16
Aspergillus niger menghasilkan enzim α-amilase, glukoamilase, selulase, β-D-
galaktosidase, laktase, endo 1,3 4 glukanase, gluko-oksidase. Beberapa mikroba pendegradasi polisakarida mannan diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Mikroba pendegradasi polisakarida mannan Jenis mikroba
Substrat Peneliti
A. Bakteri
Bacillus sp. M50 -
Chen et al. 2000
Thermomonospra fusca Limbah pulp kertas
Hilge et al. 1998
Clostridium tertium KT-5A Methanogenic sludges
Kataoka dan Tokiwa 1998
Pyrococcus furiosus Coconuts Samonte
2003 Pseudomonas fluoescens
- Braithwaite 2001
Bolam dan Gilbert 1996
Cellvibrio japonicus
B. Kapang
- Deborah et al. 2003
Trichoderma reesei Blue mussel
Ivory nut Waste Coffee
Xu et al. 2002
Hagglund et al. 2003
Regalado et al. 1995a
Aspergillus niger Guar gum C
yamopsis tetragonoloba
Kusakabe 1990 Aspergillus orizae
Copra and coffee wastes
Regalado et al. 1995b
Kapang Trichoderma reesei
Kapang adalah jasad renik eukaryotik dan terdiri atas yeast, molds atau suatu kombinasi kedua-duanya. Beberapa kapang dapat menyebabkan penyakit
yang berkenaan dengan kulit, subkutan, alergi atau sistemik. Yeast adalah kapang mikroskopik yang terdiri dari
solitary cell yang bereproduksi dengan budding McGinnis Trying 2003.
Molds terlihat jelas seperti kawat pijar panjang dan dikenal sebagai hyphae, yang tumbuh dengan perluasan apikal. Hyphae dapat terbentuk dari
septat yang renggang secara teratur dan memiliki suatu jumlah variabel nukleus. Ukuran atau bentuk semua kapang adalah
heterotrophic dan mampu mencerna makanan secara eksternal dengan pelepasan enzim hidrolisis ke dalam
lingkungannya McGinnis Trying 2003.
17
Klasifikasi Trichoderma reesei menurut Frazier dan Westhoff 1978
adalah divisi Thallophyta , kelas Deuteromycetes, famili Moniliaceae dan ordo
Moniliales. Koloni kapang yang tua berwarna hijau tua dan bentuknya bola-bola konidia yang berwarna hijau yang melekat satu sama lain. Ciri spesifik kapang
ini adalah 1 miselium septat, 2 konidia bercabang banyak, septat dan ujung percabanganya merupakan
sterigma, membentuk konidia bulat atau oval, berwarna hijau terang dan berbentuk bola-bola Fardiaz 1998.
Sabini et al. 2000 melakukan penelitian degradasi polisakarida mannan
dan hasilnya bisa dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.
Ket : A bagian kiri : Mannan yang belum terdegradasi A bagian kanan : Mannan yang sudah terdegradasi
B bagian insert , area yang dilingkari merupakan diagram difraksi elektron
Gambar 7 Perbandingan mannan yang belum terdegradasi A bagian kiri dengan mannan yang terdegradasi A bagian kanan melalui
pengamatan dengan transmission electron microscopy TEM
Philips CM 200 CRYO. Pada mannan yang belum terdegradasi, kristal memiliki rata-rata diagonal
terpanjang 0.8 µm dan bagian yang terpendek 0.4 μm. Kristal memiliki bentuk
morphologi platelet pada permukaan. Setelah terdegradasi kontur permukaan mannan tidak jelas namun masih memperlihatkan bentuk yang memanjang.
Lebih lanjut jalur metabolisme mannan menjadi mannosa secara lengkap diperlihatkan pada Gambar 8.
Pada Gambar 8 terlihat bahwa metabolisme mannan menjadi D mannosa dibantu dengan adanya enzim mannan 1,2-1,3-
α-mannosidase dengan Enzyme Commission Number EC E.C. 3.2.1.77 dan enzim mannan exo-1,2-
1,6- α-mannosidase E.C 3.2.1.37. Adapun untuk 1,4-β-mannan, dapat
dihidrolisis menjadi D mannosa dibantu dengan enzim mannan endo-1,4- β-
18
mannosidase E.C 3.2.1.78. D mannosa kemudian diubah menjadi D mannosa
6P dengan bantuan enzim hexokinase E.C. 2.7.1.1, glucokinase E.C. 1.7.1.2
dan mannokinase E.C 2.7.1.7. D Mannosa 6P dapat dihidrolisis menjadi D
mannosa 1P dengan bantuan enzim phospho mannomutase E.C. 5.4.2.8,
selanjutnya D mannosa 1P dihidrolisis menjadi GDP-D-mannosa dengan bantuan enzim
nicotinamide-nukleotide denylyltransferase E.C. 2.7.7.13.
Gambar 8 Rantai jalur metabolisme fruktosa dan mannosa sumber :
www.chem.qmul.ac.ukiubmbenzyme 16 Pebruari 2003 .
19
Pemanfaatan BIS sebagai Pakan Ternak
Pemanfaatan BIS banyak dilakukan pada ternak ruminansia. Di beberapa negara Afrika, BIS banyak diberikan pada ternak sapi pedaging. Sapi bakalan
yang diberi pakan BIS tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap rata- rata pertambahan bobot badan harian, konsumsi pakan, namun berpengaruh
nyata terhadap efisiensi pakan. Pengaruh tingkat pemberian BIS tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering dan nitrogen. Ada kecenderungan
dengan semakin tinggi tingkat pemberian BIS, maka akan menurunkan kecernaan Nitrogen. Hal ini diduga ada keterkaitan dengan tingginya kadar serat
kasar Umunna et al. 1980. Chin 2002 melaporkan bahwa BIS baik sekali
untuk sapi perah Sahiwal-Friesian karena selama 170 hari periode produksi mampu menghasilkan 7.9 kg susu per ekor BIS melalui proses
solvent extraction dan 4.8 kg susu per ekor BIS melalui proses expeller extraction.
Di Nigeria telah dicobakan BIS ini pada babi dan terlihat pengaruhnya terhadap peningkatan bobot badan. Hutagalung dan Jalaludin 1982
menyatakan bahwa penggunaan BIS pada babi berkisar 15–25 dengan pembagian 5 periode
starter, 10 periode grower dan 20 periode finisher. Penggunaan BIS pada ayam petelur dapat mencapai 20. Ada
kecenderungan bahwa BIS lebih baik untuk petelur daripada untuk ayam pedaging, hal ini mungkin disebabkan ayam petelur membutuhkan energi lebih
sedikit. Di Nigeria pemanfaatan BIS untuk menggantikan kacang tanah yang memang harganya lebih mahal Onwudike 1986c. BIS dapat menggantikan
kebutuhan protein kacang tanah sebesar 60 atau dapat dimanfaatkan pada petelur
starter sebesar 34 tanpa memberikan efek yang merugikan terhadap laju produksi telur, bobot telur, dan konsumsi ransum Onwudike 1986b.
Penggunaan BIS pada ayam petelur disarankan tidak melebihi 40, karena apabila diberikan melebihi dari yang disarankan akan menunjukkan penurunan
produksi telur Perez et al. 2000.
Ketaren et al. 1999, menyatakan bahwa penggunaan BIS maupun
bungkil inti sawit yang telah difermentasi BISF hingga 5 tidak menunjukkan pengaruh yang jelek terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan
maupun konversi pakan. Menurut Chin 2002, pemanfaatan BIS pada unggas dapat mencapai 20. Hal ini disebabkan tingginya dinding sel, komposisi serat
yang sulit dicerna, rendahnya energi metabolisme yaitu mencapai 2 400 Kkalkg.
20
Menurut Yeong 1983, penggunaan BIS pada pakan ayam pedaging 5– 30 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi pakan dan
bobot badan dibandingkan kontrol, namun untuk konversi pakan mulai terjadi penurunan ketika mencapai 20. Lubis 1980 melaporkan hasil penelitiannya
yang menggunakan BIS pada tingkat penggunaan 0, 5, dan 10 dari ransum ayam pedaging sampai umur 8 minggu. Dalam percobaan ini terdapat
pertambahan bobot badan 220.3 g, 217.7 g, dan 211.0 g, konsumsi pakan 584.6 g, 560.9 g dan 565.4 g serta konversi pakan berturut-turut 2.62, 2.46, dan 2.61.
Dari hasil percobaan ini disimpulkan bahwa penggunaan BIS sampai 10 dalam ransum ayam pedaging tidak mengganggu penampilan produksi.
BIS pada ayam pedaging dapat dimanfaatkan hingga 28 bahkan pada masa
finisher dapat mencapai 35 tanpa memberikan efek yang merugikan serta dapat menurunkan lemak abdominal, Onwudike 1986a. Namun berbeda
halnya dengan Osei dan Josephine 1987, yang menyatakan bahwa pemberikan BIS pada ayam pedaging hingga 12.5 secara nyata dapat menurunkan
konversi pakan namun untuk konsumsi dan bobot badan hingga umur 8 minggu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan kontrol. Menurut
Rizal 2000, penggunaan 10 BIS dapat menggantikan 40 bungkil kedele dalam ransum ayam pedaging, tanpa menunjukkan pengaruh yang jelek
terhadap konsumsi pakan, rata-rata pertambahan bobot badan, efisiensi pakan, persentase karkas dan bobot lemak abdominal.
Menurut Soesanto 2000, penggunaaan BIS hingga 25 dalam ransum finisher tidak menunjukkan pengaruh yang jelek terhadap penampilan ayam
hutan merah dan ayam pedaging. Lebih lanjut dikatakan bahwa bobot badan, total konsumsi ransum dan konversi ransum dari ayam hutan merah dan ayam
pedaging dari umur 21 hari hingga 56 hari masing-masing adalah 241 g dan 2043 g; 956 g dan 4700 g; 3.9 dan 2.3. Ransum yang mengandung bungkil inti
sawit akan menurunkan kadar lemak dan kolesterol pada otot dada dan sayap pada ayam hutan merah dan ayam pedaging Soesanto 2000.
Upaya Meningkatkan Nilai Nutrisi BIS
Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam meningkatkan nilai nutrisi BIS diantaranya adalah dengan pemanfaatan jasa mikroorganisme
biofermentasi. Bahan pakan yang berkualitas rendah dapat ditingkatkan nutrisinya dengan bantuan suplementasi enzim. Adapun masing-masing enzim
efektif pada bahan pakan tertentu, seperti disajikan pada Tabel 6.
21
Tabel 6 Kandungan nutrisi pada beberapa bahan pakan berikut enzim efektifnya
Bahan Pakan Kandungan nutrisi
Enzim yang Efektif Singkong fermentasi
Pati α - amilase
Bungkil kelapa sawit Mannan dan
β - mannanase Galaktomannan
α - galaktosidase β - xilosidase
Bungkil kedelai Stasiosa dan raffinosa
α - galaktosidase Gandum Pati
α - amilase β - glukan
β - glukanase Selulosa
Selulase Sorghum Pektin
Pektinase Selulosa
Selulase Xylan
Xylanase Dedak Fitat
Fitase Oat
β - glukan β - glukanase
Sumber : Purwadaria 2002
Penggunaan enzim driselase yang diproduksi dari Irpex lacteus termasuk
dalam kelompok Basidiomycetes. Driselase ini mampu menghidrolisa Carob dan
L-Leucocephala D-galacto-D-mannan. Penggunaan enzim ini karena pada BIS mengandung lebih dari 70 kristal mannan pada dinding selnya Daud Jarvis
1993. Adapun Hogg et al. 2003 menggunakan enzim
β-1,4 mannanase dalam menghidrolisis mannan maupun glukomannan, yang diisolasi dari
Cellvibrio japonicus.
Berdasarkan hasil penelitian Daud dan Jarvis 1993 produksi gula terlarut dari BIS yang didegradasi dengan enzim
driselase menghasilkan 5.30 gula terlarut pada waktu inkubasi 4 jam, dan 6.20 dengan waktu inkubasi
semalam. Adapun total energi metabolismenya 2 157 Kkalkg. Lebih jauh beliau mengemukakan bahwa penggunaan enzim
driselase meskipun mampu melarutkan komponen mannan pada BIS, namun dinilai kurang efektif karena
yang dihasilkan masih dalam bentuk oligosakarida, sedangkan bagi unggas bentuk monosakarida yang efektif diserap tubuh.
Energi Metabolisme
Energi merupakan faktor tunggal yang paling dibutuhkan dalam ransum ternak unggas Anggorodi 1995. Kemampuan makanan atau ransum untuk
menyediakan energi adalah penting guna menentukan nilai makanannya Tillman et al. 1998, oleh sebab itu kebutuhan energi dijadikan standar dalam
penyusunan ransum ternak sehingga pengetahuan kandungan energi secara
22
kuantitatif sangat penting McDonald et al. 1995. Adapun Scott et al. 1982
menyatakan bahwa energi bahan makanan terkandung dalam karbohidrat, lemak dan protein.
Anggorodi 1995 menyatakan bahwa energi bahan makanan umumnya dibagi kedalam empat bagian : energi bruto, energi tercerna, energi metabolisme
dan energi netto. Menurut NRC 1994 energi bruto adalah jumlah panas yang dilepaskan jika suatu zat makanan mengalami oksidasi sempurna menjadi
karbondioksida dan air dalam bomb calorimeter dengan tekanan 25
–
30 atmosfer oksigen. Energi tercerna adalah energi bruto bahan pakan atau ransum dikurangi
dengan energi bruto feses NRC 1994. Menurut Ensminger
et al. 1995 tidak semua energi yang terkandung dalam ransum dapat digunakan oleh ayam, akan tetapi sebagian terbuang
melalui feses dan urine. Definisi energi metabolisme menurut Scott et al. 1982
adalah pengurangan dari energi bruto pakan dengan energi yang terbuang melalui feses dan urine, sedangkan energi netto adalah energi yang dapat
dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi tubuh yaitu dipergunakan untuk hidup pokok dan produksi Blakely Bade 1991.
Energi metabolisme merupakan energi yang dapat dimanfaatkan oleh unggas Blakely Blade 1991. Nilai energi metabolisme antara lain dipengaruhi
oleh kandungan energi bahan pakan atau ransum, jumlah ransum yang dikonsumsi dan jenis ternak Storey Allen 1982. Menurut Sibbald 1983
selain dipengaruhi oleh jumlah ransum yang dikonsumsi, energi metabolisme juga dipengaruhi oleh kemampuan ternak dalam memetabolisme ransum di
dalam tubuhnya. Energi metabolisme merupakan nilai energi yang paling umum
digunakan dalam perhitungan ketersediaan energi dalam ransum unggas NRC, 1994. Menurut Wahju 1997 nilai energi metabolisme dari bahan-bahan pakan
adalah penggunaan yang paling banyak dan aplikasi yang praktis dalam ilmu nutrisi ternak unggas, karena pengukuran energi ini tersedia untuk semua tujuan,
termasuk hidup pokok, pertumbuhan, penggemukan dan produksi telur. Penentuan kandungan energi metabolisme bahan makanan dengan
pengujian secara biologis pertama kali dilakukan oleh Hill et al. 1960. Metode
Hill prinsipnya mengukur energi intake konsumsi energi dan energi ekskreta
dengan menggunakan Cr
2
O
3
sebagai indikator, sehingga tidak perlu penimbangan dan koleksi total ransum dan ekskreta.
23
Nilai energi metabolisme dinyatakan dengan empat peubah yaitu energi metabolisme semu EMS, energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen EMSn,
energi metabolisme murni EMM dan energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen EMMn Sibbald Wolynetz 1985. Selanjutnya Sibbald 1983
mengatakan bahwa energi metabolisme semu adalah hasil pengurangan antara energi bruto dalam ransum dengan energi yang hilang melalui ekskreta,
sedangkan energi metabolisme murni adalah selisih energi bruto pakan dan energi ekskreta yang dikoreksi oleh energi metabolik
Feses dan urine endogenous, yaitu energi yang diekskresikan oleh ternak tanpa dipengaruhi oleh konsumsi ransum. Nilai EMS dan EMSn bervariasi pada
tingkat konsumsi pakan, sedangkan nilai EMM relatif tetap pada tingkat konsumsi pakan yang sama Sibbald 1989.
Scott et al. 1982 menyatakan bahwa perhitungan energi metabolisme
terkoreksi nitrogen digunakan untuk keseragaman, maka semua perhitungan disesuaikan pada kondisi retensi nitrogen sama dengan nol, yaitu dengan
menambahkan energi dari sejumlah asam urat yang setara dengan retensi nitrogen sebesar 8.22 kkal per gram nitrogen pada energi ekskreta.
Retensi Nitrogen
Protein dalam bahan makanan termasuk dalam zat-zat yang mengandung nitrogen. Oleh karena itu untuk mengetahui kandungan protein dari
suatu bahan makanan, terlebih dahulu ditentukan kandungan nitrogennya secara kimiawi Anggorodi 1995. Tidak semua protein yang masuk ke dalam tubuh
dapat diretensi, tapi tergantung pada faktor genetik dan faktor umur Wahju 1997. Sejumlah nitrogen dalam protein pakan yang mampu ditahan dan
dipergunakan oleh tubuh ternak, inilah yang dinamakan retensi nitrogen Sibbald Wolynetz 1985.
Menurut Scott et al. 1982, kualitas protein dapat diukur melalui retensi
nitrogen atau satuan-satuan seperti nilai biologis, rasio efisiensi protein dan neraca nitrogen. Perhitungan retensi nitrogen adalah untuk mengetahui nilai
kecernaan protein bahan organik suatu bahan makanan. Retensi nitrogen adalah jumlah konsumsi nitrogen dikurangi dengan ekskresi nitrogen dan
nitrogen endogenous. Nitrogen endogenous menurut Sibbald 1989 adalah nitrogen ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan yaitu peluruhan sel
mukosa usus, empedu dan saluran pencernaan.
24
Pengukuran retensi nitrogen dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain dengan menggunakan koleksi ekskreta. Shanon dan Brown 1969
menyatakan bahwa kehilangan nitrogen pada pengeringan beku sebesar 4.8 sedangkan pengeringan dengan suhu 60
o
C yaitu 4.6. Kehilangan tersebut kecil jika dibandingkan dengan cara lain yaitu pengeringan pada suhu 40
o
C, 100
o
C dan 120
o
C. Dijelaskan lebih lanjut oleh Hill dan Anderson diacu dalam NRC 1994
bahwa jika nitrogen tidak diretensi akan muncul sebagian asam urat dengan nilai koreksi sebesar 8.22 Kkalkg retensi nitrogen yaitu nilai energi yang dihasilkan
ketika asam urat dioksidasi secara sempurna. Nilai retensi nitrogen dapat bernilai positif atau negatif yang dipengaruhi
oleh konsumsi nitrogen. Akan tetapi meningkatnya konsumsi nitrogen tidak selalu disertai peningkatan bobot badan Wahju 1997. Apabila nitrogen yang
dikonsumsi lebih besar daripada nitrogen yang diekskresikan, berarti hewan tersebut dalam keadaaan retensi nitrogen yang positif, sedangkan retensi
nitrogen yang negatif terjadi bila nitrogen yang dikonsumsi lebih kecil daripada nitrogen yang diekskresikan. Retensi nitrogen positif berarti hewan tersebut
mendapatkan pertambahan bobot badan karena tenunan ototnya bertambah. Retensi nitrogen negatif menunjukkan hewan telah kehilangan nitrogen dan
kejadian ini tidak selalu ditunjukkan oleh turunnya bobot badan, terutama jika energi dalam ransum tinggi Llyod
et al. 1978. Ditambahkan oleh Soeharsono 1976 bahwa nilai retensi nitrogen yang tinggi menyebabkan protein dapat
dikurangi tanpa mempengaruhi pertumbuhan ternak. Menurut Wahju 1972 tingkat retensi nitrogen bergantung pada konsumsi
nitrogen dan energi metabolis ransum, akan tetapi peningkatan energi metabolis ransum tidak selalu diikuti dengan meningkatnya retensi nitrogen. Meningkatnya
konsumsi nitrogen diikuti dengan meningkatnya retensi nitrogen tetapi tidak selalu diikuti dengan peningkatan pertambahan bobot badan bila energi ransum
rendah.
Penampilan Ayam Pedaging
Wahju dan Sugandi 1984 menyatakan bahwa broiler adalah ayam jantan atau betina berumur 6–10 minggu, mempunyai daging yang enak dengan
timbunan daging yang baik, dada lebar serta kulit licin dan lunak. Ayam pedaging broiler merupakan ayam yang telah mengalami seleksi genetik sebagai
25
penghasil daging dengan pertumbuhan yang cepat sehingga waktu pemeliharaannya lebih singkat, pakan lebih efisien dan produksi daging tinggi.
Ayam pedaging jantan dan betina dipasarkan dengan bobot 1.8–2.0 kg umur 8 minggu dalam bentuk karkas atau potongan komersial karkas dan dijual hidup
NRC 1994. Kemajuan genetik yang terjadi selama 10 tahun terakhir pada ayam
pedaging telah memperbaiki keuntungan yang didapat peternak pada saat panen. Salah satu perbaikan itu adalah pertumbuhan yang meningkat setiap
tahunnya sebanyak 60 gram pada umur enam minggu. Ayam seberat 2 kg yang dipanen pada umur 49 hari pada tahun 1998 sekarang dapat dipanen pada umur
39 hari Amrullah 2001. Pertumbuhan ayam pedaging sangat cepat dan pertumbuhan dimulai
sejak menetas sampai umur 8 minggu, setelah itu kecepatan pertumbuhan akan menurun. Tahap-tahap pertumbuhan ternak membentuk gambaran sigmoidal
pada grafik pertumbuhan. Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran dan pertambahan berat, dalam jaringan-jaringan tubuh seperti otak, jantung, tulang,
berat daging dan jaringan lainnya. Perkembangan penampilan ayam pedaging dari Tahun 1990 hingga Tahun 1999 diperlihatkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Perkembangan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum ayam pedaging
Uraian Minggu ke
Tahun 1990 1
2 3
4 5
6 Bobot Badan g
150 410
720 1 120
1 540 2 010
Konsumsi ransum g 120
300 470
670 840
1 090 Konversi ransum
0.8 1.2
1.37 1.70
1.98 2.29
Tahun 1994 Bobot Badan g
146 360
652 1 025
1 460 1 915
Konsumsi ransum g 133
282 467
673 849
1 071 Konversi ransum
0.91 1.15
1.35 1.52
1.65 1.81
Tahun 1999 Bobot Badan g
162 419
785 1 258
1 794 2 343
Konsumsi ransum g 135
319 562
822 1 027
1 174 Konversi ransum
0.83 1.08
1.29 1.46
1.60 1.72
Sumber : North dan Bell 1990 NRC 1994
Amrullah 2003
26
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh kandungan nutrisi , kondisi ternak dan faktor lingkungan. Pertambahan bobot badan ini akan menentukan
bobot akhir yang dihasilkan. Temperatur lingkungan juga bisa mempengaruhi pertambahan bobot badan. Pada temperatur lingkungan yang tinggi, ayam akan
lebih banyak melakukan aktifitas panting yang akan mengurangi aktifitas makan.
Penurunan konsumsi ransum ini tentu saja akan mempengaruhi pertumbuhan. Mahfudz
et al. 1998 menjelaskan bahwa peningkatan temperatur dari 20
o
C ke 33
o
C menurunkan pertambahan bobot badan sebesar 67 gram selama tiga minggu pemeliharaan umur 3-6 minggu.
Bobot Karkas
Menurut SNI 01-3924-1995 diacu dalam Deptan 2006, karkas didefinisikan sebagai bagian dari ayam pedaging hidup, setelah dipotong,
dibului, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kaki. Peneliti lain McNally dan Spicknall 1975 menyatakan bahwa
persentase karkas seekor ternak dipengaruhi terutama oleh bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisi fisik, sedangkan menurut Templeton 1959, faktor
yang mempengaruhi karkas adalah umur, kualitas dan kuantitas ransum, pertulangan, tebal tipisnya kulit dan isi saluran pencernaan. Menurut Rose 1997
karkas broiler yang disebut eviscerated carcass merupakan 73.7 dari bobot
hidup. Adapun menurut Siregar et al. 1982 rata-rata bobot karkas ayam
pedaging berkisar antara 67
–
75.
Konsumsi Ransum
Ternak mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan guna keperluan produksi dan reproduksi. Konsumsi pakan tiap ternak
berbeda tergantung beberapa faktor. Menurut NRC 1994 faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum pada ayam adalah besar tubuh ayam, aktifitas
sehari-hari, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas pakan. Adapun menurut Scott
et al. 1982 faktor bentuk ransum, kandungan energi ransum, kesehatan lingkungan, zat-zat nutrisi, kecepatan pertumbuhan dan stres sebagai faktor
yang juga mempengaruhi konsumsi ransum. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi konsumsi ransum seperti
suhu lingkungan dan kecepatan angin. Pengaruh suhu terlihat dengan menurunnya konsumsi ransum ketika suhu lingkungan di sekitar ternak
27
meningkat. Hal ini terlihat pada penelitian May dan Lott 1992 tentang pola konsumsi pakan pada temperatur lingkungan yang tinggi. Konsumsi ransum
turun sebanyak 0.4 ketika suhu berubah dari 24
o
C menjadi 35
o
C. Pada suhu 24
o
C konsumsi pakan 9.9 dari bobot badan sedangkan pada suhu 35
o
C konsumsi ransum hanya sebesar 9.5. Hasil ini diperkuat Mahfudz
et al. 1998 yang menyatakan bahwa suhu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
konsumsi ransum. Faktor ransum juga tidak kalah pentingnya dengan kedua faktor di atas.
Kandungan zat nutrisi maupun bahan baku yang digunakan sangat menentukan konsumsi ransum yang dihasilkan. Menurut Ensminger
et al. 1995, pengolahan pakan dalam bentuk fisik, kimia, enzim mapun penambahan zat nutrisi lain
dimaksudkan untuk meningkatkan palatabilitas atau kecernaan dan juga merubah komposisi nutrisi.
Konversi Ransum
Menurut North dan Bell 1990 konversi ransum adalah unit pakan yang diperlukan untuk menghasilkan unit pertambahan bobot badan. Dinyatakan juga
bahwa dengan bertambahnya umur ayam konversi ransum ayam semakin meningkat. Semakin tinggi nilai konversi ransum menunjukkan penggunaan
ransum yang tidak efisien. Konversi ransum berkaitan erat dengan konsumsi ransum dan
pertambahan bobot badan. Konversi ransum mencerminkan keberhasilan dalam memilih atau menyusun ransum yang berkualitas. Selain kualitas ransum, angka
konversi banyak dipengaruhi teknik pemberian pakan. Teknik pemberian yang baik dapat menekan angka konversi pakan sehingga keuntungan banyak
diperoleh. Menurut Wahju 1997 konversi ransum dipengaruhi oleh imbangan energi dan protein ransum serta pembatasan waktu makan. Namun menurut
Sudiyanto 2001 konversi ransum dipengaruhi oleh frekwensi pemberian ransum, kualitas air, keadaan lingkungan, suhu kandang, pencahayaan,
pengafkiran dan penyakit.
Mortalitas
Angka kematian mortalitas merupakan salah satu parameter keberhasilan dalam manajemen pemeliharaan. Bahkan dalam perhitungan
indeks prestasi nilai persentase mortalitas merupakan salah satu parameternya. Persentase mortalitas adalah perbandingan antara jumlah seluruh ayam yang
28
mati dengan jumlah total ayam yang dipelihara. Menurut North dan Bell 1990, pemeliharaan ayam pedaging dinyatakan berhasil jika angka kematian secara
keseluruhan kurang dari 5. Angka kematian minggu pertama selama periode pertumbuhan tidak boleh lebih dari 10, kematian pada minggu selanjutnya
harus relatif rendah sampai hari terakhir minggu tersebut dan terus dalam keadaan konstan sampai berakhirnya periode pertumbuhan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian diantaranya adalah sanitasi kandang dan peralatan, kebersihan lingkungan kandang serta penyakit
Sainsbury 1984. Menurut El Mubarak dan Abuelgasim 1990, angka kematian akibat gumboro pada ayam pedaging antara 0.9–22.7, tetapi kemungkinan
dapat mencapai 30 atau lebih, sedangkan angka kematian akibat ascites antara 5–12, tetapi dapat mencapai 25 pada keadaan yang ekstrim Leeson
et al. 1995. Menurut Mazhar 1995 angka kematian akibat Newcastle Disease ND pada ayam broiler antara 25–100, dan angka kematian akibat Cronic
Respiratory Disease CRD dapat mencapai 30.
Indeks Prestasi IP dan Income Over Feed and Chick Cost IOFCC
Menurut North dan Bell 1990 dalam mengukur efisiensi pertumbuhan ayam pedaging dapat dilihat dari : bobot badan siap dipotong, konversi pakan
selama pemeliharaan ayam dan umur mencapai bobot badan yang dikehendaki. Penilaian efisiensi dalam mengkonversi penggunaan pakan dapat digunakan
Performance Index Indeks prestasi yang diperoleh dari nilai bobot akhir dibagi konversi ransum dikali 100. Standar IP adalah 200, semakin tinggi nilai IP maka
semakin baik efisiensi dalam mengkonversi pakan. Income over feed and chick cost IOFCC adalah perbedaan antara rata-
rata pendapatan dalam rupiah yang diperoleh dari hasil penjualan satu ekor ayam pedaging pada akhir pemeliharaan dengan rata-rata pengeluaran berupa
pembelian satu ekor anak ayam DOC pada awal penelitian dan ransum yang dihabiskan selama pemeliharaan.
Perkembangan Penelitian tentang Polisakarida Mannan dan BIS
Rangkuman perkembangan penelitian yang sudah dilakukan dengan topik BIS dapat dilihat pada Tabel 8–9.
29
Tabel 8 Perkembangan penelitian pemanfaatan mikroba dan enzim dalam mendegradasi polisakarida mannan
No Jenis
mikroba Jenis
Perlakuan Hasil Penelitian Peneliti
1. Aspergillus
niger Menumbuhkan
kapang Aspergillus
niger pada media mengandung mannan
Kapang Aspergillus niger
mampu mendegradasi mannan dan menghasilkan enzim N-
acetylglucosamine, glucose, mannose, dan galactose
Smith dan Patterman
1977
2. Aspergillus
niger Menumbuhkan
kapang Aspergillus
niger pada media mengandung mannan
Kapang Aspergillus niger
mampu mendegradasi mannan dan menghasilkan enzim
α- amilase, glukoamilase, selulase,
β-D-galaktosidase lactase, endo 1,3 4 glukanase, gluko-
oksidase Wiseman
1985
3. Aspergillus
niger Mengisolasi mutan
asporogenus kapang Aspergillus niger
pada media yang mengandung mannan
Kapang Aspergillus niger
mampu mendegradasi mannan dan menghasilkan enzim
mannanse, selulase dan β-
glukosidase Glenn dan
Roger 1988
4 Aspergillus
niger Mengisolasi
Aspergillus niger uam- gs1 mutan
Kapang Aspergillus niger uam-
gs1 mutan mampu mendegradasi galactomannan,
galactoglucomannan dengan menghasilkan enzim mannanase
Santiago et
al. 2006 5.
Streptomyces sp
Penumbuhan Streptomyces sp pada
media galactomannan Enzim yang dihasilkan mampu
menghidrolisa mannan pada kopra menjadi manno-
oligosakarida, mannobiosa dan mannosa
Coulombel et
al. 1981 6.
Irpex lacteus Isolasi enzim
pendegradasi mannan Dihasilkan enzim
driselase yang mampu menghidrolisa carob dan
L-leucocephaala D-galacto-D- Mannan
Daud dan Jarvis 1993
7. Celvibrio
japonicus Isolasi enzim
pendegradasi mannan dan galactomannan
Menghasilkan enzim β-1,4
mannanase yang mampu mendegradasi mannan dan
galactomannan Hogg
et al. 2003
8. Trichoderma
reesei Daya cerna kristal
mannan menggunakan enzim
endo-mannanse dari Trichoderma reesei
Trichoderma reesei mampu menghasilkan enzim
β- mannanase yang mampu
mendegradasi mannan Sabini
et al . 2000
9. Trichoderma
reesei Isolasi mannan pada
ivory nut dan isolasi
enzim mannanase dari kapang
Trichoderma reesei
Trichoderma reesei mampu menghasilkan enzim
endoglukanase, β-mannanase,
yang dapat mendegradasi mannnan dan cellulose
kompleks Hagglund
et al. 2003
10. Trichoderma
reesei Pemurnian enzim
mannanase dari Trichoderma reesei
yang ditumbuhkan pada beberapa media
yang mengandung mannan
Enzim mannanase dapat dihasilkan melalui isolasi kapang
Trichoderma reesei pada media galactomannan guar gum GG,
Konjac glucomannan, galactoglucomannan, Locus
bean glucomannan Mikkonen
et al. 2006
11. Marchella
esculenta Isolasi galaktomannan
dari Marchella
esculenta Galaktomannan yang diisolasi
dari Marchella esculenta mampu
berfungsi sebagai perkursor untuk mengaktivasi macrophage
Ross et al.
2002
30
Tabel 9 Perkembangan penelitian pemanfatan bungkil inti sawit BIS pada ternak No Jenis
ternak Jenis Perlakuan
Hasil Penelitian Peneliti
1. Babi Berbagai
tingkat penggunan BIS
terhadap pertumbuhan
babi Pertumbuhan optimal pada babi
diperoleh pada penggunaaan BIS 5 pada periode starter, 10
periode grower dan 20 periode finisher
Hutagalung dan Jalaludin
1982
2. Babi Berbagai
tingkat penggunan BIS
terhadap laju pertumbuhan dan
karkas Penggunaan BIS hingga 400gkg
dalam ransum tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap laju
pertumbuhan dan konversi pakan fase grower dan finisher namun
terjadi penurunan terhadap persentase karkas,area mata rusuk
dan potongan karkas. Rhule 1996
3. Sapi perah
Sahiwal- Friesien
Penggunaan BIS terhadap
produksi susu Selama 170 hari produksi
penggunan BIS hasil solvent
extraxtion mampu menghasilkan susu 7.9 kgekorhari dan BIS hasil
expeller 4.8 kgekorhari Chin 2002
4. Ayam pedaging
Penggunan BIS terhadap
pertumbuhan Penggunaan BIS sampai 10 tidak
mengganggu penampilan pbb, konsumsi dan konversi ransum
ayam pedaging Lubis 1980
5. Ayam pedaging
Penggunaan tingkat BIs
terhadap pertumbuhan
Bungkil inti sawit 10-20 dalam ransum dapat meningkatkan bobot
badan ayam pedaging Kamal 1984
6. Ayam pedaging
Penggunan BIS terhadap
pertumbuhan BIS dapat dimanfaatkan hingga
12.5 pada ayam pedaging tanpa mengganggu konsumsi dan bobot
badan hingga 8 minggu namun menurunkan konversi ransum
Osei dan Josephine
1987
7. Ayam pedaging
Penggunaan tingkat BIS
terhadap penampilan
Penggunaan 10 BIS dapat menyebabkan bobot badan dan
pertambahan bobot badan lebih rendah daripada kontrol
Tangendjaja dan
Patttyusra 1993
8. Ayam pedaging
Penggunaan berbagai tingkat
BIS fermentasi terhadap
penampilan ayam pedaging
Penggunaan 5 BIS dan 5 BIS fermentasi dapat digunakan dalam
ransum tanpa menimbulkan efek buruk terhadap konsumsi,
pertambahan bobot badan dan konversi pakan
Ketaren et al.
1999
9. Ayam pedaging
Suplementasi BIS terhdap
bungkil kedele Penggunaan BIS sampai 10
mampu menggantikan 40 bungkil kedele tanpa memberikan
pengaruh jelek terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan,
persentase karkas dan bobot lemak abdominal
Rizal 2000
31
Perkembangan penelitian pemanfatan bungkil inti sawit BIS pada ternak lanjutan 10. Ayam
pedaging Penggunaan
Hemicell pada pakan ayam
pedaging yang mengandung
berbagai dosis mannan
Suplementasi Endo mannanase Hemicell ® 0.05 dapat
meningkatkan nilai nutrisi pakan yang mengandung mannan
Daskiran et
al. 2001
11. Ayam pedaging
dan ayam
hutan Pemanfaatan BIS
terhadap ayam pedaging dan
ayam hutan Penggunaan BIS hingga 25
dalam ransum finisher tidak memberikan pengaruh jelek
terhadap penampilan ayam hutan dan ayam pedaging
Soesanto 2000
12. Ayam pedaging
Penggunan BIS terhadap
pertumbuhan Pemanfaatan BIS yang optimal
pada ayam pedaging mencapai 20
Chin 2002
13. Ayam Petelur
Penggunaan berbagai level
BIS terhadap produksi telur
Penggunaan BIS terhadap produksi telur maksimal 20
Yeong 1983
14. Ayam Petelur
Penggunan berbagai level
BIS sebagai pengganti protein
kacang tanah BIS mampu menggantikan 60
protein kacang tanah dan dapat dimanfatkan hingga 34 pada
periode starter tanpa efek merugikan terhadap produksi dan
bobot telur serta konsumsi ransum Onwudike
1986b
15. Ayam Petelur
Penggunaan berbagai level
BIS terhadap ayam petelur
BIS dapat dimanfaatkan pada periode starter tidak melebihi 40
Perez et al.
2000
BAHAN DAN METODE
Penelitian terdiri atas 4 tahap meliputi pengujian fisik, kimia dan mikrobiologis terhadap bungkil inti sawit BIS. Uji biologis dilakukan dengan
menggunakan metoda eksperimental terhadap ayam pedaging yang diberi ransum yang mengandung BIS dan BIS fermentasi BISF.
Penelitian Tahap I : Uji Keragaman Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi BIS
Tujuan penelitian Tahap I ini adalah untuk mempelajari beberapa sifat fisik dan kandungan nutrisi BIS. Hal ini penting dilakukan mengingat beragamnya
proses produksi BIS yang akan berpengaruh terhadap kualitas BIS. Penelitian dilakukan selama 4 minggu bertempat di Laboratorium Industri
Pakan dan Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan.
A. Bungkil Inti Sawit