ia tidak mempercayai mitos-mitos yang tidak dapat
dipercayai kebenarannya. Ia lebih percaya pada landasan agama Islam yang mengajarkan perilaku bersih dengan slogan “Kebersihan adalah Sebagian dari
Iman”. Menurutnya yang setiap hari masyarakat Badur membuang sampah ke
sungai saja. Cara seperti itu dianggap praktis bagi masyarakat. Dan warga yang cenderung membuang sampah ke sungai adalah kaum perempuan, karena
perempuan memiliki aktifitas rumah tangga setiap harinya yang menghasilkan sampah lebih banyak. Dalam interaksinya dengan warga yang lain Pak Sukarman
dan istrinya sering kali mengingatkan masyarakat yang lebih semena-mena dalam
Universitas Sumatera Utara
membuang sampah. Dan tak jarang juga mengingatkan untuk bergotong-royong membersihkan sampah di lingkungan tempat tinggalnya. Tetapi respon warga
yang lain hanya menganggap himbauan itu sebagai hal yang tidak penting. Masing-masing masyarakat merasa memiliki hak terhadap sampah baik dengan
membuang terus-menerus di sungai maupun dibuang dengan secara tepat di tempat sampah yang sudah disediakan.
Beberapa bentuk kegiatan dari Pemerintah dan mahasiswa yang pernah memperdayakan masyarakat untuk mengelola sampah dengan baik juga tidak
berlangsung lama. Menurut Pak Sukarman masyarakat Badur akan ikut serta dalam suatu kegiatan jika ada imbalan yang diberikan. Tidak ada kesadaran yang
murni dari masyarakat untuk membersihkan lingkungan. Bahkan pembuangan sampah yang dilakukan dari Kelurahan Hamdan dengan menggunakan jasa
angkut sampah dan dikenakan iuran Rp.1000,- per keluarga, kebanyakan masyarakat keberatan dengan hal itu. Jadi menurut Pak Sukarman, kebersihan
lingkungan dapat tercipta dari kesadaran manusia itu sendiri.
6. Profil Informan Keenam
Nama : Etri Yantika
Usia : 23 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Karo
Menurut Etri sampah adalah sisa-sisa hasil rumah tangga yang kotor dan bau, tidak ada gunanya sama sekali. Setiap hari Etri membuang sampah ke Sungai
Deli, dan terkadang juga sampah dibakar. Namun ada makna sampah yang
Universitas Sumatera Utara
dianggap sebagai kepercayaan sukunya dari nenek moyang terdahulu. Di kampung halaman Etri yang berada di Sidimpuan, sebagian besar keluarganya
memaknai sampah yang ada pada malam hari tidak boleh disapu kehalaman depan rumah, karena dipercaya dapat menjauhkan rezeki. Sampah juga dibakar dan hasil
dari pembakaran itu dibawa ke ladang untuk dijadikan pupuk. Nilai-nilai seperti itu hanya berlaku pada saat Etri di Kampung Halaman. Dan tidak diterapkannya
selama ia tinggal di Kampung Badur.
7. Profil Informan Ketujuh
Nama : Nurmala
Usia : 49 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Aceh
Bu Nurmala merupakan penduduk Kampung Badur yang sudah lama menetap hingga saat ini. Sampah menurutnya adalah bahan yang tidak dapat
dipergunakan lagi sehingga harus dibuang saja. Bu Nurmala membuang sampah biasanya ke sungai dan terkadang di tempat sampah di depan kantor PTPN IV. Ia
juga menyediakan tong sampah di depan halaman rumahnya. Perilaku membuang sampah ke sungai menurutnya membuat sungai semakin tercemar, tetapi perilaku
masyarakat Badur yang cenderung seenaknya membuang sampah ke sungai sudah menjadi kebiasaan yang sulit dirubah. Tergantung kesadaran masyarakat terhadap
kebersihan lingkungan. Dari aspek suku Aceh ada nilai yang masih dipercayai Bu Nurmala dalam
hal kebersihan. Hal ini diterapkan dari neneknya terdahulu yang disiplin mengenai
Universitas Sumatera Utara
kebersihan lingkungan. Pada saat malam hari tidak boleh menyapu rumah hanya boleh sampah dikumpulkan saja. Jika ingin mempersihkan puing-puing debu atau
sampah yang kecil hanya boleh di bersihkan dengan kain saja. Hal ini dianggap untuk menghormati leluhur dahulu di kampung halamnnya di Aceh dengan tidak
menyapu di malam hari. Kepercayaan itu masih diterapkan oleh Bu Nurmala hingga saat ini.
8. Profil Informan Kedelapan
Nama : Abdul Karim
Usia : 57 Tahun
Pekerjaan : Bilal
Suku : Melayu
Pak Karim salah satu warga Badur yang juga tinggal di bantaran sungai tepatnya di belakang Musholla. Ia juga pengurus musholla tersebut. Menurut Pak
Karim sampah adalah hasil dari sisa-sisa makanan yang tidak sifatnya dapat membuat kotor lingkungan. Tetapi jika sampah dikelola dengan baik dengan
pembuangan sampah yang tepat maka tidak ada lingkungan yang kotor. Tetapi karena manusia yang kurang kesadarannya terhadap sampah di lingkungannya,
membuat lingkungan terlihat kumuh dan kotor juga menimbulkan bau yang menyengat yang mengakibatkan berbagai penyakit muncul.
Dari segi Etnis Ia mengatakan tidak ada nilai atau mitos yang dapat dipercaya. Karena itu lahir dari pemikiran manusia yang tidak jelas kebenarannya.
Etnis Melayu biasanya lebih indentik dengan kepercayaan Islan sesuai dengan hadist yang ada. Dari agama Islam mengajarkan umat untuk hidup bersih dan
Universitas Sumatera Utara
menjaga alam atau lingkungan dengan baik. Seperti yang selalu diingatkan dengan slogan “Kebersihan adalah Sebagian Daripada Iman” yang dapat
diteladani dari perilaku manusia terhadap kebersihan lingkungan. Tetapi menurutnya masyarakat Kampung Badur sangat rendah kesadarannya dalam
mengatasi sampah. Sampah-sampah yang ada disekitar rumah adalah cermin dari perilaku manusia yang rendah imannya. Jika manusia memiliki fondasi iman yang
kuat, maka masalah sampah yang ada di Kampung Badur tersebut akan teratasi dari cara mengelola sampah yang baik, paling tidak dengan membuang sampah
tepat ke tempat sampah yang sudah disediakan.
9. Profil Informan Kesembilan
Nama : Evlin Tobing
Usia : 29 Tahun
Pekerjaan : Penjual Minuman Tuak
Suku : Batak
Agama : Kristen
Evlin juga salah satu warga Kampung Badur yang sudah 20 tahun tinggal di Badur. Makna sampah menurut Evlin adalah bahan yang dapat membuat kotor
dan mengakibatkan bau, sehingga harus segera dibuang. Cara Evlin mengatasi sampah dengan dibuang ke sungai dan dibakar.
Menurut Evlin sampah dilihat dari segi agama Kristen tidak ada ajaran khusus mengenai kebersihan. Menurutnya kesadaran dari manusianya sendiri
yang dapat mengatasi sampah. Dari perilaku masyarakatnya merupakan cermin dari iman seseorang.
Universitas Sumatera Utara
Profil Informan Biasa
1. Informan Kepala Lingkungan Nama
: Emi Anita Usia
: 47 Tahun Pekerjaan
: Kepala Lingkungan X Kampung Badur Suku
: Minang Bu Emi adalah Kepala Lingkungan X Kelurahan Hamdan. Termasuk
menaungi masyarakat Kampung Badur. Bu Emi menjabat sebagai Kepala Lingkungan X masih berjalan selama 4 bulan, ia menggantikan Alm.Suaminya
yang sudah meninggal. Kampung Badur memiliki 217 Kepala Keluarga. Menurut Bu Emi, warga Kampung Badur kurang peduli terhadap sampah. Dilihat dari pola
kehidupan masyarakatnya yang sudah terbiasa dengan lingkungan yang kotor dan bau akibat dari masyarakatnya sendiri yang berperilaku semena-mena terhadap
sampah. Cara masyarakat mengatasi sampah adalah dengan dibakar, ditanam atau ditimbun dan dibuang ke Sungai Deli setiap harinya, tanpa terkadang memikirkan
dampak dari perilaku mereka tersebut. Kesadaran akan bersihnya lingkungan serta hidup yang sehat kurang diperhatikan oleh warga Kampung Badur. Padahal para
warga masih menggunakan air sungai untuk mandi, cuci, kakus setiap harinya. Sering kali Bu Emi memantau ke Kampung Badur untuk melihat kondisi sampah
dan mengingatkan masyarakat Badur untuk membersihkan sampah dan membuang sampah ketempat pembuangan sampah yang tersedia di Kampung
Aur. Akan tetapi masyarakat tetap membuang sampah dengan kebiasaan mereka membuang ke sungai. Gotong-royong juga dilakukan dari kelurahan, namun
belum berjalan secara rutin.
Universitas Sumatera Utara
Status kepemilikan tanah Kampung Badur adalah Milik Pemerintah. Kampung Badur merupakan jalur hijau yang seharusnya dibuat sebagai taman.
Namun karena Pemerintah belum menjadikan Kampung Badur tersebut menjadi taman, warga mendirikan rumah di bantaran Sungai Deli tersebut dan menopang
hidup untuk mencari rezeki di sekitar kota tersebut. Akan tetapi, tidak ada satu orang warga pun yang mempunyai hak atas Tanah tersebut. Mereka hanya
memiliki hak atas tempat tinggal dari rumah yang mereka bangun. Beberapa kali Pemerintah sempat ingin berencana menggusur rumah-rumah warga dengan
mengganti biaya rumah yang sudah mereka bangun di bantaran Sungai Deli itu. Karena biaya yang akan diganti Pemerintah itu tidak sesuai dengan masyarakat
Kampung Badur, sehingga sampai saat ini mereka tetap mempertahankan daerah mereka sebagai tempat tinggal yang sudah nyaman bagi mereka.
Bu Emi mengatakan warga Kampung Badur cukup erat solidaritasnya. Menurutnya hal ini karena warga sering mengalami kondisi banjir bersama-sama,
sehingga terlihat dalam bentuk kegiatan sosial untuk menolong sesama warga yang sedang mengalami musibah atau kesulitan. Namun dalam hal membuang
sampah para warga kurang memiliki kesadaran untuk menciptakan kebersihan lingkungan yang lebih baik. Akibat dari dampak pembuangan sampah ke sungai
menimbulkan beberapa penyakit yang sering dialami warga yaitu, diare, TB, dan gatal-gatal pada kulit. Tetapi masyarakat Kampung Badur menganggapi ini
sebagai hal yang biasa dan tidak khawatir karena berobat dengan menggunakan Jamkesmas.
Menurut Bu Emi masalah sampah di Kampung Badur khususnya Sungai Deli sudah pernah mendapat perhatian dari Pemerintah Kota, namun bentuk
Universitas Sumatera Utara
perhatian itu hanya sekedar memberikan “tempat sampah” dari Pemko. Bentuk bantuan dari PNPM yaitu membuat tempat untuk mencuci di bantaran sungai
sehingga warga lebih mudah untuk mencuci. Selain dari Pemko dan PNPM, beberapa kelompok mahasiswa juga pernah mensosialisasikan dan mengajak
masyarakat Kampung Badur untuk melakukan kegiatan kebersihan lingkungan. Bentuk kegiatan tersebut berupa gotong-royong membersihkan sampah di sekitar
rumah-rumah warga dan juga di pinggiran sungai. Selain itu mahasiswa juga mengajak warga untuk mengelola sampah dengan mendaur ulang sampah dan
menciptakan sampah tersebut menjadi sebuah karya dari tangan yang memiliki nilai dan bisa digunakan oleh masyarakat ataupun dijual. Karena masyarakat
merasa keahliannya untuk mengkreasikan sampah sangat minim, sehingga kegiatan itu berlangsung hanya pada saat mahasiswa memperdayakan warga
Kampung Badur. Pada kenyataanya sampai pada saat ini masyarakat Kampung Badur masih tetap membuang sampah ke Sungai Deli, namun masyarakat
berusaha mengurangi pembuangan sampah ke sungai dengan cara membakar, menimbun sampah di tempat yang sudah mereka alokasikan, dan membuat
batasan sampah di tanah bantaran sungai dengan mendirikan bambu-bambu untuk menahan sampah agar tidak mengalir ke sungai. Menurut warga Kampung Badur
cara-cara tersebut mengurangi volume sampah yang mencemari sungai.
2. Informan Kepala Kelurahan Hamdan Nama
: H. Fadlin, BA Usia
: 55 Tahun Pekerjaan
: Lurah Kelurahan Hamdan 2011-sekarang
Universitas Sumatera Utara
Suku : Mandailing
Pak Fadlin adalah Kepala Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun yang mencakupi 10 lingkungan salah satunya adalah lingkungan X Kampung
Badur. Menurut Pak Fadlin masyarakat Kampung Badur termasuk masyarakat kriteria Kumuh dilihat dari aspek pemukiman. Pola pikir masyarakat Badur juga
masih primitif dan cenderung “manja” artinya dengan kondisi tempat tinggal yang sering dihampiri oleh bencana banjir masyarakat menganggap kondisi seperti itu
sebagai hal yang biasa, karena pada saat banjir bantuan dari berbagai aspek Pemerintah selalu dialokasikan untuk mereka. Bencana banjir adalah dampak dari
perilaku masyarakat yang tinggal di bantaran sungai yang berperilaku membuang sampah ke sungai tanpa memikirkan dampak yang terjadi dari perilaku tersebut.
Sampah yang dibuang ke sungai mengakibatkan air sungai menjadi keruh, bau dan tidak layak dimanfaatkan. Akan tetapi air Sungai Deli masih dimanfaatkan
oleh masyarakat Kampung Badur untuk mandi, cuci, kakus. Keadaan seperti itu akan berdampak buruk bagi masyarakat jika tidak diminimalisir dari perilaku
masyarakat itu sendiri. Menurut Pak Fadlin masyarakat Badur sudah sering disosialisasikan
mengenai cara membuang sampah yang tepat oleh Pemko, Kelurahan dan Lembaga yang sudah pernah mendatangi Kampung Badur. Dari kelurahan selalu
ada kegiatan gotong-royong untuk kebersihan lingkungan termasuk membersihkan sampah di sungai. Akan tetapi masyarakat Badur tidak memiliki
kepekaan atau kesadaran terhadap membuang sampah yang baik, sehingga mereka terus menerus membuang sampah ke sungai. Kegiatan mendaur ulang sampah
juga pernah disosialisasikan oleh kelompok PKK, tetapi tidak berlangsung lama
Universitas Sumatera Utara
karena keahlian masyarakat yang minim untuk mengelola sampah menjadi kreasi yang bernilai ekonomis dan dapat dimanfaatkan.
Melihat kondisi pemukiman Kampung Badur yang terlihat kumuh dan tidak layak untuk dihuni, berbagai Lembaga dan Pemerintah Kota juga sering
mensosialisasikan mengenai bahaya tinggal di bantaran sungai. Respon masyarakat dari sosialisasi tersebut juga tidak mengubah pola pikir masyarakat
untuk pindah dari tempat tinggal tersebut ke daerah yang lebih aman dan nyaman untuk dihuni. Masyarakat Kampung Badur tetap memilih tinggal di bantaran
Sungai Deli karena mereka merasa mudah dalam mencari rezeki di daerah perkotaan.
4.5 Makna Sampah Bagi Masyarakat Kampung Badur di Bantaran Sungai Deli