Analisis Statistik Kandungan Nutrisi BIS

49 Keterangan : PBB = Pertambahan bobot badan W2 = Bobot badan akhir g W1 = Bobot badan awal minggu g T2 = Waktu akhir minggu T1 = Waktu awal minggu 3. Konsumsi ransum gekor35 hari Selisih antara ransum yang disediakan umur 7 hari dengan sisa ransum ransum pada akhir percobaan umur 42 hari, dihitung dalam gram 4. Konversi ransum Konversi ransum dihitung menggunakan rumus : Konversi ransum = Rataan konsumsi ransum umur 7-42 hari g Rataan pertambahan bobot badan umur 7 – 42 hari g 5. Persentase bobot karkas Dihitung dengan menggunakan rumus : Bobot karkas g Persentase karkas = _________________________________ x 100 Bobot hidup pada akhir penelitian 42 hari g 6. Mortalitas Dihitung dengan rumus : Mortalitas = Jumlah ayam yang mati selama penelitian x 100 Jumlah seluruh ayam pada awal penelitian 7. Indeks Prestasi IP Ayam Pedaging Indeks prestasi broiler dihitung dengan rumus sebagai berikut : Rata-rata berat panen kg x persentase ayam hidup IP = _______________________________________________ x 100 Konversi ransum x umur panen hari Standar minimal IP ayam pedaging adalah 200. 8. Analisis income over feed and chick cost IOFCC Dihitung berdasarkan harga jual ayam pada akhir penelitian dikurangi oleh biaya pakan dan anak ayam selama penelitian

F. Analisis Statistik

50 Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam anova dan untuk melihat kecenderungan dari pengaruh masing-masing perlakuan dilakukan uji Kontras Orthogonal Steel Torrie 1995 dengan menggunakan Program SAS Ver. 6.12 SAS Institute 1996. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap I : Uji Keragaman Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi BIS BIS diambil dari 3 lokasi yang berbeda. Sampel BIS dari langkat B diperoleh dari proses expeller extraction dua tahap. Sampel BIS dari Lampung dan Banten diperoleh dari proses expeller extraction satu tahap.

A. Keragaman Sifat Fisik BIS

Hasil uji sifat fisik BIS yang meliputi berat jenis, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, sudut tumpukan, tingkat kehalusan, diameter bahan dan daya ambang diperlihatkan pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil uji kualitas sifat fisik BIS dari beberapa sumber produksi Sampel BIS No. Sifat Fisik A B C 1 Berat jenis gml 1.359 ± 0.07 b 1.457 ± 0.07 a 1.521 ± 0.06 a 2 Kerapatan tumpukan gml 0.582 ± 0.03 b 0.583 ± 0.02 b 0.624 ± 0.02 a 3 Kerapatan Pemadatan Tumpukan gml 0.693 ± 0.01 b 0.727 ± 0.02 a 0.725 ± 0.02 a 4 Sudut tumpukan o

29.71 ± 2.98 a 23.61 ± 1.17 b

23.61 ± 1.20 b 5 Daya ambang mdt 0.594 ± 0.01 a 0.560 ± 0.06 b 0.606 ± 0.02 a 6 Tingkat kehalusan MF 4.773 ± 0.03 a 4.571 ± 0.04 c 4.654 ± 0.01 b 7 Katagori ukuran partikel bahan Kasar Kasar Kasar 8 Rataan diameter bahan cm 0.285 ± 0.006 a 0.248 ± 0.006 c 0.262 ± 0.001 b Keterangan : A = BIS dari sumber produksi di Lampung B = BIS dari sumber produksi di Langkat Sumut C = BIS dari sumber produksi di Banten Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata p0.05

1. Berat Jenis BJ

Hasil perhitungan analisis varian menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05 diantara ketiga sampel BIS terhadap nilai BJ. Nilai BJ ketiga sampel menunjukkan nilai diatas 1 yang berarti lebih berat dari BJ air. Sampel B dan C tidak menunjukkan adanya perbedaan, namun keduanya berbeda dengan sampel A yang memiliki nilai BJ paling rendah yakni 1.359 gml. Perbedaan ini 52 diduga dipengaruhi oleh karakteristik permukaan partikel BIS. Sampel BIS C memiliki nilai BJ paling tinggi, hal ini disebabkan sampel C strukturnya padat dan masih banyak terdapat serpihan tempurung yang tercampur dalam BIS sehingga nilai BJ nya paling tinggi. Adapun sampel A strukturnya tidak padat dan banyak rongga antar partikel, sehingga nilai BJ nya lebih rendah. Perbedaan nilai BJ selain dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik permukan partikel, juga dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Khalil 1999 yang menyatakan bahwa adanya variasi dalam nilai BJ dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan, distribusi ukuran partikel dan karakteristik permukaan partikel. BJ berpengaruh terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitas suatu campuran pakan. Ransum yang tersusun dari bahan pakan yang memiliki perbedaan BJ cukup besar, akan menghasilkan campuran tidak stabil dan mudah terpisah kembali Khalil 1999.

2. Kerapatan Tumpukan

Berat jenis erat hubungannya dengan kerapatan tumpukan, semakin tinggi nilai berat jenis maka kerapatan tumpukannya semakin besar. Sampel BIS C menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05 dengan sampel BIS A dan B. Pada sampel C kerapatan tumpukannya paling tinggi, demikian pula halnya dengan nilai BJ nya. Menurut Chung dan Lee 1985, kerapatan tumpukan lebih penting dari berat jenis bahan, dalam hal pengeringan dan penyimpanan bahan secara praktis. Kerapatan tumpukan mempunyai peranan penting dalam memperhitungkan volume ruang pada suatu bahan dengan berat tertentu seperti dalam pengisian alat pencampur, elevator dan juga silo. Kerapatan tumpukan juga berpengaruh terhadap daya campur dan stabilitas pencampuran pakan. Kerapatan tumpukan ketiga sampel BIS di atas 0.5 gml. Pencampuran bahan pakan dengan ukuran partikel yang sama tetapi memiliki kerapatan tumpukan tinggi kt 0.5 gml akan sulit dicampur. Bahan yang memiliki kerapatan tumpukan rendah kt 0.5 gml membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dipindahkan Chung Lee 1985.

3. Kerapatan Pemadatan Tumpukan

Kerapatan pemadatan tumpukan mempunyai hubungan yang erat dengan kerapatan tumpukan. Pada kerapatan pemadatan tumpukan terdapat perbedaan yang nyata p0.05. Sampel BIS A memiliki kerapatan pemadatan tumpukan yang berbeda dengan sampel B dan C. Disini terlihat bahwa sampel A 53 memiliki kerapatan tumpukan 0.582 gml dan kerapatan pemadatan tumpukan 0.693 gml, nilai ini merupakan yang paling rendah dibanding perlakuan lainnnya. Sifat fisik lain yang ada hubungannya dengan kerapatan pemadatan tumpukan adalah modulus of fineness MF atau diameter partikel bahan. Semakin kecil nilai MF atau partikel bahan maka kerapatan pemadatan tumpukannya akan semakin tinggi. Sampel BIS A memiliki diameter bahan dan nilai MF yang paling tinggi yaitu masing-masing 0.285 cm dan 4.77 sehingga berpengaruh terhadap kerapatan pemadatan tumpukannya.

4. Daya Ambang

Daya ambang ketiga sampel menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan p0.05. Sampel BIS B berbeda nyata dengan sampel BIS A dan C. Hal ini berarti apabila terjadi proses penurunan bahan dari ketinggian tertentu, maka waktu bahan tersebut mencapai dasar untuk sampel BIS B adalah yang paling cepat. Daya ambang yang terlalu lama akan menyulitkan dalam proses penuangan bahan, karena dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk menuangkan bahan. Partikel bahan yang kecil akan memiliki daya ambang yang tinggi sehingga bahan lebih mudah tertiup angin berdebu, hal ini akan menyebabkan terhamburnya bahan dan akan mengurangi jumlah bahan yang terbuang.

5. Sudut Tumpukan

Sudut tumpukan merupakan kriteria kebebasan bergerak partikel dalam suatu tumpukan. Semakin kecil sudut tumpukan, semakin bebas partikel bergerak dan semakin besar daya alir flow ability partikel tersebut. Pada Tabel 12 terlihat bahwa sudut tumpukan sampel BIS A 29.71 o lebih besar dari sampel BIS B 23.61 o dan C 23.61 o . Menurut Ruttloff 1981, diacu dalam Khalil 1999 bahan yang memiliki sudut tumpukan ≤ 29 o sangat baik dan mudah diangkut secara mekanik. Hal ini berarti bahwa sampel BIS B dan C memiliki kemudahan dalam hal pengangkutan secara mekanik, karena ruangan yang diperlukan dalam penyimpanan BIS lebih kecil.

6. Tingkat Kehalusan dan Diameter Bahan

Tingkat kehalusan modulus of fineness dari ketiga sampel menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05. Nilai MF tertinggi diperoleh BIS A dan terendah 54 BIS B. Tingkat kehalusan ini sangat penting untuk menentukan apakah perlu ada perlakuan lanjut sebelum BIS difermentasi. Meskipun terjadi perbedaan yang nyata nilai MF nya, namun ketiganya masuk katagori kasar MF 4.1–7.0. Modulus of fineness erat hubungannya dengan diameter bahan. Semakin tinggi nilai MF maka diameter partikel bahan akan semakin tinggi. Diameter partikel bahan yang tinggi akan menyulitkan dalam pencampuran ransum yang homogen. Secara penampakan visual ketiga sampel BIS terlihat bahwa masih banyak terdapat campuran tempurung dalam BIS, karenanya perlu dilakukan pengayakan dengan menggunakan saringan ukuran diameter lubang 2 mm saringan alumunium yang paling halus.

7. Koefisien Keragaman BIS

Semua sampel BIS yang digunakan dalam pengukuran sifat fisik dihitung koefisien keragamannya , dan hasilnya disajikan pada Tabel 13. Disini terlihat bahwa urutan sifat fisik dari yang koefisien variasinya terendah hingga tertinggi adalah : tingkat kehalusan MF, kerapatan tumpukan, daya ambang, kerapatan pemadatan tumpukan, rataan diameter bahan, berat jenis dan sudut tumpukan. Selain sudut tumpukan semua sifat fisik yang diukur memiliki koefisien variasi dibawah 10. Ini berarti bahwa sifat fisik sudut tumpukan dari beberapa sampel BIS adalah yang paling beragam. Tabel 13 Koefisien keragaman beberapa sifat fisik BIS No Sifat Fisik Koefisien Variasi 1. Berat jenis gml 6.32 2. Kerapatan tumpukan gml 2.37 3. Kerapatan pemadatan Tumpukan gml 4.28 4. Sudut tumpukan o 12.79 5. Daya ambang mdt 3.68 6. Tingkat kehalusan MF 2.08 7. Rataan diameter bahan cm 6.25 Sifat fisik BIS yang memiliki koefisien keragaman 5–10 meliputi berat jenis dan rataan diameter bahan. Sifat fisik yang memiliki koefisien keragaman di bawah 5 adalah tingkat kehalusan, kerapatan tumpukan, daya ambang, kerapatan pemadatan tumpukan. Sifat fisik sudut tumpukan merupakan sifat fisik BIS yang sangat beragam, karena memiliki nilai keragaman di atas 10 yakni 55 12.79. Sifat fisik yang memiliki nilai koefisien keragamannya tinggi menyebabkan peningkatan kewaspadaan dalam pengontrolan, karena apabila tidak diawasi akan menyebabkan kualitas hasil pencampuran dengan bahan lain akan beragam pula.

B. Kandungan Nutrisi BIS

Bungkil inti sawit BIS yang digunakan dalam penelitian ini dianalisa kandungan nutrisinya. Adapun hasil komposisi nutrisi BIS diperlihatkan pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil analisis proksimat BIS dari beberapa proses produksi BIS Sampel BIS Jenis analisis A B C Bahan Kering 89.28 91.75 91.16 Abu 4.69 4.33 4.52 Protein kasar 16.50 17.69 14.27 Serat kasar 24.22 30.50 24.61 Lemak kasar 5.69 9.46 7.86 Beta N 38.17 36.02 38.54 Kalsium 0.58 0.26 0.29 Phosfor 0.45 0.60 0.73 NaCl 0.10 0.17 0.13 Gross energi kkalkg 3 543 3 688 3 422 Keterangan : A = BIS dari sumber produksi di Lampung B = BIS dari sumber produksi di Langkat Sumut C = BIS dari sumber produksi di Banten Pada Tabel 14 terlihat bahwa kandungan protein kasar dan lemak kasar sampel B relatif lebih tinggi dibanding sampel A dan C, namun kelemahannya adalah kandungan serat kasarnya paling tinggi. Apabila kita bandingkan sampel A dan C, untuk kandungan protein kasar sampel A lebih baik dari sampel C, namun kandungan lemak kasarnya lebih baik kandungan sampel C, sedangkan kandungan serat kasarnya tidak begitu berbeda jauh. Dilihat dari nilai energi bruto, ternyata sampel BIS B kandungannya lebih tinggi dibanding sampel A dan C. Nilai energi bruto ini sejalan dengan kandungan protein kasarnya. Dibandingkan dengan peneliti lain pada Tabel 2, hasil analisa proksimat yang diperoleh menunjukkan bahwa kandungan protein kasar berkisar 14.27– 17.29. Nilai ini tidak berbeda jauh dari hasil analisis Keong 2004 yakni 16.86 dan penelitian Hew dan Jalaludin 1996 yakni 16.1 , namun lebih tinggi dari hasil analisis Yeong dan Mukherjee 1983 yakni 14 dan Hartadi et 56 al. 1980 12.9 untuk proses produksi BIS dengan ekstraksi mekanik dan 15.4 untuk proses produksi BIS dengan ekstraksi kimia. Kandungan serat kasar ketiga sampel berkisar 24.22–30.50, jauh lebih tinggi dari hasil analisis Hew dan Jalaludin 1996 yakni 15.7 dan Hartadi et al. 1980 16.9 untuk proses produksi BIS dengan ekstraksi mekanik dan 9.6 untuk proses produksi BIS dengan ekstraksi kimia. Diduga hal ini pada waktu proses produksi BIS banyak tercampur tempurung sehingga menyebabkan kandungan serat kasarnya tinggi. Kandungan nutrisi BIS cukup beragam, hal ini tergantung pada proses produksi BIS. Pada proses produksi BIS dengan ekstraksi mekanis, masih tinggi kandungan lemak kasarnya dibanding dengan ekstraksi kimia, namun kandungan serat kasarnyapun tinggi. Selain proses produksi, faktor lain yang berpengaruh terhadap kandungan nutrisi BIS adalah umur kelapa sawit. Pada kelapa sawit yang umur tua biasanya dihasilkan rendemen minyak yang tinggi dan serat kasar yang tinggi. Tempat produksi BIS biasanya tidak jauh dari lokasi perkebunan. Lokasi ini erat hubungan dengan hara tanah. Pada perkebunan kelapa sawit yang kaya hara tanah biasanya dihasilkan BIS dengan nutrisi lebih baik. Berdasarkan pertimbangan sifat fisik terutama yang lebih ditekankan pada nilai BJ, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan daya ambang serta kandungan nutrisi yang terutama meliputi protein kasar dan serat kasar, sampel BIS yang akan digunakan pada tahap-tahap berikutnya adalah BIS yang diperoleh dari sumber produksi di Lampung sampel A. Pembagian koefisien keragaman sifat fisik BIS ini belum bisa dijadikan acuan yang tetap, karena belum mewakili sebagian besar produksi BIS seluruh Indonesia dan perlu diuji pada sumber produksi BIS yang diperoleh dari proses chemical extraction. Penelitian Tahap II : Optimalisasi Proses Fermentasi BIS oleh Kapang Trichoderma reesei

A. Karakteristik Pertumbuhan Kapang Trichoderma reesei